"Tuan Ghazi? Apa yang Tuan lakukan di sini? Mm-maksud saya, kenapa Tuan bisa ada di sini?" Gibran bertanya dengan gugup. Tentu saja ia takut Ghazi mendengar apa yang ia ocehkan."Aku masih bernapas, Gibran. Jadi aku masih bisa datang ke sini," kata Ghazi datar.Menenangkan diri lebih dulu, Gibran lalu beranjak dari kursi dan mendekati Ghazi. "Tuan sama siapa ke sini?"Ghazi pun menyebutkan nama pelayan yang menemaninya. "Apa semua pekerjaanmu sudah beres?" tanya Ghazi selanjutnya."Sudah, Tuan.""Temani aku jalan-jalan di taman," kata Ghazi. Pikirnya lebih baik mereka mengobrol di tempat terbuka supaya tidak terlalu jenuh. Ia ingin mengorek keterangan dari Gibran tentang siapa wanita yang tengah diincarnya itu dan mengapa bisa membuat Gibran jadi berubah.Tanpa menunggu diperintah dua kali, Gibran segera mendorong kursi roda keluar ruangan. Ia pun menyuruh pelayan pulang saja bersama supir dengan alasan nanti ia yang akan mengantar Ghazi pulang.Gibran membawa Ghazi ke taman di pinggi
Gibran menunggu di depan IGD dengan wajah gusar. Ia tiba di rumah sakit setelah menempuh satu jam perjalanan dari taman di pinggiran kota.Kembali terbayang saat Alvandra menelepon dan menanyakan kakeknya. Saat itu Gibran mengatakan jika Ghazi kecelakaan, jatuh di taman saat melewati sebuah turunan sempit.Alvandra terus mencecarnya dengan banyak pertanyaan. Kenapa membawa kakeknya ke sana? Apa yang sedang ia lakukan sehingga kakeknya bisa jatuh? Alvandra bisa tahu Ghazi bersama Gibran sebab pelayan yang khusus merawat Ghazi memberi laporan pada Alvandra."Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Kakek, kamu harus tanggung jawab. Aku gak peduli walaupun kamu sudah sangat lama bekerja dengan Kakek karena kamu sudah teledor saat menjaganya," kata Alvandra seakan mengancam di akhir panggilan."Aku harus cepat-cepat mendapatkan tanda tangan kakek tua itu. Tapi, bagaimana? Ah, sial! Kenapa tadi aku tiba-tiba mau buat dia celaka?" Gibran terus saja meracau, merutuki kebodohannya sendiri.Seringa
Mengetahui kakeknya kembali mengalami musibah, Alvandra memutuskan pulang secepatnya. Segera ia mencari jadwal penerbangan tercepat ke Indonesia. Bahkan kini ia semakin cemas ketika mendapat kabar kalau kakeknya koma. "Apa yang sudah kau lakukan sebenarnya, Gibran?" ujar Alvandra geram setelah menutup panggilan dengan sang asisten.Ketika melakukan inspeksi ke perusahaannya, Alvandra sempat diberitahu seseorang supaya jangan terlalu lengah. Namun orang itu tak menjelaskan secara rinci lengah terhadap apa juga dari siapa.Memikirkan perkataan orang itu membuat Alvandra menghubungi Jaka dan memintanya untuk kembali menyelidiki kasus kecelakaan kakeknya. Rekaman CCTV harus benar-benar diteliti, jangan hanya dilihat sekilas.Keesokan harinya Alvandra dan Aluna tiba di Indonesia. Sebelum ke rumah sakit, Alvandra lebih dulu mengantar Aluna ke rumah orang tuanya. Alvandra khawatir jika Aluna tinggal di rumahnya karena ia yakin pasti akan jarang di rumah seperti saat kakeknya kecelakaan dulu
Ghazi kini sudah dipindahkan ke ruangan VIP atas persetujuan dokter. Alvandra pun memperketat keamanan kakeknya dengan menyewa empat bodyguard yang akan berjaga secara bergantian.Alvandra tak membolehkan siapapun termasuk Gibran masuk ke ruangan Ghazi tanpa izin darinya, kecuali perawat dan dokter yang memang bertugas mengecek kondisi sang kakek.Saat menemui Doni, Alvandra sempat meminta supaya kakeknya dipindah ke ruang rawat saja. Waktu itu Doni tidak mengizinkan dengan alasan kondisi Ghazi masih belum stabil. Padahal yang sebenarnya Doni harus mengkonfirmasi Ghazi dulu.Mengetahui dirinya tak mendapat akses bebas keluar masuk ruang rawat Ghazi, amarah Gibran semakin membumbung tinggi. Menginjak pedal gas dalam-dalam, ia memacu kencang kendaraannya di jalanan yang sedikit lengang menuju taman di dekat gedung kantornya.Di taman itu Gibran berteriak sepuasnya sambil memaki dan mengumpat Alvandra. Semua kata-kata kasar meluncur bebas dari mulut berbisanya."Berisik!" teriak seorang
