Alvandra juga Aluna akhirnya pulang juga setelah dua malam menginap di hotel. Sebagai pasangan pengantin baru, tentu saja mereka tak ingin melewatkan kesempatan untuk terus berduaan sepanjang hari."Eh, Pengantin baru, pulang juga akhirnya. Mommy pikir masih pengen unboxing di hotel," seru Camilla menyambut kedatangan anak dan menantu dengan candaan.Aluna dan Alvandra duduk di sofa diikuti Camilla yang duduk di depan mereka."Tadinya, sih, kita pengen langsung keliling dunia. Nyobain unboxing di semua negara, tapi tiba-tiba Luna inget kalo di rumah ini juga belum pernah. Jadi, ya, kita pulang ke sini," timpal Aluna membalas perkataan ibunya."Gimana rasanya, Lun?" Camilla bertanya dengan antusias. Sorot ingin tahu terpancar jelas dari matanya."Gurih, Mom." Singkat Aluna tertawa geli sambil terus bergelayut di lengan Alvandra."Pasti ketagihan, ya?" tanya Camilla gemas.Aluna mengangguk cepat dan tersenyum malu."Alvan mainnya kasar gak?" Kembali Camilla bertanya. Tak ia lihat bagaim
Alvandra benar-benar tak menyangka akan kabar yang baru saja ia terima. Antara percaya juga tidak, sebab hal itu berlangsung sudah sangat lama.Namun, keraguannya terbantahkan saat ia mencocokkan nama perusahaan yang dipimpin Abbas juga nama perusahaan ayahnya. Sama persis."Anda mengenalnya, Tuan?" tanya Gibran penasaran.Alvandra yang sedang membaca berkas-berkas yang ditunjukkan Fahmi sontak mengangkat wajahnya kemudian mengangguk pasti."Dia mertuanya Om Danu," jawab Alvandra."Benarkah?" Gibran menatap tak percaya."Iya." Lagi-lagi Alvandra mengangguk."Apa menurut Anda, Om Danu tau tentang hal ini?"Penasaran Gibran pun menanyakan hal yang sekiranya sensitif bagi Alvandra mengingat Danu adalah adik dari ibunya."Entahlah, nanti aku coba tanyakan tapi kita jangan dulu bilang tentang kabar yang satu ini," sahut Alvandra.Selanjutnya Alvandra menanyakan banyak hal pada Fahmi. Dan karena mereka masih ada pekerjaan yang harus dilakukan, pembicaraan itu terpaksa ditunda dulu.Alvandra
Ghazi terlihat menggeram setelah membaca lembaran kertas yang ditunjukan Alvandra juga mendengar cerita sang cucunya itu. Dan ia semakin terkejut saat tahu siapa Abbas bagi Danu.Saat ini mereka sedang berada di ruang kerja di rumah Alvandra bersama Aluna. Sepulang dari kantor, pasangan suami istri itu sudah sepakat untuk langsung pulang ke rumah Alvandra.Ghazi tak menyangka, perusahaan yang ia pikir milik orang lain ternyata masihlah milik mendiang putranya. Terus terang saja, ia baru tahu akan hal ini.Dulu, ia memang sempat bertanya-tanya akan nasib perusahaan milik Zayn setelah anaknya meninggal. Namun, saat itu ia mendengar kabar jika Zayn memiliki banyak hutang dan perusahaannya dijual untuk membayar hutang. Ghazi pun tak lagi mencari tahu sebab waktu itu ia fokus akan pencariannya terhadap cucu dan menantu."Entah apa motif dibalik perebutan perusahaan ini?" gumam Ghazi bertanya-tanya."Katanya mendiang ayah meninggal saat melakukan perjalanan bisnis, ya, Kek?" tanya Alvandra
Alvandra tengah berpikir keras apa yang harus dilakukan untuk merebut kembali perusahaan milik mendiang ayahnya dari tangan Abbas. Ia pun bingung ke mana harus mencari para saksi yang bisa membantu dirinya mengambil kembali haknya.Kejadian itu telah berlangsung puluhan tahun yang lalu. Sudah pasti orang-orang yang mengetahui kejadian itu tak lagi ada di perusahaan tersebut.Ditambah lagi kini ada kecurigaan jika kecelakaan yang menimpa Zayn bukanlah murni kecelakaan tapi ada unsur kesengajaan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab."Siapa yang harus aku mintai tolong untuk membantuku," gumam alvandra dalam kesendiriannya.Hingga akhirnya terlintas satu nama dalam benaknya. "Jaka. Iya, sepertinya dia bisa membantuku."Alvandra lekas mengambil ponselnya guna menghubungi Jaka dan saat ia akan mencari nama Jaka di daftar kontak, pintu ruangannya ada yang mengetuk."Masuk!" perintah Alvandra.Pintu pun terbuka dan nampaklah seorang laki-laki jangkung yang merupakan sekretaris Alvan
