Berulang kali Aluna memukuli dadanya yang terasa sesak. Hatinya berdenyut perih kala membayangkan netra Alvandra yang berkaca-kaca sembari mengutarakan perasaannya. Ternyata lelaki itupun menyimpan perasaan yang sama, tetapi harus ditelan kembali karena sang gadis langsung menutup pintu hatinya.Dihadapan lelaki pujaannya, Aluna berusaha bersikap tegar. Tak sedikit pun ia meneteskan air mata karena semuanya sudah tercurah di malam sebelumnya. Itu kenapa matanya nampak sedikit bengkak.Keputusan untuk jujur kepada Alvandra sudah ia pikirkan jauh-jauh hari, semenjak dirinya berjanji kepada sang Daddy. Namun ia tak tahu jika rasanya akan sesakit ini.Aluna menceritakan alasan kenapa mereka tak bisa bersama. Ia pikir lebih baik sekarang diungkapkan semua, Ia tak ingin Alvandra terus bertanya-tanya. Biarlah sakit sekalian, toh nanti juga sembuh sendiri, pikir Aluna.Seharusnya kedua insan itu bahagia karena cinta mereka saling bersambut tetapi karena perbedaan status sosial, kini hanya kes
"Tolong!" Alvandra berteriak meminta pertolongan.Dalam pangkuannya sang bunda sudah sangat lemah. Darah terus mengalir dari belakang kepalanya.Melihat kedatangan Alvandra, Robby berusaha mencari jalan keluar. Ia berkeliling di dalam rumah Alvandra mencari pintu keluar, tapi ternyata tak ada. Mau kabur lewat jendela, ternyata dipasang teralis besi.Di tengah keputusasaan, ia melihat celah untuk kabur saat Alvandra sedang sibuk dengan ibunya di ambang pintu. Dengan langkah perlahan, ia menyusup di belakang Alvandra melewatinya. Namun baru juga kakinya menginjak teras, ia melihat beberapa warga mendatangi rumah Alvandra.Sontak Robby berlari secepat kilat. Ia melompati pagar tembok yang tingginya hanya sebatas pinggang."Hei, jangan kabur! Cepat tangkap dia!" pekik Damar kepada beberapa warga yang berada di belakangnya sambil menunjuk Robby yang sudah berada di luar pagar rumah Alvandra.Beberapa warga berlari mengejar Robby, sementara sebagian lagi menghampiri Alvandra yang terus mera
Mobil ambulans yang membawa jenazah Almira tiba di kediaman Damar. Tadinya Alvandra bingung mau disemayamkan di mana jasad ibunya tersebut sebab rumahnya masih ditutup polisi. Kalaupun langsung dibawa ke pemakaman, dia belum menghubungi pihak pengelola pemakaman.Beruntung Damar berbaik hati memberikan solusi kepada Alvandra. Bahkan untuk pengurusan di pemakaman pun sudah ada yang mengatasi. Anak dari almarhumah Almira tersebut merasa bernasib baik memiliki tetangga yang begitu peduli terhadap dirinya.Tidak banyak yang datang melayat, hanya para tetangganya karena memang Alvandra hanya memberitahu pihak kantor saja. Danu yang mana adalah adik kandung ibunya pun tak ia kabari sebab melihat sikap pamannya yang semenjak Almira tersandung kasus Sugandi tidak menunjukkan respect sama sekali, membuat Alvandra mengambil kesimpulan jika hubungan kekerabatan mereka sudah putus.Alvandra duduk bersila di dekat jenazah Almira sembari membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Ia berusaha mengalihkan kedukaan
"Mbak Mira," gumam seorang pria dengan netra yang mulai menghangat dan dada yang serasa sesak.Lelaki itu menatap nanar layar televisi yang menayangkan siaran langsung pemakaman seorang wanita yang sangat ia kenal dan kini menjadi viral. Perasaan bersalah mulai melingkupi hati kala membayangkan apa yang telah ia lakukan dulu terhadap saudara kandungnya itu.Ya, dia adalah Danu. Seorang lelaki pengecut yang lebih takut istri daripada Tuhan-nya."Maafin aku, Mbak. Seharusnya waktu itu aku dengerin dulu penjelasan Mbak," sesalnya lirih."Mas! Kamu ngapain, sih, pake nonton berita sampah gini?"Tubuh Danu sedikit terperanjat mendengar teriakan seorang wanita di belakangnya. Lantas ia menoleh kepada wanita yang masih sah sebagai istrinya itu."Memangnya kenapa? Aku cuma mengikuti pemakaman kakakku dari jauh. Apa itu salah?" timpal Danu dengan nada sedikit tinggi.Hala menaikkan sebelah alisnya. Kemasukan setan apa suaminya berani berbicara tinggi seperti itu, pikir Hala."Kamu kesurupan, M
