"Tolong bebaskan suami saya, Tuan, biarlah Shafira menjadi jaminannya," ucap wanita yang tengah berlutut dengan kedua tangan saling menangkup.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?"
"Yakin, Tuan! Shafira adalah putri kesayangan Hermawan. Biar dia saja yang menjadi jaminan. Tuan bisa mempekerjakan dia di sini," bujuk Nirmala.
Saat ini keduanya tengah berada di ruang pribadi Tuan Abimana. Tentu saja diawasi oleh dua orang laki-laki bertubuh tinggi dan pakaian serba hitam di depan pintu masuk sedangkan Shafira dan Amira yang kebetulan ikut bersama ibunya menunggu di luar.
Tuan Abimana berdiri kemudian berjalan dan membelakangi Nirmala. Kedua tangannya menyilang di balik punggungnya.
"Kenapa kamu lebih memilih menjadikan anak perempuanmu sebagai jaminan dibanding berusaha mencari jalan yang lain?"
"Jujur saja, dia hanya anak tiriku. Saya tidak punya harta yang banyak untuk menebus suami saya, Tuan. Dia tidak berguna sama sekali. Jadi, lebih baik dia yang jadi jaminan untuk Hermawan."
"Bagaimana jika saya lebih tertarik menjadikan Shafira selain pembantu?"
Alis Nirmala menyatu. Dia masih belum bisa mencerna ucapan Tuan Abimana.
"Maksud Tuan?"
"Saya justru lebih tertarik menjadikan dia sebagai istri muda. Bagaimana?"
Mata Nimala melebar begitu mendengar tawaran Tuan Abimana.
Nirmala mengangguk setuju tanpa menimbang tawaran itu. Bagi Nirmala keuntungan bisa lebih banyak dia dapatkan. Utangnya akan lunas dan tentu saja akan masih banyak sisa uang yang diperolehnya.
Nirmala kemudian memiliki rencana jahat untuk Shafira.
"Saya setuju, Tuan. Sungguh hatimu begitu mulia. Suamiku telah merampok di rumahmu dan masih mendapat kemurahan hatimu, Tuan," puji Nirmala.
"Baiklah. Tiga hari lagi kami akan menikah. Kamu tidak perlu repot-repot mempersiapkannya. Biar suruhanku yang melakukan itu semua. Pastikan putrimu tidak merusak rencana ini!"
Nirmala mengangguk antusias. Tuan Abimana kemudian mempersilahkan Nirmala pergi.
Shafira dan Amira yang sejak tadi cemas menunggu spontan berdiri saat mendapati Ibu mereka keluar dari ruangan itu.
Keduanya saling berpandangan kala melihat ekspresi Ibunya yang diluar prediksi mereka. Senyum lebar merekah di bibir yang dilapisi lipstik merah cerah itu. Di belakangnya turut pula Tuan Abimana yang kemudian berhenti tepat di depan mereka.
'Apa yang terjadi?' batin Shafira.
"Apa yang Ibu lakukan di dalam?" bisik Amira yang penasaran atas sikap Ibunya.
"Kamu diam saja!"
"Ingat perjanjian kita, Nirmala. Saya tidak ingin kamu mengecewakan saya."
"Pasti, Tuan! Saya sangat menjamin tidak akan mengecewakan Tuan Abimana," jawab Nirmala dengan senyum yang terus merekah. Kedua putrinya dilanda kebingungan.
"Besok kembali ke sini! Hermawan akan saya lepaskan. Jemput dia."
"B-baik, Tuan."
Tuan Abimana berlalu meninggalkan ketiganya. Nirmala kemudian memberi kode pada kedua putrinya untuk segera pulang.
Sepanjang jalan Nirmala tidak berhenti tersenyum. Dia kini membayangkan akan menjadi wanita kaya saat tujuannya bisa tercapai. Dia tidak akan hidup miskin lagi.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Bu? Kenapa Ibu justru terus tersenyum?"
"Amira, kita akan jadi orang kaya," bisiknya.
"Maksud, Ibu?"
"Nanti Ibu akan ceritakan setelah kita sampai di rumah."
Nirmala dan Amira terus berjalan hingga tidak sadar Shafira sudah tertinggal jauh.
Shafira merasakan ada yang tidak beres. Dia mencium bau-bau kelicikan Ibu tirinya.
