"Jelaskan sama papa semua ini, Alice!"Alice menangis kemudian bersimpuh di bawah kaki Tuan Agatha. Dia menangis dan terus menangis menyesali apa yang sudah terjadi. "Maafkan aku, Pa. Aku salah ....""Lihat, Ken! Bahkan aku pun tidak tahu rencana dia."Kenward tersenyum miring. Baginya mereka tidak ada bedanya. Kenward berlalu mninggalkan mereka. Dia bergegas menuju kamarnya. Tuan Albern pun demikian. Tanpa sepatah katapun dia meninggalkan keluarga Agatha. Plak. Sebuah tamparan keras mengenai wajahnya. Tuan Agatha benar-benar dipermalukan oleh putrinya sendiri.Alice telah melakukan sesuatu yang baginya di luar batas. Tanpa sepengetahuannya putrinya trlah melakukan hal licik dan justru membahayakan dirinya. "Papa kecewa!"Tuan Agatha melengos pergi. Nyonya Sonia segera memeluk putrinya yang terus menangis. Raline dan Gio tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka cukup menjadi penonton. Di dalam kamar Kenward berusaha menguasai diri. Mengontrol amarah yang bisa saja meledak. Dia meras
Delapan tahun berlalu. Usia Keano sudah menginjak sepuluh tahun. Bayi yang mungil itu tumbuh besar dalam asuhan kasih sayang ibunya. Wajahnya semakin mirip dengan ayahnya-Kenward-. Hal itu membuat Shafira tidak mudah untuk melupakan cinta pertamanya. "Hati-hati, Keano! Di situ licin," teriak Shafira saat putranya asyik bermain di sungai bersama Vera dan Anita. "Di sini airnya sejuk, Ibu.""Iya, tapi, takutnya kamu malah jatuh."Keano tidak mengindahkan peringatan ibunya. Dianterus berjalan melewati batu-batuan yang besar. Shafira tidak ikut bermain bersama putranya. Dia lebih memilih duduk di pinggir sungai bersama Bu Sulis. "Ibu, lihat ini!"Keano mengangkat ikan yang berukuran tiga puluh sentimeter ke udara. Raut wajahnya bahagia. Anita dan Vera juga sama. Mereka sangat bahagia melihat Keano bisa menangkap ikan di sungai. "Bawa ke sini, Sayang!"Keano dengan cekatan melangkah menlompati satu per satu batu besar menuju ke ibunya. Senyum di wajahnya tidak pernah lepas. Keano d
"Ini adalah hasil pemeriksaanmu, kan? Nyonya Alice Agatha Guinandra dinyatakan mandul. Kondisi rahimnya tidak sehat. Itu artinya, sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa memberiku anak."Keluarga Agatha bungkam. Mereka tidak bisa lagi mengelak. Bukti sudah jelas di depan mata. Alice berlutut di kaki Kenward. Dia menangis dan terus memohon."Aku mohon, Ken. Beri aku kesempatan untuk membahagiakan kami, menjadi istri yang baik. Aku ....""Cukup, Alice! Aku sudah memberimu waktu sepuluh tahun. Sudah saatnya aku harus menjemput mereka."Tuan Agatha sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi terlebih Eliezer sudah memutuskan untuk memasukkan nama Keano sebagai calon pewaris setelah Kenward. Gio ikut bahagia mendengar keputusan itu. Kenward dan Gio kini bersiap untuk menjemput Shafira dan putranya. ***"Apa yang harus kita lakukan, Pa?" tanya Nyonya Sonia. "Tidak ada. Untuk saat ini papa tidak ingin diganggu. Kedua anakku tidak bisa diandalkan. Mereka mengecewakan!""Jadi, papa akan me
"Ini air dan obatnya!"Kenward masih menatap dalam mata anak kecil itu. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ken kemudian membasuh dan merawat luka gores itu dengan penuh kasih sayang. Tangannya bergetar hebat. Air matanya jatuh begitu saja. Gio yang baru saja tersadar dengan sikap Kenward berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi. "Maafkan kami sudah membuatmu terluka, Nak.""Iya, Paman. Kata Ibu, aku tidak boleh cengeng. Aku harus seperti ayah."Ucapan anak kecil itu semakin membuat Ken menangis terisak. "Kenapa Paman menangis?" tanya anak kecil itu. Kenward memilih diam. Dia terus berusaha menyelesaikan pekerjaannya. Setelah lukanya berhasil dibalut, Kenward kembali menatap mata anak kecil yang ada di depannya. "Katakan, Nak, siapa namamu?""Ibu menamaiku Keano."Gio dan Kenward saling menatap satu sama lain. "Keano Kenward Albern Guinandra."Hati Kenward semakin terluka. Ingin dia segera memeluk tubuh putranya. Dia semakin terisak. Tanpa sadar Kenward membawa tubuh kecil K
"Shafira ....""Ibu ....."Shafira menghentikan sulamannya saat mendengar putranya berteriak. Keano berlari menuju ibunya. Shafira belum menyadari kehadiran Kenward dan Gio bersama dengan putranya.Tangannya membentang untuk menyambut Keano. Putranya berlari menuju pelukan hangat ibunya. Shafira mencium pipi Keano dengan sayang. Kenward terpaku melihat pemandangan yang sulit dia artikan. Dia merindukan keadaan seperti ini. "Kamu dari mana saja, Nak? Kenapa bajumu basah?" "Maafkan aku, Ibu. Tadi aku ke rumah Abah Fasial untuk setoran hafalan.""Lalu?"Keano terdiam. Dia tidak mampu untuk menjawab pertanyaan ibunya. Dia takut jika itu membuat ibunya bersedih. Mata Shafira kemudian menelisik bagian tubuh anaknya. Tiba-tiba pandangannya terpaku pada lutut yang telah dibalut oleh perban. "I-ini kenapa, Sayang?" tanya Shafira dengan suara bergetar. "Maafkan Keano, Ibu, tadi aku jatuh di ujung jalan sana. Lalu, paman menolongku.""Paman?" Keano mengangguk lalu menoleh ke belakang men
"Maaf kalau aku terlambat.""Harusnya kamu lakukan itu sejak dulu saat test DNA itu keluar.""Iya, aku akui salah, Shafira. Saat itu memang aku—""Apa istrimu tahu?" potong Shafira. Kenward terdiam. Dia lupa bahwa Shafira tahu tentang pernikahannya. Shafira memang sangat merindukan Kenward, namun sesuatu kembali membawanya pada satu kenyataaan bahwa Kenward bukan hanya miliknya. Sudah ada wanita lain yang berhak atas suaminya. "Pulanglah! Jangan buat dia menunggu dan menangis karena sudah menemui wanita lain.""Kamu bukan wanita lain. Kamu istri sahku, Shafira."Shafira menoleh. Dia menatap mata suaminya. Kenward merasa sanhat bersalah saat Shafira menatapnya penuh luka. "Aku istrimu?" tanya Shafira dengan suara bergetar. "Kalau aku istrimu, kenapa kamu justru membiarkan aku diasingkan di tempat ini. Dulu, kamu bahkan tidak memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan semua. Kamu justru berpaling dariku, Ken.""Shafira ....""Kamu percaya pada fitnah murahan itu. Kamu jijik padak
"Ken ....."Mata yang tadinya terpejam perlahan terbuka. Melihat siapa yang ada di depannya membuat Kenward tersenyum. "Kamu sudah bangun?" Shafira diam. "Bagaimana keadannya? Sudah mendingan kan?""Iya. Eum, terima kasih."Keduanya sama-sama diam. Suasana kembali hening. Shafira berinisiatif untuk ke dapur menyiapkan sarapan pagi. Tiba-tiba Kenward menahannya. Dipegangnya kuat tangan milik Shafira. "Kamu masih marah denganku?"Shafira memilih diam. Kenward perlahan mendekat. "Shafira—" "Aku ingin menyiapkan sarapan dulu.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Shafira."Shafira menoleh. Tatapan mereka bertemu. "Apa yang harus aku jawab? Aku rasa semuanya sudah jelas."Kenward mengembuskan napas kasar. "Baiklah."Shafira pergi meninggalkan Kenward sendiri. Dia berusaha mengatur degub jantungnya yang selalu berdetak cepat jika berada di sisi suaminya. "Ibu, ayah mana?"Keano yang sedang menonton film kartun dengan Gio menoleh ke belakang ibunya."Ayah masih tidur, Sayang.""Keano i
"Sudah satu minggu kalian di sini. Sebaiknya kamu pulang. Istrimu pasti sudah menunggumu pulang. Aku tidak ingin kalian salah paham karena kami."Kenward yang sedang membakar ikan hasil tangkapan Gio, terdiam. Memang benar apa yang dikatakan oleh Shafira. Selama mereka di sini, Alice terus menghubunginya dan menyuruh mereka pulang. Sering terjadi perdebatan di antara mereka apalagi Kenward menolak keras keinginan Alice. Shafira tidak sengaja mendengar pertengkaran mereka hingga dia memutuskan untuk tetap tinggal di sini dan menyuruh suaminya kembali tanpa mereka."Aku tidak akan pernah kembali selama kalian tidak ikut denganku," tegas Kenward. "Biarkan kami di sini. Aku tidak ingin merusak kebahagiaan kalian.""Kebahagiaanku? Aku tidak pernah bahagia selama menikah dengan Alice, Shafira. Lebih tepatnya setelah kamu pergi.""Jika tujuanmu menjemput kami karena warisan itu—""Warisan. Warisan. Warisan," potong Kenward. Napas Kenward memburu. Dia selalu kecewa dengan jalan pikiran Sha
"Aku minta maaf, Shafira. Aku tahu ini sangat susah tapi beri aku satu kesempatan. Ini permintaan terakhirku. Aku ingin hidup tenang."Alice hendak bersujud di kakinya akan tetapi Shafira menolak."Jangan pernah merendahkan dirimu pada manusia, Alice. Merendahlah pada Tuhanmu saja."Shafira membantu Alice untuk bangkit dan menatap matanya dalam."Aku memaafkanmu."Alice menangis dan memeluk Shafira. Untuk pertama kalinya mereka melakukan itu. Alice menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Shafira. Dia sekarang tenang. Shafira melepas pelukannya dan menghapus jejak mata Alice. "Kamu adalah adikku, Alice." "Jika aku meminta satu permintaan, apa kamu mau mengabulkannya?""Apa itu?""Aku ingin menghadap pada Tuhanku dengan cara yang baik. Aku ingin shalat, berpakaian muslimah dan makan bersamamu.""Masya Allah, aku akan melakukannya."Shafira kemudian kembali memeluk Alice. Mereka sama-sama menangis saat ini. Dia kemudian menuntun Alice berwudhu kemudian shalat ashar bersama. Berhubung
"Sebenarnya aku merasa takut untuk menghadiri sidang akhir ini, Ken. Aku tidak sanggup mendengar keputusan haki. Itu lah sebabnya selama persidangan aku memilih untuk ridak menghadirinya.""Papa, Mama dan adikku sendiri ada di sana. Aku benar-benar tidak sanggup."Tuan Albern menepuk pelan pundak Gio untuk memberinya kekuatan.Hari ini adalah jadwal pembacaan keputusan sidang. Semua keluarga turut hadir kecuali Keano. Suasana sidang mulai ramai. Saat para terdakwa masuk, suasana jembali gaduh. Kenward terus menggenggam tangan Shafira untuk memberinya kekuatan. "Sidang pembacaan keputusan akan dimulai. Silahkan para hadirin untuk diam sejenak dan kami harapkan tidak ada keributan agar proses sudang berjalan dengan lancar."Suasana kembali hening. Ketua hakim kemudian membagikan tiga rangkap bacaan putusan pengadilan atas hukumannyang akan dijatuhkan pada ketiga terdakwa."Silakan, terdakwa atas nama Agatha Abimana Guinandra untuk berdiri!"Tuan Agataha berdiri menghadap ke arah haki
