Ucapan salam dari atas panggung menarik kembali kesadaran Ines. Suara berat itu bahkan masih identik dan khas. Apakah benar lelaki itu dia?
“Selamat petang semuanya! Senang sekali karena untuk pertama kalinya, saya ada di antara Bapak dan Ibu semua dalam acara perayaan ulang tahun perusahaan ini. Tentunya kehadiran saya juga, untuk bertatap muka secara langsung dengan Bapak dan Ibu, para karyawan terbaik perusahaan Dirandra Grup.”Ines memandang lekat wajah dengan garis rahang yang terlihat terbentuk tegas itu. Ucapan demi ucapannya perlahan menguap begitu saja. Otak dan memorinya berlarian pada penggalan pertemuannya dengan lelaki pemilik nama yang sama di masa lalunya.***“Bapaaak!!!”Ines kecil berteriak pedih ketika dia tahu bendera kuning itu untuk siapa. Bapak---lelaki yang dicintainya itu sudah terbujur kaku. Kue bolu dan sate yang ditentengnya masih digenggam erat, bakul berisi jualan ikan asinnya dihempaskan begitu saja olehnya. Ines rubuh dan tersedu di dekat kaki Bapak. Para tetangga menghalangi untuk memeluknya. Tak boleh ada air mata yang menjatuhi badan almarhum, katanya.“Bapak ... Ines bawa sate buat Bapak ... Ines bawa kue enak, Pak! Bapak bangun, Pak! Banguuun, Pak ... Kita makan sama-sama, Pak! Ines gak mau Bapak pergi, Pak! Bapaaak banguuun ....”Tangisan Ines sontak membuat Ibu kembali meraung, dia memeluk tubuh Ines kecil yang duduk bersimpuh dan punggungnya bergetar. Kondisi kehamilannya yang sudah mendekati hari perkiraan lahir dan duka berat yang ditanggungnya membuat mentalnya begitu lemah. Hatinya luka melihat putri kecilnya yang selama ini begitu tangguh dan rela berkorban untuk mereka luruh dan tak berdaya. Namun dia pun sama, tak bisa menguatkannya.“Ibu, kenapa Bapak pergi, Bu? Ines gak mau Bapak pergi! Ines mau Bapak hidup lagi! Kenapa Bapak pergi! Ines bawa makanan enak untuk kita makan biar Bapak sembuh!”Para tetangga berusaha menguatkan Ines dan Ibu. Meskipun tak sedikit isak mereka pun pecah menyaksikan pemandangan pilu yang ada di depannya. Hingga akhirnya jeritan dan raungan itu perlahan sirna. Ines dan Ibu dihibur para tetangga. Beberapa menasihatinya untuk ikhlas dan memberikan pengertian pada gadis kecil yang sejak tadi meraung-raung tak rela.Pemakaman berjalan lancar. Kerumunan para tetangga perlahan bubar, hanya menyisakkannya beberapa kerabat yang masih menghiburnya.Hari berganti, waktu bergulir meninggalkan kenangan. Ines kembali berteman kesepian. Dirinya menjadi lebih pendiam dan pemurung dari biasanya.Airlangga---dialah salah satu alasan Ines bisa sedikit melupakan duka. Anak lelaki itu selalu menunggunya di pos ronda, sekadar mengajak makan kue buatan Bibi atau membeli beberapa ikan asinnya. Namun sayang, masa liburan Airlangga sudah hampir usai. Dia pun berpamitan, hanya satu buah kalung dengan bandul liontin berbentuk bulat itu diberikan padanya.“Ines, see you kapan-kapan … aku mau pulang kampung. Grandfa sakit. Mommy ajak pulang ke Turki.”“Kamu bukan orang Indonesia?” Kedua bola manik cokelat Ines menatap manik berwarna sedikit abu-abu milik Arilangga.“Papa orang Jawa tapi sudah lama di Jakarta, karena itu namaku Airlangga. Mommy orang Turki, tapi sudah lama stay di sini! Namun karena grandma sudah meninggal, sekarang grandfa sakit. Mommy diminta pulang! Mungkin aku pun sekolah di sana!”Ines terdiam. Entah kenapa hatinya tiba-tiba merasakan kembali kekosongan. Sosok Airlangga memberikan arti tersendiri semenjak kepergian Bapak. Namun, bisa apa? Anak lelaki yang tengah berlibur di rumah Bi Darmi itu, harus segera kembali. Bi Darmi pun akan pergi bersamanya dan meninggalkan Egi---anaknya yang hanya sesekali diajaknya ke Jakarta.Sejak saat itu, hingga belasan tahun kemudian. Tak pernah lagi mereka bertemu. Kecanggihan alat teknologi dan perkembangan zaman menjadi tak berarti ketika tak memiliki uang. Semua alat itu harus ditukar dengan nominal yang bagi Ines sangat lumayan.