"Kalau begitu bersiaplah untuk besok menjadi pengantin gadis itu!"
Kedua mata Kenward melebar sempurna saat mendengar keputusan kakeknya.
"Apa?!"
"Ini adalah keputusan yang adil untuk dia. Gadis yang kamu bela di hadapanku."
Kenward mendengus kesal dengan keputusan gila kakeknya.
Bagaimana mungkin dia akan menikahi gadis desa yang dia tidak cintai sama sekali?
"Kek, aku yakin Kakek yang paling tahu isi hatiku. Kepada siapa hati ini berlabuh."
"Ya, Kakek tahu. Clara-mendiang istrimu- yang sangat kamu cintai."
"Lalu, kenapa harus menghadirkan sosok yang lain?"
"Kakek tahu yang terbaik untukmu, Nak. Percayalah!"
Kenward menggeleng tegas. Dia bahkan belum siap menggantikan sosok Clara.
Tuan Abimana merasa keputusannya sudah tepat. Dia yakin Shafira bisa menjadi pengganti Clara dan bisa menghapus kesedihan cucu kesayangannya.
"Kakek tidak menerima penolakan!"
Tuan Abimana meninggalkan Kenward yang terlihat sangat kacau. Dia merasa seolah terjebak.
Sebisa mungkin Kenward mencoba menolak, namun siapa yang bisa menolak keputusan Tuan Abimana lagi.
*
"Terima saja keputusan kakekmu. Papa tahu, itu pasti yang terbaik.""Tapi, Pa, aku tidak ingin menyakiti wanita itu. Kami akan menjalani sebuah perjalanan panjang bersama. Bagaimana mungkin sedangkan aku masih mencintai wanita lain?"
"Kakekmu tidak sembarang mengambil keputusan. Papa yakin ada hal baik yang sedang direncanakan. Terimalah gadis itu." Ken menunduk dalam. Pikirannya sangat kacau.
Saat mendengar kabar bahwa Kenward menjadi pengantin pengganti, keluarga Agatha bisa bernapas lega. Mereka tidak ingin orang lain yang mengambil alih kekayaan Tuan Abimana.
Berbeda dengan Alice Agatha -sepupu Kenward dan juga adik kandung Giovani-, dia tidak menerima keputusan kakeknya karena selama ini dia terobsesi untuk menjadi Nyonya Kenward Albern Guinandra.
"Paman Agatha dan yang lain tidak ingin hadir?" tanya Kenward saat menyadari hanya Tuan Albern yang ada di depannya.
"Mereka sibuk dan kamu pasti tahu alasan mereka."
"Gio juga?"
"Ah, Gio mengurus bisnis keluarga kita. Jadi, dia berhalangan untuk hadir."
Kenward meremas rambutnya dengan kasar. Keputusan Tuan Abimana di luar dugaan. Niatnya untuk membebaskan gadis yang tidak bersalah itu justru membuatnya terjebak sendiri oleh usahanya.
Pandangannya beralih pada layar ponsel yang menampakkan wajah cantik Clara. Matanya mulai berkaca.
"Maafkan, aku, Sayang. Ini di luar kuasaku."
"Aku berjanji, tidak akan pernah mencintai gadis itu. Bagiku, tidak ada cinta sesempurna cintamu. Tidak akan ada yang bisa menggantikan kamu termasuk gadis itu."
Tuan Albern yang mendengar sumpah putranya segera mendekat. Baginya ini tidak bisa dibiarkan.
Tuan Albern menepuk pundak putra semata wayangnya.
"Ken, anakku, kelak jika gadis itu resmi menjadi istrimu, jangan membuatnya terluka."
"Pa, tapi kali ini Kakek egois. Dia bertindak seenaknya tanpa mau tahu soal perasaanku. Kakek bahkan sama sekali tidak meminta pendapatku lebih dulu. Ini tidak adil, Pa."
"Ken, Papa yakin, keputusan Kakekmu tidak akan pernah salah."
"Papa dan Kakek sama saja. Andaikan Mama ada, semua pasti tidak akan pernah terjadi."
Ken kemudian beranjak lalu meninggalkan Tuan Albern sendiri.
*
"Sebentar lagi, Amira, kita akan menjadi kaya raya. Gadis bodoh itu akhirnya bisa berguna juga," bisik Nirmala."Impian kita akhirnya terwujud juga, Bu. Utang piutang yang sudah menggunung akhirnya lunas tak bersisa. Kini, kita akan terus menikmati kekayaan Tuan Abimana."