"Aku ingin bertemu dengan Pak Adam.""Dia sedangan ada rapat, Pak. Apa sudah ada janji sebelumnya?" tanya wanita yang diduga sekretarisnya."Iya," jawab Haris sengaja berbohong. "Baik, Pak. Silahkan menunggu sebentar. Rapat sebentar lagi selesai."Terima kasih."Haris memilih duduk di sofa ruang tunggu sambil memikirkan strategi yang akan digunakan nantinya. Haris sejak dulu membenci Eliezer. Dia adalah dua pengacara hebat yang saling bersaing satu sama lain. "Aku harus bisa mengalahkan Eliezer," gumamnya. Dua puluh menit berlalu. Haris spontan berdiri saat melihat Pak Adam keluar dari ruang rapat. Dia berjakan menghampiri hakim ketua yang diprediksi berusia lima puluh tahun itu."Siang, Pak Adam.""Selamat siang, Pak Haris. Apa kita ada janji temu sebelumnya?"Haris mengurai senyum. "Ada hal penting yang ingin saya sampaikan, Pak.""Soal?""Ah, ini rahasia dan baiknya kita bicara berdua."Pak Adam mulai menaruh curiga. Terlebih dia tahu sosok yang ada di depannya saat ini."Baik
"Bagaimana, Tuan Agatha, hari ini pembacaan tuntutan jaksa. Apa Anda siap?""Bagaimana jika tuntutan itu berat?""Kami mendengar bahwa tuntutan jaksa tentang pembunuhan berencana itu seumur hidup. Bagaimana tanggapan Anda?"Banyak pertanyaan dari awak media yang membuat kepala Tuan Agatha semakin pusing. Dia lebih memilih tertunduk dalam.Hal yang sama ditanyakan saat Alice dan Nyonya Sonia masuk ke ruangan persidangan. Keduanya memilih menunduk dalam. Pembacaan tuntutan jaksa dimulai. Tuan Agatha lebih dulu duduk di kursi terdakwa. "Silahkan saudara Agatha Abimana Giinandra untuk berdiri!"Tuan Agatha yang memakai kemeja putih dan celana kain berwarna hitam berdiri. "Berdasarkan keputusan sesuai dengan isi pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang menyebutkan bahwa 'Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencama ( moord ), dengan pidana mati, atau penjara seumur hidup atau selama waktu ter
"Keputusan akan cepat diproses karena mereka tidak ada perlawanan, Tuan.""Baguslah. Kalau begitu tinggal pembacaan tuntutan jaksa lalu akan ada pembacaan pembelaan tersangka ataa tuntutan jaksa atau pledoi jika mereka keberatan."Tuan Albern dan Ken terdiam. Prosesnya dibilang cukup panjang. Di luar sana media seakan berlomba-komba untuk memberitakan ini semua. Bukan karena kasusnya akan tetapi ornag yang saat ini menjadi tersangka utamanya. Keluarga Agatha adalah orang yang cukup terpandang. Melihat keadaan seperti ini tentu saja media mengincar setiap pergerakan yang dilakukan oleh Keluarga Guinnadra. "Awak media masih terus menunggu di luar, Pa.""Kita hadapi saja."Mereka bertiga melangkah keluar. Puluhan awak media langsung mwndatangi mereka."Bagaimana kelanjutannya, Pak?""Pak, apa benar hanya denndam pribadi?""Pak, lalu bagaimana keadaan korban saat ini?""Pak, bagaimana status tersangka Alice saat ini?"Berbagai pertanyaan beruntun datang menghampiri. Mereka sedikit kewa
"Bagaimana keadaan kalian?""Aku baik-baik saja, Gio."Shafira memperhatikan wajah sendu Gio yang tidak peenah ditampakkan selama ini. Matanya beralih pada jendela rumah sakit yang berhadapan langsung dengan taman bermain anak-anak. Raline, Keano dan kedua putrinya bermain di sana sedangkan Shafira dan Gio berada di dalam kamar Keano. "Apa yang kamu pikirkan, Gio?""Mereka sudah membawa papa dan mama. Rasanya menyakitkan ....""Maksudnya?""Polisi sudah menemukan barang bukti kejahatan mereka selama ini yang mereka sembunyikan. Keluargaku dikenakan pasal berlapis atas tindakan kriminal yang dilakukannya."Shafira mengembuskan napas berat. Rasa nyeri dan sesak menjalar ke seluruh rongga dadanya. Ingatannya kembali pada sikap keluarga Agatha padanya dulu. Shafira berasa hidup di penjara. Mereka terus melakukan segala cara untuk melenyapkan Shafira termasuk putranya. "Aku tahu selama ini keluargaku sudah sangat melewati batas. Ingin menghentikan mereka justru aku yang dijadikan kambi
"Ibu ....""Iya, Sayang?""Aku ingin pulang. Aku bosan di sini."Shafira berusaha tersenyum. Dia mengelus pundak putranya. Kenward sudah berpesan untuk tidak membawa putranya kembali ke rumah dulu. Dia takut trauma itu kembali. "Nanti ya, Sayang. Lukamu masih perlu disembuhkan.""Tapi, aku bosan di sini, Ibu," rengeknya.Shafira mencium pucuk kepala putranya. Dia tidak ingin menentang perintah suaminya juga ingin melindungi putranya. Dia bertekad untuk selalu berusaha agar putranya merasa nyaman dan terhindar sesuatu yang bisa membuatnya mengingat kembali kejadian menyakitkan itu. "Ini permintaan ayah, Sayang."****"Halo, Tuan Kenward. Hari ini kami akan melakukan penyelidikan dan pencarian bukti di kediaman Anda.""Silahkan, Pak."Kenward menemui keluarganya yang tengah menikmati makan siang bersama tanpa kehadiran Shafira dan Keano. Sengaja dia melakukan itu atas dasar perintah Komandan Andrew. Tuan Agatha dan Nyonya Sonia tampak menikmati keakraban yang sudah lama hilang. Ked
"Alice sudah keterlaluan, Ma. Dia sudah melalukan tindakan bodoh tanpa diskusi dulu dengan kita. Apa dia tidak memikirkan konsekuensinya?"Tuan Agatha dibuat kesal oleh putrinya. Apa yang dilakukan oleh Alice tidak hanya membahayakan dirinya juga keluarganya sendiri. "Apa dia tidak pernah berfikir? kalau dia melakukan sesuatu yang berbahaya, tentu kita juga akan terseret.""Mungkin putri kita melakukan itu semua karena.sudah jenuh dengan sikap keluarga Albern.""Atau jangan-jangan kamu tahu, Ma, rencana dia?"Nyonya Sonia sedikit tersentak. Tatapan mata Tuan Agatha berubah menjadi tatapan mengintimidasi. Tuan Agatha menghampiri istrinya. Dia merasa ada yang sedang disembunyikannya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Ma. Jawab!""Ti-tidak, Pa. Aku tidak tahu apa-apa.""Jangan membohongiku, Ma. Aku bisa tahu dari sorot mata dan sikapmu.""Aku serius, Pa.""Ma ...."Nyonya Sonia mengembuskan napas berat. Biar bagaimana pun suaminya pasti tahu apa yang sudah terjadi. "Baiklah, Mama t
"Ada hal yang ingin aku sampaikan pada kalian semua terkait siapa pelaku penculikan putra kami-Keano.""Siapa, Ken?"Semua yang sengaja dihadirkan Ken diam menunggu nama yang akan disebut. Nyonya Sonia berusaha menenangkan diri. Dia belum siap mendengar pengakuan putrinya. "Alice, Pa.""Apa?!"Semua yang hadir terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Kenward. Terkecuali Gio.Shafira menangis. Dia sudah menduga sebelumnya jika ada keterlibatan Alice pada kasus ini. Hanya saja dia berusaha untuk berpikir positif.Tubuhnya terguncang menahan sesak dan tangis yang ingin sekali pecah. Entah kenapa Alice ingin sekali melenyapkannya. Ingin membuktikan secara kuat, Ken memutar rekaman video yang dikirim oleh Nichole dulu. "Aku tidak menyangka putriku akan melakukan hal sekeji itu. Aku sama sekali tahu soal ini.""Saat ini Alice ditahan di Polres Metro Jakarta Selatan. Semua sudah dilakukan tinggal mengumpulkan bukti-bukti yang ada dan aku harap kerjasamanya untuk tidak menemuinya dulu demi