***Riuh tepuk tangan kembali menyadarkannya dari lamunan. Ines mengusap wajah dan menghembuskan napas kasar. Rasanya tak layak jika hatinya berharap lelaki yang ada di depannya itu Airlangga---sahabat kecilnya dulu. Ya, walaupun jika itu benar. Sekali lagi, perbedaan status sudah menjulang. Mungkin Airlangga sekarang tak akan sudi pun menyapanya.Pandangan mata Ines sesekali beralih pada Arlan yang tampak begitu mesra duduk dengan perempuan bergaun elegan itu. Sesekali mereka mengobrol dan tampak saling berbisik karena hingar bingar musik yang cukup kencang.Pemandu acara kembali membuka suara. Kali ini satu persatu penghargaan mulai diberikan sebelum melanjutkan ke acara hiburan.Para karyawan yang dipanggil hilir mudik ke atas panggung. Mereka memperkenalkan anak dan istrinya di depan forum. Sinar bahagia dan tatapan bangga terpancar dari pasangan yang diajaknya turut serta. Bahkan tak jarang, ada pelukan haru ketika kenaikan jabatan itu dijadikan sebuah kejutan untuk istri atau ibunya.Namun sejenak, pembagian penghargaan itu terjeda. Tampak seseorang mendekati pemandu acara lalu membisikkan sesuatu. Setelah itu, lelaki tersebut tergesa menghampiri sang pemilik perusahaan dan membisikkan sesuatu juga. Wajah tegang tampak terlihat. Lelaki yang tadi disebutkan namanya sebagai Airlangga itu berdiri dan mengatupkan tangan ke arah hadirin, lalu ia berjalan tergesa meninggalkan ruangan. Suara pemandu acara kembali mengambil alih perhatian.“Mohon maaf karena ada suatu hal, Pak Langga tak bisa menyaksikan acara hingga tuntas. Namun marilah kita lanjutkan, ya acaranya! Hmmm … karyawan berikutnya yang memiliki karir cukup signifikan di perushaan Dirandra Grup diberikan kepada Arlan Bramantyo! Seorang pemuda berbakat yang memiliki segudang kecerdasan dan loyalitas yang mengagumkan! Kepada Bapak Arlan! Kami persilakan!” Riuh tepuk tangan kembali terdengar, menyingkirkan ketegangan yang tadi tercipta sebentar.Sorot mata Ines tak lepas menatap sang suami yang berdiri. Satu kecupan tampak diberikan pada perempuan yang duduk disampingnya itu sebelum dia melangkah ke depan. Tak berapa lama, lelaki dengan setelan jas formal itu menerima medali dan sebuah sertifikat serta sebuah kado sebagai simbolis hadiah yang entah isinya apa.“Silakan untuk Pak Arlan memberikan sepatah dua patah kata, tentang kesan pesannya selama bergabung dengan Dirandra Grup!”“Baik, terima kasih!” Arlan mendekat pada stand mic. Pandangan matanya mengedar sekilas, tetapi tak mampu menangkap bayangan Ines yang memang sengaja menutup sebagian wajahnya dengan ujung kerudungnya.“Selamat malam semuanya! Malam ini merupakan kebahagiaan terbesar dalam hidup saya karena mendapatkan dua anugerah! Semua ini tak terlepas dari jasa seorang wanita yang sudah begitu sabar mendampingi saya. Dia adalah orang yang pantas menerima semua ini. Izinkan saya memanggil perempuan istimewa itu.” Arlan menjeda.Ines mendongakkan kepala. Meskipun tipis, tetapi hati kecilnya berharap namanya yang dipanggil Arlan sebagai wanita istimewa itu. Dirinya masih berusaha menipu diri, jika perempuan yang bersama suaminya itu hanya kerabatnya saja.Namun semua itu menguap bersama embun yang berjatuhan dari kelopak matanya. Arlan dengan jelas menyebutkan nama wanita lain dengan senyuman terindah dan tatapan penuh cinta tertuju padanya.