Mereka berdua tertawa cekikan. Saat ini dua keluarga berkumpul di ruang tengah milik Tuan Abimana.
Hari ini adalah hari di mana Shafira akan berganti status menjadi seorang istri. Air mata terus meleleh membayangkan akan menjadi wanita ke tiga Tuan Abimana.
Tuan Abimana keluar bersama Tuan Albern dan beberapa teman bisnisnya. Sinar bahagia ditampakkan oleh Nirmala dan Amira. Sangat berbanding jauh dengan Hermawan, terlebih Shafira. Hermawan tidak berhenti menyalahkan dirinya atas kejadian ini.
"Bisa kita mulai?" tanya Bapak penghulu.
Shafira semakin terisak dan menggigit kuat bibir bawahnya. Ingin rasanya dia menghilang dari tempat ini.
Wajahnya tertunduk dalam. Jarinya sibuk memilin ujung kebaya putih yang dipakainya.
"Tunggu sebentar. Cucuku belum hadir di sini."
Kenward melangkah masuk dioringi oleh tatapan takjub oleh semua yang melihatnya. Parasnya yang begitu rupawan dan tampak berkharisma.
"Kalau Shafira sudah resmi jadi istri Si Tua bangka itu, Amira ingin merebut hati cucunya, Bu," bisik Amira.
"Tentu saja, Sayang. Ibu sangat mendukung. Semua akan mudah ketika Shafira sudah menjadi bagian utama di keluarga mereka."
Senyum licik terukir di wajah keduanya.
"Sudah bisa dimulai, Tuan?" tanya Bapak penghulu kembali.
"Silakan! Pengantin prianya sudah ada di tengah kita."
Semua yang hadir menatap Tuan Abimana tak percaya. Termasuk Shafira dan keluarganya.
Mereka menyangka Tuan Abimana adalah pengantinnya, rupaya sosok yang jauh lebih muda dan berkharisma itulah pengantin prianya.
"B-bu! Amira tidak mimpi kan?"
"Cubit Ibu, Mir!"
Nirmala memekik kala Amira memberikan cubitan yang hampir saja membuat kulitnya tercabut.
Shafira masih tidak percaya bukan Tuan Abimana akan tetapi cucunya lah yang menjadi calon suaminya.
"T-tuan, apa ini tidak salah?" tanya Hermawan.
"Tidak. Ini adalah keputusan yang tepat. Cucuku lebih pantas menggantikan posisi ini dan Shafira adalah gadis yang kucari selama ini untuk menjadi pendamping Kenward."
"Biar aku saja yang memggantikan Shafira, Bu! Tuan Muda itu lebih pantas buatku."
"Jangan macam-macam, Amira, atau kita akan ditendang dari tempat ini," desis Nirmala.
"Tapi, Bu—"
"Tidak peduli siapa suami Shafira, yang jelas kita akan hidup enak nantinya."
Amira bersungut. Dia tidak menerima apa yang terjadi.
Nirmala hanya memikirkan soal harta, jauh berbeda dengan Amira yang mulai dikuasi keserakahan.
Hermawan kemudian memberikan hak walinya kepada bapak penghulu untuk membacakan ijab qobul.
"Kenward Albern Guinandra Bin Albern Abimana Guinandra, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan seorang wanita yang telah diwalikan kepada saya, Shafira Aqila Binti Hermawan dengan maskawin seperangkat alat sholat, perhiasan emas satu stel seberat 500 gram dan sebuah perkebunan apel dibayar tunai!"
"Saya terima nikah dan kawinnya Shafira Aqila Binti Hermawan dengan maskawin tersebut, tunai."
"Bagaimana para saksi, sah?"
"Sah."
Luruh air mata Shafira atas kejutan yang diberikan oleh Tuan Abimana. Berbeda dengan Nirmala dan Amira yang sangat bahagia mendengar maskawin dan seserahan yang dibawakan oleh keluarga Tuan Abimana.
Bagi Shafira, cukup membebaskan ayahnya, itu sudah lebih dari cukup. Hermawan adalah harta yang paling berharga baginya.
Kenward menyerahkan tangannya yang kemudian diraih oleh Shafira. Keduanya bergetar hebat saat kulit mereka tersentuh. Tidak ingin munafik, jantung Kenward berdetak cepat kala melihat secara dekat dan jelas.
*
"Shafira, ada hal yang ingin aku sampaikan dan wajib kamu ingat dan lakukan!"Shafira yang baru saja membersihkan diri setelah seharian berada di pesta pernikahannya yang sederhana terdiam sejenak.
Tatapan Kenward tajam bagaikan elang yang siap memangsa.
"Sampai kapanpun bagiku ini adalah pernikahan yang tidak dilandasi cinta. Sudah ada wanita yang sejak dulu mengisi hati ini dan akan terus bersemayam di sana. Jadi, jangan pernah bermimpi akan ada sisa tempat walau hanya sedikit untukmu."
"Pernikahan ini hanya untuk menjalankan perintah Kakek demi membebaskan Ayahmu. Hubungan kita hanya sebatas status dan tidak akan pernah terjadi sesuatu layaknya pasangan suami istri. Ingat posisimu, Shafira, kamu hanya penebus dosa keluargamu. Entah kenapa Kakek justru mengambilmu."
Air mata Shafira lolos begitu saja. Dia tidak menyangka, sosok yang baru saja resmi menjadi suaminya tega berkata seperti itu. Kalimat yang begitu menyayat hati.
"Kuperingatkan, aku tidak akan pernah menyentuhmu dan tetap menganggapmu orang lain!"
"Kuperingatkan, aku tidak akan pernah menyentuhmu dan tetap menganggapmu orang lain!" "Jika aku hanyalah orang lain di matamu, hubungan kita hanyalah status belaka, kenapa kamu mau menggantikan posisi Tuan Abimana?" Ken mengalihkan pandangan. Dia sebenarnya tidak tega melihat butiran hangat itu terus mengalir. "Aku kasihan. Hanya itu." Ken meninggalkan Shafira yang berdiri mematung di tempatnya. Dia mengambil selimut dan dua bantal di dalam lemari berukuran besar kemudian memilih tidur di sofa yang terletak di ujung kamarnya. Tubuh Shafira luruh seketika. Dia kini sadar bahwa ujian akan lebih berat ke depannya. Di tempat yang berbeda, Hermawan tidak berhenti menangisi kelemahannya. Akibat perbuatannya, kini putri yang sangat dia sayangi harus menanggungnya. "Maafkan, aku, Salwa, aku sudah ingkar." "Bang, saat aku tidak ada nanti, tolong jaga putri kita. Jangan biarkan dia menderita," ucap Salwa saat dia merasa tubuhnya semakin melemah. Ucapan mendiang istrinya terus terng
"Ken, Kakek ingin bicara sebentar!" titah Tuan Abimana. Kenward yang sedang sibuk melamun di kursi taman segera menggeser posisi duduknya. Laki-laki tua dengan rambut putih tersisir rapi itu duduk di samping cucunya. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Kenward mengembuskan napas kasar. Menurutnya, tanpa diberitahu pun, laki-laki yang tengah duduk di sampingnya pasti akan mengerti. "Bagaimana soal Shafira? Apa kalian sudah mengenal satu sama lain?""Belum."Tuan Abimana mengangguk pelan. Dia mengerti akan kondisi mereka saat ini. Bagaimana tidak, menikah tanpa ada persiapan dan juga hati Kenward masih belum bisa menerima. Menikah adalah perjalanan yang panjang dan akan ada badai yang bisa saja terjadi. Mereka harus siap akan itu. Tuan Abimana pun tahu, hanya saja, baginya dia sangat yakin Kenward dan Shafira bisa melewati itu. "Maafkan kakek." Kenward menoleh. "Kenapa harus aku, Kek? Apa tidak ada cara lain selain menikahkan kami?" tanya K
"Diminum kopinya, Pak!" Hermawan yang sibuk melamun tidak mengindahkan tawaran istrinya. Nirmala yang menyadari itu sedikit kesal. Semenjak Shafira menikah dengan cucu Tuan Abimana, Hermawan terus saja melamun seolah semangatnya ikut menghilang. "Bapak!" tegur Nirmala. "Urus saja kehidupanmu, Nirmala!""Ya sudah! Bapak berubah banyak."Hermawan memejamkan matanya sejenak. Dia berusaha menetralkan perasaan yang sudah menggebu. "Bu, aku hanya merindukan putriku. Aku mengkhawatirkan dia. Tolong, tinggalkan aku sendiri.""Pak, buat apa khawatir? Ibu yakin dia sedang menikmati kekayaan suaminya. Kamu lupa siapa Tuan Kenward?""Jangan menyamakan putriku dengan kalian! Dia anakku. Aku tahu bagaimana sifatnya. Tidak seperti kalian yang melakukan segala cara demi mendapatkan harta yang banyak. Termasuk menjual putriku," sinis Hermawan. Nirmala tertawa mendengar umpatan suaminya. Dia tidak menyangka Hermawan bisa berubah seperti ini. Selama ini dia sudah berusaha keras merebut hati Herma
"Kedatangan kami ke sini untuk berpamitan pada Bapak dan Ibu, rencana besok saya ingin membawa Shafira ke Kota."Hermawan menoleh ke arah putrinya. Tatapannya begitu sendu. "Shafira harus ikut ke mana pun suamiku pergi, Pak," lirih Shafira seolah tahu arti tatapan sendu ayahnya. "Aduh, Bapak, tidak usah berlebihan seperti itu. Biarkan Shafira diboyong oleh suaminya. Lagian, Shafira pasti akan mengunjungi kita lagi," celetuk Nirmala. Hermawan mengalihkan pandangan pada menantunya. Kedua laki-laki dewasa itu saling melempar pandangan. "Tolong, jaga putriku. Dia adalah hartaku yang sangat berharga," pesan Hermawan layaknya seorang ayah pada menantu laki-lakinya. "Aku pasti akan menjaga dia, Pak."Shafira menoleh ke arah Ken. Ada desiran halus yang dia rasakan saat ini. Jantungnya mulai berpacu dengan cepat.Janji yang diucapkan oleh Ken pada Hermawan seperti angin sejuk bagi Shafira. Bibirnya mengulas senyum indah. Nirmala dan Amira yang menyaksikan itu semua tersenyum sinis. "Shaf
"Ingat, Shafira, jangan pernah merendah di depan mereka!""Kenapa?""Tidak perlu bertanya lagi. Kamu sudah lihat sendiri sikap mereka kan? Dia memperlakukan kamu seperti kuman yang harus disingkirkan."Shafira tertunduk dalam. Kalimat yang dilontarkan Ken sangat menusuk ke dalam relung hatinya. Ken menyadari perubahan raut wajah Shafira, segera dia menjelaskan maksud ucapannya. "Maaf kalau ucapanku membuatmu terluka. Satu hal yang harus kamu tahu, keluarga Agatha memang semena-mena dan tidak ragu untuk menindas orang yang tidak dia sukainya.""Kalau begitu, kenapa kalian membawaku ke sini?""Shafira, kamu saat ini adalah menantu keluarga Albern. Kami ingin kamu juga diakui di keluarga besar Guinandra. Status kamu adalah sah."Shafira tersenyum hambar. Apa yang dikatakan oleh Ken adalah benar. Sesuai apa yang dikatakan oleh Papa Albern. Namun, Shafira tidak ingin mudah luluh mengingat ucapan Ken di malam pertama mereka. "Ken, apa kamu lupa dengan apa yang kamu katakan di malam perta
"Kita mau ke mana?" tanya Shafira polos saat mereka tengah berada di dalam mobil. "Ikut saja!""Apa Gio berbahaya?"Ken menggeleng. "Gio tidak seperti keluarga Agatha lainnya."Shafira terdiam. Dia masih ingin bertanya mengapa Ken seolah membatasi dirinya dengan Gio.Ken mengemudikan mobil dengan kecepatan sedang. Pandangannya lurus ke depan. Tidak ada suara yang muncul di antara mereka. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Di tempat yang berbeda Gio masih merenung di tempatnya. Gadis yang dia temui secara tidak sengaja di desa kini ada di depan matanya. Sayangnya, semua telah usai. Gadis itu kini menjadi milik orang lain. "Ah, andai saja aku ikuti kemauan Papa, mungkin aku yang membersamainya saat ini."*"Kalian dari mana saja?" tanya Tuan Abimana saat Ken dan Shafira tiba di rumah setelah dua jam berlalu. "Cari angin, Kek," jawab Ken seadanya.Shafira juga tidak mengerti apa yang dirasakan oleh suaminya. Selama dua jam kepergian mereka, tidak ada sepatah kata pun yang
"Ma, sudah tiga hari Si gadis kampung itu ada di sini. Kenapa kita masih diam saja?" protes Alice pada Sonia. "Kita harus sabar, Sayang. Ingat, bukan hanya Kenward yang menjadi penghalang kita. Tapi, Gio pun ikut-ikutan sekarang.""Jadi, apa kita harus diam saja, Ma?"Senyum licik terukir di wajah Sonia. "Kamu tenang saja, Sayang. Malam ini kita permalukan dia di meja makan. Lakukan secara bertahap. Kita harus main cantik."Kedua tertawa keras seolah yakin akan kejahatan mereka. Tanpa mereka sadari sepasang mata telah mengetahui rencana mereka. *"Mbak Anita," panggil seseorang. Kepala pelayan yang bernama Anita menoleh. Tampak pelayan termuda di kediaman Tuan Abimana."Ada apa?"Vera menoleh ke samping kiri dan kanan. Matanya sibuk mengawasi keadaan sekitar. Dia kemudian menarik pelan tangan Anita-Kepala pelayan yang sudah berusia riga puluh tahun- itu ke tempat sepi. "Ada apa, Ver?"Anita sedikit merasa kesal. Sejak tadi Vera hanya diam sedangkan matanya sibuk mengawasi segala
"Tidak semua masalah dihadapi dengan amarah, Ken," ucap Shafira pada Ken yang tengah duduk bersandar di sofa kamarnya.Ken pun merasa tidak yakin dengan apa yang dia lakukan barusan. Selama ini dia terlalu tak acuh dengan sesuatu yang menurutnya tidak penting. Namun, kali ini berbeda, emosinya tersulut saat melihat kaki Shafira hampir terluka. Shafira pun bingung dengan sikap Ken. Dia merasa apa yang dilakukan Ken berbanding terbalik dengan sikap dinginnya saat mereka tengah berdua. 'Aku tidak tahu, Ken, yang kamu lakukan barusan tadi adalah murni khawatir atau hanya kamuflase semata,' batin Shafira. "Tinggalkan aku sendiri, Shafira," usir Ken dengan suara berat. Tanpa bertanya lagi, Shafira kemudian berdiri dan mencoba untuk memberi ruang bagi Ken. Saat Shafira baru saja hendak menutup pintu, Ken bergumam yang terdengar jelas dan tentu saja membuatnya terluka. "Clara, aku butuh kamu, Sayang." Tangannya memegang kuat gagang pintu. Shafira tidak bisa menampik bahwa ada nyeri saa
"Aku minta maaf, Shafira. Aku tahu ini sangat susah tapi beri aku satu kesempatan. Ini permintaan terakhirku. Aku ingin hidup tenang."Alice hendak bersujud di kakinya akan tetapi Shafira menolak."Jangan pernah merendahkan dirimu pada manusia, Alice. Merendahlah pada Tuhanmu saja."Shafira membantu Alice untuk bangkit dan menatap matanya dalam."Aku memaafkanmu."Alice menangis dan memeluk Shafira. Untuk pertama kalinya mereka melakukan itu. Alice menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Shafira. Dia sekarang tenang. Shafira melepas pelukannya dan menghapus jejak mata Alice. "Kamu adalah adikku, Alice." "Jika aku meminta satu permintaan, apa kamu mau mengabulkannya?""Apa itu?""Aku ingin menghadap pada Tuhanku dengan cara yang baik. Aku ingin shalat, berpakaian muslimah dan makan bersamamu.""Masya Allah, aku akan melakukannya."Shafira kemudian kembali memeluk Alice. Mereka sama-sama menangis saat ini. Dia kemudian menuntun Alice berwudhu kemudian shalat ashar bersama. Berhubung
"Sebenarnya aku merasa takut untuk menghadiri sidang akhir ini, Ken. Aku tidak sanggup mendengar keputusan haki. Itu lah sebabnya selama persidangan aku memilih untuk ridak menghadirinya.""Papa, Mama dan adikku sendiri ada di sana. Aku benar-benar tidak sanggup."Tuan Albern menepuk pelan pundak Gio untuk memberinya kekuatan.Hari ini adalah jadwal pembacaan keputusan sidang. Semua keluarga turut hadir kecuali Keano. Suasana sidang mulai ramai. Saat para terdakwa masuk, suasana jembali gaduh. Kenward terus menggenggam tangan Shafira untuk memberinya kekuatan. "Sidang pembacaan keputusan akan dimulai. Silahkan para hadirin untuk diam sejenak dan kami harapkan tidak ada keributan agar proses sudang berjalan dengan lancar."Suasana kembali hening. Ketua hakim kemudian membagikan tiga rangkap bacaan putusan pengadilan atas hukumannyang akan dijatuhkan pada ketiga terdakwa."Silakan, terdakwa atas nama Agatha Abimana Guinandra untuk berdiri!"Tuan Agataha berdiri menghadap ke arah haki
"Aku ingin bertemu dengan Pak Adam.""Dia sedangan ada rapat, Pak. Apa sudah ada janji sebelumnya?" tanya wanita yang diduga sekretarisnya."Iya," jawab Haris sengaja berbohong. "Baik, Pak. Silahkan menunggu sebentar. Rapat sebentar lagi selesai."Terima kasih."Haris memilih duduk di sofa ruang tunggu sambil memikirkan strategi yang akan digunakan nantinya. Haris sejak dulu membenci Eliezer. Dia adalah dua pengacara hebat yang saling bersaing satu sama lain. "Aku harus bisa mengalahkan Eliezer," gumamnya. Dua puluh menit berlalu. Haris spontan berdiri saat melihat Pak Adam keluar dari ruang rapat. Dia berjakan menghampiri hakim ketua yang diprediksi berusia lima puluh tahun itu."Siang, Pak Adam.""Selamat siang, Pak Haris. Apa kita ada janji temu sebelumnya?"Haris mengurai senyum. "Ada hal penting yang ingin saya sampaikan, Pak.""Soal?""Ah, ini rahasia dan baiknya kita bicara berdua."Pak Adam mulai menaruh curiga. Terlebih dia tahu sosok yang ada di depannya saat ini."Baik
"Bagaimana, Tuan Agatha, hari ini pembacaan tuntutan jaksa. Apa Anda siap?""Bagaimana jika tuntutan itu berat?""Kami mendengar bahwa tuntutan jaksa tentang pembunuhan berencana itu seumur hidup. Bagaimana tanggapan Anda?"Banyak pertanyaan dari awak media yang membuat kepala Tuan Agatha semakin pusing. Dia lebih memilih tertunduk dalam.Hal yang sama ditanyakan saat Alice dan Nyonya Sonia masuk ke ruangan persidangan. Keduanya memilih menunduk dalam. Pembacaan tuntutan jaksa dimulai. Tuan Agatha lebih dulu duduk di kursi terdakwa. "Silahkan saudara Agatha Abimana Giinandra untuk berdiri!"Tuan Agatha yang memakai kemeja putih dan celana kain berwarna hitam berdiri. "Berdasarkan keputusan sesuai dengan isi pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang menyebutkan bahwa 'Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencama ( moord ), dengan pidana mati, atau penjara seumur hidup atau selama waktu ter
"Keputusan akan cepat diproses karena mereka tidak ada perlawanan, Tuan.""Baguslah. Kalau begitu tinggal pembacaan tuntutan jaksa lalu akan ada pembacaan pembelaan tersangka ataa tuntutan jaksa atau pledoi jika mereka keberatan."Tuan Albern dan Ken terdiam. Prosesnya dibilang cukup panjang. Di luar sana media seakan berlomba-komba untuk memberitakan ini semua. Bukan karena kasusnya akan tetapi ornag yang saat ini menjadi tersangka utamanya. Keluarga Agatha adalah orang yang cukup terpandang. Melihat keadaan seperti ini tentu saja media mengincar setiap pergerakan yang dilakukan oleh Keluarga Guinnadra. "Awak media masih terus menunggu di luar, Pa.""Kita hadapi saja."Mereka bertiga melangkah keluar. Puluhan awak media langsung mwndatangi mereka."Bagaimana kelanjutannya, Pak?""Pak, apa benar hanya denndam pribadi?""Pak, lalu bagaimana keadaan korban saat ini?""Pak, bagaimana status tersangka Alice saat ini?"Berbagai pertanyaan beruntun datang menghampiri. Mereka sedikit kewa
"Bagaimana keadaan kalian?""Aku baik-baik saja, Gio."Shafira memperhatikan wajah sendu Gio yang tidak peenah ditampakkan selama ini. Matanya beralih pada jendela rumah sakit yang berhadapan langsung dengan taman bermain anak-anak. Raline, Keano dan kedua putrinya bermain di sana sedangkan Shafira dan Gio berada di dalam kamar Keano. "Apa yang kamu pikirkan, Gio?""Mereka sudah membawa papa dan mama. Rasanya menyakitkan ....""Maksudnya?""Polisi sudah menemukan barang bukti kejahatan mereka selama ini yang mereka sembunyikan. Keluargaku dikenakan pasal berlapis atas tindakan kriminal yang dilakukannya."Shafira mengembuskan napas berat. Rasa nyeri dan sesak menjalar ke seluruh rongga dadanya. Ingatannya kembali pada sikap keluarga Agatha padanya dulu. Shafira berasa hidup di penjara. Mereka terus melakukan segala cara untuk melenyapkan Shafira termasuk putranya. "Aku tahu selama ini keluargaku sudah sangat melewati batas. Ingin menghentikan mereka justru aku yang dijadikan kambi
"Ibu ....""Iya, Sayang?""Aku ingin pulang. Aku bosan di sini."Shafira berusaha tersenyum. Dia mengelus pundak putranya. Kenward sudah berpesan untuk tidak membawa putranya kembali ke rumah dulu. Dia takut trauma itu kembali. "Nanti ya, Sayang. Lukamu masih perlu disembuhkan.""Tapi, aku bosan di sini, Ibu," rengeknya.Shafira mencium pucuk kepala putranya. Dia tidak ingin menentang perintah suaminya juga ingin melindungi putranya. Dia bertekad untuk selalu berusaha agar putranya merasa nyaman dan terhindar sesuatu yang bisa membuatnya mengingat kembali kejadian menyakitkan itu. "Ini permintaan ayah, Sayang."****"Halo, Tuan Kenward. Hari ini kami akan melakukan penyelidikan dan pencarian bukti di kediaman Anda.""Silahkan, Pak."Kenward menemui keluarganya yang tengah menikmati makan siang bersama tanpa kehadiran Shafira dan Keano. Sengaja dia melakukan itu atas dasar perintah Komandan Andrew. Tuan Agatha dan Nyonya Sonia tampak menikmati keakraban yang sudah lama hilang. Ked
"Alice sudah keterlaluan, Ma. Dia sudah melalukan tindakan bodoh tanpa diskusi dulu dengan kita. Apa dia tidak memikirkan konsekuensinya?"Tuan Agatha dibuat kesal oleh putrinya. Apa yang dilakukan oleh Alice tidak hanya membahayakan dirinya juga keluarganya sendiri. "Apa dia tidak pernah berfikir? kalau dia melakukan sesuatu yang berbahaya, tentu kita juga akan terseret.""Mungkin putri kita melakukan itu semua karena.sudah jenuh dengan sikap keluarga Albern.""Atau jangan-jangan kamu tahu, Ma, rencana dia?"Nyonya Sonia sedikit tersentak. Tatapan mata Tuan Agatha berubah menjadi tatapan mengintimidasi. Tuan Agatha menghampiri istrinya. Dia merasa ada yang sedang disembunyikannya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Ma. Jawab!""Ti-tidak, Pa. Aku tidak tahu apa-apa.""Jangan membohongiku, Ma. Aku bisa tahu dari sorot mata dan sikapmu.""Aku serius, Pa.""Ma ...."Nyonya Sonia mengembuskan napas berat. Biar bagaimana pun suaminya pasti tahu apa yang sudah terjadi. "Baiklah, Mama t
"Ada hal yang ingin aku sampaikan pada kalian semua terkait siapa pelaku penculikan putra kami-Keano.""Siapa, Ken?"Semua yang sengaja dihadirkan Ken diam menunggu nama yang akan disebut. Nyonya Sonia berusaha menenangkan diri. Dia belum siap mendengar pengakuan putrinya. "Alice, Pa.""Apa?!"Semua yang hadir terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Kenward. Terkecuali Gio.Shafira menangis. Dia sudah menduga sebelumnya jika ada keterlibatan Alice pada kasus ini. Hanya saja dia berusaha untuk berpikir positif.Tubuhnya terguncang menahan sesak dan tangis yang ingin sekali pecah. Entah kenapa Alice ingin sekali melenyapkannya. Ingin membuktikan secara kuat, Ken memutar rekaman video yang dikirim oleh Nichole dulu. "Aku tidak menyangka putriku akan melakukan hal sekeji itu. Aku sama sekali tahu soal ini.""Saat ini Alice ditahan di Polres Metro Jakarta Selatan. Semua sudah dilakukan tinggal mengumpulkan bukti-bukti yang ada dan aku harap kerjasamanya untuk tidak menemuinya dulu demi