Sudah satu minggu ini Alvandra memimpin tiga perusahaannya dari rumah sakit. Untuk jabatannya di perusahaan Abrisam, sudah ia serahkan kembali pada sang ayah mertua sebab ia tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan pekerjaan di perusahaan konstruksi tersebut.Ketika Alvandra sibuk dengan pekerjaannya, Ghazi sering membuka mata dan melihat ketekunan cucunya dalam bekerja. Ada rasa kasihan dalam hati Ghazi sehingga ia memutuskan akan menyudahi sandiwaranya beberapa saat lagi."Permisi, Tuan, saya mau membersihkan ruangannya dulu."Seorang petugas cleaning servis bernama Amin memasuki ruang inap Ghazi dengan membawa bermacam alat kebersihan. Untuk bagian ini, Alvandra pun sudah memberikan izin sebelumnya."Ah, iya, silahkan, Pak," kata Alvandra kemudian meneruskan kembali pekerjaannya. Sementara petugas tersebut mulai sibuk dengan semua kegiatannya.Saat mulai mendekati ranjang di mana Ghazi terbaring, Amin terus saja mencuri pandang ke arah Alvandra. Tingkah lakunya sangat mencurigaka
Ghazi sudah diperbolehkan pulang. Alvandra lekas mengurus semua administrasi supaya kakeknya bisa cepat dibawa pulang. Perutnya sampai terasa mual karena sering sekali berurusan dengan rumah sakit.Lagi-lagi Gibran tak diberi kabar oleh Alvandra. Entah kenapa sejak kejadian di bandara waktu itu, Alvandra jadi hilang respect terhadap Gibran. Tambah lagi kakeknya celaka saat bersama sang asisten.Pikir Alvandra, tak mungkin kakeknya bisa jatuh tiba-tiba kalau tak ada penyebabnya. Ia pun merasa belum waktunya bertanya pada sang kakek sebab beliau baru pulih pasca koma.Alvandra sempat bertanya pada Gibran penyebab kakeknya jatuh. Jawaban yang ia dapat, kursi roda Ghazi selip di antara paving blok sehingga terjungkal ke bawah. Yang jadi pertanyaan utama bagi Alvandra adalah, Gibran ada di mana saat kakeknya jatuh.Aluna sudah ada di rumah ketika Alvandra datang membawa kakeknya pulang. Ia pulang dengan diantar Camilla.Ghazi masih tutup mulut pada cucunya tentang rencana busuk Gibran. Sej
Aluna hanya bisa menangis selama dalam penyanderaan Gibran. Bayang Alvandra jatuh tersungkur sambil memuntahkan darah semakin menambah sesak dadanya. Ia terus mengelus perut bulatnya berusaha memberi ketenangan pada sang calon anak yang pasti ikut merasakan kesedihan ibunya.Ia tak menyangka, orang yang selama ini sudah dianggap saudara ternyata pengkhianat sesungguhnya. Pantas saja Aluna merasakan ada sesuatu yang beda pada Gibran akhir-akhir ini."Om, tolong lepasin aku!" pinta Aluna mengiba dengan mata basahnya. Ia mengatupkan dua tangan di depan dada berharap Gibran mau mengabulkan permintaannya."Maaf, Nona. Saya tidak bisa. Saya sudah terlanjur mencintai Nona," tolak Gibran tanpa mau menatap wajah Aluna. Ia takut pertahanannya roboh karena melihat wajah sendu itu.Rahang Aluna mengetat dengan dada naik turun. Sepertinya amarah mulai membakar diri wanita itu. "Tapi gue nggak cinta elo!" teriak Aluna. "Jangan lo paksain perasaan lo itu sama gue! Mending gue mati kalo harus sama el
Tubuh Aluna bergulingan di jalan setelah menjatuhkan diri dari mobil yang sedang melaju. Tangan yang terikat berusaha melindungi perutnya dari guncangan yang pastinya sangat kencang. Tak lama pandangannya menggelap, tak sadarkan diri."Hei! Itu ada orang jatoh dari mobil. Cepet tolongin!" teriak seorang pemuda yang sedang nongkrong di sebuah warung. Ia berlari ke arah Aluna diikuti beberapa temannya."Wah, lagi hamil, Cuy! Cepet bawa ke klinik!" perintah pemuda bertopi."Gue gak ada duit," timpal pemuda yang pertama melihat Aluna."Duit mulu yang lo pikirin! Itu urusan belakangan. Yang penting nyawa dulu!" sanggah pemuda bertopi itu lalu berjongkok bermaksud mengangkat tubuh Aluna yang tak sadarkan diri."Bawa pake apa, Bro? Masa motor, sih? Gila lo!" Temannya yang lain berdiri di belakang pemuda bertopi."Ya, lo berentiin angkot lah! Gitu aja nanya!" sentak pemuda bertopi.Mematuhi perintah temannya, dua pemuda berdiri di pinggir jalan mencari angkot yang melintasi daerah tersebut.
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma