Dengan mata berkaca, papa mertua terdiam untuk beberapa lama saat menatapku. Membuat semakin curiga dan menguatkan prasangka ku, jika beliau memang adalah pria misterius yang terlibat insiden memilukan hari itu. Pria yang membuatku kehilangan tiga sosok paling berharga dalam hidupku.
“Apa papa mengenal Bapak dan Ibu Putri?” suaraku mendadak serak ketika aku mengulang pertanyaan yang sama.
Aku sangat yakin papa mendengar pertanyaan dariku. Namun, yang mengecewakan, papa terlihat memilih diam dengan mata yang menyiratkan sejuta misteri.
Ada apa sebenarnya?
Untuk berapa lama, dengan penuh kesabaran aku menunggu papa bersuara. Namun, hasilnya nihil. Papa bahkan memalingkan wajahnya setelah menatapku sekilas.
Ada apa?
Tak ingin memaksa mertuaku berbicara jujur, aku menarik langkah menuju ke kamar meski dengan hati masygul. Ya, jujur aku tak puas dengan sikap diam yang mertuaku tunjukan.
Apa salahnya bicara jika memang tak salin
“Kamu ngomong apa sih, Mas?” Dengan hati berdebar aku menatap tajam suamiku yang hanya mengenakan handuk sebatas pinggang setelah keluar dari kamar mandi.“Aku serius lintang.” Wangi sabun dan shampoo menguar di udara ketika tangan kekar suamiku mencekal lenganku dengan begitu kuat.“Serius mau bikin banyak tanda merah lagi?Iya? Yang bener aja. Emang dikira aku nggak malu apa dibikin gini? Kayak digigit drakula!” Aku menaikkan intonasi saat mencecarnya. Jujur ini sangat memalukan dan membuatku sedikit hilang percaya diri ketika berhadapan dengan mertua dan adik iparku dalam kondisi seperti ini.Bukannya intropeksi diri, Mas Daniel justru terkekeh pelan. Dia selalu menjengkelkan bukan?“Ya… habisnya gimana dong, kamunya juga bikin gemes,sih.” Geligi putihnya yang tersusun rapi dia tampilkan setelah menuntaskan kalimat tak penting itu.Aku menggeleng pelan melihatnya yang seperti ta
“Sudah, nggak usah bawel dan sok-sokan minta pisah ranjang. Ayo tidur sekarang.”Peduli aku suka atau tidak Mas Daniel kembali membopongku. Melakukan hal sama seperti yang pernah dia lakukan hari itu.“Ada-ada saja ya, anak muda zaman sekarang.” Terdengar mama mertua terkikik geli saat melihat aksi sang anak yang sok romantic.“Ngapain lihat-lihat?” Aku menunjukan raut wajah garang, ketika menyadari Mas Daniel terus menatapku tanpa henti, begitu kami sampai di kamar dan masing-masing telah membaringkan tubuh diatas tempat tidur yang empuk ini.Menanggapi pertanyaanku, Mas Daniel menggeleng.“Ya udah, buruan tidur! Tadi bilang mau tidur, kan?”Mas Daniel tersenyum penuh intrik ketika aku mulai menarik selimut.“Kayaknya…. Malam ini kita harus bergadang s
“Aku belum siap, Mas.” Aku bahkan menarik selimut untuk bagian atas tubuhku. Membuat Mas Daniel menatapku kesal.Entah apa yang dipikirkan tentangku, aku tak mau peduli. Karena selain takut, aku memang setengah hati jika harus melakukan hal itu dengannya mala mini.“Mas… aku mohon…. Aku belum siap….” Pintaku merengek sekali lagi.“Hmmm…. “ Hanya desahan berat yang kudengar dari suara Mas Daniel.“Apa Mas nggak capek, atau ngantuk? Mas, kan telat pulang hampir jam 12 malam terus mau minta jatah?” tanyaku sambil memalingkan wajah, menyembunyikan rasa gugup yang datang mendera.“Enggak!” suamiku menjawab santai, tangannya terulur dan menyentuh pipiku lembut. Setengah memaksa ku menoleh padanya.“Bahkan, waktu dikantor tadi aku kepikiran kamu terus, loh,” ujarnya pelan sambil menatapku lembut.“Kepikiran aku?” Aku me
“Mas!” Aku mendelik. Memperingatkan suamiku dengan tatapan. Aku benar-benar geram sekaligus heran.Kenapa dia suka sekali mengumbar urusan pribadi kami pada Mamanya? Seperti anak kecil saja.“Aku berbicara jujur, sayang…” Seperti tak peduli aku marah, suamiku menanggapi santai kekesalan yang jelas kutunjukkan.Tanpa terduga, mertua tertawa kecil.“It’s oke, Putri. Tidak usah malu, biasa aja. Mama paham kok, karena Mama juga pernah muda, seperti kalian.”ujar Mama mertua terdengar friendly dan santai. Membuatku mengangguk-angguk kaku dengan perasaan canggung.“Ya sudah, Mama tinggal dulu, ya.” Ujar beliau sebelum berlalu. Meninggalkan kami berdua saja di dapur mewah berukuran luas ini.“Mas, kenapa, sih, selalu bikin malu aku?” Aku bersungut-sungut kesal sambil memainkan sutil dan memastikan sambal yang kubuat matang sempurna.“Biasa saja kali, sayang.
“Kamu lagi tidak bercandakan, sayang?” Mas Daniel bertanya dengan raut yang jelas terlihat frustasi. Aku menggeleng kaku. Terlihat Mas Daniel mengusap wajahnya dengan kasar berkali-kali. “Mas, aku minta maaf.”“Ah, sudahlah!” Sudahlah mengibaskan tangannya dan menyentak dengan ekspresi kesal yang jelas terlihat dimataku.Pria bertubuh tinggi itu lantas melangkah dengan gusar ke kamar mandi, meninggalkan diriku yang masih membatu dalam posisiku. ………..“Daniel, wajahnya kok cemberut begitu?” Mama mertua bertanya heran pada putra sulung yang memang tak menunjukan keceriaan sedikit pun sejak pulang memancing tadi.Tak menjawab pertanyaan sang Mama, Mas Daniel justru menatap sengit adik laki-lakinya yang duduk berhadapan dengannya saat makan malam.“Eh… Mas, ngeliatin aku biasa saja dong, perasaan seperti mau makan orang aja?” Delon yang mungkin terintimidasi, bertanya dengan
Mas Daniel menahan langkah dan lantas menoleh kebelakang. Memandang sang adik layaknya menatap musuh dimedan perang. “Aku serius, Kuda Nil.” Mataku terbelalak lebar. Tak menyangka jika Delon bisa sekurang ajar ini pada kakaknya.Tak hanya memanggil Bro, dia juga memanggil nama. Tidak itu saja, dia pun tanpa segan menyamakan kakaknya dengan kuda malas yang suka berendam air itu? Luar biasa sekali keluarga ini!“Kalau kau, tidak bisa menghargai apa yang kau miliki, maka berikan padaku. Aku bersumpah akan menjaganya dengan sebaik mungkin.” Delon tampak tak gentar sedikit pun, meski jelas-jelas tak ada sorot damai dari pancaran mata kakaknya.“Tutup mulutmu, Anak Nakal!” sentak Mas Daniel tajam.Seolah tak menganggap bentakan dari saudara kandungnya seperti sebuah ancaman, Delon hanya mendengus kecil.“Putri, jangan ragu-ragu untuk datang padaku kalau kau tak nyaman dengannya, ya. Oke?” Delon memperingatk
Aku tertunduk saat rasa cemburu dalam dada tak bisa kuhindari. Bagaimana aku tak cemburu, bahkan di depan kedua orang tua dan sepupunya dia membela Lita mati-matian bukan?Alan mendengkus kecil. Seolah menganggap apa yang telah diucapkan kakak sepupunya, tak beda jauh dengan rakyat kecil yang tak didengar oleh petinggi negeri ini."Bodoh."Mas Daniel mengetatkan rahang saat Alan terang-terangan mengejek dirinya bahkan didepan orang tuanya sekalipun.Di sisi lain, tanpa terduga, Pak Ramon dan istrinya justru terlihat menahan tawa mendengar keponakan mereka berucap tanpa beban saat mengolok sepupunya."Tau begini, harusnya kemaren aku saja yang menikahi Putri, Ma. Daripada mubadzir."Aku tersentak lantas membelalak selebar-lebarnya. Mubadzir dia bilang?Mama mertua terlihat salah tingkah saat Alan memandangnya sambil geleng kepala. Seperti menyayangkan pernikahanku dengan Mas Daniel."Miris melihat kelakuan mu, Bro. Ada batu berl
"Semua ada porsinya masing-masing, Alan." "Benar, Putri. Aku salut padamu. Bahkan, dengan keterbatasan ekonomi yang kau miliki kau tidak pernah berpikir masuk ke lubang dosa sepertiku." Aku terdiam lagi mendengar pendapat yang diutarakannya. "Bukan hal baru jika seseorang yang kekurangan ekonomi bakal mencari materi denga menjual tubuhnya. Tapi itu tidak berlaku padamu, Putri. Salut aku, padahal wajahmu sangat menjanjikan." "Hei, aku masih punya iman Alan." Aku mencebik kesal padanya yang memang sepertinya tanpa filter berbicara. "Tidak mungkin semudah itu aku melakukan perbuatan kotor dengan menjual diri. Kau tahu, sebagai wanita aku hanya ingin menyerahkan apa yang paling berharga pada suamiku." Alan menatapku penuh arti. "Karena aku cuma punya kehormatan,kan? Bukan harta benda yang ku miliki." Kini air mataku tidak hanya menitik tapi mengalir deras. Sesak dalam dada kian menghimpit saat menyadari
"Mas, kapan Mama sama Papa balik kejakarta?" Aku mengalihkan pembahasan saat merasa Mas Daniel terus-menerus tertarik membicarakan tentang hal yang tak jelas dan cenderung menjengkelkan hati."Katanya, sih, nunggu tiga atau empat harian lagi, nunggu Delon pulih," ungkapnya yang membuatku sedikit tenang dan gembira. Jujur, keberadaan Mama di rumahini sangat aku rindukan. Bagaimana tidak, bukankah beliau sosok ibu yang mengayomi?"Oh..."'Kenapa?""Tidak apa-apa kok? Syukurlah kalau keadaan Delon sudah mulai membaik."Mas Daniel mengangguk samar.Teringat masa kecil ku, aku merasa bersyukur karena aku tipe anak yang jarang sakit. Tak bisa di bayangkan jika aku yang hidup dalam garis kemiskinan sering sakit. Namun, Allah benar-benar Maha Adil. Dia tak kan menguji hambanya melebihi batas kemampuannya. Dan kini, aku pantas bersyukur karena melalui Dia, seorang suami tampan yang mencintai hadir melengkapi hidupku.Aku tertegun ketika Mas Daniel menepuk pundakku."Eh, eng-enggak," sahutku
"Aku tidak tahu kamu lagi bohong apa jujur soal perasaan kamu ke aku. Tapi terima kasih telah mengungkapnya, jadi aku tahu rasanya dicintai." Ucapku lirih ketika merasa hati ini mulai merasakan kenyamanan , meski kadang masih ragu tentang perasaan sebenarnya padaku.Sejurus kemudian, Mas Daniel menatapku sendu. Seolah ingin mematahkan pendapatku, pria berbibir tipis ini meraih tanganku dan menggengamnya erat."Aku janji sama kamu, akan kubuat kau bahagia selagi jantungku masih berdetak," ucapnya penuh keseriusan. Membuatku merasa tersanjung seperti di bawa terbang ke awang-awang."Kamu jadi lebih puitis akhir-akhir ini." Ucapku pelan dan langsung dibalas dengan senyuman manis suamiku."Tapi, makasih, ya. Jadi, walaupun akhirnya nanti harus kecewa, tapi setidaknya aku sudah tahu rasanya dicintai olehmu." Imbuhku lirih, saat hati mendadak didera perasaan waspada. Takut Mas Daniel hanya ingin mempermainkanku saat ini. Seperti yang sudah-sudah."
Aku tak mengerti apa alasan Mas Daniel mengajakku singgah ke ssbuah toko emas dan berlian disalah satu gerai mall elit ini."Mas, mau beli apa disitu?""Lehermu sepertinya bakalan indah kalau salah satu kalung melekat di sini."Aku yang tak pernah menyangka bakal di bawa ke tempat semewah ini, kelimpungan saat Mas Daniel menunjuk salah satu kalung pada etalase kaca di hadapan kami."Itu sepertinya cocok sama kamu." Sebuah kalung emas bertahtakan berlian dengan liontin berbentuk huruf P memang membuatku takjub saat menatap kecantikan dan keindahannya."Kamu menyukainya?" Pertanyaan Mas Daniel saat ini, benar-benar membuatku gugup. Wanita mana yang tak suka dengan perhiasaan? Mungkin ada, tapi rasanya sebagian besar menyukainya."Mbak, ambil yang ini, ya.""Baik, pak." Pelayan toko emas dengan cepat mengambil kalung cantik yang dimaksud suamiku."Coba pakai dulu," ujarnya setelah kalung itu berpindah tangan padaku."Ini...
"Maksud lu?" Alan menyorot tajam wajah sepupunya. Membuat Mas Daniel sedikit salah tingkah dibuatnya. Seperti aku, Alan pun tampaknya tak terlalu mengerti dengan ucapan Mas Daniel belum lama ini. "Lu bicara apa barusan?" Cecar Alan kemudian. Menanggapi pertanyaan Alan, Mas Daniel terlihat semakin gugup. Ada apa? "Ya ... ya almarhum papa lu pastinya berharap lu tobat dulu, lah, kalau mau ambil anak orang buat dijadikan istri." Kilahnya kemudian, namun tetap membuatku sedikit penasaran dengan ucapan yang dia lontarkan secara sungguh-sungguh beberapa saat yang lalu. "Apaan sih, gak jelas!" Cibir Alan sambil menyertakan tampang sinisnya. Alan kemudian mengalihkan pandangan padaku. "Ya sudah, Put. Aku pulang dulu, kalau ada apa-apa jangan sungkan buat telepon aku." Aku mengangguk kaku saat Alan menampilkan senyum manis ketika menampilkan senyum manis ketika menempelkan jempol dan kelingking yang biasa menjadi kode telepon, d
(POV Daniel)"Mas, aku turun dulu, ya ke dapur." Putri bersuara lembut, ah, tidak, lebih tepatnya sengau ketika meminta izin turun kedapur. Meninggakan aku yang masih duduk santai di sofa kamar sembari memainkan ponsel."Ya." Aku hanya menatap sekilas sebelum gadis belia itu turun dan melakukan aktivitas yang seperti sudah menjadi rutinitasnya.Pukul 06.00 wib aku masih berdiam diri disini, tersentak saat tiba-tiba ada yang menelepon.Nomor yang tidak dikenal yang aku tahu betul siapa orangnya menghubungi diriku lagi pagi ini.Kuangkat panggilan meski dengan gerakan malas."Mas, jangan bilang kalau kamu sudah benar-benar jatuh cinta, ya sama dia?"Suara yang dulu terdengar manis ditelinga, kini tak lagi sama.Kuakhiri panggilan tanpa menjawab. Berharap dia mengerti dengan keputusan yang sudah berulang kali aku sampaikan.Maaf, Lita... jika akhirnya aku ingkar janji. Tak semudah itu rupanya mempertahankan hati d
Melihatnya meraih ponsel, hatiku mendadak panas meski sebelumnya sempat menguatkan hati untuk tak terpengaruh dengan apa pun yang menyangkut Mas Daniel. "Iya, Ma?" Terlihat lelakiku menyapa saat mungkin sudah terhubung melalui sambungan telepon dengan lawan bicaranya. Oh, rupanya Mama yang menelepon sang anak, aku tak bisa mengerti kenapa ada rasa lega yang menjalar didada. Saat tahu jika ternyata Mama mertua yang menelepon, bukan Lita seperti yang kuperkirakan sebelumnya. Aku yang sedang melipat mukena, hanya memperhatikan dari jauh suamiku yang sedang bertelepon ria dengan Mamanya. Setelah beberapa saat menyapa sang Mama, terlihat Mas Daniel terdiam untuk waktu yang cukup lama. Mungkin saja dia tengah mendengar dan mencerna baik-baik petuah yang diberikan oleh wanita yang telah melahirkannya, aku tak tahu. "Apa!?" Jelas sekali Mas Daniel syok. Ah, ada apa ini sebenarnya? Kabar apa yang membuat dia jadi sedemikan terkejut? "Ja
"Sudahi omong kosong mu, Putri! Masuk sekarang!" Alan tampak menutup ponselnya dengan kaku saat sepupunya memberikan perintah serupa secara paksa kepadaku. Aku masih diam membatu, tak tertarik untuk langsung masuk dan mengikuti perintah suamiku tak berperasaan ini. "Aku bilang masuk!" Teriak Mas Daniel mengulang lagi titahnya yang tak juga kuindahkan meski berkali-kali dia berucap dengan nada marah. "Makasih ya," aku menatap Alan dengan perasaan mengharu biru sesaat sebelum menarik langkah masuk. Memenuhi perintah lelaki yang bergelar suami yang sayangnya tak pandai menjaga perasaanku apalagi memanusiakan diriku selayaknya istri. Alan mengangguk gugup ketika tatapan kami beradu. Dari sinar matanya, jelas sekali dia menaruh rasa iba dan prihatin atas apa yang menjadi takdirku. Memiliki suami yang bahkan menganggapku tak lebih dari objek yang bisa dia lepas dikala dia bosan. "Ingat, ada gue yang siap menghapus air matanya kalau kau
"Putri, kamu baik-baik saja kan sama Mas Daniel." Aku diam membeku saat Mama yang telah berpakaian rapi, memberikan wejangan padaku. "Mama sama Papa?" tanyaku bingung saat melihat kedua mertuakuseperti siap untuk pergi siang ini. "Mama sama Papa harus ke jogja, sayang. Delon sakit dan harus dirawat. Mama nggak tega," ungkap Mama mertua dengan mata berkaca-kaca. "Iya, Ma. Semoga semuanya baik-baik saja, ya." *** Sorenya Alan yang mungkin tak semat dikabari oleh Mama mertua datang dengan wajah ceria ketika bertandang. "Ma.... aku datang." Masuk ke ruang tamu, Alan berseru dengan lantang seperti biasanya. "Mama lagi ke jogja, Delon sakit dan harus di rawat." Sambil menuruni anak tangga aku menyampaikan apa yang rasanya perlu untuk disampaikan. "Oh... poor boy." Alan menunjukan simpati saat mendengar sepupunya dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. "Semoga saja lekas membaik, r
"Maaf ya, Bik. Aku janji cuma buat malam ini saja." Aku berucap canggung saat merasa tak enak hati karena mengganggu waktu istirahatnya malam ini. "Iya, Mbak." Aku mengedarkan pandangan. Menyadari hanya ada satu kasur bsa setinggi 20 cm dengan ukuran single size, membuatku ragu harus melakukan apa sekarang. "Mbak Putri, tidur diatas saja, biar bibik yang dibawah pakai karpet." Ya Tuhan, kenapa jadi aku makin merasa bersalah begini? "Biar aku saja yang tidur di karpet, Bik." Aku buru-buru memotong ucapan Bik Onah. Tak mau egois dengan mengesampingkan orang lain padahal aku yang menumpang. "Jangan!" "Tidak apa-apa, Bik. Aku dari kecil sudah biasa hidup susah." "Jangan Mbak, pokoknya jangan." "Putri!" Terdengar suara Mas Daniel dari balik pintu. Membuat pikiran ku jadi makin tak karuan dibuatnya. "Bagaimana itu, Mbak?" Bik Onah yang baru saja menggelar karpet bulu bermotif bunga, menatapku meminta p