Rasa kecewa pada ayahnya membuat Aluna mengurung diri di kamar setelah Alvandra benar-benar pergi dari rumahnya. Ia pikir setelah kejadian Bram maka pendirian Abrisam akan berubah, ternyata tidak.Kini rasa malu menyapa Aluna seandainya Alvandra menceritakan kejadian tadi pada kakeknya. Ibarat kata, ayahnya bagaikan orang tak tahu terima kasih, sudahlah ditolong namun tak mau membalas kebaikannya. Sedangkan kedua insan tersebut sudah jelas jelas saling mencintai. Tapi jika dipikir lagi, ada yang aneh menurut Aluna. Kenapa Alvandra tiba-tiba datang seorang diri? Bukannya dia bilang mau datang sama kakeknya? Itu pun nanti sore.Saat sedang bertanya-tanya itu, ponsel Aluna mengeluarkan suara kencang, menandakan ada panggilan masuk."Mas Alvan," gumam Aluna melihat nama pemangggilnya.[ Halo, Mas! ] sapa Aluna begitu panggilan sudah terhubung.[ Kamu di mana? ][ Di kamar. ] Singkatnya.[ Maaf tadi aku gak ngasih tau kamu dulu. Aku cuma pengen tau aja reaksi Pak Abi kalo aku datang ngela
Di sebuah rumah yang terbilang mewah.Seorang pria terlihat duduk termenung di teras samping rumah. Pandangannya lurus hanya pada satu titik namun dengan pikiran bercabang."Jadi, Alvan itu cucu dari Ghazi Malik? Tapi kenapa baru sekarang ketahuan? Apa ada sesuatu antara Bang Zayn dengan keluarganya? Pantas saja selama menikah sama Mbak Mira gak pernah keliatan ada saudaranya Abang datang berkunjung."Pria bernama Danu itu terus bermonolog sembari berusaha mengaitkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya.Semenjak melihat berita kematian Almira, Danu berusaha untuk mencari Alvandra namun tak pernah berhasil menemukannya. Ia berniat meminta maaf pada keponakannya itu atas apa yang sudah dilakukannya dulu. Rasa sesal kerap menghantui tiap ia memejamkan mata."Ngelamun terus! Pasti ngelamunin keponakannya yang ternyata cucu orang kaya. Iya 'kan, Mas?"Hala yang baru pulang dari berbelanja ke mall kesal mendapati suaminya hanya duduk diam tak menyambut kedatangannya."Memangnya kenapa?
Alvandra yang sedang mengurus proyek barunya bersama Aluna, mendapat telepon dari Jaka jika orang yang dia cari sudah tertangkap."Aku berangkat dulu, ya," pamit Alvandra pada Aluna seraya menyimpan ponsel di saku celana."Ke mana, Mas?" tanya Aluna heran melihat Alvandra yang terburu-buru seolah dikejar waktu."Nanti aku ceritain. Kamu terusin sama Gibran aja kerjaannya," kata Alvandra tanpa banyak kata lagi.Sebelum pergi, Alvandra ke ruangan Gibran dulu, memberitahukan kabar yang baru didapat. Ia meminta Gibran membantu Aluna menyelesaikan pekerjaan mereka sekaligus memintanya memberitahu Ghazi akan kabar tersebut.Alvandra kini berkantor di gedung yang sama dengan Aluna. Semenjak mendapat suntikan dana dari Alvandra, lantai yang tak terpakai di gedung itu tidak disewakan lagi pada yang lain. Sedikit-sedikit Alvandra merekrut karyawan berpengalaman untuk mulai menjalankan usahanya.Di perusahaan Abrisam pun, Alvandra diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai wakil Aluna. Itulah men
Pada akhirnya Alvandra mengajak Danu tinggal bersamanya. Walaupun di masa lalu laki-laki itu tak peduli akan nasib Almira, tetapi sebagai manusia yang punya hati, Alvandra tak akan membiarkan pamannya itu menjadi gelandangan.Menjelang tengah malam, mereka tiba di kediaman Alvandra. Bisa dipastikan semua penghuni rumah sudah terlelap di kamarnya masing-masing. Alvandra pun meminta Handi juga Danu untuk langsung beristirahat saja.Menjelang pagi, terdengar ketukan di pintu kamar Alvandra. Ia yang masih terlelap terpaksa membuka mata. Dengan mata yang masih berat karena baru tidur beberapa jam saja, Alvandra beranjak bangun dan membukakan pintu."Kakek," ucap Alvandra pelan melihat siapa yang berdiri di depan pintu."Maaf ganggu tidur kamu, Van. Kakek cuma mau tau kamu udah pulang atau belum. Kakek khawatir terjadi sesuatu sama kamu," ungkap Ghazi dengan perasaan yang sudah lega melihat keadaan cucunya baik-baik saja."Maaf udah bikin Kakek khawatir. Alvan nyampe tengah malam. Mau bangu
Sebuah pesta pernikahan nampak digelar meriah di sebuah hotel bintang lima. Ballroom di hotel tersebut kini telah disulap menjadi tempat perhelatan yang super mewah. Rangkaian bunga-bunga segar berwarna-warni menghiasi seluruh ruangan.Tamu undangan yang terdiri dari para pengusaha, selebriti tanah air juga kerabat dua mempelai memenuhi ballroom megah tersebut. Mereka dimanjakan dengan hiburan musik dari beberapa artis tanah air yang sengaja diundang oleh tuan rumah. Hidangan yang disajikan pun merupakan hasil karya chef profesional.Senyum tak pernah lepas dari sepasang pengantin yang bersanding di pelaminan. Begitu juga dengan keluarga kedua mempelai. Semua orang yang berada di ruangan itu tampak sangat berbahagia."Capek gak, Non?" tanya Alvandra mengedipkan sebelah mata bermaksud menggoda Aluna yang kini telah sah menjadi istrinya.Beberapa jam sebelumnya, lelaki tampan itu telah mengucapkan ijab kabul di tempat yang sama di hadapan semua keluarga inti. Baik Alvandra juga Aluna se
Aluna terbangun dari tidur lelapnya. Kamar dengan pencahayaan temaram adalah pemandangan yang pertama ia tangkap. Wanita itu menggeliatkan tubuh untuk meregangkan otot yang terasa pegal.Namun, ada yang aneh. Aluna merasakan ada sesuatu yang berat di atas perutnya juga ada hembusan udara hangat di sisi kepalanya.Penasaran, Aluna melirik ke asal udara hangat tersebut. Ia menaikkan sebelah alis saat melihat separuh wajah kini sedang menghadap ke arahnya dengan mata terpejam.Seketika Aluna teringat dengan statusnya yang sudah berubah menjadi istri. Senyuman tersungging dari bibir merahnya dan pipinya terasa memanas kala mengingat apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan sang suami sebelum mereka tidur."Lagi mikir yang tadi malam, ya?"Sebuah suara serak khas bangun tidur tertangkap sangat dekat di gendang telinga Aluna yang sedang membayangkan kejadian semalam sembari senyum-senyum sendiri.Aluna membulatkan mata, lamunannya buyar. Kembali ia melirik ke asal suara. Terlihat Alvand
Alvandra juga Aluna akhirnya pulang juga setelah dua malam menginap di hotel. Sebagai pasangan pengantin baru, tentu saja mereka tak ingin melewatkan kesempatan untuk terus berduaan sepanjang hari."Eh, Pengantin baru, pulang juga akhirnya. Mommy pikir masih pengen unboxing di hotel," seru Camilla menyambut kedatangan anak dan menantu dengan candaan.Aluna dan Alvandra duduk di sofa diikuti Camilla yang duduk di depan mereka."Tadinya, sih, kita pengen langsung keliling dunia. Nyobain unboxing di semua negara, tapi tiba-tiba Luna inget kalo di rumah ini juga belum pernah. Jadi, ya, kita pulang ke sini," timpal Aluna membalas perkataan ibunya."Gimana rasanya, Lun?" Camilla bertanya dengan antusias. Sorot ingin tahu terpancar jelas dari matanya."Gurih, Mom." Singkat Aluna tertawa geli sambil terus bergelayut di lengan Alvandra."Pasti ketagihan, ya?" tanya Camilla gemas.Aluna mengangguk cepat dan tersenyum malu."Alvan mainnya kasar gak?" Kembali Camilla bertanya. Tak ia lihat bagaim
Alvandra benar-benar tak menyangka akan kabar yang baru saja ia terima. Antara percaya juga tidak, sebab hal itu berlangsung sudah sangat lama.Namun, keraguannya terbantahkan saat ia mencocokkan nama perusahaan yang dipimpin Abbas juga nama perusahaan ayahnya. Sama persis."Anda mengenalnya, Tuan?" tanya Gibran penasaran.Alvandra yang sedang membaca berkas-berkas yang ditunjukkan Fahmi sontak mengangkat wajahnya kemudian mengangguk pasti."Dia mertuanya Om Danu," jawab Alvandra."Benarkah?" Gibran menatap tak percaya."Iya." Lagi-lagi Alvandra mengangguk."Apa menurut Anda, Om Danu tau tentang hal ini?"Penasaran Gibran pun menanyakan hal yang sekiranya sensitif bagi Alvandra mengingat Danu adalah adik dari ibunya."Entahlah, nanti aku coba tanyakan tapi kita jangan dulu bilang tentang kabar yang satu ini," sahut Alvandra.Selanjutnya Alvandra menanyakan banyak hal pada Fahmi. Dan karena mereka masih ada pekerjaan yang harus dilakukan, pembicaraan itu terpaksa ditunda dulu.Alvandra
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma