Aluna memacu pelan kendaraan roda empatnya. Ia ingin menghilangkan kejenuhan sebab tak ada yang bisa ia ajak bicara tentang isi hatinya. Berbicara dengan Camilla hanya akan menambah beban pikiran, sebab ibunya pasti akan bersuara sama seperti ayahnya.Mau mendekati teman-teman semasa sekolah dan kuliah, dia merasa tak enak. Semenjak disibukkan dengan pekerjaan dan kehidupan masing-masing, komunikasi dengan mereka seakan terputus.Akhirnya gadis yang sedang patah hati itu hanya menyusuri jalanan kota yang cukup lengang di akhir pekan ini. Hingga tanpa disadari, kendaraan roda empatnya melaju ke arah rumah Alvandra."Eh! Kenapa aku malah ke sini?"Aluna menepuk keningnya kala mengenali jalan yang sedang dilewati. Beberapa meter lagi dia sampai di persimpangan jalan menuju rumah Alvandra."Ternyata kaki dan tanganku pun merindukan lelaki itu sampai mereka menggerakkan sendiri mobil ini kemari," gumamnya seraya terkekeh.Berhubung hampir mendekati rumah Alvandra, Aluna pun berniat untuk
Matahari baru saja menyembunyikan diri sehingga gurat kemerahan masih nampak di ujung barat langit. Di sebuah lorong sempit, terlihat seorang pria bertopi berjalan tergesa sembari menenteng kantong plastik hitam.Tok! Tok!Di depan pintu kayu yang nampak rapuh, ia mengetuk pintu pelan. Khawatir akan terdengar orang lain, ia pun memanggil orang di dalamnya pelan saja."Bos!"Klotak!Terdengar selot kunci tergeser, tak lama pintu terbuka namun hanya sebatas satu jengkal saja. Pria bertopi itu pun masuk dengan memiringkan tubuhnya tanpa membuka lebar pintu.Terlihat seorang pria dengan pakaian lusuh dan rambut gondrong duduk bersila di lantai beralaskan tikar. Di depannya sebuah laptop tengah menyala menampilkan foto seorang lelaki gagah berseragam polisi dengan tulisan 'BURONAN' di bawahnya lalu ada keterangan tambahan akan ada hadiah sejumlah uang bagi yang bisa membawanya hidup-hidup."Bos, ini makanannya," ucap pria bertopi meletakkan bungkusan yang tadi dibawanya."Gimana keadaan di
Di dalam kamar mewah sebuah hotel, terlihat Alvandra terbaring nyenyak di atas ranjang empuk berbalutkan selimut tebal. Di setiap sisi ranjang itu berdiri masing-masing seorang pria dalam keadaan siap siaga. Seakan sedang menjaga harta yang sangat berharga.Sementara di sofa, duduk seorang laki-laki berwajah arab dengan raut gusar sebab pria yang sedang terpejam itu belum juga bangun dari tidurnya. Di mana sekarang waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang."Sepertinya kalian terlalu banyak memakai obat bius itu," ujar laki-laki berwajah arab tersebut dalam bahasa Inggris. Ia tak bisa berbahasa Indonesia."Maaf, Tuan Hasan. Dosis yang kami pakai dosis normal seperti biasanya. Mungkin tubuh dan pikiran anak muda ini memang sedang butuh istirahat banyak," sanggah pria yang ternyata adalah Jaka.Jaka memang sengaja memancing Alvandra agar ikut dengan mereka ke hotel yang sudah dipesan sebelumnya atas perintah Ahmed Hasan. Kuasa hukum Muhammad Ghazi Malik itu sudah berada di Indonesia