Aluna menyimpan ponsel setelah mendapat telepon dari Alvandra jika sang suami ada rapat di luar dengan klien dan kemungkinan pulang malam. Nanti Alvandra akan mengirim supir untuk menjemput Aluna pulang.Ia pun kembali meneruskan pekerjaannya tapi dengan pikiran yang berkelana. Hatinya masih menyimpan rasa kesal setiap ingat kejadian saat makan siang tadi.Saat itu, dengan wajah berbinar ia menyusul Alvandra masuk ke ruangan kemudian mengunci pintunya. Sementara sang suami sudah duduk di sofa dan mengeluarkan semua isi paper bag."Ayo, Mas, kita langsung aja!" ajak Aluna sangat antusias."Langsung apa, Sayang? Makan? Ayolah, aku udah lapar," sahut Alvandra mengambil satu kotak makan kemudian mulai memakan makanan itu dengan nikmatnya.Aluna menaikkan sebelah alis. Hatinya bertanya-tanya, kenapa suaminya seolah lupa dengan apa yang dikatakannya tadi."Kamu enggak makan?" tanya Alvandra melihat Aluna hanya diam saja."Kamu enggak inget tadi ngomong apa, Mas?" Aluna balik bertanya tanpa
"Dua hari kemarin kalian nginep di rumah Abi?" tanya Ghazi pada Alvandra juga Aluna di Minggu sore.Pasangan suami istri itu baru saja tiba di rumah Alvandra setelah dua malam tak pulang ke rumah. Saking enaknya berbulan madu, sampai lupa mengabari sang kakek.Kedua orang yang ditanya itu hanya saling tatap dan tersenyum simpul. Merasa malu jika harus mengatakan yang sebenarnya tapi jika tidak, pasti sang kakek akan terus bertanya."Kita nginep di hotel, Kek," jawab Alvandra akhirnya."Oh ...." Ghazi mengangguk seolah paham.Alvandra pun menceritakan kesanggupan Fahmi untuk menjadi saksi seandainya semua bukti sudah terkumpul. Ia pun sudah menerima email daftar nama-nama orang yang setia pada Zayn."Sepertinya Alvan harus pake jasa Jaka lagi buat cari orang-orang ini, Kek," ujar Alvandra."Iya, kamu minta bantuan dia saja," sahut Ghazi menyetujui usulan cucunya."Om Danu mana, Kek?" Alvandra melhat sekeliling ruangan tapi tak melihat sosok adik kandung ibunya."Danu lagi cari tempat b
"Yang, kenapa itu perempuan kamu terima di kantormu?" tanya Alvandra setelah meletakkan sendok garpu di atas piring kosong.Alvandra tak sabar ingin tahu alasan Aluna menerima Hanum. Sepanjang makan tadi, ia menahan rasa penasarannya karena tak ingin mengganggu acara makan mereka.Aluna menatap heran suaminya. "Mana aku tau. Itu 'kan urusan HRD. Aku mana ada waktu ngurusin yang begituan."Alvandra berdecak. Memang benar juga jawaban Aluna itu. Sebagai direktur, pekerjaannya sudah menyita banyak waktu. Tak mungkin ia mengurusi hal yang memang sudah ada bagiannya.Namun, yang membuatnya kesal adalah kenapa Aluna malah menawari Hanum untuk melamar ke perusahaannya. Hal itu justru seakan memberi jalan pada Hanum yang terlihat ingin menarik hati Alvandra lagi."Memangnya kenapa, Mas?" Aluna melihat suaminya seperti sedang kesal."Aku kesel kenapa waktu itu kamu nyuruh dia ngelamar ke perusahaan. Jadinya 'kan dia ngerasa dikasih jalan.""Kamu enggak tau aja, Yang. Dia itu ada maksud tertent
Lagi-lagi rumah tangga Alvandra diuji oleh pihak ketiga. Kali ini oleh orang dari masa lalu Alvandra. Dan Alvandra sudah dibuat geram oleh kelakuan Hanum.Aluna masih marah. Tentu saja, siapa yang tak akan marah melihat suami tengah berduaan dengan wanita lain. Posisi mereka berdua memang layak dicurigai jika tak tahu awal ceritanya. Apalagi wanita itu adalah mantan istri sang suami. Pastilah ada setitik kenangan indah antara mereka berdua, pikir Aluna.Tanpa mau mendengarkan penjelasan Alvandra, Aluna berontak dari pelukan suami dan langsung meluncur ke lantai bawah. Sesak, sudah pasti. Marah, apalagi. Dengan berderaian air mata, Aluna terus berlari menuju ruangannya dan menguncinya dari dalam.Alvandra ikut menyusul ke bawah, bukan untuk menghampiri sang istri tapi ke tempat lain lagi. Ia berpikir Aluna masih emosi jadi walaupun ia ngomong sampai berbusa pasti tak akan mengena ke hatinya. Ia akan menunggu istrinya tenang dulu.Begitu sampai di lantai yang dituju, tanpa buang waktu d
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma