“Ke mana para pria?” Aryan keluar dari ruang khusus setelah dijemput Lyli. Semua lelaki memang ikut mengejar Don dan Juan. Tinggal Orion yang terluka lengannya, meski ringan. Xuan yang jelas harus istirahat beberapa hari, juga Agam dan Jorge. Lyli kekeuh menahan Jorge agar tidak ikut menggila bersama yang lain.“Biasa Kung, urusan itu.” Briana menekan kata “itu” hingga Aryan paham ke mana laju pembicaraan sang cucu.“Mari silakan nikmati hidangannya, tuan Atmaja.” Lyli sebagai wakil tuan menyambut Aryan dalam pesta sederhana mereka, menggantikan Ian dan Vin.“Kalian habis adu peluru ya?” Devan berbisik di telinga sang sepupu.“Ya, begitulah. Mereka datang mengacau,” balas Briana tak kalah lirih.“Jahat iihh, gak ngajakin,” rajuk Devan. Briana melongo melihat tingkah sepupunya. Secara umur tua Devan tapi secara pangkat keluarga, lebih tua Briana. Karena itu Devan dan Briana sepakat tak menggunakan nama panggilan satu sama lain.Aryan memindai Orion dan Xuan yang duduk anteng di k
“Biarkan kami yang mengurusnya, kalian pergi saja. Kejar Don dan Juan.” Suara Martin terdengar di telinga semua orang. Mobil kedua menyalip mobil Axa, melaju kencang ketika Jeff yang memegang kendali. Dasar bocah gila. Dia tertawa-tawa ketika menubrukkan salah satu kendaraan Ian tanpa ampun pada satu mobil yang melintang, menghalangi jalan mobil Axa.“All clear!” Jeff berseru senang. Melihat hasil kerjanya, meski tiga orang lain dalam mobilnya langsung mengumpat. Pun dengan empat orang mobil lawan yang dia buat ringsek bagian depan.“Aku sunat lagi kalau kau buat aku terluka!” teriak Ilario yang langsung mencabut senjatanya diikuti yang lain.“Jangan dong Om nanti aku gak bisa nembak dalam.” Sesantai itu Jeff menanggapi ancaman ketua klan Inferno. Dia pun sama, keluar dari mobil, ikut bersiap melakukan perang terbuka. Bahkan Martin yang baru saja sembuh tampak bersemangat saat menghajar lawannya.Mereka hanya mengangguk ketika mobil Axa melaju, melintasi mereka untuk lanjut meng
Via terbangun ketika langit sudah berubah gelap. Dia mengerjapkan matanya pelan. Sedikit mengalami disorientasi tempat. Mengingat di sini bukan tempat terakhir yang dia ingat. Ini di mana? Pikir Via untuk sesaat. Hingga dia melihat replika robot gundam di salah satu rak.Dia di kamar Enzo rupanya. Perlahan gadis itu memindai kamar pria kecil yang sepertinya telah mencuri hati kecilnya. Yup, di usia semuda itu Via sudah merasa suka pada lawan jenis. Terlalu awal tapi itu yang Via alami.Kamar bernuansa biru seperti obsidian Enzo yang mempesona. Wajah Via memerah sekilas mengingat dia digendong sampai ke mari oleh si pemilik kamar. Punggungnya hangat dan nyaman, meski tidak lebar seperti bahu sang ayah.Pintu terbuka, menampilkan si empunya kamar masuk sambil membawa nampan. “Enak kan kasurku?” tanya Enzo meledek. Via mendengus kesal, meski dalam hati mengakui. Ada aroma khas milik Enzo yang tertinggal di sana. Membuat Via merasa betah berlama-lama di tempat itu.“Disuruh Mama ngant
Briana baru keluar dari kamar Enzo memeriksa sang putra yang ia khawatirkan akan tidur sekasur dengan Via. Briana menghela nafasnya lega, luar biasa. Enzo tidur di sofa dengan Via tidur di kasur.“Good night, Boy.” Briana mencium kening Enzo setelah mengambil selimut tambahan, memakaikannya di tubuh sang putra. Sama dengan Via, dia juga mengucapkan selamat malam, sembari mencium pipi anak asuhnya. Cukup sedih karena dalam beberapa hari dia akan meninggalkan negeri ini. Mengikuti langkah Vin yang sudah resmi jadi suaminya.“He, masih bertengkar saja.” Briana memergoki Ilario dan Emma yang masih berdebat. Padahal hari sudah malam. Ilario dan yang lain baru saja pulang dari misi. “Dia minta ayam geprek, di mana mau cari,” keluh Ilario.“Tidak mau nyari ya sudah. Masih ada Xuan ....”“Xuan terluka jangan diganggu dulu.” Emma menoleh, ini berita baru untuknya sebab dia baru saja bangun, gegara obat bius sialan yang sang suami berikan.“Geprekkan saja ayam goreng yang tadi. Kasih sam
Briana terbangun dengan tubuh sakit. Rasanya pegal di semua bagian. “Astaga, duda gila,” gumam Briana. Dia meringis ketika mengubah posisi tidurnya. Pokoknya dia mau tidur seharian ini, bodo amat sama urusan lain.“Sudah bangun?” Vin bertanya dari arah pintu. Baru masuk sambil membawa nampan berisi makanan. Beuhh, aura duda baru buka puasa memang lain. Vin tampak segar dengan wajah glowing, secerah mentari pagi.Briana menaikkan selimutnya, sadar kalau dia belum berpakaian. “Sakit tidak?” Vin bertanya, sambil duduk di samping Briana.“Menurutmu?” Briana balik tanya. Senyum Vin melebar. “Sorry, agak lepas kendali,” cengir Vin tanpa dosa. Ha? Agak dia bilang. Kalau yang semalam Vin mengatakan agak lepas kendali, lalu yang betulan lepas kendali seperti apa.“Kalau semalam mode setengah lalu yang model full seperti apa?” ledek Briana.“Ya, bisa saja satu jam nonstop bisa lebih.” What? Briana melotot mendengar jawaban Vin. Semalam saja dia perlu rehat, mengambil jeda setidaknya seti
“Hai, Vi. Namamu Via kan?” Via mengerutkan dahi ketika melihat seorang anak lelaki berjalan mendekatinya. Mereka ada di taman belakang sekolah Via. Via sendiri tengah bermain di sana sembari menunggu sang ayah menjemput. “Kakak yang hari itu ada di pernikahan Miss Ana kan?” Via menjawab sambil memicingkan mata. Si anak lelaki mengangguk, mengulurkan tangan lalu menyebutkan namanya, “Maher.”“Kak Maher ngapain di sini? Gak sekolah?” Via memicing melihat pakaian rapi Maher.“Aku ambil libur. Mau anter Enzo ke bandara.” Gerakan Via seketika berhenti. Bandara? Enzo pulang hari ini? Gadis kecil itu seketika menunduk, matanya berkaca-kaca.“Mau ikut? Nanti aku bisa bilang pada Kakek Martin untuk bawa kamu. Kita masih nungguin Kak Jeff yang lagi bujukin Kak Ai,” ajak Maher. Entah kenapa dia begitu lancang mengatakan hal itu.Enzo sudah mewanti-wanti Maher untuk tidak bicara pada Via soal kepulangannya. Namun Maher berpikir kalau ini sangat tidak adil untuk Via. Apa salahnya cuma mengat
Briana menatap rumah dengan tangga marmer putih membentang di hadapannya. Menuntunnya menuju sepasang pintu kembar yang megah, sudah terbuka untuk dirinya. Vin tak membayangkan apapun, tapi dirinya cukup terkejut melihat kehadiran Imelda di depan pintu, menyambut mereka.Satu persatu tangga dinaiki, hingga mereka tiba di gerbang rumah Vin. Dengan seorang wanita menatap hangat pada keduanya. Dalam rentang waktu selama ditinggal Vin dan Enzo, Imelda mulai menyadari akan sikapnya yang keliru selama ini.Hingga ketika waktunya tiba, Imelda bertekad untuk mengubah perilaku. Menjadi ibu dan nenek yang baik untuk anak dan cucunya. “Benvenuto a Milano, genero mio,” ucap Imelda. (Selamat datang di Milan, menantuku.)Vin cukup terkejut mendengar ucapan sang ibu, mengingat di masa lalu, sang ibu begitu memusuhi Maria. “Ini ibuku, Imelda Arturo.” Vin terpaksa mengenalkan Imelda. Toh dia tidak bisa memungkiri kalau Imelda memang wanita yang sudah melahirkannya. Briana menampilkan raut wajah b
“Jadi bisa kita bicara sekarang?” Briana menatap Vin yang mulai memejamkan. Keduanya masih tanpa busana setelah melalui sesi panas perdana mereka di Milan. Di kamar yang seketika membuat Briana serasa dejavu.Dejavu rasa bukan penglihatan. Dia sungguh pernah merasa di sini, di tempat ini. Meski semua perabot dan interior berganti baru. Sampai dengan cat dinding pun Vin memerintahkan untuk dicat ulang.Vibes-nya terasa sekali. Dia dan Vin pernah bercinta di kamar ini sebelumnya. Mungkin benar apa yang Vin katakan, jika dirinya berada di raga Maria selama hampir dua bulan.“Bicara apa?” Netranya terpejam, tapi tangannya merayap ke mana-mana. “Vin,” Briana mencubit dada bidang telanjang sang suami karena tangannya terus saja nakal bergerak ke sana sini. Vin mengaduh lebay, lantas menyudahi aksinya menggoda sang istri. Memeluk posesif pinggang ramping Briana. Membawanya merapat ke tubuhnya.“Jangan nempel-nempel.” Briana menerapkan jaga jarak yang sepertinya tak ada gunanya jika V