Shafira kenal betul dengan wanita pengganti mendiang Ibunya. Wanita itu akan melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya.
*
"Perjanjian apa yang dimaksud Tuan Abimana, Bu?" tanya Amira sesaat setelah mereka tiba di rumah."Ibu tidak melakukan hal aneh 'kan?" tuduh Shafira.
Nirmala mendelik malas pada Shafira. Sudut bibirnya terangkat.
"Saya tidak serendah itu, Shafira."
"Lalu apa? Kenapa Tuan Abimana itu justru begitu mudahnya melepaskan Bapak?" desak Shafira.
"Berhenti bertanya, Shafira! Sudah bagus Tuan Abimana masih berbaik hati pada kita."
Shafira berusaha mencari celah kebohongan Ibu tirinya. Sayangnya wanita itu sama sekali tidak menunjukkan gelagat yang mencurigakan.
"Kamu harusnya bersyukur! Bapak kamu bisa dibebaskan," cibir Amira yang sejak tadi memilih diam.
"Tapi —"
"Ah, sudahlah! Toh, sudah terjadi. Kamu pergi dari hadapanku! Melihat wajahmu membuatku hilang selera," usir Nirmala.
Shafira mengembuskan napas kasar. Dia memilih berlalu. Berdebat dengan Ibu tirinya tidak akan pernah ada habisnya.
Namun, bukan Shafira namanya jika dia tidak akan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di sangat mengenal Nirmala. Wanita yang telah menggantikan posisi mendiang Ibunya adalah sosok yang sangat licik.
"Ibu, Amira sangat penasaran. Bagaimana bisa Tuan Abimana menyetujui permohonan kita?"
Nirmala melihat sebentar. Dia tidak ingin Shafira mengetahui hal ini. Bisa-bisa rencananya bisa gagal.
"Ibu menjual gadis bodoh itu pada Tuan Abimana."
"Apa?!" Nirmala mengangguk yakin.
"Ibu yang benar saja. Kenapa Ibu melakukan itu semua?"
Nirmala menutup mulut putrinya dengan telapak tangan kanan. Pandangannya kembali menoleh ke arah pintu kamar Shafira yang tertutup rapat.
Nirmala menarik tangan putrinya lalu membawa ke dalam kamar. Pekikan Arumi tadi bisa saja membuat Shafira tahu rencananya.
"Kamu diam! Ini Ibu lakukan demi kita semua. Bukan hanya demi Bapakmu yang tidak berguna itu!" bisik Nirmala.
"Bapak tidak akan terima, Bu. Kita semua tahu Si gadis bodoh itu kesayangan Bapak. Apa yang Ibu lakukan sama saja menambah masalah."
"Gadis bodoh! Makanya dengarkan Ibu dulu!" bentak Nirmala.
Senyum licik tersungging di wajahnya. Nirmala yakin rencana ini tidak akan sia-sia. Soal Hermawan, Nirmala bisa mengatasinya.
"Ibu awalnya menjadikan Shafira sebagai jaminan dan kamu harus tahu soal ini. Tua bangka itu justru menolak menjadikan Shafira sebagai pembantu di rumahnya tanpa bayaran sepersen pun sesuai tawaran Ibu."
"Lalu?"
"Tua bangka itu justru ingin menjadikan Shafira sebagai istri ke tiga!"
Mata Amira melebar. Tangannya menutup mulutnya yang sempat menganga.
Nirmala kembali tersenyum sinis. Dia seolah ingin segera menikmati hasil jerih payahnya merayu Tuan Abimana.
"Ibu, apa Tuan Abimana sudah tidak waras mau menikahi wanita yang sangat jauh lebih muda? Shafira pasti seusia dengan cicitnya."
"Ibu harus menyetujui dan menjadikan Shafira sebagai tumbal di sini, Amira!"
Di sisi lain Amira merasa kasihan dengan nasib saudara tirinya. Bagaimana pun, selama ini Shafira selalu berbuat baik padanya.
Amira tidak bisa membayangkan Shafira akan menikah dengan kakek tua berusia sembilan puluh tahun. Meskipun tidak dipungkiri usianya memang sangat tua. Namun, tidak menghilangkan kharismanya. Tuan Abimana tetap segar bugar dan berparas tampan.
"Ibu tidak peduli dia menikah dengan siapa. Terlebih jika yang akan menikahinya adalah Tuan Abimana-saudagar kaya di kampung ini."
"Tapi, Bu, kasihan Shafira."
"Berhenti mengasihani gadis bodoh itu! Apa kamu mau menggantikan posisi dia?"
Amira menggeleng tegas. Tentu saja dia tidak ingin berada di posisi itu. Membayangkannya saja dia sudah tidak sanggup.
"Amira, kamu mau kita hidup enak bukan?" Amira mengangguk.
"Kalau kamu ingin seperti itu maka turuti saja rencana Ibu."
"Apapun yang terjadi, Shafira harus menikah dengan tua bangka itu."
"Apa?!" pekik Shafira. Dia tidak menyangka senyum Nirmala kemarin ternyata tersimpan rencana jahat untuknya. "Ya. Apa perkataan Ibu kurang jelas, Shafira? Atau pendengaranmu kurang menangkap dengan baik?" Shafira menggeleng lemah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Perlahan dia mundur beberapa langkah. Dadanya begitu sesak. Ini semua di luar dugaannya. Wanita itu benar-benar licik. "Aku tidak mau, Ibu!" desis Shafira. "Saya tidak menerima penolakan, Shafira!" "Kenapa harus aku?" Nirmala melipat kedua tangannya di depan. Wajahnya tidak sedikitpun menunjukkan rasa iba. "Lalu siapa lagi?" tanya Nirmala dengan raut wajah meremehkan. Pandangan Shafira beralih pada Amira yang sejak tadi duduk santai di sofa usang mereka. "Bukankah Bapak dipenjara seperti ini karena ulah kalian? Seharusnya bukan aku yang harus dikorbankan. Tapi dia!" Napas Shafira memburu. Dia tidak ingin mengalah lagi. Kali ini dia tidak ingin dikorbankan lagi. Namun, bukan Nirmala namanya jika d
"Lepaskan aku!" Teriak Shafira. "Diam kamu!" balas Nirmala. Shafira berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Nirmala dan Shafira. Apalah daya tangannya diikat kuat dengan tali. Shafira terus merintih dan menahan malu saat semua pandangan tertuju padanya. Dia seolah maling yang tertangkap basah. "Ibu, lepaskan!" "Aku sudah memintanya dengan baik-baik, justru kamu terus melawanku, Shafira! Jadi, jangan salahkan Ibu kalau berbuat kasar seperti ini." Shafira terus menangis. Nirmala dan Amira memasukkan tubuh Shafira secara terpaksa ke dalam mobil tua milik mereka. Mobil yang sudah lama tidak terpakai. Sepanjang jalan Shafira terus menangis dan memberontak. Hal itu membuat Nirmala semakin geram. "Berhenti memancing emosiku, Shafira! Ini semua Ibu lakukan demi menebus Bapakmu!" "Lebih baik aku jadi pembantu daripada menjadi istri ketiga Tuan Abimana." "Tapi, itu permintaannya!" "Aku tidak mau, Bu ...." Air mata Shafira terus mengalir. Kepalanya kini menunduk dalam.
"Kalau begitu bersiaplah untuk besok menjadi pengantin gadis itu!" Kedua mata Kenward melebar sempurna saat mendengar keputusan kakeknya. "Apa?!" "Ini adalah keputusan yang adil untuk dia. Gadis yang kamu bela di hadapanku." Kenward mendengus kesal dengan keputusan gila kakeknya. Bagaimana mungkin dia akan menikahi gadis desa yang dia tidak cintai sama sekali? "Kek, aku yakin Kakek yang paling tahu isi hatiku. Kepada siapa hati ini berlabuh." "Ya, Kakek tahu. Clara-mendiang istrimu- yang sangat kamu cintai." "Lalu, kenapa harus menghadirkan sosok yang lain?" "Kakek tahu yang terbaik untukmu, Nak. Percayalah!" Kenward menggeleng tegas. Dia bahkan belum siap menggantikan sosok Clara. Tuan Abimana merasa keputusannya sudah tepat. Dia yakin Shafira bisa menjadi pengganti Clara dan bisa menghapus kesedihan cucu kesayangannya. "Kakek tidak menerima penolakan!" Tuan Abimana meninggalkan Kenward yang terlihat sangat kacau. Dia merasa seolah terjebak. Sebisa mungkin Kenward me
"Kuperingatkan, aku tidak akan pernah menyentuhmu dan tetap menganggapmu orang lain!" "Jika aku hanyalah orang lain di matamu, hubungan kita hanyalah status belaka, kenapa kamu mau menggantikan posisi Tuan Abimana?" Ken mengalihkan pandangan. Dia sebenarnya tidak tega melihat butiran hangat itu terus mengalir. "Aku kasihan. Hanya itu." Ken meninggalkan Shafira yang berdiri mematung di tempatnya. Dia mengambil selimut dan dua bantal di dalam lemari berukuran besar kemudian memilih tidur di sofa yang terletak di ujung kamarnya. Tubuh Shafira luruh seketika. Dia kini sadar bahwa ujian akan lebih berat ke depannya. Di tempat yang berbeda, Hermawan tidak berhenti menangisi kelemahannya. Akibat perbuatannya, kini putri yang sangat dia sayangi harus menanggungnya. "Maafkan, aku, Salwa, aku sudah ingkar." "Bang, saat aku tidak ada nanti, tolong jaga putri kita. Jangan biarkan dia menderita," ucap Salwa saat dia merasa tubuhnya semakin melemah. Ucapan mendiang istrinya terus terng
"Ken, Kakek ingin bicara sebentar!" titah Tuan Abimana. Kenward yang sedang sibuk melamun di kursi taman segera menggeser posisi duduknya. Laki-laki tua dengan rambut putih tersisir rapi itu duduk di samping cucunya. Pandangan mereka sama-sama lurus ke depan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"Kenward mengembuskan napas kasar. Menurutnya, tanpa diberitahu pun, laki-laki yang tengah duduk di sampingnya pasti akan mengerti. "Bagaimana soal Shafira? Apa kalian sudah mengenal satu sama lain?""Belum."Tuan Abimana mengangguk pelan. Dia mengerti akan kondisi mereka saat ini. Bagaimana tidak, menikah tanpa ada persiapan dan juga hati Kenward masih belum bisa menerima. Menikah adalah perjalanan yang panjang dan akan ada badai yang bisa saja terjadi. Mereka harus siap akan itu. Tuan Abimana pun tahu, hanya saja, baginya dia sangat yakin Kenward dan Shafira bisa melewati itu. "Maafkan kakek." Kenward menoleh. "Kenapa harus aku, Kek? Apa tidak ada cara lain selain menikahkan kami?" tanya K
"Diminum kopinya, Pak!" Hermawan yang sibuk melamun tidak mengindahkan tawaran istrinya. Nirmala yang menyadari itu sedikit kesal. Semenjak Shafira menikah dengan cucu Tuan Abimana, Hermawan terus saja melamun seolah semangatnya ikut menghilang. "Bapak!" tegur Nirmala. "Urus saja kehidupanmu, Nirmala!""Ya sudah! Bapak berubah banyak."Hermawan memejamkan matanya sejenak. Dia berusaha menetralkan perasaan yang sudah menggebu. "Bu, aku hanya merindukan putriku. Aku mengkhawatirkan dia. Tolong, tinggalkan aku sendiri.""Pak, buat apa khawatir? Ibu yakin dia sedang menikmati kekayaan suaminya. Kamu lupa siapa Tuan Kenward?""Jangan menyamakan putriku dengan kalian! Dia anakku. Aku tahu bagaimana sifatnya. Tidak seperti kalian yang melakukan segala cara demi mendapatkan harta yang banyak. Termasuk menjual putriku," sinis Hermawan. Nirmala tertawa mendengar umpatan suaminya. Dia tidak menyangka Hermawan bisa berubah seperti ini. Selama ini dia sudah berusaha keras merebut hati Herma
"Kedatangan kami ke sini untuk berpamitan pada Bapak dan Ibu, rencana besok saya ingin membawa Shafira ke Kota."Hermawan menoleh ke arah putrinya. Tatapannya begitu sendu. "Shafira harus ikut ke mana pun suamiku pergi, Pak," lirih Shafira seolah tahu arti tatapan sendu ayahnya. "Aduh, Bapak, tidak usah berlebihan seperti itu. Biarkan Shafira diboyong oleh suaminya. Lagian, Shafira pasti akan mengunjungi kita lagi," celetuk Nirmala. Hermawan mengalihkan pandangan pada menantunya. Kedua laki-laki dewasa itu saling melempar pandangan. "Tolong, jaga putriku. Dia adalah hartaku yang sangat berharga," pesan Hermawan layaknya seorang ayah pada menantu laki-lakinya. "Aku pasti akan menjaga dia, Pak."Shafira menoleh ke arah Ken. Ada desiran halus yang dia rasakan saat ini. Jantungnya mulai berpacu dengan cepat.Janji yang diucapkan oleh Ken pada Hermawan seperti angin sejuk bagi Shafira. Bibirnya mengulas senyum indah. Nirmala dan Amira yang menyaksikan itu semua tersenyum sinis. "Shaf
"Ingat, Shafira, jangan pernah merendah di depan mereka!""Kenapa?""Tidak perlu bertanya lagi. Kamu sudah lihat sendiri sikap mereka kan? Dia memperlakukan kamu seperti kuman yang harus disingkirkan."Shafira tertunduk dalam. Kalimat yang dilontarkan Ken sangat menusuk ke dalam relung hatinya. Ken menyadari perubahan raut wajah Shafira, segera dia menjelaskan maksud ucapannya. "Maaf kalau ucapanku membuatmu terluka. Satu hal yang harus kamu tahu, keluarga Agatha memang semena-mena dan tidak ragu untuk menindas orang yang tidak dia sukainya.""Kalau begitu, kenapa kalian membawaku ke sini?""Shafira, kamu saat ini adalah menantu keluarga Albern. Kami ingin kamu juga diakui di keluarga besar Guinandra. Status kamu adalah sah."Shafira tersenyum hambar. Apa yang dikatakan oleh Ken adalah benar. Sesuai apa yang dikatakan oleh Papa Albern. Namun, Shafira tidak ingin mudah luluh mengingat ucapan Ken di malam pertama mereka. "Ken, apa kamu lupa dengan apa yang kamu katakan di malam perta
"Aku minta maaf, Shafira. Aku tahu ini sangat susah tapi beri aku satu kesempatan. Ini permintaan terakhirku. Aku ingin hidup tenang."Alice hendak bersujud di kakinya akan tetapi Shafira menolak."Jangan pernah merendahkan dirimu pada manusia, Alice. Merendahlah pada Tuhanmu saja."Shafira membantu Alice untuk bangkit dan menatap matanya dalam."Aku memaafkanmu."Alice menangis dan memeluk Shafira. Untuk pertama kalinya mereka melakukan itu. Alice menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Shafira. Dia sekarang tenang. Shafira melepas pelukannya dan menghapus jejak mata Alice. "Kamu adalah adikku, Alice." "Jika aku meminta satu permintaan, apa kamu mau mengabulkannya?""Apa itu?""Aku ingin menghadap pada Tuhanku dengan cara yang baik. Aku ingin shalat, berpakaian muslimah dan makan bersamamu.""Masya Allah, aku akan melakukannya."Shafira kemudian kembali memeluk Alice. Mereka sama-sama menangis saat ini. Dia kemudian menuntun Alice berwudhu kemudian shalat ashar bersama. Berhubung
"Sebenarnya aku merasa takut untuk menghadiri sidang akhir ini, Ken. Aku tidak sanggup mendengar keputusan haki. Itu lah sebabnya selama persidangan aku memilih untuk ridak menghadirinya.""Papa, Mama dan adikku sendiri ada di sana. Aku benar-benar tidak sanggup."Tuan Albern menepuk pelan pundak Gio untuk memberinya kekuatan.Hari ini adalah jadwal pembacaan keputusan sidang. Semua keluarga turut hadir kecuali Keano. Suasana sidang mulai ramai. Saat para terdakwa masuk, suasana jembali gaduh. Kenward terus menggenggam tangan Shafira untuk memberinya kekuatan. "Sidang pembacaan keputusan akan dimulai. Silahkan para hadirin untuk diam sejenak dan kami harapkan tidak ada keributan agar proses sudang berjalan dengan lancar."Suasana kembali hening. Ketua hakim kemudian membagikan tiga rangkap bacaan putusan pengadilan atas hukumannyang akan dijatuhkan pada ketiga terdakwa."Silakan, terdakwa atas nama Agatha Abimana Guinandra untuk berdiri!"Tuan Agataha berdiri menghadap ke arah haki
"Aku ingin bertemu dengan Pak Adam.""Dia sedangan ada rapat, Pak. Apa sudah ada janji sebelumnya?" tanya wanita yang diduga sekretarisnya."Iya," jawab Haris sengaja berbohong. "Baik, Pak. Silahkan menunggu sebentar. Rapat sebentar lagi selesai."Terima kasih."Haris memilih duduk di sofa ruang tunggu sambil memikirkan strategi yang akan digunakan nantinya. Haris sejak dulu membenci Eliezer. Dia adalah dua pengacara hebat yang saling bersaing satu sama lain. "Aku harus bisa mengalahkan Eliezer," gumamnya. Dua puluh menit berlalu. Haris spontan berdiri saat melihat Pak Adam keluar dari ruang rapat. Dia berjakan menghampiri hakim ketua yang diprediksi berusia lima puluh tahun itu."Siang, Pak Adam.""Selamat siang, Pak Haris. Apa kita ada janji temu sebelumnya?"Haris mengurai senyum. "Ada hal penting yang ingin saya sampaikan, Pak.""Soal?""Ah, ini rahasia dan baiknya kita bicara berdua."Pak Adam mulai menaruh curiga. Terlebih dia tahu sosok yang ada di depannya saat ini."Baik
"Bagaimana, Tuan Agatha, hari ini pembacaan tuntutan jaksa. Apa Anda siap?""Bagaimana jika tuntutan itu berat?""Kami mendengar bahwa tuntutan jaksa tentang pembunuhan berencana itu seumur hidup. Bagaimana tanggapan Anda?"Banyak pertanyaan dari awak media yang membuat kepala Tuan Agatha semakin pusing. Dia lebih memilih tertunduk dalam.Hal yang sama ditanyakan saat Alice dan Nyonya Sonia masuk ke ruangan persidangan. Keduanya memilih menunduk dalam. Pembacaan tuntutan jaksa dimulai. Tuan Agatha lebih dulu duduk di kursi terdakwa. "Silahkan saudara Agatha Abimana Giinandra untuk berdiri!"Tuan Agatha yang memakai kemeja putih dan celana kain berwarna hitam berdiri. "Berdasarkan keputusan sesuai dengan isi pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana yang menyebutkan bahwa 'Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencama ( moord ), dengan pidana mati, atau penjara seumur hidup atau selama waktu ter
"Keputusan akan cepat diproses karena mereka tidak ada perlawanan, Tuan.""Baguslah. Kalau begitu tinggal pembacaan tuntutan jaksa lalu akan ada pembacaan pembelaan tersangka ataa tuntutan jaksa atau pledoi jika mereka keberatan."Tuan Albern dan Ken terdiam. Prosesnya dibilang cukup panjang. Di luar sana media seakan berlomba-komba untuk memberitakan ini semua. Bukan karena kasusnya akan tetapi ornag yang saat ini menjadi tersangka utamanya. Keluarga Agatha adalah orang yang cukup terpandang. Melihat keadaan seperti ini tentu saja media mengincar setiap pergerakan yang dilakukan oleh Keluarga Guinnadra. "Awak media masih terus menunggu di luar, Pa.""Kita hadapi saja."Mereka bertiga melangkah keluar. Puluhan awak media langsung mwndatangi mereka."Bagaimana kelanjutannya, Pak?""Pak, apa benar hanya denndam pribadi?""Pak, lalu bagaimana keadaan korban saat ini?""Pak, bagaimana status tersangka Alice saat ini?"Berbagai pertanyaan beruntun datang menghampiri. Mereka sedikit kewa
"Bagaimana keadaan kalian?""Aku baik-baik saja, Gio."Shafira memperhatikan wajah sendu Gio yang tidak peenah ditampakkan selama ini. Matanya beralih pada jendela rumah sakit yang berhadapan langsung dengan taman bermain anak-anak. Raline, Keano dan kedua putrinya bermain di sana sedangkan Shafira dan Gio berada di dalam kamar Keano. "Apa yang kamu pikirkan, Gio?""Mereka sudah membawa papa dan mama. Rasanya menyakitkan ....""Maksudnya?""Polisi sudah menemukan barang bukti kejahatan mereka selama ini yang mereka sembunyikan. Keluargaku dikenakan pasal berlapis atas tindakan kriminal yang dilakukannya."Shafira mengembuskan napas berat. Rasa nyeri dan sesak menjalar ke seluruh rongga dadanya. Ingatannya kembali pada sikap keluarga Agatha padanya dulu. Shafira berasa hidup di penjara. Mereka terus melakukan segala cara untuk melenyapkan Shafira termasuk putranya. "Aku tahu selama ini keluargaku sudah sangat melewati batas. Ingin menghentikan mereka justru aku yang dijadikan kambi
"Ibu ....""Iya, Sayang?""Aku ingin pulang. Aku bosan di sini."Shafira berusaha tersenyum. Dia mengelus pundak putranya. Kenward sudah berpesan untuk tidak membawa putranya kembali ke rumah dulu. Dia takut trauma itu kembali. "Nanti ya, Sayang. Lukamu masih perlu disembuhkan.""Tapi, aku bosan di sini, Ibu," rengeknya.Shafira mencium pucuk kepala putranya. Dia tidak ingin menentang perintah suaminya juga ingin melindungi putranya. Dia bertekad untuk selalu berusaha agar putranya merasa nyaman dan terhindar sesuatu yang bisa membuatnya mengingat kembali kejadian menyakitkan itu. "Ini permintaan ayah, Sayang."****"Halo, Tuan Kenward. Hari ini kami akan melakukan penyelidikan dan pencarian bukti di kediaman Anda.""Silahkan, Pak."Kenward menemui keluarganya yang tengah menikmati makan siang bersama tanpa kehadiran Shafira dan Keano. Sengaja dia melakukan itu atas dasar perintah Komandan Andrew. Tuan Agatha dan Nyonya Sonia tampak menikmati keakraban yang sudah lama hilang. Ked
"Alice sudah keterlaluan, Ma. Dia sudah melalukan tindakan bodoh tanpa diskusi dulu dengan kita. Apa dia tidak memikirkan konsekuensinya?"Tuan Agatha dibuat kesal oleh putrinya. Apa yang dilakukan oleh Alice tidak hanya membahayakan dirinya juga keluarganya sendiri. "Apa dia tidak pernah berfikir? kalau dia melakukan sesuatu yang berbahaya, tentu kita juga akan terseret.""Mungkin putri kita melakukan itu semua karena.sudah jenuh dengan sikap keluarga Albern.""Atau jangan-jangan kamu tahu, Ma, rencana dia?"Nyonya Sonia sedikit tersentak. Tatapan mata Tuan Agatha berubah menjadi tatapan mengintimidasi. Tuan Agatha menghampiri istrinya. Dia merasa ada yang sedang disembunyikannya. "Apa yang kamu sembunyikan dariku, Ma. Jawab!""Ti-tidak, Pa. Aku tidak tahu apa-apa.""Jangan membohongiku, Ma. Aku bisa tahu dari sorot mata dan sikapmu.""Aku serius, Pa.""Ma ...."Nyonya Sonia mengembuskan napas berat. Biar bagaimana pun suaminya pasti tahu apa yang sudah terjadi. "Baiklah, Mama t
"Ada hal yang ingin aku sampaikan pada kalian semua terkait siapa pelaku penculikan putra kami-Keano.""Siapa, Ken?"Semua yang sengaja dihadirkan Ken diam menunggu nama yang akan disebut. Nyonya Sonia berusaha menenangkan diri. Dia belum siap mendengar pengakuan putrinya. "Alice, Pa.""Apa?!"Semua yang hadir terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Kenward. Terkecuali Gio.Shafira menangis. Dia sudah menduga sebelumnya jika ada keterlibatan Alice pada kasus ini. Hanya saja dia berusaha untuk berpikir positif.Tubuhnya terguncang menahan sesak dan tangis yang ingin sekali pecah. Entah kenapa Alice ingin sekali melenyapkannya. Ingin membuktikan secara kuat, Ken memutar rekaman video yang dikirim oleh Nichole dulu. "Aku tidak menyangka putriku akan melakukan hal sekeji itu. Aku sama sekali tahu soal ini.""Saat ini Alice ditahan di Polres Metro Jakarta Selatan. Semua sudah dilakukan tinggal mengumpulkan bukti-bukti yang ada dan aku harap kerjasamanya untuk tidak menemuinya dulu demi