PoV Zainab
Aku sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri oleh Allah. Pergi tanpa izin suami memang bukanlah hal yang dibenarkan. Apalagi, marah hanya karena salah paham dan tidak mau meminta penjelasan.Setelah dua pekan dirawat di rumah sakit, aku diizinkan pulang. Cairan dalam paru-paru pun sudah tiga kali dikeluarkan dan itu sangat menyiksa. Untungnya, aku masih bisa menghirup oksigen meskipun harus membayar.Sangat terasa jika kesehatan itu memang mahal harganya. Hanya saja, orang sehat seringkali lupa jika nikmat sehat itu hal yang paling berharga."Kalau capek, bilang. Perjalanan Cirebon ke Jakarta sekitar tiga sampai empat jam."Perhatian Pak Dosen Pelit sangat besar untukku. Dia tidak pernah meninggalkanku lebih dari sepuluh menit. Katanya takut jika depresiku kambuh lagi.Depresi apa coba?Ish, mungkin karena Mas Zaidan saking takutnya aku kenapa-napa."Iya, Mas. Aku udah sehat, kok. Mas Idan gak usah khawatirSesampainya di Jakarta, aku mendapat telepon dari Pak Syamsul. Beliau memintaku untuk datang ke kampus pada jam makan siang. Aku sudah mengira jika hal ini pasti akan terjadi. Meninggalkan tugas selama dua pekan tanpa bisa dihubungi pasti membuat pihak kampus kebingungan mencari dosen penggantiku. Aku memang sengaja mematikan telepon agar tidak ada gangguan saat merawat Zainab di Cirebon. Apalagi, Abah beberapa kali melakukan panggilan meskipun tidak kuangkat. Hal itu menjadi salah hal yang membuatku enggan menyalakan ponsel lagi meskipun ingin. Aku menitipkan Zainab ke rumah Ibu terlebih dahulu karena tidak mungkin meninggalkannya di rumah sendirian. Masih banyak faktor yang membuatku enggan meninggalkannya sendiri. Di ruang rektorat, aku sudah ditunggu oleh Pak Syamsul dan juga tida wakil rektor kampus. Kutarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Lalu, berjalan mendekat di sofa ruang rektorat. "Pak Zaidan tahu bukan dengan peraturan di kampus ini ba
Bisa melihat Zainab tertawa lepas seperti tadi siang membuatku tak peduli lagi dengan masalah Ilham ataupun Angga. Meskipun mereka sama-sama menyukai Zainab tidak akan berpengaruh apa-apa. Zainab sudah menjadi milikku dan saat ini tengah mengandung anakku. Setelah Zainab tidur, aku justru berkutat di depan laptop. Menuangkan ide yang baru saja muncul untuk dituangkan ke dalam tulisan. Banyak hal baru yang kudapatkan setelah menikah dengan Zainab. Menilai karakteristik perempuan berusia si bawah dua puluh tahun itu tidak mudah. Masa-masa itu adalah masa di mana perempuan mencari jati diri dan mengupayakan sebuah cita-cita. Mungkin tidak hanya untuk perempuan, tapi kali ini aku akan membahas tentang perempuan saja. Apalagi, bahan riset sudah di depan mata. Istriku sendiri. Zainab sangat berbeda dibandingkan dengan perempuan lain seusianya. Pada usia delapan belas menjelang sembilan belas, Zainab sudah harus menekan egonya untuk menjadi seorang istri. Dia membiarkan impiannya terbang
PoV Zainab"Kamu gak usah temui tamu Ibu, Za. Langsung masuk kamar saja."Entah apa yang membuat Mas Zaidan menyuruhku untuk tidak menemui tamu Ibu. Aku merasa ada yang aneh dengannya. "Aku disuruh Ibu buat nganterin minum ini, Mas.""Aku gak mau dengar penolakan. Kamu masuk ke kamar sekarang dan gak usah lihat tamu Ibu. Biar Mas yang bawa minumnya ke depan," ucapnya pelan, tapi penuh penekanan. Dadaku memanas mendengar ucapan Mas Zaidan. Apa aku membuat kesalahan? "Masuk ke kamar!" perintahnya lagi. Kuletakkan sendok dengan kasar hingga terdengar bunyi berdenting karena beradu pada bibir gelas. Lalu bergegas meninggalkan dapur menuju lantai dua. Akan tetapi, aku tidak sengaja berpapasan dengan Ibu saat akan menaiki tangga. Beliau pasti melihat wajahku yang mulai basah karena air mata. "Kamu kenapa, Nak?" tanyanya. Aku hanya menggeleng tanpa menjawab pertanyaan Ibu dan meninggalkannya dengan raut wajah penuh tanya. Aku masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam. Mas Zaidan se
Selepas mengganti lampu kamar Ibu, aku pergi ke masjid untuk melaksanakan salat Magrib. Namun, kesempatan menengok Zainab di kamar. Dia sudah selesai mandi dan bersiap untuk melaksanakan salat. Aku benar-benar merasa bersalah karena kejadian tadi siang. Zainab sangat marah denganku hingga dia enggan untuk makan siang dan memilih tidur. Hampir empat jam dia tidur sangat nyenyak. Berulang kali aku ingin membangunkannya, tapi dilarang oleh Ibu. Katanya, mungkin Zainab kelelahan dan menyuruhku membiarkannya tidur. Aku masih saja tersenyum jika mengingat wajah Zainab yang memerah karena melihatku selesai mandi. Dia memang pemalu, bahkan saat menjalankan kewajibannya, Zainab selalu meminta memakai lampu tidur agar tidak terlalu terang.Semoga aksiku tadi bisa meluluhkan hatinya agar tidak lagi mendiamkan suaminya ini. Aku bergegas ke masjid karena sudah terdengar kumandang iqamah. Pun melanjutkan mengikuti pengajian ba'da Magrib dan melaksanakan salat Isya berjemaah sekalian. Sampai di
PoV ZainabAku sebenarnya tidak tega melihat Mas Zaidan harus memanjat pohon malam-malam. Namun, aku juga ingin melihat kesungguhannya untuk membahagiakanku. Bukan hanya dengan uang, tapi dengan niat dan perjuangan. Untung Ibu juga mau membantu. Jadi, suamiku yang maunya serba instan dan gemar belanja online itu mampu memenuhi permintaanku. Entah kenapa aku sangat menginginkan buah matoa sejak pulang dari belanja siang tadi. Melihat pohon dengan banyak buah bergelantungan membuatku menelan saliva. Aku berusaha menahan keinginan itu karena tidak ingin menyusahkan Mas Zaidan. Namun, aku justru memakainya untuk melihat kesungguhannya meminta maaf karena sikapnya yang menurutku kekanak-kanakan. Pagi ini, aku merasakan mual yang tidak mampu ditahan. Selepas salat Subuh, aku buru-buru ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perut. Padahal tidak ada bau wangi apa pun. Mas Zaidan juga sudah tidak pernah memakai parfum, tapi kenapa aku mual sekarang? "Za, kamu kenapa?"Mas Zaidan sudah pulan
Aku merasa kalau akhir-akhir ini sikap Zainab berubah lebih manja dan kekanakan. Dari segi usia, dia memang masih tergolong belia. Masih sangat wajar jika sikapnya sering berubah. Ditambah lagi hormon perempuan hamil yang bisa berubah drastis hanya dalam hitungan detik. Aku harus bisa lebih bersabar lagi saat menghadapinya. Tidak ingin jika dia kembali tertekan dan membuat depresinya kambuh lagi. Aku tahu jika traumanya belum sembuh secara total. Apalagi, ingatannya yang hilang sebagian itu pun belum kembali. "Za, bagaimana kalau kamu berhenti kuliah saja? Kamu fokus sama kehamilanmu."Zainab yang sedang mengupas buah mangga di meja makan menghentikan aktivitasnya. "Maksud Mas bagaimana? Aku masih mau kuliah. Aku ingin mewujudkan keinginan Ayah. Kalau Mas gak mau biayain kuliahku lagi, aku bisa sambil kerja."Zainab salah faham lagi. Cara berpikirnya cenderung pendek beberapa hari terakhir ini. Sikap legowo-nya mulai berkurang. "Bukan seperti itu maksudku, Za. Mas cuma gak mau kam
PoV ZainabEntah apa yang terjadi padaku? Belakangan ini, aku mudah sekali tersulut emosi. Mudah sekali marah dan melampiaskan pada Mas Zaidan. Dia pun pasti kebingungan dengan sikapku, tapi hati ini juga bingung. Dengan Dokter Kartika yang jelas-jelas hanya teman masa kecil Mas Zaidan pun aku bisa jealous. Padahal tidak ada yang istimewa pada obrolan mereka saat bertamu. Namun, aku seakan tidak terima jika Mas Zaidan tertawa lepas dengan perempuan itu. Bahkan, mereka sempat membicarakanku yang malah dituduh sebagai perusak rencana pernikahan Mas Zaidan dan Bu Maira. Mendengar itu, aku kembali merasa jika kehadiranku memang tidak diharapkan dulu. Apalagi jika mengingat Ibu yang sangat tidak menyukaiku di awal pernikahan kami. Dan sekarang ditambah lagi permintaan Mas Zaidan agar aku berhenti kuliah. Seakan tidak ada lagi orang peduli dengan perasaanku. Mereka hanya peduli dengan perasaan masing-masing. Namun, di saat bersamaan, ada tetangga yang mengabarkan jika ada pasangan pengant
Aku sangat yakin jika ada yang disembunyikan oleh Zainab. Dia menangis tergugu dalam doa selepas salat Magrib. Beberapa kali istri kecilku mengucap kalimat yang membuatku berpikir lebih keras. "Allah ... berikan aku kekuatan untuk bisa mencintai Mas Zaidan lagi secara utuh."Kalimat itu masih saja terngiang di telingaku. Apakah cintanya untukku tidak lagi utuh? Apakah ada laki-laki lain yang berhasil mengambil hatinya? Ah, Za ... jangan membuatku resah! Meskipun aku berusaha menanyakan apa yang sebenarnya membuatnya bersedih, Zainab hanya bilang kesepian karena aku yang terlalu sibuk. Aku mencoba percaya karena memang hubungan kami sedikit renggang karena kesibukan masing-masing dengan urusan kampus. Apalagi saat Ibu mengatakan hal yang bahkan aku tidak menyadarinya. Tentang pakaian Zainab yang terlihat kekecilan sekarang. Apa aku memang suami yang kurang peka? Atau Zainab saja yang sudah tidak pernah mau bermanja padaku? Atau memang benar jika ada laki-laki lain di hatinya? Ah,
Aku mulai menikmati kehidupan baru bersama keluarga kecil tercinta. Zainab, Zahira, dan Zaki adalah segalanya tanpa bisa digantikan siapa pun. Sesaat, kami kembali merasakan kesedihan karena Ayah Hasyim kembali memilih untuk pergi ke Sumatra. Alasan utama beliau adalah memberikan kesempatan untuk kami agar lebih dekat. Namun, untungnya Zainab bisa menerima keputusan sang ayah meskipun ada kesedihan dari sorot matanya. Zainab berperan penuh dalam pengasuhan Zahira dan Zaki. Aku selalu mendapatkan pemandangan menyenangkan saat pulang kantor karena tiga orang tercinta sedang belajar dan bermain bersama. Ah, rasanya tidak ada lagi yang aku inginkan selain melihat senyum indah ketiganya. Ini sudah sangat sempurna di saat setiap kesalahan yang pernah kulakukan diberikan maaf tanpa ada syarat. "Mas," panggil Zainab pelan. Sekarang, kami sedang berada di kamar. Terasa hangat napasnya di leherku karena dia meletakkan dagu di bahu kiriku. "Kenapa, Sayang? Sedikit lagi selesai, kok, kerjaann
Perjuangan panjangku menyembuhkan tiga orang tercinta yang hampir saja mencapai titik depresi tidaklah mudah. Zainab masih begitu terpukul dengan keguguran untuk kedua kalinya, sedangkan Zahira dan Zaki trauma akibat kekerasan fisik yang diterima mamanya, juga mereka menjadi ketakutan saat melihat darah. Sempat Zahira dan Zaki menangis cukup lama hanya karena melihat nyamuk yang ditepuk dan membekaskan darah di lenganku. Betapa besar efek dari insiden yang diperbuat Dio. Untungnya, Angga datang tepat waktu dan bisa meringkus kakak angkat Zainab itu.Alhamdulillah, di bulan keempat sejak kejadian itu, kondisi psikis orang-orang terkasihku mulai membaik. Zainab pun mulai mau mengurus restoran peninggalan Mama Hervina dan restoran peninggalan Ibu secara bergantian. Sementara urusan Perusahaan Konstruksi Aditama diserahkan kepadaku. Sekarang, kami pun tinggal di rumah yang kubeli dengan keringat sendiri. Mereka bahkan tampak lebih nyaman di rumah yang tidak semewah rumah keluarga Aditam
Suasana riuh di rumah mewah Keluarga Aditama menemani hariku. Rumah dengan halaman seluas lapangan sepak bola ini dipasang tenda agar mampu menampung sekitar lima ratusan anak panti asuhan beserta pengurusnya. Acara yang diadakan sebenarnya sangat sederhana. Hanya berbuka puasa bersama yang akan diisi dengan dongeng anak, juga ceramah singkat dari seorang ustaz. Namun, persiapan harus sebaik mungkin agar tidak mengecewakan. Ayah sengaja kuminta untuk membawa Zahira dan Zaki ke rumahku agar mereka tidak terganggu dengan keramaian persiapan di rumah. Sebenarnya, aku juga menyuruh Zainab ikut, tapi perempuan itu memang dasarnya keras kepala hingga menolak perintah suami sendiri. Katanya ingin menemaniku, padahal dia masih perlu banyak istirahat. Meskipun kuturuti permintaannya, tidak kuizinkan dia keluar dari kamar. Aku melihat Zainab sedang duduk di kasur dengan laptop di pangkuannya. Saat kuhampiri, dia sedang membuka e-mail dan terlihat nama Dio menjadi si pengirim pesan. Aku duduk
Hanya semalam Zainab dirawat karena kondisinya sudah membaik. Di rumah, dia disambut haru dua bocah manis yang langsung berlari menghambur begitu membuka pintu. Zahira dan Zaki begitu mencemaskan keadaan mamanya karena keduanya dilarang untuk menyusul ke rumah sakit sebelumnya. Kamarku dan Zainab pun kembali dipindah ke lantai bawah karena untuk menghindari risiko jika perempuan hamil itu harus naik-turun tangga. "Mama, Kakak sama Adek tadi bantuin Mbak Suci sama Mbak Lita beresin kamar Mama. pasti Mama suka." Zahira begitu girang bercerita. "Iya? Wah, pasti jadi bagus kamar mama," sahut Zainab antusias. "Ayuk, Ma! Lihat kamar Mama!" Kini, Zaki yang lebih bersemangat sambil menarik tangan Zainab. Aku memapah istri cantikku perlahan mengikuti Zahira dan Zaki yang sudah berlari terlebih dahulu menuju kamar Zainab. Semuanya terlihat bahagia. "Bagus, kan, Ma, Pa?" tanya Zahira. Dia sudah duduk di tepi tempat tidur ekstra besar yang ada di tengah-tengah kamar. "Bagus sekali, Sayang.
Zainab sedang berkutat di dapur bersama Suci untuk menyiapkan makanan berbuka puasa. Dia sudah tampak lebih sehat sekarang dan mulai bisa beraktivitas normal. "Mbak Zainab istirahat saja, biar saya yang lanjutkan memasak. Sudah hampir selesai, kok. Saya nggak tega lihat Mbak terlalu lama berdiri. Sudah lebih dari satu jam, loh." Suci berucap saat melihat Zainab mulai memijit-mijit pinggang. "Iya, Mbak Suci, pinggang sama perut tiba-tiba nggak enak banget rasanya. Aku tinggal, ya," pamit Zainab dan dijawab dengan anggukan oleh Suci. Zaidan yang baru saja masuk ke rumah, melihat sang istri yang duduk sendirian di sofa ruang tengah. Keningnya mengerut cukup dalam seraya mendekat kepada Zainab yang sedang mengelus perut. "Kenapa, Sayang? Sakit? Hei, wajahmu juga agak pucat." Zaidan mengangkat dagu Zainab, lalu menatap dengan seksama. Zainab menggeleng seraya berkata, "Enggak apa-apa, Mas. Cuma rasanya mual, tapi nggak bisa dikeluarin.""Jangan bilang kalau kamu puasa lagi hari ini,"
Di kehamilan yang memasuki bulan keempat ini, Zainab tampak mulai berisi. Memang kebahagiaan berpengaruh besar pada fisik seseorang dan itu sudah terbukti. Sepasang suami-istri itu sudah berdamai dengan keadaan dan saling memaafkan hingga tidak ada lagi beban di hati. Sore ini, Zainab akan memeriksakan kandungannya untuk kali pertama setelah kedatangan Zaidan. Zahira dan Zaki pun turut serta karena mereka begitu antusias dengan kehadiran sang calon adik. Rasa penasaran juga begitu besar di benak dua bocah itu tentang bagaimana cara adik mereka bisa ada dalam perut sang mama. Zahira dan Zaki begitu girangnya melihat layar USG empat dimensi di samping Zainab berbaring. Bahkan, suara detak jantung adik mereka yang terdengar begitu cepat membuat keduanya terkagum-kagum. "Itu, Dedek deg-degan, ya, Bu Dokter?" tanya Zahira dan ditanggapi dengan lembut oleh sang dokter yang masih memutar probe di perut Zainab. "Iya, Sayang. Itu, suara detak jantung adiknya Kakak Cantik." Dokter itu mengu
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan tumben sekali aku tidak mendapati satu pun rumah makan atau restoran masakan Padang yang masih buka. Sementara Zainab sudah tampak gelisah. Sepertinya, dia sedang mengidam dan kecewa karena keinginannya belum terpenuhi. "Tadi sebelum aku mau ikut, Mas mau pergi ke mana?" tanya Zainab tiba-tiba. "Enggak ke mana-mana, cuma jalan kaki aja di sekitar rumah," jawabku sambil tetap fokus ke depan. "Kalau begitu, kita pulang saja sekarang." Zainab berkata pelan. Aku menoleh sekilas, tapi Zainab sudah membuang muka ke kiri. Aku tidak tega kalau seperti ini. Perempuan hamil yang tidak kesampaian keinginannya saat mengidam sepertinya sangat tersiksa meskipun mitos tentang anak yang ileran itu sudah banyak terbantahkan. "Katanya pengen makan nasi Padang? Ini, Mas masih cari, Sayang." Aku mencoba untuk tetap berkata dengan tenang. "Udah satu jam kita muter-muter aja, Mas. Udah pada tutup. Aku juga udah capek, mau tidur. Pinggang juga pegel kalau
Memaafkan memang bukan hal mudah, tapi itu bisa diusahakan sejalan dengan hati yang ikhlas. Aku tahu jika kemarahannya padaku masih jauh lebih kecil daripada cintanya. Hingga pastinya, perempuan di hadapan ini akan memberikan kehangatan lagi secepatnya. Begitu banyak yang kurindukan darinya. Tawanya dengan lesung pipit yang manis, mata indahnya yang sering berkedip lucu, bibirnya yang mengerucut jika marah, bahkan sikap kekanak-kanakan dan manjanya sangat ingin kulihat lagi sekarang. Akan tetapi, baru saja aku sudah melihat salah satu dari itu. Begitu antusiasnya Zainab memakan manisan buah yang kubawa hingga habis dan dia mengucapkan terima kasih dengan senyuman berlesung pipitnya. Setelah diletakkannya mangkuk ke nakas, aku langsung memeluknya. Menghidu aroma tubuhnya dengan mata terpejam bisa membuat hati ini tenang. Sambil mengusap lembut kepalanya, aku berbisik, "Terima kasih, Sayang. Dengan melihat kamu makan selahap itu, mas sangat bahagia."Alhamdulillah, Zainab sudah tidak
Zainab terus melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua. Setibanya di rumah, dia langsung meninggalkan Zaidan yang sudah dihadang putra-putri mereka. Zahira dan Zaki menghambur kenpelukan sang papa begitu laki-laki itu menapakkan kaki di rumah megah peninggalan Herman Aditama. Meskipun Zaidan menanggapi dan memeluk putra-putrinya, tapi pandangannya mengikuti sosok Zaianab. Masih tidak ada kata yang perempuan itu ucapkan untuk menjawab pertanyaan dari sang suami. "Papa dari mana saja? Kenapa kerjanya lama dan jauh? Kakak sama Adek kangen." Zahira sudah cemberut sambil berucap manja. Zaidan pun bingung ingin menjawab bagaimana. "Iya, Sayang. Maafkan papa, ya. Papa kerjanya kejauhan, ya. Mulai sekarang, papa kerjanya di dekat sini lagi saja, ya. Biar bisa selalu sama-sama dengan Zahira dan Adek Zaki."Dua bocah berusia lima tahun dan empat tahun itu tampak girang sambil melompat-lompat. Kemudian, mencium pipi Zaidan bersamaan. "Kakak sama Adek sudah mandi belum? Bau asem!" Zaida