Di sebuah tempat di Timur Tengah."Tuan, Anda harus melihat ini!"Hasan yang baru tiba di mansion megah Ghazi memperlihatkan tablet yang ia bawa kepada majikannya. Layar tablet itu sedang memutar video berita tentang Almira juga Alvandra.Terlihat di sana Alvandra sedang berada di pemakaman, lalu batu nisan yang bertuliskan nama Almira tersorot kamera. Rupanya Hasan baru mendapatkan berita itu beberapa saat yang lalu. Di mana di Indonesia berita itu sudah ramai beberapa hari ke belakang.Ghazi terdiam setelah melihat video itu. Terlalu banyak urusan di perusahaan, membuat dirinya juga Hasan sedikit melupakan tentang Alvandra. Dan sekarang ia terlihat menyesal."Cepat kau pergi ke negara itu. Jangan sampai kita terlambat lagi," perintah Ghazi."Sepertinya lawan anak itu tidak bisa dianggap enteng. Kalau benar dia anak keturunanku, pasti Zayn akan terus menghantui mimpiku," sambungnya."Baik, Tuan. Selepas urusan kantor, saya akan langsung berangkat bersama beberapa anak buah," sambut H
Aluna memacu pelan kendaraan roda empatnya. Ia ingin menghilangkan kejenuhan sebab tak ada yang bisa ia ajak bicara tentang isi hatinya. Berbicara dengan Camilla hanya akan menambah beban pikiran, sebab ibunya pasti akan bersuara sama seperti ayahnya.Mau mendekati teman-teman semasa sekolah dan kuliah, dia merasa tak enak. Semenjak disibukkan dengan pekerjaan dan kehidupan masing-masing, komunikasi dengan mereka seakan terputus.Akhirnya gadis yang sedang patah hati itu hanya menyusuri jalanan kota yang cukup lengang di akhir pekan ini. Hingga tanpa disadari, kendaraan roda empatnya melaju ke arah rumah Alvandra."Eh! Kenapa aku malah ke sini?"Aluna menepuk keningnya kala mengenali jalan yang sedang dilewati. Beberapa meter lagi dia sampai di persimpangan jalan menuju rumah Alvandra."Ternyata kaki dan tanganku pun merindukan lelaki itu sampai mereka menggerakkan sendiri mobil ini kemari," gumamnya seraya terkekeh.Berhubung hampir mendekati rumah Alvandra, Aluna pun berniat untuk
Matahari baru saja menyembunyikan diri sehingga gurat kemerahan masih nampak di ujung barat langit. Di sebuah lorong sempit, terlihat seorang pria bertopi berjalan tergesa sembari menenteng kantong plastik hitam.Tok! Tok!Di depan pintu kayu yang nampak rapuh, ia mengetuk pintu pelan. Khawatir akan terdengar orang lain, ia pun memanggil orang di dalamnya pelan saja."Bos!"Klotak!Terdengar selot kunci tergeser, tak lama pintu terbuka namun hanya sebatas satu jengkal saja. Pria bertopi itu pun masuk dengan memiringkan tubuhnya tanpa membuka lebar pintu.Terlihat seorang pria dengan pakaian lusuh dan rambut gondrong duduk bersila di lantai beralaskan tikar. Di depannya sebuah laptop tengah menyala menampilkan foto seorang lelaki gagah berseragam polisi dengan tulisan 'BURONAN' di bawahnya lalu ada keterangan tambahan akan ada hadiah sejumlah uang bagi yang bisa membawanya hidup-hidup."Bos, ini makanannya," ucap pria bertopi meletakkan bungkusan yang tadi dibawanya."Gimana keadaan di
Di dalam kamar mewah sebuah hotel, terlihat Alvandra terbaring nyenyak di atas ranjang empuk berbalutkan selimut tebal. Di setiap sisi ranjang itu berdiri masing-masing seorang pria dalam keadaan siap siaga. Seakan sedang menjaga harta yang sangat berharga.Sementara di sofa, duduk seorang laki-laki berwajah arab dengan raut gusar sebab pria yang sedang terpejam itu belum juga bangun dari tidurnya. Di mana sekarang waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang."Sepertinya kalian terlalu banyak memakai obat bius itu," ujar laki-laki berwajah arab tersebut dalam bahasa Inggris. Ia tak bisa berbahasa Indonesia."Maaf, Tuan Hasan. Dosis yang kami pakai dosis normal seperti biasanya. Mungkin tubuh dan pikiran anak muda ini memang sedang butuh istirahat banyak," sanggah pria yang ternyata adalah Jaka.Jaka memang sengaja memancing Alvandra agar ikut dengan mereka ke hotel yang sudah dipesan sebelumnya atas perintah Ahmed Hasan. Kuasa hukum Muhammad Ghazi Malik itu sudah berada di Indonesia
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma