FfgSerapat apa pun menyembunyikan, tetap saja ketahuan. Seperti pernikahanku dengan Zainab yang harus terbongkar karena tertangkap paparazzi. Dan sekarang, sakit yang kusembunyikan pun sudah diketahui teman-teman dosen dan mahasiswa satu kampus di hari ketiga dirawat. Setiap jam besuk tiba, kamar ini menjadi riuh.
Aku semakin tidak tega pada Zainab. Sudah lima hari dia kurang istirahat karena menjagaku. Padahal, Ibu selalu datang, meminta Zainab untuk pulang dan istirahat, tapi perempuan itu keras kepala. Aku dan Ibu juga mengkhawatirkan keadaannya. Wajahnya kini sudah tampak lesu dan tadi selepas Subuh, dia sempat muntah-muntah. Kehamilan trimester pertama memang biasanya sedikit menyusahkan. Zainab sedang berbaring di sofa dengan tangan kanan memegang perut dan tangan kiri menutup mata. "Kamu pulang dulu saja, Za. Istirahat di rumah."Tidak ada respon. Apa mungkin Zainab sudah tidur? Dengan hati-hati aku turun dari ranjang untuk menSssddAku terlalu dikuasai amarah hingga tanpa sengaja membentak Zainab. Dia pasti sangat sedih sekarang. Bahkan, pintu kamarnya dikunci dari dalam. Aku khawatir dengan kondisinya. Apalagi, kehamilannya cukup membuat istri kecilku itu kepayahan."Buka pintunya, Za!" pintaku sambil mengetuk pintu kamar.Cukup lama, hanya terdengar tangisan Zainab yang semakin kencang sambil berteriak."Aku tidak berbohong! Za bukan pembohong!"Astagfirullah ....Apa yang tadi kulakukan? Zainab merasa tertekan lagi. Perasaanku menjadi tidak karuan karena pintu tak kunjung dibukanya.Ketukan pun berubah menjadi gedoran."Za! Buka pintunya, Sayang!"Prang!Terdengar bunyi benda pecah di dalam. Jantungku berpacu tak menentu. Terakhir aku mendengar benda pecah di kamar, aku mendapati Zainab menyayat pergelangan tangannya.Aku tidak bisa menunggu lagi. Pintu yang masih tertutup rapat ini kudobrak paksa. Dengan satu k
"Siapa dia, Za?" Kuletakkan foto berbingkai kayu itu di meja ruang tamu dengan kasar. Zainab yang baru saja masuk tampak terkejut. Diletakkannya dua mangkuk es buah di sisi lain meja. "Mas Idan kenapa lagi?" tanyanya dengan nada suara bergetar. Ujung matanya sudah meneteskan butiran air mata. "Duduk!" perintahku sambil menepuk kursi di samping kanan. Zainab langsung duduk. Jemarinya memilin-milin ujung jilbab dengan wajah menunduk tanpa mau melihatku. Kutarik napas panjang untuk meredam amarah. Aku tidak mau kalau sampai Zainab merasa tertekan lagi. Kuraih dagunya dan menariknya pelan hingga wajahnya sedikit mendongak. "Lihat aku, Za!" pintaku sembari mengulas senyum. "Makan es buahnya dulu, ya."Zainab menggeleng dengan air mata yang semakin deras. Dia sesegukan semakin keras. "Hey, jangan menangis! Nanti anak kita ikut sedih." Kuusap wajahnya yang basah dengan telapak tangan. Zaidan! Kenapa kamu gak bisa m
PoV Zainab"Nikahi Maira!" Ucapan laki-laki paruh baya di hadapan Mas Zaidan seketika membuat tubuhku melemas. Kedua kaki ini seakan tak mampu menopang. Tubuhku meluruh ke lantai. Hesti dan Elisa yang menemaniku ke rumah sakit memandangku iba. Mereka berjongkok di hadapanku. Sejak Mas Zaidan pergi meninggalkanku di tempat kos Hesti dan Elisa, perasaanku gelisah. Ingin menelepon atau sekadar mengirim pesan aku enggan. Selepas Zuhur kuminta Hesti dan Elisa menemani ke rumah sakit untuk memastikan keadaan Bu Maira dan Ibu. Namun, sebuah kenyataan pahit justru harus kudengar secara langsung. Laki-laki paruh baya itu sepertinya ayah dari Bu Maira. Ia meminta suamiku untuk menikahi Bu Maira. Ya Allah, apa yang harus kulakukan? Dulu, aku yang meminta Mas Zaidan untuk menikahi Bu Maira, tapi kenapa sekarang rasanya sesakit ini? Apa aku akan sanggup? Aku bangkit dibantu Hesti dan Elisa. Mereka mengajakku pergi dari rumah sakit. Mereka pasti tidak tega d
Permintaan Abah benar-benar membuat emosiku tersulut. Seenaknya saja dia meminta aku menikahi Maira saat aku sudah mempunyai Zainab. "Saya gak bisa, Bah. Saya sudah menikah dan sekarang istri saya sedang hamil. Tolong ikhlaskan takdir dari Allah ini, Bah!"Abah kembali mendaratkan tamparan padaku. Matanya berkilat penuh amarah. Namun, aku memang tidak bisa menikahi Maira. Kubiarkan Abah memuaskan amarahnya pada tubuhku tanpa perlawanan. Aku juga merasa bertanggung jawab pada keadaan Maira saat ini. Aku memang sudah menyakiti hatinya. Hanya saja, cinta baru yang dihadirkan Allah untukku saat ini bisa membuatku berubah lebih baik.Zainab, perempuan yang bahkan belum pernah kulihat wajahnya harus kuucapkan namanya dalam sebuah akad yang sakral. Itulah jodoh terbaik yang diberikan Allah untukku. Tanpa adanya zina meskipun hanya sekadar memandang atau bergandengan tangan. "Cukup, Pak! Bapak bisa memaki dan menghujat anak saya, tapi Bapak tidak bisa menyalahkan takd
Aku terus berjaga menunggu Zainab. Meskipun kantuk sudah menguasai, aku tetap tidak bisa memejamkan mata. Namun, aku tidak bisa melakukan salat malam jika belum tidur. Aku pun berusaha untuk tidur di kursi samping ranjang Zainab sambil menggenggam tangannya. Menyetel alarm sekitar pukul dua dini hari. Hanya dengan bermunajat, hati ini bisa lebih tenang. Menyerahkan semua penjagaan dan keselamatan Zainab serta calon anak kami hanya pada Allah. Karena sesungguhnya, aku hanya manusia biasa yang tidak luput dari alpa. Alhamdulilah, aku mampu tertidur sejenak saat sadar alarm ponsel berdering cukup keras. Perlahan mengangkat kepala yang bersandar pada bibir kasur dengan posisi tangan bertaut dengan tangan Zainab. Mengerjap beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran. "Mas Idan kenapa di sini?"Aku terkesiap. Mata jelita istri kecilku sudah terbuka. "Kamu sudah sadar, Za!" ucapku antusias. Kuciumi punggung tangan kanannya, lalu berpindah ke wajahnya. Kurasakan
PoV ZainabAku sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri oleh Allah. Pergi tanpa izin suami memang bukanlah hal yang dibenarkan. Apalagi, marah hanya karena salah paham dan tidak mau meminta penjelasan. Setelah dua pekan dirawat di rumah sakit, aku diizinkan pulang. Cairan dalam paru-paru pun sudah tiga kali dikeluarkan dan itu sangat menyiksa. Untungnya, aku masih bisa menghirup oksigen meskipun harus membayar. Sangat terasa jika kesehatan itu memang mahal harganya. Hanya saja, orang sehat seringkali lupa jika nikmat sehat itu hal yang paling berharga. "Kalau capek, bilang. Perjalanan Cirebon ke Jakarta sekitar tiga sampai empat jam."Perhatian Pak Dosen Pelit sangat besar untukku. Dia tidak pernah meninggalkanku lebih dari sepuluh menit. Katanya takut jika depresiku kambuh lagi. Depresi apa coba? Ish, mungkin karena Mas Zaidan saking takutnya aku kenapa-napa. "Iya, Mas. Aku udah sehat, kok. Mas Idan gak usah khawatir
Sesampainya di Jakarta, aku mendapat telepon dari Pak Syamsul. Beliau memintaku untuk datang ke kampus pada jam makan siang. Aku sudah mengira jika hal ini pasti akan terjadi. Meninggalkan tugas selama dua pekan tanpa bisa dihubungi pasti membuat pihak kampus kebingungan mencari dosen penggantiku. Aku memang sengaja mematikan telepon agar tidak ada gangguan saat merawat Zainab di Cirebon. Apalagi, Abah beberapa kali melakukan panggilan meskipun tidak kuangkat. Hal itu menjadi salah hal yang membuatku enggan menyalakan ponsel lagi meskipun ingin. Aku menitipkan Zainab ke rumah Ibu terlebih dahulu karena tidak mungkin meninggalkannya di rumah sendirian. Masih banyak faktor yang membuatku enggan meninggalkannya sendiri. Di ruang rektorat, aku sudah ditunggu oleh Pak Syamsul dan juga tida wakil rektor kampus. Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Lalu, berjalan mendekat di sofa ruang rektorat. "Pak Zaidan tahu bukan dengan peraturan di kampus ini ba
Bisa melihat Zainab tertawa lepas seperti tadi siang membuatku tak peduli lagi dengan masalah Ilham ataupun Angga. Meskipun mereka sama-sama menyukai Zainab tidak akan berpengaruh apa-apa. Zainab sudah menjadi milikku dan saat ini tengah mengandung anakku. Setelah Zainab tidur, aku justru berkutat di depan laptop. Menuangkan ide yang baru saja muncul untuk dituangkan ke dalam tulisan. Banyak hal baru yang kudapatkan setelah menikah dengan Zainab. Menilai karakteristik perempuan berusia si bawah dua puluh tahun itu tidak mudah. Masa-masa itu adalah masa di mana perempuan mencari jati diri dan mengupayakan sebuah cita-cita. Mungkin tidak hanya untuk perempuan, tapi kali ini aku akan membahas tentang perempuan saja. Apalagi, bahan riset sudah di depan mata. Istriku sendiri. Zainab sangat berbeda dibandingkan dengan perempuan lain seusianya. Pada usia delapan belas menjelang sembilan belas, Zainab sudah harus menekan egonya untuk menjadi seorang istri. Dia membiarkan impiannya terbang
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida