Aku menunggu di depan ruang operasi dengan cemas. Apalagi saat melihat Zainab didorong masuk ke ruang operasi dalam keadaan tak sadarkan diri. Hanya keselamatannya dan anak kami yang kuharapkan. Usia kehamilannya masih belum cukup bulan membuatku semakin khawatir. Bagaimana anak kami nanti? Kemungkinan akan lahir dalam keadaan prematur. Aku terduduk di lantai bersandar dinding dengan lutut menekuk. Kepala ini hanya mampu terus menunduk sambil menutupi air mata yang terus mengalir di sela lafaz zikir di bibir.Terlalu banyak dosaku pada Zainab karena sampai detik ini aku belum bisa membuatnya bahagia. Bahkan, hanya kesedihan yang selalu kuberikan padanya. Aku sudah membuatnya kehilangan sosok ayah dan masa mudanya. Keselamatannya pun beberapa kali dalam ujung tanduk. Maafkan aku, Za! Aku terlalu lemah menjadi seorang laki-laki. Kamu harus bertahan, Sayang. Beri aku kesempatan untuk membahagiakanmu dan anak kita. "Dan."Sebuah tepukan di bahu membuatku seketika mendongak. "Zainab, B
Aku masih terduduk di depan ruang NICU untuk menunggu berita dari dokter yang menangani Zahira. Rasanya sangat sulit dengan kondisi seperti ini. Aku menjadi penyebab kesakitan pada istri dan anakku. Allah ... berikan kesempatan putriku untuk melihat kedua orang tuanya! Berikanlah keselamatan untuk Zahira! "Yang sabar, Dan."Aku menoleh. Handoko sudah duduk di samping kananku. Ada juga Bagas yang masih berdiri di hadapan. Aku menunduk dengan kedua siku bertumpu di atas paha sambil memijit-mijit kepala. "Kenapa semua jadi seperti ini, Han, Gas. Aku gak tahu harus melakukan apa untuk kesembuhan putriku. Dia baru lahir kemarin sore dan pagi ini kondisinya kritis. Aku takut kehilangan dia.""Jangan pesimis, Dan! Semua masalah pasti ada jalan keluarnya. Anakmu pasti kuat, dia sama kuatnya dengan istrimu."Ucapan Handoko sama sekali tidak bisa menenangkan hatiku yang sudah diliputi rasa takut. Aku benar-benar takut jika akan kehilangan bagi mungil tanpa dosa itu. Handoko dan Bagas mene
Hanya lima belas menit aku dan Zainab diperbolehkan menjenguk Zahira. Waktu yang terlalu singkat sebenarnya, tapi kami tidak bisa menyangkal karena itu memang untuk kebaikan putri kecilku. Kudorong pelan kursi roda yang diduduki Zainab. Zainab menunduk sangat dalam setelah keluar dari kamar NICU. Aku berjongkok di hadapannya agar bisa melihat wajah cantik yang ditekuk itu. Kuraih jemari Zainab yang saling meremas. Aku tahu kecemasannya."Za, anak kita pasti bisa bertahan." Kukuatkan hati ini dan hatinya dengan kalimat positif. Setelahnya, hanya bisa pasrah pada ketetapan Allah nantinya karena usaha sudah maksimal. Zainab menangis tanpa suara. Hanya air mata yang terus menetes dan membasahi telapak tangan kami. "Kita juga harus kuat, Za. Zahira butuh orang tua yang kuat untuk bisa menguatkannya."Zainab mendongak dan menatapku sayu. Aku pun setengah berdiri, lalu memeluknya dengan hangat. Astagfirullah .... Dada ini terasa sangat sesak menahan rasa pedih saat melihat Zainab menan
"Pak Zaidan gak bisa seenaknya mengundurkan diri. Bapak sudah menandatangani perjanjian kontrak selama satu tahun. Pak Zaidan pasti juga sudah tahu apa prosedurnya jika mengundurkan diri sebelum waktu perjanjian kontrak berakhir, bukan?"Pak Randi tampak tidak menerima surat pengunduran diriku. "Saya sudah tahu konsekuensinya, Pak. Saya akan membayarkan penalti yang sudah menjadi peraturan dalam surat perjanjian kontrak kerja saya.""Apa Pak Zaidan yakin? Itu jumlahnya cukup besar, sementara saya juga tahu kalau Pak Zaidan sedang membutuhkan biaya yang cukup besar untuk putri Bapak."Ah, ternyata Pak Randi sudah tahu tentang Zahira. Namun, itu malah dia gunakan untuk membuatku mengubah pikiran. "Maaf, Pak. Saya masih punya tabungan jika hanya untuk biaya rumah sakit anak saya. Saya mengundurkan diri ini juga demi keluarga. Saya tidak ingin keluarga saya semakin hancur karena berita miring tentang saya."Setelah beberapa lama, akhirnya Pak Randi menerima surat pengunduran diriku dan
Setelah kembali dari toilet, aku melihat Zainab sedang berbicara dengan dokter di depan ruang rawat Zahira. Aku pun mendekat dan ikut mendengarkan apa yang dikatakan oleh dokter. Tidak ada perkembangan berarti pada kondisi Zahira, tapi yang terpenting kondisinya tidak menurun. Zainab sudah cukup tegar untuk melihat kondisi putri kami. Tidak ada lagi air mata yang harus terbuang. Dan waktu lima belas menit kami gunakan sebaik mungkin untuk menyalurkan kekuatan lewat sentuhan dan doa untuk Zahira. Kamu pasti segera sembuh, Nak. "Ayo, pulang, Za!" ajakku setelah keluar dari ruang rawat Zahira. Zainab diam, membisu. Dia pun enggan menatapku. Sepertinya, dia marah karena ucapanku. Namun, tindakannya memang salah. Kali ini, aku tidak akan minta maaf. Zainab-lah yang harus minta maaf padaku. "Ayo, pulang!" ajakku lagi. "Saya masih mau di sini menemani anak saya."Astagfirullah ... Lagi-lagi Zainab menyebut dirinya dengan 'saya'. Pasti selalu seperti itu kalau ada yang tidak sesuai deng
Melihat senyum Zahira membuat hatiku yang sempat membara sedikit lebih tenang. Wajahnya yang sangat mirip dengan Zainab terlihat setelah alat bantu napasnya dilepas. Cantik. Sejak dua hari terakhir, jam menjenguk Zahira memang sudah ditambah oleh dokter untukku dan Zainab. Kami diperbolehkan menjenguk tiga kali sehari dengan durasi waktu satu jam. Apalagi, kondisinya yang sudah mulai membaik membuat pengorbanan tidak sia-sia. "Za, Mas mau bicara," ucapku setelah kami keluar dari kamar Zahira. "Bilang aja, Mas. Kok, serius banget, sih?" balasnya dengan senyum. "Sambil makan di kantin, ya. Mas laper.""Memangnya, Mas belum makan siang? Ini sudah hampir Asar, loh.""Tadi, setelah kamu telepon, Mas dipanggil Pak Syamsul. Jadi, belum sempet makan siang.""Ada masalah apa lagi sama Pak Syamsul, Mas?""Gak ada, beliau cuma menanyakan kondisi Zahira."Zainab mengangguk lalu menggamit lenganku. Kami berjalan menuju kantin rumah sakit. Untunglah kalau Zainab percaya dengan alasanku. Aku ma
Pandangan ini tak lepas memandang wajah Zainab yang sedang tertidur dengan pulas. Sekitar pukul satu malam dia baru bisa senyenyak itu setelah Zahira rewel dan tidak lepas dari gendongannya sejak selepas Isya. Berulang kali aku mau mengambil alih Zahira, tapi selalu ditolak. "Mas sudah capek seharian kerja, biar saja Zahira sama aku."Selalu itu yang diucapkannya setiap malam. "Zahira kenapa rewel, Nak? Kasihan Mama, Sayang. Mama kecapekan jagain kamu." Kutimang Zahira dalam gendongan. Hampir saja dia menangis jika aku tidak buru-buru menggendongnya. Alhamdulillah, Zahira anteng setelah diberikan susu dan terpaksa aku tidur dengan posisi duduk sambil menggendong karena Zahira enggan ditidurkan. Mungkin seperti ini kesusahan Zainab setiap hari. Aku terbangun saat mendengar kumandang azan. Sepertinya sudah Subuh. Namun, posisi tidurku tidak seperti semalam dan Zahira tidak ada di gendongan. Aku mengedarkan pandangan dalam kamar ini. Lega setelah melihat Zahira tidur dengan Zainab di
Aku mendapati Zainab sudah tertidur pulas saat keluar dari kamar mandi. Dia pasti lelah setelah hak kami sama-sama tertunaikan. Namun, dia sudah mandi terlebih dahulu sebelum akhirnya terlelap.Kutinggalkan kamar menuju lantai bawah. Bu Padma sudah hampir selesai menyiapkan makan siang untuk kami. Cukup banyak menu makanan yang dihidangkannya. Padahal, hanya aku dan Zainab saja yang akan makan. "Masaknya banyak sekali, Bu," ujarku seraya menghampiri Bu Padma di dapur. Aku mengambil air dingin dari kulkas. "Uang yang Mas Zaidan kasih, banyak. Saya sudah belanja sebanyak ini saja, uangnya masih," tuturnya. Aku tersenyum sekilas. "Kue ulang tahunnya sudah dipesan kan, Bu?""Sudah, Mas Zaidan. Tadi pihak toko kue sudah kasih kabar kalau sedang dalam perjalanan."Meskipun belum mengenal lama dengan Bu Padma, aku bisa nyaman membiarkannya bekerja dan menempati rumah ini. Dia memang rekomendasi dari Pak RT dan majikannya yang lama. Sudah sejak awal menikah mereka ikut dengan majikannya ya
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida