Otaknya yang tengah kalut tak bisa berpikir jernih. Berada dalam keadaan yang tak menyenangkan membuat Ines semakin merasa tertekan. Dia beranjak berdiri dan berjalan mendekati jendela. Menatap keluar dengan pandangan kosong. Berharap ada pangeran berkuda putih yang datang mengeluarkannya dari penjara itu. Namun semua asa itu hanya taburan harap belaka, pada kenyataannya kini dia tengah terkurung di rumah suaminya sendiri.
“Kapan aku bisa hidup dengan kebahagiaan, ya? Rasanya dari kecil hanya pedih, sedih dan luka saja ….” Ines memejamkan mata. Membiarkan hembusan angina menyapu wajahnya. Menyelinap dari jendela yang terbuka. Andai tak ada trails yang menghalanginya, mungkin dia sudah melompat saja. Meninggalkan rumah yang semakin hari semakin membuatnya gerah. Berulang kali dia mengecheck pintu, tetapi masih saja terkunci dari luar. Sepertinya anak kuncinya sengaja tak dilepas, jadinya anak kunci yang dia pegang menjadi tak berguna. Hanya bisa masuk, tapi tak bisa berputar. “Aku ini kenapa, ya? Padahal ini rumah suamiku sendiri? Kok berasa takut banget sekarang?” Ines tersenyum miring. Sekilas bayangan wajah manis Arlan melintas pada saat pertemuan pertama mereka. *** “Saya bersedia menikahi Ines, Bu! Saya berjanji akan menjaganya dan membuatnya nyaman hidup dengan saya! Ibu jangan khawatir, di Jakarta nanti Ines pasti akan betah. Walau kami belum saling cinta, tapi pasti semua perasaan cinta itu akan tumbuh sedikit demi sedikit. Iya ‘kan, Nes?” Arlan menatapnya dengan tatap yang menurutnya tulus saat itu. Beberapa jam sebelum pernikahan akhirnya digelar. Ines hanya mengangguk. Dia tak memiliki alasan untuk menolak. Arlan memiliki karir bagus dan juga tampak bertanggung jawab. Selain itu, dia adalah anak teman lama Ibu yang pastinya sudah diketahui latar belakangnya. “Alhamdulilah makasih, Arlan! Kalau Ines sudah menikah, Ibu bisa hidup tenang. Tahu sendiri omongan orang kampung di sini. Perempuan yang sudah dilangkah itu biasanya gak dapat jodoh dan suka kena serangan mental. Ibu sangat cemas, adiknya Ines bahkan sudah memiliki anak.” Raut bahagia pada wajah Ibu membuat hati Ines semakin yakin untuk menerima perjodohan itu. “Kalau begitu, sebaiknya pernikahannya diadakan sekarang, Mbak. Mumpung Arlan ikut, jadi bisa sekalian. Nanti sore, Ines bisa langsung ikut kami pulang ke Jakarta.” Retno tersenyum manis dan menepuk punggung tangan Ibu. Karena usia Ibu lebih tua dua tahun darinya, dia memanggilnya Mbak. Akhirnya acara pernikahanpun digelar sederhana. Dengan alasan tak ada persiapan yang mumpuni, Ines harus puas dengan statusnya sebagai istri siri. Sore harinya pelukan Ibu melepas kepergian putri sulungnya ke Jakarta. “Semoga rumah tanggamu sakinah, mawaddah, warohmah … maafin Ibu yang memaksamu segera menikah. Ibu takut, gak ada umur lagi dan menyaksikan kebahagiaanmu.” Ines menyeka air mata lalu memeluk Ibu kembali dengan cukup lama. Ada rasa yang bercampur baur tak menentu. Usai melepas pelukan, Ines menoleh pada Inara---adik perempuannya. Dia memeluk Inara dan menitipkan ibu padanya. Lalu berlaih pada Hasan---suami Inara yang tengah menggendong Hamidan---anak pertama mereka. “Titip Ibu, ya! Jaga raganya, jaga hatinya!” tukas Ines seraya menyeka sudut matanya yang basah. “Iya, Mbak! Moga betah ya di kota!” Inara menepuk punggung tangan Ines yang memegang bahunya. “Iya, doakan saja!” Akhirnya sore itu, Ines ikut dengan Arlan dan keluarga. Mereka sekalian menjenguk kakek dan neneknya Arlan yang sudah sepuh. Mereka berdua tinggal dengan adik-adik dari Retno dan tidak mau dibawa ke Jakarta. Hidup di kampung lebih enak, katanya. *** Suara derit pintu membuat memori Ines kembali. Dia mengalihkan perhatian dari lambaian daun pohon mangga yang terlihat dari balik jendela. Tampak Arlan---suaminya sudah berdiri di sana. Dia sudah rapi mengenakan pakaian kantor. “Ines, kamu bertengkar dengan Mama?” tanyanya lembut. Sikap lembut yang dulu sudah membuatnya tertipu dan percaya jika dia adalah sosok lelaki baik dan layak dijadikan imam olehnya. “Enggak, Mas! Aku hanya mempertanyakan perempuan itu. Cuma Ibu malah menekanku. Aku bukan perempuan hebat yang bisa berbagi suami, Mas! Kalau dia istri pertamamu, maka biarkan aku pergi! Aku tak akan mengganggu kebahagiaan rumah tangga kalian!” Ines menatap Arlan yang berjalan mendekat. Dia berdiri menjejeri Ines dan ikut menatap ke luar jendela. Pintu kamar yang terbuka membuat Ines tak merasakan curiga apapun pada suaminya itu. Ines berjalan mengambil tasnya yang sudah berisi pakaian. Namun Arlan terus mengikutinya sambil bicara. “Kehadiran kamu sama sekali gak merusak kebahgiaanku dengan Aniska, Nes! Aku pun menyukaimu karena itu aku bersedia menikah. Jadi tetaplah di sini. Kita akan membina rumah tangga ini hingga maut memisahkan kita. Asal kamu tahu, aku menikahi Aniska karena hutang budi. Jadi tolong tetap di sini, jadi istriku. Temani aku hingga tua nanti!” Arlan berbicara lembut. Jemarinya meraih tangan Ines, tetapi perempuan itu menepisnya. Ines memakai tas gendongnya dan bersiap untuk pergi. Dia menoleh pada Arlan dan mengungkapkan kekesalannya yang terpendam. “Kamu egois, Mas! Apa kamu pernah bertanya bagaimana perasaan Aniska? Bagaimana kalau dia tahu kamu mengkhianatinya? Apa kamu tak berpikir kalau bukan hanya aku yang terluka, tapi dia pun sama?” Ines menatap Arlan dengan mata mengembun. Sakit rasanya berada pada posisinya saat ini. Ketika hidupnya dulu merasa sudah sangat lelah dan rapuh, akhirnya menemukan sandaran. Seorang pria baik, tampan dan mapan. Namun belum genap tiga puluh hari, semua sandaran itu seolah roboh dengan sendirinya. Arlan tak sebaik kesan pertemuan pertama mereka. “Ya, aku memang egois! Aku sudah mulai mencintaimu sekarang, Ines! Dan aku pun tak mungkin meninggalkan Aniska, jadi tolong mengertilah … jangan berikan pilihan sulit untukku!” Arlan berucap penuh penekanan. Dia kembali mendekat dan memegang dua bahu Ines. Namun lagi-lagi tangan kokoh itu, Ines lepaskan paksa. “Aku mau kita cerai, Mas! Kamu bisa hidup bahagia tanpa kehadiranku … tolong lepaskan aku!” Ines mengatupkan tangan pada Arlan seraya memasang wajahnya yang memelas. Bagaimanapun posisinya lemah. Dia tak memiliki dokumen sah sehingga tak bisa mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Andai pun dia pergi, tak serta merta talak itu jatuh padanya. “Aku gak mau, Ines! Tolong jangan buat aku pusing! Aku mencintai kamu!” tukas Arlan dengan rahang mengeras. Matanya mulai memancarkan kemarahan. “Kamu egois, Mas! Andai aku tahu kamu sudah beristri, aku tak mungkin menerima perjodohan ini! Lebih baik aku menjadi perawan tua dari pada harus melukai hati wanita lain yang tak bersalah dan aku pun terluka karena kebohongan kamu!” Ines meradang. Dia mendorong Arlan dan berlari hendak melewatinya. Namun jemari Arlan meraih pergelangan tangannya dengan sangat cepat. “Ines, aku mencintai kamu! Apa kamu gak lihat pancaran cinta ini dari mataku?” tukas Arlan seraya menarik tubuh Ines ke pelukannya. Namun Ines meronta. “Itu bukan cinta, Mas! Itu nafsu! Aku mau kita cerai, Mas!” Ines memberontak. Dia menginjak kaki Arlan dengan kuat hingga pelukannya mengendur. Ines berlari ke arah pintu yang memang masih terbuka. Namun kaki panjang Arlan yang bergerak cepat berhasil mengejarnya. Tangan kokoh itu merengkuh tubuh Ines dan menariknya ke dalam pelukan. Tanpa Ines sangka, Arlan membekapnya dengan saputangan kecil. Ada bau menyengat tercium sesaat, setelah itu perlahan kesadarannya menghilang. Ines terkulai tak sadarkan diri di pelukan sang suami yang menyeringai senang.Ines mengerjap. Pengaruh obat bius yang diberikan Arlan padanya sudah lenyap. Namun alangkah kagetnya dia ketika terbangun, dirinya sudah terbaring di atas ranjang dengan tanpa sehelai benangpun. Pakaiannya berserakan di lantai. Selain itu ada rasa sedikit nyeri yang terasa perih di inti tubuhnya dan bercak darah para seprai di sekitar tempatnya terbaring. “Enggak, aku enggak relaaa!!!” Ines memekik seraya menjambak rambutnya yang terurai. Dia menarik selimut menutupi tubuh polosnya. Ines melempar-lemparkan bantal dan apa saja yang ada di dekatnya. Amarah memuncak, dirinya mulai membenci takdir yang tak berpihak. Hatinya hancur berkeping ketika mendapati kesucian yang selama ini dia jaga sudah direnggut paksa oleh lelaki yang bergelar suami, tetapi bukan seorang imam seperti impiannya. “Tuhan, apa aku serendah itu di mata-Mu? Bukankah sejak kecil aku sudah Kauerikan kesusahan, hidup kekurangan, Bapak ditabrak orang lalu sakit-sakitan, hidup aku dikucilkan dan pedih sejak dulu? Ke
“Hah, besok? Kenapa saya kebagian yang pertama, sih, Mbak?” protes Arlan pada sekretaris Airlangga. Bahkan dia belum tahu kondisi Ines sekarang. Semoga besok istrinya itu tak membuat kekacauan. “Bos tahu kalau Pak Arlan tinggal serumah dengan Pak Erda dan Gugun! Jadinya besok mau visit pertama ke sana, biar memangkas waktu. Sebentar lagi dia pergi lagi ke luar negeri lagi soalnya!” tukas Miati. “Iya deh, iya! Makasih ya, Mbak Mia!” Arlan akhirnya mengangguk pasrah. Segera dihampirinya Gugun dan Erda yang memang berbeda bagian. Rupanya dia sudah menelpon Retno dan memberitahunya untuk acara besok, sehingga Erna dan Mirna sudah pergi keluar untuk berbelanja. *** Ines sibuk membereskan satu kamar tamu lagi yang bersebelahan dengan kamar yang biasa ditempati olehnya dan Arlan. Dia tak punya pilihan selain tinggal setidaknya tiga bulan sepuluh hari di rumah itu. Terpaksa dia menepis keinginan untuk pergi meninggalkan rumah yang kini terasa mencekam itu sementara waktu. Ines takut j
Ines memasak semua bahan yang sudah dibeli oleh kedua kakak iparnya. Keringat sudah mengucur membasahi pelipis ketika semua sudah hampir selesai. “Duh, Mah kok jadi kayak gini, ya?” Terdengar suara Mirna dari arah ruang tengah menuju dapur. Ines tetap fokus pada pekerjaannya yang sebentar lagi akan beres. “Mamah juga sama, Mir! Kamu gak lihat ini leher, tangan sama kaki Mama beruntus semua? Merah-merah, gatal sama pedih banget!” Suara Retno menimpali. Ines tetap bergeming. Hanya sudut matanya sesekali melirik kedua orang yang tampak memeriksa dan mencicipi hasil masakannya. Andai bukan buat tamu, mungkin Ines sudah campurkan dengan obat pencuci perut biar semua kapok memakan makanan yang dimasaknya. Namun Ines masih waras, ada orang lain yang tak bersalah yang akan kena juga. “Mamah sih, mending mukanya enggak! Aku malah malu, Ma! Mukaku bintik-bintik merah seperti ini!” keluh Mirna lagi. “Ya sudah kamu pakai masker saja nanti kalau malu!” Terdengar saran Retno untuk Mirna. “Uda
“Silakan diminum!” Ines menyimpan perlahan gelas-gelas yang dibawanya di atas meja kaca yang sudah diisi oleh tujuh orang itu. Hanya Arlan dan Aniska saja yang belum kembali. Airlangga menoleh pada suara yang baginya familiar, dia menautkan alis dan menatap wajah yang tengah menunduk itu dalam-dalam. “Terima kasih!” ucap Airlangga. Dia menoleh wajah ayu yang menunduk itu, tetapi kemudian abai. Hingga suara Ines kembali membuatnya menoleh dan menatap dengan lekat. “Sama-sama, Tuan!” jawab Ines seraya melempar senyum. Airlangga mengangguk, tetapi ada sesuatu yang tiba-tiba berkecamuk. Ines berdiri dan memutar tubuhnya meninggalkan ruang tamu. Dia tak sadar kedua bola mata itu menatapnya hingga punggungnya menghilang. Obrolan kembali mengalir. Tak berapa lama, Arlan dan Aniska tiba. Wajah perempuan itu ditekuk hingga Arlan membisikkan sesuatu lalu senyum itu menyembul dengan terpaksa. “Selamat siang, Pak Langga! Mohon maaf saya terlambat … tadi ada sedikit insiden!” Arlan yang tampa
Kesamaan nama, rambut kuncir ekor kuda, dan sate kambing yang dibawanya seolah clue yang membuatnya mau tak mau menebak-nebak dalam dada. “Mbak Inesa, maaf boleh tanya … kampung asalnya dari mana, ya?” Baru saja Ines menganga, Arlan mendahuluinya seolah tak rela ada orang lain yang tampak memperhatikan Ines.“Ahm, dia kami ambil dari yayasan pembantu, Pak Langga! Apa Bapak tertarik mencari ART juga?” Arlan menimpali dengan sopan. Meskipun jelas dari caranya sama sekali tak terpuji, menyela pembicaraan orang lain. Ines membuang napas kasar, lalu berjalan lurus saja ke arah belakang. Lagi pula apa yang dia harapkan, jika benar pun itu Airlangga masa kecilnya, status mereka sudah terlalu jauh. Apalagi sekarang Ines merasa dirinya tak pantas lagi karena perbuatan Arlan waktu itu. Sehingga dia pun tak lagi pernah bermimpi untuk memiliki hidup dan rumah tangga yang indah dengan sosok yang sesungguhnya dulu membuatnya bertahan dan digelari perawan tua. Hanya dia yang tahu betul-betul apa
Waktu bergulir dengan segala pedihnya, entah kenapa hatinya semakin hari semakin sakit. Setelah acara kunjungan selesai, Aniska sering sekali menginap di rumah Arlan dengan alasan takut karena sendirian di rumah.Kehadiran Aniska merupakan kabar buruk untuk Ines. Perempuan itu seolah memendam dendam tersendiri padanya yang entah apa. Namun di satu sisi merupakan sebuah keberuntungan juga buat Ines, karena Arlan tak memiliki kesempatan untuk mengganggunya. Aniska seolah dua hal yang datang bersamaan, kebaikan dan keburukan membersamainya. Ines berusaha tetap abai, dia hanya fokus pada hidupnya. Sepagi ini semua menu sarapan sudah terhidang di atas meja. Ines menatanya di meja makan,di mana biasanya keluarga besar itu bersama-sama menyantap sarapan yang sudah disiapkannya. Andai dia diperbolehkan keluar, mungkin sudah membeli obat pencuci perut biar sesekali mereka jera. Namun sama sekali Ines tak diberikan akses untuk bepergian. Yang belanja bulanan pun Erna dan Mirna. Dirinya sa
“Semoga jus nanas ini bisa membuatmu tak usah hadir ke alam dunia! Maafkan Ibu yang sudah membunuhmu bahkan sebelum kamu berkesempatan untuk lahir ….” Ines bergumam sendirian seraya menyeka air mata. Dia tak tahu jika kesucian itu belum berhasil direnggut Arlan. Dia merasa menjadi orang paling berdosa sekarang dengan meminum jus nanas dan berharap bisa menggagalkan kehamilan. “Tuhan, sepertinya aku sudah tak layak lagi menyebut-Mu dengan diriku yang penuh dosa ini … aku sudah menjadi istri yang tak patuh pada suami, sudah membunuh calon bayiku sendiri … salah akukah semua ini, Tuhan? Bahkan aku seolah terus-terusan terhimpit susah dan susah dari sejak aku mengenal dunia … mungkin benar, Engkau memang tak sayang … jadi biarkan aku hidup dengan caraku sendiri!” Ines menghela napas panjang setelah bermonolog dengan dirinya sendiri. Pemikiran yang salah semakin menjerumuskannya pada pola pikir yang salah. Lagi-lagi Ines lupa, jika semua yang hidup itu diuji dengan permasalahan yang berbe
“Maaf, ya, Mbak Aniska yang terhormat! Tolong jaga bicaramu … saya di sini bukan pembantu, tapi saya menantu sama sepertimu! Saya ini istrinya Arlan Bramantyo---suamimu! Jadi apa bedanya saya dengan kamu? Kita sama, sama-sama istri dia!” Ines menunjuk ke arah Arlan yang sontak menelan saliva. Kedua matanya membulat memandang Aniska dengan tatapan menantang. “Ines, tolong jaga bicaramu! Apa kamu pikir, istriku ini bodoh?” Arlan tersenyum miring. Dia yakin, Aniska akan lebih percaya padanya dari pada dengan Ines. “Mas Arlanku tersayang, apa kamu lupa jika kemarin malam kamu memintaku melayanimu setiap malam? Kamu menginginkanku ‘kan? Apa istrimu ini kurang memuaskan?!” Ines sengaja menabur bara api agar emosi Arlan terpancing. Berharap kata talak akan terlontar. “Ines?!” Kedua mata Arlan membulat menatap Ines. Namun Ines tersenyum santai. “Apa perlu aku putar rekaman semua ucapanmu di depan istri tercintamu ini?” Ines menatap nyalang. Sejujurnya dia hanya menggertak, karena kemarin
Ucapan ijab qabul menggema mengiringi janji suci dua orang yang hari ini resmi diikat oleh pernikahan. Arlan duduk menunduk seraya menyeka keringat yang bermunculan. Bahkan dunianya seakan berhenti berputar. Dirinya tak menyangka ketika pada akhirnya bisa menemukan jalan hijrah dan anugerah cinta. Dia pun masih tak menyangka ketika dirinya dipertemukan dengan seorang yang lembut dan berhati baik, berharap sang mampu melengkapi kurangnya pengetahuan agamanya. Tiga bulan setelah pertemuan di masjid ketika acara hari itu. Arlan mendapatkan tawaran untuk kerja sebagai salah satu staff di pondok pesantren modern. Semua itu atas nama rekomendasi Azizah dan tentunya rekomendasi dari Ikbal---sang ketua DKM. Dia melihat Arlan yang cukup ulet dan gigih selama menjadi marbot masjid. Ikbal cukup dekat dengan Arlan dan seringkali dimintai pendapat olehnya. Melihat kesungguhan Arlan untuk hijrah, akhirnya dia pun yakin jika semua keburukan Arlan telah menguap bersama status sosialnya.Arlan sempat
Airlangga memekik haru ketika benda pipih bergaris merah itu ditunjukkan Ines padanya. Dia langsung membopong tubuh Ines dan menghujani wajah sang istri dengan kecupan. Bahagia tak terkira ketika akhirnya dirinya akan segera menjadi seorang ayah. “Terima kasih, Ya Allah … terima kasih, Sayang!” “Kak, ih … nanti aku jatuh gimana?” Ines mengalungkan lengannya pada leher Airlangga. “Aku bahagia, Dik! Aku ingin merayakan semua kebahagiaan ini dengan semua karyawan perusahaan! Hmmm baiknya bikin acara apa, ya?” Airlangga menurunkan Ines perlahan dan menudukannya di atas sofa. “Ya, bagi-bagi voucher belanja mungkin, Kak. Kan gak ribet juga,” tukas Ines. “Ide bagus! Oke, nanti kita minta Rendra urus semua!” Airlangga begitu berbahagia. Diusapnya pipi Ines dengan lembut. “Kita ke dokter sekarang, ya! Biar kamu dapat asupan vitamin yang bagus! Habis itu kita ke tampat Papi dan Mami. Terus kita kabarin Ibu.”Airlangga berbicara dengan mata berbinar. Ines mengangguk dan turut mengiyakan. K
Arlan duduk termenung, kalimat demi kalimat yang almarhum ayahnya sampaikan kembali terngiang. Entah kenapa baru kali ini dia menyadari begitu banyak petuah sang ayah yang sudah dia tinggalkan. “Jadilah pelindung untuk dua kakakmu, Jadilah pelindung untuk Ibumu, Bapak rasa umur Bapak sudah tak lama. Jadilah anak sholeh yang doanya bisa menerangi alam kubur Bapak.” Semua kalimat itu seolah ada tanggung jawab yang dilimpahkan. Almarhum ayahnya mempercayakan Ibu dan kedua orang kakaknya padanya. Namun pada kenyataannya, justru berbanding terbalik. Arlan tak mampu mengendalikan mereka, justru dirinya yang dikendalikan Retno dan Mirna. Kesibukan mempersiapkan acara tabligh akbar, akhirnya kembali mengalihkan perhatiannya. Dengan kakinya yang masih terpincang dan dibantu gerak oleh tongkat yang menyangga ketiaknya. Arlan membantu sebisanya. Menata kursi, memasang taplak meja, lalu menyajikan air mineral untuk para anggota DKM yang sebagian besarnya anak muda. Menjelang siang, nasi kotak
Dering bell yang terdengar membuat Narendra bergegas keluar dari rumah. Dia baru saja selesai membuat sarapan untuknya. Dua tangkup roti bakar dan segelas kopi hitam sudah tersaji di meja. “Pagi Pak Rendra!” Senyum manis Fika menyapanya. Perempuan itu juga tampak sudah rapi. “Pagi, Bu Fika! Ada apa, ya? Kalau mau ngasih kopi, maaf banget, saya sudah buat.” Narendra menautkan alis menatap Fika yang membawa cangkir di tangannya. Fika tersenyum seraya menggeleng kepala. Satu tangan menutup bibirnya, tingkahnya berbeda sekali dengan Fika yang begitu tegas ketika menindak karyawan yang melanggar peraturan. Fika di luar jam kantor, lebih tampak manja dan nekat kalau Narendra bilang. “Bukan mau ngasih kok, Pak Rendra! Saya mau minta air panas. Maklum rumah baru, Pak. Saya kira sudah lengkap kemarin tuh. Eh nyatanya gak ada kompor juga buat manasin air, dispenser ada, sih, tapi mati.” Fika terkekeh dan menunduk. “Oh, mari masuk! Banyak kok kalau sekadar air panas, sih!” Narendra menggese
“Andai kebahagiaanku adalah Mas Arlan, Pah? Bagaimana?” lirih Aniska seraya menutup wajahnya dan membiarkan tangis lepas meluahkan beban yang terasa berat di pundaknya.“Tidak! Papa tidak akan mengijinkanmu memelihara pengkhianat itu di rumah ini! Andai dia hanya cacat dan tak bisa kerja, tetapi hatinya setia … Papa masih bisa pertimbangkan. Namun masa depan seperti apa yang kamu harapkan dari seorang lelaki pengkhianat, cacat dan pengangguran?! Gak ada, Nis! Gak ada!” Hafid berucap dengan tegas dan lantang. Aniska menunduk. Hatinya membenarkan apa yang sudah menjadi keputusan ayahnya. Dia pun sadar, semua yang dikatakan ayahnya adalah benar. Bahkan sakit hatinya masih terasa ketika mendengar pengakuan perempuan yang mengaku tengah mengandung anak dari suaminya. Hafid langsung meminta pengacaranya bergerak cepat untuk menggugat cerai Arlan yang masih terbaring tak berdaya. Hafid merasa ditusuk dari belakang oleh orang yang teramat sangat disayanginya itu. Bahkan setiap kesalahan kec
Di tengah keraguan hatinya. Narendra melajukan mobilnya bukan menuju ke arah rumah, melainkan menuju ke kediaman Abi Firdaus dan Umi Zubaidah. Dia hendak bertanya beberapa hal terkait Azizah. Bagaimanapun dia telah memintanya langsung pada kedua orang tuanya. Apa jadinya jika tiba-tiba dia memilih FIka tanpa mengetahui seperti apa kondisi sebenarnya perempuan yang awalnya diharap bisa menjadi istrinya itu.Mobil yang dikendarai Narendra akhirnya tiba di kediaman Umi dan Abi. Dirinya disambut baik dan dipersilakan seperti biasa. Tak banyak basa-basi yang terjadi. Narendra mengungkapkan pertanyaan seputar penolakan Azizah padanya.“Apakah dia sudah memiliki calon lain yang u sesuai keinginannya, Umi, Abi?” tanya Narendra.“Setahu Umi sih belum, Pak Rendra. Dia masih butuh waktu untuk menyembuhkan trauma. Namun Iza tak mau terikat dengan siapapun saat ini dan entah sampai kapanpun dia tak memberikan kepastian pada Umi,” tukasnya. “Apakah saya boleh tahu seperti apa kriteria calon suami
“Saya adalah orang yang tak mudah jatuh cinta. Bukan pemilih, sih. Hanya saja memang belum menemukan yang tepat selama perjalanan hidup saya. Namun melihat kecerdasan dan kepribadian Bapak, hati saya yakin jika Bapak adalah sosok yang selama ini hati saya cari. Saya yakin bisa menjadi imam untuk saya dan karena saya tahu jika Bapak pun belum memiliki pendamping, pada kesempatan ini, jika kiranya kesempatan itu terbuka untuk saya. Saya akan mencoba menjadi yang terbaik untuk Bapak.” Akhirnya kalimat yang sudah dia rangkai sejak kemarin dan dibaca berulang-ulang itu tersampaikan. Ada perasaan lega pada hati Fika. Dia menatap Narendra yang tampak cukup terkejut mendengar penuturannya. “Maaf kalau saya lancang, Pak Rendra!” Fika mengangguk sopan dan mengulas senyum. Meskipun degub jantung berpacu dan wajahnya sudah berubah menjadi merah merona. Namun dia tetap bisa menguasai diri. “Ahm, sorry-sorry kalau saya buat Bu Fika gak nyaman.” Narendra tersenyum untuk mengurai suasana yang ter
Erna dan Erda sudah berada di depan kediaman megah milik Airlangga. Meskipun ada rasa was-was di hatinya. Dia pun sadar seburuk apa perlakuannya pada Ines di masa lampau. Namun dorongan kuat yang muncul itu akhirnya membuat keduanya bertekad untuk meminta maaf. Harus menunggu sekitar satu jam, karena tuan rumah sedang keluar. Erda dan Erna duduk di teras sambil duduk di sofa minimalis yang ada di sana. Mobil mewah milik Airlangga memasuki gerbang, pada saat itulah Erda dan Erna bisa tersenyum. Dia menatap Ines yang tampil anggung dengan gamis dan kerudung menjuntai lebar. Airlangga turun dan menenteng plastic berisi belanjaan.“Selamat siang, Pak Langga!” Erda menganggukkan kepala. “Siang! Ada apa ya cari saya?” Airlangga menatap Erda heran. “Masuk dulu, yuk! Gak baik ngobrol di luar!” Ines membuka anak kunci dan mendorong daun pintu. Ketiga orang itu mengikuti ajakan Ines dan tak banyak berbasa-basi lagi. Ines mempersilakan tamunya duduk di sofa yang ada di ruang tengah. Sementa
Fika memohon izin untuk duduk pada kursi kosong yang ada di depan Narendra. Meskipun mendapati sikap yang datar seperti biasa. Namun bagi Fika tak apa, berada dalam satu ruangan bersama dengan lelaki itu sudah membuatnya bahgaia. Namun karena dirinya pun memang harus bersikap professional. Fika menjelaskan terkait punishment untuk Erda dan Gugun yang sudah dia sampaikan. Dikarenakan Airlangga tak masuk, maka semua urusan yang harusnya dilaporkan pada Airlangga akan disampaikan pada Narendra. “Ok makasih, Bu Fika!” “Sama-sama, Pak Rendra.” Sesingkat itulah kalimat yang mengakhiri perbincangan mereka terkait kasus Arlan yang melibatkan dua kakak iparnya. Fika tersenyum lalu berjalan meninggalkan ruangan. Dia kembali ke mejanya dan mempelajari hal-hal lainnya yang nantinya akan menjadi tanggung jawabnya secara penuh. Di lain tempat, Aniska tengah terisak di kamarnya. Dia tak henti meratapi nasib suaminya yang dia dengar dari dokter tentang kemungkinan kondisi terburuknya, juga tenta