“Dan … perempuan istimewa itu adalah --- Aniska!”Riuh tepuk tangan mengiringi langkah anggun perempuan yang berjalan dengan elegan itu. Ines yang tak tahan, ia turut berdiri. Hatinya sakit. Akal sehatnya sudah terpinggirkan.Ines berjalan keluar dari deretan tempat duduknya dan setengah berlari menghampiri Arlan dan perempuan itu yang baru saja berdiri bersisian di atas forum. Jika hatinya harus hancur, dia tak mau hancur sendirian.Riuh tepuk tangan mengiringi langkah anggun perempuan yang berjalan dengan elegan itu. Ines yang tak tahan, turut berdiri. Hatinya sakit. Akal sehatnya sudah terpinggirkan. Dia berjalan keluar dari deretan tempat duduknya dan setengah berlari menghampiri Arlan dan perempuan itu yang baru saja berdiri bersisian di atas forum. Jika hatinya harus hancur, dia tak mau hancur sendirian. Ines tak peduli ketika dia melewati tempat kakak iparnya duduk, mereka memanggilnya. Dia menuju panggung menghampiri dua pasang mata yang kini menatap ke arahnya. “Siapa dia, Sayang?” Aniska berbisik pada Arlan. Dia memandang Ines dengan tatapan heran. Sementara itu, Arlan menelan saliva. Kenapa Ines bisa datang, bukannya dia sudah meminta agar Ibu dan kakaknya jangan ada yang mengajaknya. Belum sempat Arlan menjawab, Ines sudah berdiri di atas panggung. Dia menatap Arlan dengan mata mengembun. “Mas, jelaskan padaku siapa dia?! Kenapa kamu menyebutnya perempuan istimewa? Bukankah aku yang istrimu? Kenapa
Ines tepekur seraya memeluk lutut di trotoar depan hotel yang langsung terhubung ke jalan raya. Hilir mudik kendaraan dia abaikan. Dirinya butuh kepastian secepatnya sebelum kesuciannya pun direnggut oleh suami bajingannya itu. Dari arah depan, sorot lampu sebuah mobil sport mewah memantul ke wajahnya. Namun karena Ines menunduk sambil menangis tak dia hiraukan. Hingga mobil itu berhenti di dekatnya dan kaca mobil depan terbuka perlahan. Tanpa Ines sangka, seorang lelaki turun dan menyimpan sesuatu di depannya. Sontak Ines mendongak dan menatap lelaki dengan kumis tipis itu. Kedua mata mereka bersirobok. Ines menautkan alis seraya mengalihkan pandang pada kresek warna hitam yang ada di depannya.“Apa ini, Bang?” tanya Ines. Ya, usia lelaki itu sepertinya tak terpaut jauh darinya.“Buat Mbaknya makan! Tadi punya Pak Langga ketinggalan, pas saya tanyakan katanya suruh kasihin sama yang membutuhkan saja!” tukasnya sopan. Ines terdiam, rupanya dirinya dikira pengemis oleh lelaki itu. Nam
Sepeda motor yang ditumpangi Ines baru saja berhenti di halaman rumah ketika dari arah jalan terdengar deru mobil yang mendekat. Tampak mobil yang ditumpangi Ibu mertua dan kakak iparnya datang. Ines segera membayar tukang ojek itu agar buru-buru pergi. Dia tak mau jika tukang ojek itu harus menyaksikan keributan. Mobil itu berhenti di depan garasi yang masih tertutup. Ibu mertua dan dan para kakak iparnya turun. Mereka tampak saling melirik. Ines sudah bersiap untuk menyerang jika sumpah serapah serta makian dia dapatkan. Namun salah dugaan Ines, Retno menghampiri dan memeluknya. “Maafin Ibu, Nes! Maafin Ibu! Tadi itu, Ibu hanya tak punya pilihan,” bisiknya. Mirna dan Erna pun turut menepuk lembut bahunya yang sedang dalam pelukan Retno. Sementara itu, Gugun dan Erda---suami Mirna dan Erna langsung membuka kunci pintu dan masuk ke dalam. Ines mematung, padahal dia sudah bersiap membela diri ketika ibu mertua dan para kakak iparnya menyerang. Namun semua dugaannya salah. Mereka
Wajah Ines memucat ketika Arlan mendekat. Bahkan wajah mereka nyaris tak berjarak. Hembusan napas Arlan yang mulai memburu dipenuhi birahi menghembus menyapu wajahnya. Ines sekuat tenaga mendorongnya agar suaminya itu menjauh. “Mas, aku masih halangan! Jangan sentuh aku!” Ines berkilah. Padahal baru saja dia bersuci. “Oh, gitu! Biar aku periksa sendiri!” bisik Arlan seraya menyentuh hujung handuknya yang menjuntai. Namun Ines menepis tangan itu kasar. Sudah tak peduli lagi tentang dosa, tentang laknat malaikat ketika menolak keinginan sang suami. Otak Ines sudah dipenuhi kebencian pada sosok yang kini mengkungkungnya itu. “Kamu itu harus nurut. Aku ini suamimu, Sayang!” tekan Arlan. “Iya aku akan nurut tapi pada suami yang seperti apa dulu? Bahkan kamu tak menghargaiku sebagai istrimu!” pekik Ines. Kedua tangannya sekuat tenaga mendorong dada Arlan. Namun lelaki itu malah menangkapnya. Lalu tanpa Ines sangka, Arlan membopong tubuhnya dan membawanya ke atas tempat tidur. “Lepas
“Istrinya Mas Arlan? Kapan mereka menikah, Ma? Bukankah ketika Mas Arlan menikahiku status di KTP-nya masih lajang?” Ines bertanya dengan suara gemetar. Rupanya perempuan itu istri dari suaminya. Retno tersenyum mencoba tetap bersikap ramah. Dia mengelus punggung Ines yang duduk disisinya. Lalu dia meraih jemari Ines dan menggenggamnya. “Nes, dengarkan Ibu! Kamu adalah menantu kesayangan Ibu di sini! Kamu akan tetap menjadi menantu Ibu seperti janji Ibu pada Ibumu. Kamu akan selamanya di sini dan bahagia bersama Arlan!” ucapnya. Alih-alih menjelaskan, tetapi hanya berputar membuat Ines menghembuskan napas kasar. “Bu, tolong! Ines butuh penjelasannya!” Ines menatap pada kedua manik hitam Ibu mertuanya. “Hmmmm!’ Dia berdehem lalu menunduk sebentar. Setelah itu menarik napas panjang. Kedua bola matanya menatap Ines tajam. “Dia itu istrinya Arlan, maafkan kami yang tak menjelaskan apapun padamu! Namun seharusnya yang marah itu dia kalau tahu Arlan menikahimu karena kamu istri kedua
Otaknya yang tengah kalut tak bisa berpikir jernih. Berada dalam keadaan yang tak menyenangkan membuat Ines semakin merasa tertekan. Dia beranjak berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menatap keluar dengan pandangan kosong. Berharap ada pangeran berkuda putih yang datang mengeluarkannya dari penjara itu. Namun semua asa itu hanya taburan harap belaka, pada kenyataannya kini dia tengah terkurung di rumah suaminya sendiri. “Kapan aku bisa hidup dengan kebahagiaan, ya? Rasanya dari kecil hanya pedih, sedih dan luka saja ….” Ines memejamkan mata. Membiarkan hembusan angina menyapu wajahnya. Menyelinap dari jendela yang terbuka. Andai tak ada trails yang menghalanginya, mungkin dia sudah melompat saja. Meninggalkan rumah yang semakin hari semakin membuatnya gerah. Berulang kali dia mengecheck pintu, tetapi masih saja terkunci dari luar. Sepertinya anak kuncinya sengaja tak dilepas, jadinya anak kunci yang dia pegang menjadi tak berguna. Hanya bisa masuk, tapi tak bisa berputar. “Ak
Ines mengerjap. Pengaruh obat bius yang diberikan Arlan padanya sudah lenyap. Namun alangkah kagetnya dia ketika terbangun, dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan tanpa sehelai benangpun. Pakaiannya berserakan di lantai. Selain itu ada rasa sedikit nyeri yang terasa perih di inti tubuhnya dan bercak darah para seprai di sekitar tempatnya terbaring. “Enggak, aku enggak relaaa!!!” Ines memekik seraya menjambak rambutnya yang terurai. Dia menarik selimut menutupi tubuh polosnya. Ines melempar-lemparkan bantal dan apa saja yang ada di dekatnya. Amarah memuncak, dirinya mulai membenci takdir yang tak berpihak. Hatinya hancur berkeping ketika mendapati kesucian yang selama ini dia jaga sudah direnggut paksa oleh lelaki yang bergelar suami, tetapi bukan seorang imam seperti impiannya. “Tuhan, apa aku serendah itu di mata-Mu? Bukankah sejak kecil aku sudah Kauerikan kesusahan, hidup kekurangan, Bapak ditabrak orang lalu sakit-sakitan, hidup aku dikucilkan dan pedih sejak dulu? Ke
“Hah, besok? Kenapa saya kebagian yang pertama, sih, Mbak?” protes Arlan pada sekretaris Airlangga. Bahkan dia belum tahu kondisi Ines sekarang. Semoga besok istrinya itu tak membuat kekacauan. “Bos tahu kalau Pak Arlan tinggal serumah dengan Pak Erda dan Gugun! Jadinya besok mau visit pertama ke sana, biar memangkas waktu. Sebentar lagi dia pergi lagi ke luar negeri lagi soalnya!” tukas Miati. “Iya deh, iya! Makasih ya, Mbak Mia!” Arlan akhirnya mengangguk pasrah. Segera dihampirinya Gugun dan Erda yang memang berbeda bagian. Rupanya dia sudah menelpon Retno dan memberitahunya untuk acara besok, sehingga Erna dan Mirna sudah pergi keluar untuk berbelanja. *** Ines sibuk membereskan satu kamar tamu lagi yang bersebelahan dengan kamar yang biasa ditempati olehnya dan Arlan. Dia tak punya pilihan selain tinggal setidaknya tiga bulan sepuluh hari di rumah itu. Terpaksa dia menepis keinginan untuk pergi meninggalkan rumah yang kini terasa mencekam itu sementara waktu. Ines takut j
Ucapan ijab qabul menggema mengiringi janji suci dua orang yang hari ini resmi diikat oleh pernikahan. Arlan duduk menunduk seraya menyeka keringat yang bermunculan. Bahkan dunianya seakan berhenti berputar. Dirinya tak menyangka ketika pada akhirnya bisa menemukan jalan hijrah dan anugerah cinta. Dia pun masih tak menyangka ketika dirinya dipertemukan dengan seorang yang lembut dan berhati baik, berharap sang mampu melengkapi kurangnya pengetahuan agamanya. Tiga bulan setelah pertemuan di masjid ketika acara hari itu. Arlan mendapatkan tawaran untuk kerja sebagai salah satu staff di pondok pesantren modern. Semua itu atas nama rekomendasi Azizah dan tentunya rekomendasi dari Ikbal---sang ketua DKM. Dia melihat Arlan yang cukup ulet dan gigih selama menjadi marbot masjid. Ikbal cukup dekat dengan Arlan dan seringkali dimintai pendapat olehnya. Melihat kesungguhan Arlan untuk hijrah, akhirnya dia pun yakin jika semua keburukan Arlan telah menguap bersama status sosialnya.Arlan sempat
Airlangga memekik haru ketika benda pipih bergaris merah itu ditunjukkan Ines padanya. Dia langsung membopong tubuh Ines dan menghujani wajah sang istri dengan kecupan. Bahagia tak terkira ketika akhirnya dirinya akan segera menjadi seorang ayah. “Terima kasih, Ya Allah … terima kasih, Sayang!” “Kak, ih … nanti aku jatuh gimana?” Ines mengalungkan lengannya pada leher Airlangga. “Aku bahagia, Dik! Aku ingin merayakan semua kebahagiaan ini dengan semua karyawan perusahaan! Hmmm baiknya bikin acara apa, ya?” Airlangga menurunkan Ines perlahan dan menudukannya di atas sofa. “Ya, bagi-bagi voucher belanja mungkin, Kak. Kan gak ribet juga,” tukas Ines. “Ide bagus! Oke, nanti kita minta Rendra urus semua!” Airlangga begitu berbahagia. Diusapnya pipi Ines dengan lembut. “Kita ke dokter sekarang, ya! Biar kamu dapat asupan vitamin yang bagus! Habis itu kita ke tampat Papi dan Mami. Terus kita kabarin Ibu.”Airlangga berbicara dengan mata berbinar. Ines mengangguk dan turut mengiyakan. K
Arlan duduk termenung, kalimat demi kalimat yang almarhum ayahnya sampaikan kembali terngiang. Entah kenapa baru kali ini dia menyadari begitu banyak petuah sang ayah yang sudah dia tinggalkan. “Jadilah pelindung untuk dua kakakmu, Jadilah pelindung untuk Ibumu, Bapak rasa umur Bapak sudah tak lama. Jadilah anak sholeh yang doanya bisa menerangi alam kubur Bapak.” Semua kalimat itu seolah ada tanggung jawab yang dilimpahkan. Almarhum ayahnya mempercayakan Ibu dan kedua orang kakaknya padanya. Namun pada kenyataannya, justru berbanding terbalik. Arlan tak mampu mengendalikan mereka, justru dirinya yang dikendalikan Retno dan Mirna. Kesibukan mempersiapkan acara tabligh akbar, akhirnya kembali mengalihkan perhatiannya. Dengan kakinya yang masih terpincang dan dibantu gerak oleh tongkat yang menyangga ketiaknya. Arlan membantu sebisanya. Menata kursi, memasang taplak meja, lalu menyajikan air mineral untuk para anggota DKM yang sebagian besarnya anak muda. Menjelang siang, nasi kotak
Dering bell yang terdengar membuat Narendra bergegas keluar dari rumah. Dia baru saja selesai membuat sarapan untuknya. Dua tangkup roti bakar dan segelas kopi hitam sudah tersaji di meja. “Pagi Pak Rendra!” Senyum manis Fika menyapanya. Perempuan itu juga tampak sudah rapi. “Pagi, Bu Fika! Ada apa, ya? Kalau mau ngasih kopi, maaf banget, saya sudah buat.” Narendra menautkan alis menatap Fika yang membawa cangkir di tangannya. Fika tersenyum seraya menggeleng kepala. Satu tangan menutup bibirnya, tingkahnya berbeda sekali dengan Fika yang begitu tegas ketika menindak karyawan yang melanggar peraturan. Fika di luar jam kantor, lebih tampak manja dan nekat kalau Narendra bilang. “Bukan mau ngasih kok, Pak Rendra! Saya mau minta air panas. Maklum rumah baru, Pak. Saya kira sudah lengkap kemarin tuh. Eh nyatanya gak ada kompor juga buat manasin air, dispenser ada, sih, tapi mati.” Fika terkekeh dan menunduk. “Oh, mari masuk! Banyak kok kalau sekadar air panas, sih!” Narendra menggese
“Andai kebahagiaanku adalah Mas Arlan, Pah? Bagaimana?” lirih Aniska seraya menutup wajahnya dan membiarkan tangis lepas meluahkan beban yang terasa berat di pundaknya.“Tidak! Papa tidak akan mengijinkanmu memelihara pengkhianat itu di rumah ini! Andai dia hanya cacat dan tak bisa kerja, tetapi hatinya setia … Papa masih bisa pertimbangkan. Namun masa depan seperti apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki pengkhianat, cacat dan pengangguran?! Gak ada, Nis! Gak ada!” Hafid berucap dengan tegas dan lantang. Aniska menunduk. Hatinya membenarkan apa yang sudah menjadi keputusan ayahnya. Dia pun sadar, semua yang dikatakan ayahnya adalah benar. Bahkan sakit hatinya masih terasa ketika mendengar pengakuan perempuan yang mengaku tengah mengandung anak dari suaminya. Hafid langsung meminta pengacaranya bergerak cepat untuk menggugat cerai Arlan yang masih terbaring tak berdaya. Hafid merasa ditusuk dari belakang oleh orang yang teramat sangat disayanginya itu. Bahkan setiap kesalahan kec
Di tengah keraguan hatinya. Narendra melajukan mobilnya bukan menuju ke arah rumah, melainkan menuju ke kediaman Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Dia hendak bertanya beberapa hal terkait Azizah. Bagaimanapun dia telah memintanya langsung pada kedua orang tuanya. Apa jadinya jika tiba-tiba dia memilih FIka tanpa mengetahui seperti apa kondisi sebenarnya perempuan yang awalnya diharap bisa menjadi istrinya itu.Mobil yang dikendarai Narendra akhirnya tiba di kediaman Umi dan Abi. Dirinya disambut baik dan dipersilakan seperti biasa. Tak banyak basa-basi yang terjadi. Narendra mengungkapkan pertanyaan seputar penolakan Azizah padanya.“Apakah dia sudah memiliki calon lain yang u sesuai keinginannya, Umi, Abi?” tanya Narendra.“Setahu Umi sih belum, Pak Rendra. Dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan trauma. Namun Iza tak mau terikat dengan siapapun saat ini dan entah sampai kapanpun dia tak memberikan kepastian pada Umi,” tukasnya. “Apakah saya boleh tahu seperti apa kriteria calon suami
“Saya adalah orang yang tak mudah jatuh cinta. Bukan pemilih, sih. Hanya saja memang belum menemukan yang tepat selama perjalanan hidup saya. Namun melihat kecerdasan dan kepribadian Bapak, hati saya yakin jika Bapak adalah sosok yang selama ini hati saya cari. Saya yakin bisa menjadi imam untuk saya dan karena saya tahu jika Bapak pun belum memiliki pendamping, pada kesempatan ini, jika kiranya kesempatan itu terbuka untuk saya. Saya akan mencoba menjadi yang terbaik untuk Bapak.” Akhirnya kalimat yang sudah dia rangkai sejak kemarin dan dibaca berulang-ulang itu tersampaikan. Ada perasaan lega pada hati Fika. Dia menatap Narendra yang tampak cukup terkejut mendengar penuturannya. “Maaf kalau saya lancang, Pak Rendra!” Fika mengangguk sopan dan mengulas senyum. Meskipun degub jantung berpacu dan wajahnya sudah berubah menjadi merah merona. Namun dia tetap bisa menguasai diri. “Ahm, sorry-sorry kalau saya buat Bu Fika gak nyaman.” Narendra tersenyum untuk mengurai suasana yang ter
Erna dan Erda sudah berada di depan kediaman megah milik Airlangga. Meskipun ada rasa was-was di hatinya. Dia pun sadar seburuk apa perlakuannya pada Ines di masa lampau. Namun dorongan kuat yang muncul itu akhirnya membuat keduanya bertekad untuk meminta maaf. Harus menunggu sekitar satu jam, karena tuan rumah sedang keluar. Erda dan Erna duduk di teras sambil duduk di sofa minimalis yang ada di sana. Mobil mewah milik Airlangga memasuki gerbang, pada saat itulah Erda dan Erna bisa tersenyum. Dia menatap Ines yang tampil anggung dengan gamis dan kerudung menjuntai lebar. Airlangga turun dan menenteng plastic berisi belanjaan.“Selamat siang, Pak Langga!” Erda menganggukkan kepala. “Siang! Ada apa ya cari saya?” Airlangga menatap Erda heran. “Masuk dulu, yuk! Gak baik ngobrol di luar!” Ines membuka anak kunci dan mendorong daun pintu. Ketiga orang itu mengikuti ajakan Ines dan tak banyak berbasa-basi lagi. Ines mempersilakan tamunya duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Sementa
Fika memohon izin untuk duduk pada kursi kosong yang ada di depan Narendra. Meskipun mendapati sikap yang datar seperti biasa. Namun bagi Fika tak apa, berada dalam satu ruangan bersama dengan lelaki itu sudah membuatnya bahgaia. Namun karena dirinya pun memang harus bersikap professional. Fika menjelaskan terkait punishment untuk Erda dan Gugun yang sudah dia sampaikan. Dikarenakan Airlangga tak masuk, maka semua urusan yang harusnya dilaporkan pada Airlangga akan disampaikan pada Narendra. “Ok makasih, Bu Fika!” “Sama-sama, Pak Rendra.” Sesingkat itulah kalimat yang mengakhiri perbincangan mereka terkait kasus Arlan yang melibatkan dua kakak iparnya. Fika tersenyum lalu berjalan meninggalkan ruangan. Dia kembali ke mejanya dan mempelajari hal-hal lainnya yang nantinya akan menjadi tanggung jawabnya secara penuh. Di lain tempat, Aniska tengah terisak di kamarnya. Dia tak henti meratapi nasib suaminya yang dia dengar dari dokter tentang kemungkinan kondisi terburuknya, juga tenta