Alzam mengulurkan tangan, menggenggam tangan Lani yang dingin. Mata mereka saling bertaut, seolah berbicara dalam diam. Lani menatap Alzam, menemukan sesuatu yang tidak pernah dia pahami sepenuhnya-penyesalan, ketakutan, dan pengharapan yang tak bisa terucap. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun dia menahannya agar tidak jatuh."Ayo pergi, Nak." Kembali Wagimin menandaskan perkataanya. Alzam makin menggenggam tangan Lani erat. Bahkan merengkuhnya. Hanya tatapan mata mereka yang bicara dalam batyang buram.Melihat itu, Agna yang berdiri di dekat pintu tak lagi bisa menahan diri. Dengan langkah tergesa, ia masuk ke dalam rumah dan membanting pintu keras-keras. Suara gemeretak itu menggema, membuat suasana di luar semakin mencekam. Semua mata kini tertuju pada Alzam dan Lani, yang masih berdiri dalam kebisuan yang menyakitkan."Pak Wagimin," Thoriq memecah keheningan dengan suara beratnya, "Mari kita bicarakan ini di rumah Lani. Lagipula sudah siang, keburu ada orang lewa
Pagi itu, langit masih biru jernih saat Alzam keluar dari rumah bersama Agna. Langkahnya terasa berat, namun wajahnya tetap dipaksakan tenang. Di sebelahnya, Agna mengenakan gaun formal dengan potongan rapi, dan senyum kecil menghiasi wajahnya. Sikapnya begitu berbeda; terlihat penuh perhatian, bahkan tangannya sempat menyentuh lengan Alzam saat mereka menuju mobil."Nanti kita mampir sarapan duluh, ya Mas?" Alzam hanya mengangguk singkat, tidak ada kata yang terucap. Ia membuka pintu mobil untuk Agna, lalu melirik ke sebelah untuk memastikan melihat Lani walau dia tau dia tak dapat melihatnya. Maafkan aku, Lani. Aku justru bersamanya pergi, sedangkana kamu hari ini juga waktunya kuliah.Sementara Lani yang mau keluar, menahan langkahnya saat melihat semua itu. Dia tidak ingin melihat tatapan tajam Agna yang penuh benci padanya. Wajah Lani terlihat pucat, dan tatapannya begitu hampa, seolah-olah dunia di sekitarnya berhenti. Dia merasakan sesuatu menghantam dadanya, tapi ia hanya bis
Suasana riuh rendah terdengar di sebuah kafe yang ramai dikunjungi mahasiswa. Meja-meja penuh dengan gelas kopi setengah kosong dan laptop menyala. Alzam duduk di salah satu sudut kafe, matanya terus mengawasi seseorang yang duduk bersama temannya di meja seberang.Lani, dengan hijab krem dengan terusan berbunga kecil senada, terlihat tertawa kecil mendengar cerita Dita, sahabatnya. Dia mengenakan cardigan yang santai, namun tetap terlihat manis. Alzam memalingkan pandangan sesaat, lalu menghela napas panjang. Tangannya mengeluarkan ponsel dan menekan nomor Lani.Di meja seberang, Lani mengangkat ponselnya dengan raut wajah bingung mencari keberadaan Alzam."Assalamualikum bidadariku!"Lani tak dapat menyembunyikan pias di pipinya yang putih dan mendadak jadi bersemu. Dita yang memperhatikannya hanya berdehem. Lalu emnunjukkan telunjuknya ke sebrang, hinggah Lani tau kalau Alzam memang di sana."Sudah tiga hari ini aku bersamanya," suara Alzam terdengar lirih namun penuh emosi di sebe
"Aku nggak ngerti kamu, Kep," Dandi membuka pembicaraan dengan suara berat, memecah kesunyian yang terasa menekan di antara mereka bertiga setelah kepergian Lani. "Kamu tahu apa yang kamu pertaruhkan di sini?"Alzam mendengus pelan. "Dandi, aku nggak peduli lagi. Semua ini nggak ada artinya kalau aku kehilangan Lani. Tiga hari ini tak bersamanya saja, hatiku seperti ini. Rasanya aku tak sanggup."Hanum, yang berdiri di samping Dandi, memandang Alzam dengan cemas. "Kep, kita nggak bilang ini karena nggak ngerti perasaanmu. Tapi kamu harus mikir matang. Karirmu, masa depanmu...""Hanum, masa depanku itu dia," potong Alzam tajam. "Lani dan bayi kami adalah segalanya. Kalau aku harus kehilangan semuanya untuk mereka, aku rela."Dandi menghela napas panjang. Dia tahu percuma berdebat dengan Alzam yang keras kepala. "Kep, aku ngerti ini sulit. Tapi, kalau kamu mau dia baik-baik saja, kamu harus sabar. Kamu nggak bisa gegabah.""Tiga hari aku habiskan waktu sama Agna, tapi kepalaku cuma penu
Deru mesin mobil terdengar halus, namun atmosfer di dalamnya penuh ketegangan yang tidak kasatmata. Agna duduk di sebelah Alzam dengan raut wajah yang sulit ditebak. Make up-nya tebal menggambarkan kesempurnaan yang selalu ia tuntut dari dirinya sendiri, tapi matanya menyiratkan kekecewaan. Alzam mengemudi dengan tatapan lurus ke depan, kedua tangannya mantap di atas setir."Enak ya, pagi-pagi sudah di rumah itu," sindir Agna tanpa menoleh.Alzam tidak menjawab. Rahangnya mengeras, tetapi ia tetap fokus pada jalanan yang mulai ramai.""Bahkan sepertinya kamu tak sabar menunggu Subuh." " lanjut Agna dengan nada yang lebih tajam."Kok diam? Atau jangan-jangan terlalu capek, ya setelah bermesraan?"Alzam menghela napas panjang, mencoba menahan amarah yang membuncah. "Kamu sudah tahu jawabannya, Agna. Jangan buat ini menjadi rumit." Alzam memang mengerti dari tadi dia datang lewat rumahnya, tatapan mata Agna selalu tertuju pada rambutnya yang masih basah.Agna tertawa kecil, dingin. "Rumit?
Alzam berdiri di balik pintu, tangan kanannya menggenggam erat pegangan pintu. Ia tidak langsung membukanya lebar, hanya menyisakan celah kecil untuk melihat siapa yang datang. Aneh jika tiba-tiba saja ada orang datang bertamu ke sini yang diketahui orang-orang sini ini tempat tinggalnya Lani setelah Alzam menikah. Ternyata Dandi, sahabat satu markasnya, dan seorang perempuan muda yang Alzam kenali sebagai Hanum."Assalamualikum. Aku tahu kau di sini, Zam," suara berat Dandi terdengar dari luar.Alzam menarik napas dalam-dalam sambil menjawab salam. Dia memutar kenop pintu dengan perlahan namun tidak keluar sepenuhnya. "Masuk," ucapnya pelan, sambil melirik Lani di dapur. Ia memberi isyarat kepada Dandi untuk cepat masuk agar tidak ada orang lain yang melihat. Dan langsung membawa mereka melewati ruang tamu yang terkesan sederhana.Dandi dan Hanum melangkah masuk ke dalam rumah kecil itu. Hanum menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu yang samar. Pemandangan yang disuguhkan membuat
“Biar aku yang buka pintu,” ujar Lani dengan cepat, berdiri dari kursinya sebelum orang lain sempat bergerak. “Kalau kamu yang buka, Mas, nanti bisa-bisa semua orang tahu kamu di sini. Untung yang tadi Dandi sama Hanum," cetus Lani.Alzam mengangguk pelan, membiarkan Lani berjalan menuju pintu. Ia memandangi punggung istrinya yang semakin menjauh. "Ya, beginilah, Dan. Aku harus sembunyikan semua ini agar orang tak anggap aku selingkuh dengan Lani," ucap Alzam terkekeh."Sabar,.." Dandi menepuk punggung sahabatnya dengan mengintip siapa yang datang.Tangan Lani meraih gagang pintu, membukanya perlahan, dan tampaklah sosok Pak Sajad di depan pintu dengan senyum kecil yang ramah.“Oh, Pak Sajad. Silakan masuk,” ujar Lani, mencoba bersikap biasa saja. Ia melirik sekilas ke ruang keluarga, memastikan Alzam dan Dandi tetap di tempat mereka.Pak Sajad tersenyum sopan dan melangkah masuk. “Maaf, Mbak Lani. Saya pikir tadi Mbak belum pulang. Ada yang perlu saya bicarakan soal stok jeruk yang
Lani berjalan pelan menuju kamar. Tangannya yang masih menggenggam rekap pengiriman jeruk terasa dingin, seperti mencerminkan perasaan hatinya. Ia tahu pembicaraan tadi tidak selesai, dan Alzam pasti masih merasa bersalah dengan mendahuluinya masuk kamar dengan gusar setelah mengucapkan kata maaf saat masih ada Dandi dan Hanum di rumah mereka."Seandainya aku tidak mengajak Agan menikah saat itu, kita tidak akan mengalami semua ini, Lani. Maafkan aku," terngiang di telinga Lani saat Alzam mengucapkannya setelah mereka membahas rumah sakit mana yang dipakai untuk memeriksakan kehamilan Lani."Mas,..""Aku sudah membuat semuanya menjadi begitu rumit.""Sudahlah, Zam. Semuanya sudah terjadi. Sekarang kita harus mencari cara yang tepat. Itu saja. Sampai entah bagaimana nanti Tuhan memberikan jalan pada kalian," hibur Dandi waktu itu.Di kamar, Alzam sedang duduk di tepi ranjang, menunduk sambil mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Ketika pintu terbuka, ia menoleh cepat. Pandangannya la
.Lani berjalan mondar-mandir di ruang tamu. Matanya tak lepas dari jam dinding. Sudah hampir malam, tapi Alzam tak juga pulang. Dari sudut ruangan, Towirah menghela napas pelan. "Duduk dulu, Nduk. Jangan terlalu dipikirkan."Lani mengeryit. Iya juga. Ini bukan pertama kalinya Alzam melakukan ini. tiap dicueki Lani, dia selalu pergi begitu saja tanpa pamit, pikir Lani. Apa mungkin dia ada tugas mendadak seperti duluh?Wagimin, yang duduk bersila di tikar, ikut menimpali, "Bisa jadi dia ada urusan mendadak. Kalau sesuatu terjadi, pasti sudah menghubungi." Ternyata bapaknya mengataan apa yang di hati Lani.Lani berhenti. Ia menatap mereka dengan sorot sedikit tenang. "Tapi sejak kemarin aku marah padanya. Apa dia sengaja pergi karena itu?"Towirah menepuk-nepuk sisi kursi, menyuruh Lani duduk. "Lelaki itu tidak sependendam itu, Nduk. Kalau pergi jauh, pasti ada alasan kuat."Lani duduk, tapi pikirannya kadang gelisah. Ia menatap ponsel yang sejak tadi diam di meja. Tak ada pesan, tak
Suasana begitu ramai ketika Mira bersandar di pagar pusat grosir yang berdiri megah di tengah kota. Lampu-lampu menyala kerlap kerlip di toko penjual lampu, memantulkan cahaya di permukaan pertokoan yang mulai ramai oleh pengunjung yang selain mencari makan karena watunya isrtirahat makan siang, juga pembeli dari luar kota yang mencari dagangan.Mira menghembuskan napas berat. Tatapannya kosong menatap lalu-lalang orang. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya jatuh juga."Kenapa aku sebodoh ini..." gumamnya.Sebuah sapu tangan berwarna biru tua tiba-tiba terulur ke hadapannya. "Habus air matamu."Mira menoleh. Seorang pria tinggi besar berdiri di sampingnya, tampak santai dengan tangan satu di saku celana seragam lorerngnya, sementara tangan satunya masih terulur."Kenapa menangis? Tak seharusnya kamu menangisi orang seperti itu. Dirimu teramat berharga untuk menangisi seseorang."Mira mendongak. Sorot matanya penuh kejengkelan. "Siapa kamu? Berani sekali berkata seperti itu padaku?
"Tolong panggil Mira, Pak," ucap Agna pada satpam pabrik dengan nada sedikit terburu-buru. Baru saja dia datang dari kantornya dan pergi ke pabrik, memeriksa keuangan dan segala sesuatu tentang pabrik. Dia tau, Mira yang memegang segala sesuatunya soal pabrik itu.Satpam itu menatapnya sejenak sebelum menjawab, "Mira tadi pamit Pergi istirahat makan siang dan katanya tidak kembali."Agna sontak mengernyit. "Apa? Dia nggak bilang ke saya?"Satpam itu mengangkat bahu. "Katanya nggak tahu nomor telepon Bu Agna, jadi nggak bisa kasih kabar langsung. Dia menyuruh saya minta izin Bu Agna."Agna menghembuskan napas kasar. Rasanya ingin mengumpat. Hari ini sudah cukup buruk tanpa tambahan drama ini. Pagi-pagi buta, Alzam tiba-tiba muncul dan melabraknya dengan tuduhan konyol. Sekarang, Mira malah pergi tanpa pamit.Dia merogoh tasnya dengan gerakan kasar, mencari ponselnya. Hendak menanyakan ke Lani nomer handphone Mira. Namun sebelum sempat menghubungi Mira, ponselnya bergetar lebih dulu. N
"Sebentar, Bi," Alzam minta izin abinya untuk masuk membuntuti Lani.Alzam memandang Lani yang sejak tadi diam. Raut wajahnya tak bisa dibaca. Matanya tak lagi berbinar seperti biasa."Kamu kenapa, Sayang?" suaranya pelan, mencoba mencairkan suasana.Lani mendongak sebentar, lalu kembali menunduk, memainkan ujung jarinya di tempat tidurnya. Ada bara yang sejak tadi ia tahan."Ada apa denganmu?" Alzam mengulang, kali ini tangannya berusaha menggenggam jemari Lani. Namun malah dikibaskan oleh Lani. Seketika Alzam tersentak. Lani menghela napas. Hatinya bergemuruh. Kata-kata yang seharusnya tak diungkit lagi, kini muncul. Bagaimanapun, kenangan itu masih terasa menyesakkan."Kalau saja kamu tak melakukan itu..." Lani akhirnya berbicara, suaranya terdengar serak.Alzam mengernyit. "Melakukan apa?"Lani mendongak kembali, matanya tajam menusuk. "Mengajak Agna menikah waktu itu."Hening sejenak. Perasaan di antara mereka terasa berat. Satu kesalahan dalam hidup Alzam yang tidak pernah dapa
Mereka tiba di rumah menjelang sore. Begitu masuk, suara Ibunya, Towirah, langsung terdengar."Lani! Alzam!"Lani mendekat, mencium tangan ibunya. "Ibu..."Wagimin keluar dari dalam rumah. "Jadi, bagaimana hasilnya?"Lani menatap Alzam. Senyum kebahagiaan terpancar dari tatapan mata mereka.Alzam tersenyum tipis. "Kami sudah diizinkan menikah resmi."Sejenak, hening.Lalu Towirah mengangkat tangan ke langit. "Alhamdulillah! Akhirnya!"Wagimin menepuk pundak Alzam. "Bagus. Sudah saatnya semuanya kembali ke jalurnya.""Bagaimana dengan Agna?" tanya Towirah pelan.Lani menunduk."Setelah bukti perselingkuhan itu ada, saya akan menggugat cerai, Bu," ujar Alzam."Kalau gitu segera daftar ke Pak Modin. Biar segera diurus rencana nikah kalian.""Baik, Pak. Nanti malam saya ke sana.""Rasanya Bapak tak sabar putri bapak menikah. Di rumah ini kita belum pernah mengadakan hajatan. Sampai semua orang merasa tak enak hati kalau aku pergi bawa amplop ke mereka, katanya kita tak pernah ambil buwuan
Agna menghela napas panjang, lalu menggerutu sambil menatap kap mesin mobil yang berasap. Tangannya mencengkeram ponsel, siap mengetuk layanan taksi online."Sial! Mobil ini benar-benar menyebalkan! Seperti hidupku saja! Macet, mogok, dan dipenuhi kejutan tak mengenakkan!"Ia memukul setir dengan kesal, lalu mencoba lagi aplikasi di ponselnya. Tak ada taksi yang tersedia dalam waktu dekat."Apes! Lengkap sudah hari ini!"Tiba-tiba, suara berat menyapanya."Butuh bantuan?"Agna sontak menoleh. Seorang pria berseragam militer berdiri santai dengan tangan terselip di saku celana. Mayor muda dengan tubuh tinngi besar, tatapan tajam, dan senyum yang entah kenapa terasa menenangkan."Reynaldi?" Mata Agna melebar. "Astaga, aku pikir siapa tadi. Kamu kok tau aku lagi dlaam kesulitan. pa ini kebetulan ataukah takdir? Kanapa tiap aku tidak nyaman kamu selalu datang."Rey tersenyum ngakak. "Mungkin takdir kita bertemu. Kamu sih, mudah dikenali. Apalagi dengan ekspresi cemberut seperti tadi."Ag
"Kenapa dadaku berdebar seperti ini?" Lani menatap bayangannya di cermin. Gaun sederhana berwarna biru tua, membalut tubuhnya, riasan tipis mempermanis wajahnya. Tangannya merapikan jilbab yang membingkai muka. Jilbab panjang di dada dan di belakang, namun masih terlihat modis dengan cara Lani memakainya.Alzam sudah menunggu di ambang pintu. Begitu pintu dibuka, tatapan Alzam tak berkedip memandang Lani."Sepertinya kamu baru saja bertemu dengan anak Bapak." Sentuhan lembut di bahu Alzam membuatnya tersentak kaget dan langsung menunduk karena malu.Towirah yang juga di belakangnya bahkan terkekeh sambil menutup mulutnya dengan tangan. Wajah tandas Wagimin dengan ketampanan yang masih terukir jelas di wajah tuanya yang terpanggang matahari di kulit hitamnya memang ada di wajah Lani. Namun kulit kuning langsat dengan pipi kemerahan Lani berasal dari Towirah yang walau sering terkena matahari jika menjadi buruh pemetik jeruk, tapi dia masih terihat bersih."Kamu siap?" tanya Alzam beru
Deretan mobil hitam berhenti di halaman rumah megah dengan desain minimalis modern. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh dengan dinding -dinding kaca. Lampu-lampu taman menyala redup, memberikan kesan elegan dan hangat.Pintu besar terbuka. Seorang pria berbaju batik dengan janggut rapi melangkah keluar. Wibawa terpancar dari tatapan teduhnya."Selamat datang," ucapnya dengan suara dalam.Al-Ayyubi, sosok yang dikenal luas karena keilmuannya. lelaki tinggi besar keturunan Arab itu, tersenyum.Evran, Manda, Armand, dan Arhand turun dari mobil. Mereka memberi salam dengan hormat."Syukran, Abi," Evran menjawab dengan nada penuh penghormatan meamnggil nama panggilan Al Ayyubi.Di belakangnya, Arhand menyesap napas panjang. Matanya menyapu halaman rumah. Berbeda dari ingar-bingar kota, suasana ini menenangkan. Namun, jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergejolak.Mereka dipersilakan masuk ke dalam.Ruang tamu luas dengan ornamen khas Makassar. Ukiran kayu jati menghiasi langit-langit. Ka
Sabtu datang dengan langit kelabu. Lani berdiri di teras rumah, memandangi jalanan yang masih lengang. Pikirannya tak tenang sejak pabrik jatuh ke tangan Agna. Kekhawatiran akan kelangsungan pabrik menjadi pemikirannya. Terlebih dengan ancaman Alzam."Sarapan duluh, Alzam,"ajak Towirah."Memangnya mau ke mana pagi begini?" Wagimin ikut bertanya."Mau ke gudang, Pak. Biasanya kalau Sabtu kan aku lihat ke gudang.""Kalau gitu ayo sarapan duluh." Wagimin mendekatkan pindang ke arah Alzam saat dia sudah duduk bersama Lani. "Makan yang banyak, Zam. Ini masakan kesukaanmu, pindang sama lodeh tewel. Sambalnya juga enak, dibuatkan Lani.""Ibu sendiri heran, Zam, wajah kamu bukan wajah orang pribumi, tapi yang kamu sukai itu makanan orang desa.""Itu urusan lidah, Bu.""Sukur juga sih, Zam. Kalau kamu sukanya daging di apa itu namanya,.. ibumu pasti ghak bisa bikin." Wagimin terkekeh.Alzam pun menanggapinya dengan senyum sambil menatap Lani yang menurutnya terlihat gelisah.Alzam telah menye