Bagaimana rasanya menjadi ahli waris tunggal dari sebuah perusahaan raksasa yang bergerak di bidang pertambangan minyak bumi?Mungkin bagi Alvandra itu hanyalah mimpi di siang bolong, mengingat kehidupannya yang sangat memprihatinkan. Mana ada keturunan pengusaha kaya hidup serba kekurangan, pikir dia.Namun ternyata, apa yang tak mungkin itu kini terjadi terhadap dirinya. Ia benar-benar ahli waris dari pengusaha besar bernama Muhammad Ghazi Malik. Dan fakta itu baru Alvandra ketahui ketika ia sudah tiba di kediaman Ghazi Malik.Sebuah kediaman yang tak layak di sebut rumah sebab bangunan itu lebih mirip istana. Namun sayang hanya dihuni oleh seorang pria tua yang kesepian juga puluhan pelayan yang bertugas melayani pemilik rumah dan merawat bangunan tersebut.Terlihat Ghazi menangis tersedu dalam rengkuhan Alvandra. Garis keturunan yang sempat hilang kini ada di hadapannya. Anak dari anaknya yang telah meninggal karena kecelakaan."Kau mirip sekali dengan Zayn," ucap Ghazi setelah me
-Indonesia-"Lun! Luna!"Panggilan di luar kamar membangunkan Aluna dari tidur tak nyenyaknya. Ia melirik jam digital di atas nakas."Jam enam," gumamnya seraya menggeliatkan badan yang terasa kaku. Tak lama ia duduk di ranjang dan terdiam, merasa enggan turun dari ranjang."Luna! Bangun, Nak!" Kembali suara yang Aluna kenal memanggilnya dari balik pintu."Iya, Mom!" Aluna berteriak menyahuti."Ck, gak biasanya Mommy bangunin gue. Sekarang 'kan hari Minggu. Gue masih pengen rebahan, semalam kurang tidur.""Ini gara-gara si Bram cabul. Ngapain juga dia ngelamar gue lagi yang jelas-jelas udah nolak dia minggu kemaren. Males banget harus jadi bini cowok tukang mainin cewek," monolog Aluna menggerutu.Ya, setelah penolakan Aluna sewaktu ia baru pulang dari rumah Alvandra, Bram kembali datang mengutarakan maksudnya. Lagi-lagi Aluna menolaknya dan ia pun harus kembali beradu mulut dengan kedua orang tuanya.Aluna tahu siapa Bram bukan hanya dari gosip belaka. Ia melihat dengan mata kepalanya
Kepergian Alvandra yang tanpa kabar, membuat warna hidup di sekeliling Aluna berubah hitam. Tak ada sedikitpun cahaya yang mampu menyinari ruang gelap di relung hatinya. Sembilan puluh persen nafas hidupnya telah dibawa pergi sang kekasih pujaan hati, sisanya dia harus bernapas dengan susah payah."Aluna, Daddy sudah terima lamaran Bram. Minggu depan dia mau datang sama orang tuanya buat lamaran resmi," ucap Abrisam di suatu sore."Daddy ...! Daddy gak bisa sembarang terima lamaran Bram dong! Luna 'kan udah bilang gak mau sama Bram. Kenapa Daddy ambil keputusan sendiri tanpa mikirin perasaan Luna?"Aluna meradang. Tak habis pikir dengan ayahnya yang bertindak seenaknya tanpa bicara dulu dengan dirinya yang akan menjalani."Karena kamu masih saja mikirin si Alvan kere itu. Bram jauh lebih baik kemana-mana dibandingkan Alvan," jawab Abrisam meninggikan suaranya."Justru Mas Alvan jauh lebih baik daripada si Bram cabul itu. Dia cuma menang di harta tapi kelakuan minus," sanggah Aluna kes
Tanggal pernikahan Aluna dan Bram sudah ditetapkan. Saat acara lamaran resmi, kedua keluarga sepakat jika pernikahan akan dilaksanakan tiga bulan kemudian. Bram tetap dengan rencana awalnya walaupun Aluna sudah tegas menolak.Sementara Aluna dibuat tak berkutik oleh Abrisam saat putrinya itu terus menyuarakan ketidaksetujuannya atas lamaran Bram. Abrisam mengancam akan mencelakakan Alvandra jika ia masih bersikeras dengan pendiriannya. Walaupun sebenarnya Abrisam sendiri tak tahu di mana keberadaan Alvandra.Bagaikan mayat hidup, kini hidup Aluna seakan tak ada gairah. Bahkan dalam bekerja pun ia mulai malas-malasan. Setiap ada rapat yang mengharuskan dirinya hadir, Aluna selalu tak datang dengan berbagai alasan. Tentu hal itu membuat beberapa proyek yang seharusnya mereka dapatkan menjadi terlepas.Tentu saja hal itu membuat Abrisam kelabakan. Hingga akhirnya sekarang ia selalu turun tangan sendiri jika ada rapat yang mengharuskan Aluna hadir.Seperti hari ini. Abrisam sedang rapat b
Di benua yang berbeda.Alvandra masih berkutat dengan pekerjaan, padahal hari sudah beranjak petang. Ia sengaja menyibukkan diri agar pikirannya tak tertuju kepada Aluna saja. Selain itu, ia juga sedang mempelajari manajemen perusahaan yang sudah diwariskan padanya."Tuan Alvan, Anda belum pulang?" tanya seorang pria berwajah Arab. Ia hanya menyembulkan kepala ke dalam ruangan Alvandra.Alvandra mendongakkan wajah, setelah sebelumnya hanya memandangi layar laptop juga berkas di sebelahnya."Masih ada yang harus saya bereskan. Kamu kalau mau pulang duluan, silahkan saja, Gibran," jawab Alvandra pada asistennya.Gibran adalah satu dari beberapa orang kepercayaan Ghazi. Ia ditugaskan menjadi asisten Alvandra setelah sebelumnya menjadi asisten kakek Alvandra."Biarlah, Tuan, saya menunggu Anda saja. Kalau Anda butuh apa-apa, saya ada di ruangan sebelah," timpal Gibran menarik kembali kepalanya.Alvandra melanjutkan lagi pekerjaannya. Ia sedang membuat beberapa rancangan untuk melebarkan s
Polisi datang ke lokasi pemakaman berikut dengan mobil ambulan setelah mendapat laporan. Mereka langsung memasang garis polisi di lokasi Gibran terkapar. Semua orang yang berada di area pemakaman dilarang membubarkan diri sebab akan dimintai keterangannya.Alvandra meminta izin pada polisi supaya istri dan anaknya bisa pulang lebih dulu sebab hari semakin petang. Akhirnya yang pertama diperiksa polisi adalah Aluna, selanjutnya Camilla lalu yang lainnya.Acara pengajian di rumah tetap digelar meskipun Alvandra belum pulang sebab harus mengurus jenazah Gibran sekaligus melaporkan kasus tabrak lari yang dialami kakeknya, walaupun sang kakek sudah meninggal. Justru karena Ghazi meninggal, ia jadi ingin mengusut kasus itu.Alvandra tiba di rumah larut malam karena banyak sekali yang harus ia urus terkait kematian Gibran. Polisi menetapkan Gibran meninggal karena tembakan peluru tepat di kepalanya, hanya siapa pelakunya masih menjadi misteri. Mereka sudah menyisir seluruh area pemakaman, na
Deru napas Alvandra terdengar memburu. Rahangnya mengeras dengan gigi yang saling gemerutuk. Amarahnya kembali naik ke permukaan setelah sekian bulan bersembunyi di palung hati terdalam.Sang putra tercinta berada dalam dekapan pria yang selama ini ia cari, namun tak kunjung ditemukan. Entah di mana pria itu bersembunyi. Alvandra jadi berpikir kalau pelaku tabrak lari itu adalah si mantan asisten."Pengecut! Lepaskan dia!" pekik Alvandra kencang sehingga mengalihkan perhatian para pelayat yang sedang mengikuti prosesi pemakaman kepadanya.Kasak-kusuk terdengar dari para pelayat. Mereka yang sebagian besar rekan bisnis Alvandra, tentu saja mengenal Gibran. Mereka jadi menduga-duga masalah yang terjadi antara keduanya."Hahaha ... tidak semudah itu, Tuan Muda! Kalau Anda ingin anak kecil ini lepas, ada syarat yang harus Anda penuhi," teriak Gibran terbahak-bahak, dan itu membuat Leon terkejut.Bocah kecil itu menangis dalam kungkungan tangan kekar lelaki bertubuh tinggi besar tersebut s
Kabar yang Alvandra dengar seperti suara petir di tengah hujan badai, menggelegar memekakkan telinga. Tubuhnya seketika kaku, ponsel yang ia pegang pun jatuh begitu saja ke lantai berlapiskan marmer hingga retak layarnya."Tuan! Tuan Alvan!"Bodyguard terus memanggil Alvandra yang mematung setelah menerima telepon. Tak ada respon, ia memberanikan diri menepuk pundak Alvandra pelan. Kelopak mata Alvandra mengerjap cepat kemudian ia menoleh pada bodyguard yang berdiri di sampingnya."Siapkan mobil!" perintah Alvandra cepat. Ia tak boleh terpuruk, ia harus tegar sebab kini ada dua orang yang bergantung padanya. Bodyguard segera berbalik keluar melaksanakan perintah sang majikan.Mengambil ponsel di lantai, Alvandra kemudian mengecek kondisi benda canggih tersebut dan ternyata masih bisa digunakan. Lekas ia mencari nomor Abrisam kemudian mengabari sang mertua, setelah itu Alvandra berjalan cepat menuju kamarnya untuk berpamitan pada sang istri."Memangnya kamu mau ke mana, Mas?" Aluna ter
Beberapa bulan berlalu, Gibran masih belum ditemukan. Ia menghilang tanpa jejak seolah ditelan bumi. Bukannya senang dengan kondisi ini, justru Alvandra semakin was-was. Ia khawatir sewaktu-waktu kejutan akan datang dari pria Arab itu.Berbicara tentang kejutan, baik Alvandra juga Ghazi dibuat geleng kepala akan ulah Gibran. Mantan asisten mereka itu membuat perusahaan fiktif lalu mengajukan kerjasama dengan perusahaan investasi Alvandra. Kerjasama itu tentu saja terjalin dengan baik sebab saat itu Gibran menjadi orang kepercayaan untuk mengurus perusahaan investasi karena Alvandra tengah sibuk dengan perusahaan milik mendiang ayahnya.Perusahaan fiktif itu terbongkar saat Alvandra menyelidiki kasus foto vulgarnya. Setelah ditelusuri, ternyata yang membuat janji temu dengannya adalah perusahaan yang dibuat Gibran.Kerugian yang diderita Alvandra cukup besar. Semua rekening yang berkaitan dengan perusahaan fiktif Gibran sudah dinonaktifkan oleh Gibran sendiri dengan saldo nol rupiah. A
Alvandra segera bertindak cepat. Saat itu juga dia menelpon Fahmi dan memintanya menghubungi semua stasiun televisi yang menayangkan berita itu untuk segera menghapus beritanya. Portal berita online pun tak luput dari daftarnya.Kalau mereka menolak, Alvandra akan menuntut pihak penyebar berita dengan tuduhan pencemaran nama baik. Alvandra berani berkata itu karena memiliki bukti bahwa dia tidak bersalah.Ponsel Alvandra tak henti-hentinya berdering. Rata-rata para peneleponnya adalah rekan bisnis yang ingin menanyakan kebenaran berita itu. Sebagai pengusaha muda yang sedang naik daun dan dikenal setia, tentu saja hal itu membuat para rekan Alvandra penasaran. Alvandra berjanji akan membuat konferensi pers untuk menjawab semua pertanyaan mereka. Ghazi pun mendatangi kediaman Abrisam. Ia ingin mengonfirmasi berita yang baru saja dilihatnya."Van, bagaimana ceritanya bisa sampai ada berita seperti itu?" tanya Ghazi mewakili Abrisam juga Camilla yang sedari tadi penasaran.Kini mereka s
Alvandra mengirimkan rekaman CCTV yang ia dapat ke nomor Aluna. Ia merasa itu adalah cara terbaik untuk membuktikan pada istrinya kalau ia tak berbuat aneh-aneh. Pria tampan itu pun segera menghubungi Jaka dan memintanya datang ke rumah Abrisam secepatnya.Dari hotel, Alvandra langsung pulang ke rumah Abrisam, bermaksud menjemput Aluna dan Leon. Awalnya ia berniat nanti saja menjemput sang istri setelah masalahnya beres dan para pelaku berhasil ditangkap, tapi itu pasti membutuhkan waktu yang lama. Dan tentu saja masalah rumah tangganya pun akan semakin berlarut-larut tanpa penjelasan darinya.Saat mobil Alvandra memasuki halaman rumah besar tersebut, bertepatan dengan mobil Abrisam yang baru melewati gerbang. Alvandra menahan dulu langkahnya sampai sang mertua turun dari mobil."Kamu pulang ke sini, Van. Memangnya Luna ada di sini?" tanya Abrisam sedikit heran begitu Alvandra menghampiri."Iya, Dad. Tadi siang telpon katanya mau ke sini. Ya udah, Alvan langsung ke sini dari kantor,"
Tubuh Aluna bergetar hebat kala melihat foto yang baru saja ia terima dari nomor tak dikenal. Kelopak matanya seketika terasa memanas, hatinya perih serasa dicabik-cabik. Orang yang sangat ia percaya tega berkhianat di belakangnya.Dengan tangan gemetaran sambil menguatkan hati, lekas ia menghubungi nomor tersebut, tapi ternyata sudah tak aktif lagi. Kemudian ia menelepon Alvandra, aktif namun tak kunjung diangkat juga."Jadi ini kelakuanmu di belakangku, Mas! Hanya karena aku belum bisa memberikan hakmu, kamu lampiaskan hasratmu di luar. Semua laki-laki sama saja! Isi otaknya hanya urusan selangkangan," racau Aluna meremas ponsel yang masih dalam genggaman. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata.Sungguh, Aluna kecewa berat pada suaminya itu. Padahal setahu dirinya, Alvandra sering berkoar-koar sangat membenci pengkhianat. Akan tetapi, kenyataan yang baru saja ia lihat berbanding terbalik dengan ucapan sang suami, justru si pengucap itulah pelaku pengkhianatannya.Walau hatinya be
Satu bulan berlalu.Bayi Aluna dan Alvandra sudah dibawa pulang karena kondisinya sudah stabil. Bahkan berat badannya cepat bertambah walaupun hanya meminum ASI saja. Baby Boy, begitu Alvandra menyebutnya.Aluna sering protes, untuk apa dinamai Leon kalau dipanggilnya Boy dan jawaban Alvandra adalah karena panggilan itu sudah melekat erat dari semenjak ia tahu jenis kelamin anaknya.Alvandra selalu menghampiri dulu anaknya di kamar bayi sebelum ia masuk kamarnya sendiri setiap pulang kerja. Ia selalu mengusahakan pulang tepat waktu karena selalu tak sabar untuk bertemu putranya.Seperti hari ini, dia langsung masuk kamar bayinya karena biasanya di jam dia pulang begini, Leon pasti sudah wangi karena baru saja selesai dimandikan."Hei, Boy! Udah mimi cucu hari ini?" tanya Alvandra pada anaknya yang terbaring di boks bayi."Jangan pegang-pegang Leon! Kamu habis dari luar, pasti bawa kuman. Mandi dulu sana!" seru Aluna muncul dari balik pintu penghubung kamar mereka dengan kamar sang bay
Alvandra yang baru tidur dua jam terbangun karena jeritan Aluna. Bersyukur sekaligus sedih melihat kondisi sang istri. Air mata mengalir deras melewati pelipis hingga membasahi bantal."Anakku mana, Mas?" racau Aluna di sela isakannya. Ia meringis karena perut bagian bawahnya terasa sakit."Tenang, Yang. Dia ada, selamat. Hanya harus dipisahkan dulu sementara sampai kondisinya membaik," jelas Alvandra pelan. Ia tahu pasti istrinya berpikir anaknya tidak bisa selamat setelah peristiwa yang menimpa keduanya."Kamu nggak bohong 'kan, Mas?""Nggak, Mas nggak bohong. Nanti kalau kamu sudah kuat, kita lihat anak kita," bujuk Alvandra menenangkan Aluna."Maafin aku, Mas. Aku terpaksa lompat dari mobil karena nggak mau terus dibawa sama orang gila itu," kata Aluna setelah tangisnya mereda."Nggak apa-apa, yang penting kalian selamat," sahut Alvandra meraih tangan Aluna kemudian mengelusnya."Tapi anak kita jadinya harus dilahirkan sebelum waktunya." Air mata kembali menetes dari sudut luar ma