"Salamat ya, Lani, akhirnya kamu bisa mewujudkan impian banyak orang," Thoriq mendekat dan menyalami Lani. Salma bahkan merangkulnya. Lani yang merasa asing dengan perlakuan orangtua Alzam, hanya tersenyum tipis. Bagaiama mungkin, kapan lalu dua orang itu telah mengintrogasinya dengan membawa ponsel Madan, lalu terdengar dari Towirah kalau mereka sudah ke rumah sakit menjenguk Jingga. Hanya Lani masih binngung bagaimana jika nanti mereka benar ingin mengejak Jingga main ke rumahnya agar mereka bisa membuktikan perkataannya untuk memberi Jingga kasih sayang, terlebih dia satu-satunya cucunya kini.Lani masih terdiam di sebelah plakat pabrik itu dengan memandang namanya. Daulani Food Prossesing. Didampingi Mbok Sarem, Budi dan Dita. Maksud apa lagi yang mau dikatakan Mas Alzam dengan semua ini? bathinnya dengan melihat Alzam yang juga sering menatapnya di samping Agna yang menikmati makanan dengan berbincang dengan Pak Wakil Bupati juga Pak Camat dan kelompoknya yang memang sangat mengh
Belum juga Arhand bicara lebih banyak, terlihat tamu kebesaran Alzam pamit. Agna dengan sesekali mengapit lengan Alzam mempersilahkan tamunya berpamitan. Arhand menatap semua itu dengan heran, terlebih dia menatap Lani yang tampak sedih. Inginnnya dia mendekat dan meminta penjelasan dari apa yang dilihatnya kini, namun mengingat siapa yang kini pamit dan dikawal, Arhand memilih diam dengan gemuruh di hatinya, mematung di dekat Thoriq dan Salma yang tidak mengerti apapun persoalan Alzam dan Arhand.Setelah semua terasa tenang, dan tinggal segelintir orang, Arhand mendekati alzam yang memng terlihat lebih bayak emnghindar. Ditariknya tangan Alzam dengan kasar untuk menepi. "Aku telah bersusah payah mendekati Agna seperti permintaan kamu. Bahkan kami sudah sering bertemu, lalu tiba-tiba tanpa keterangan apapun Agna memblokir kontakku, makanya aku terbang ke sini sekalian ada barang yang mau aku lihat, ternyata begini kejadiannya.""Maafkan aku Arhand. Kamu tak cerita kalau kamu sudah d
Thoriq dan Salma mengikuti langkah Arhand yang tergesa keluar ruangan, menyelinap di antara sisa tamu yang masih berdiri dengan berbagai ekspresi. Tatapan penuh tanya Salma mengarah pada punggung lelaki itu."Arhand, tunggu!" panggil Salma, setengah berlari untuk mengejarnya."Biarkan aku, Tante. Aku sudah cukup melihat permainan ini," jawab Arhand tanpa menoleh."Tidak bisa begini. Kamu tidak bisa pergi dengan membawa dendam. Ini keluarga kita juga yang sedang kacau. Setidaknya bicarakan ini dengan tenang," ujar Thoriq yang akhirnya berhasil menyamainya.Arhand berhenti mendadak. Tubuhnya kaku, namun kepalan tangannya terlihat bergetar. "Keluarga? Apakah keluarga membiarkan kebohongan dan pengkhianatan seperti ini terjadi?" Suaranya rendah, namun penuh tekanan.Salma melangkah maju, mencoba menyentuh lengan Arhand, tetapi dia menghindar. "Arhand, apa pun masalahnya, tidak ada gunanya kamu bertindak begini. Lagipula, kamu tahu sendiri-""Jangan harap aku, Mama, Papa, bahkan Oma Evran
"Omah sudah dipastikan tidak akan datang, Alzam," ucap Salma dengan nada pasrah. Beberapa hari yang lalu, Thoriq dan dia ke Makasar, meminta maaf dan memberitahu kalau resepsi Alzam dilaksanakan Minggu besuk. Bukan kegembiraan karena jarang bertemu yang mereka dapat, justru pertengkaran hebat yang terjadi."Azlam sendiri yang minta tolong Arhand untuk mendekati Agna. Setelah mereka dekat, dia malah mengingkari janjinya," cetus Armand dengan geramnya. "dengan seenaknya dia mengajak Agna menikah.""Lani gadis yang baik, bisa-bisanya dia harus mengalami ini," tambah Oma Evran. "Aku tidak akan menganggap Alzam cucu sampai dia bisa adil dengan apa yang dialami Lani.""Pernikahan ini memang bukan seperti rencana kita, Mi, biar saja jika Oma tak datang, toh pernikahan ini tak pernting bagi Alzam." Ucapan Alzam membuayarkan lamunan Salma."Walau bukan begitu intinya, Zam. Intinya justru perniakahanmu ini telah menghancurkan keluarga kita.""Saya memang salah, Bi, mengajak Agna menikah. Se
"Apa? Sejak kapan, Mbok? Sejak kapan Lani pergi?" tanyanya, dengan nada bergetar. "Sejak kemarin, Mas. Dia pamit, katanya mau tinggal di mess. Katanya, dia ngak mungkin tinggal di sin, sementara besuk Agna sudah di sini." Lani memang tidak pernah mendengar syarat Agna. "Mess? Kenapa Mbok nggak bilang dari tadi?"Mbok Sarem memandang Alzam penuh keraguan. "Saya pikir, Mas Alzam sudah tahu... Lani juga pesan supaya jangan bilang apa-apa ke Mas." "Dia telah mewujudkan kata-katanya dengan tinggal di sana, tidakkah dia tau aku telah menyiapkan rumah untuknya? Rumah itu memang baru selesai kemarin , Bi, jadi, aku pikir hari ini aku baru membawanya ke sana."Mbok Sarem tak menjawab. Alzam mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba menahan amarah yang terus membakar dadanya. Dia segera berbalik, hendak menuju pintu."Mas Alzam," panggil Mbok Sarem. "Tolong... jangan gegabah. Kalau Mas buru-buru mendatanginya, apa kata-kata orang nanti yang belum tau hubungan Mas dengan Lani? Masalahnya bisa
Pagi itu, mentari bersinar cerah, mengiringi prosesi sakral pernikahan Kapten Alzam Arrazi dengan Agna Pramundita. Deretan prajurit angkatan darat berseragam lengkap berbaris membentuk koridor kehormatan, masing-masing memegang pedang yang terangkat tinggi. Di ujung koridor, Alzam berdiri tegap dalam seragam dinas hijau tua, khas Angkatan Darat. Di sampingnya, Agna, bergaun dengan warna senada mewah dengan veil panjang, menggenggam buket bunga mawar putih. Alzam tersenyum, meski tatapannya seolah kosong, seperti mencari-cari sesuatu di kerumunan.Saat mereka melangkah bersama melewati barisan pedangpora, langkah Alzam terasa berat. Denting sepatu militernya menyatu dengan irama musik militer yang menggema di aula besar itu. Di balik senyuman formalnya, pikirannya kembali pada malam sebelumnya—tatapan Lani yang penuh luka, air mata yang tak berhenti mengalir di pipinya."Aku tak sanggup melihat air matamu, Lani," ucap Alzam waktu itu, memeluk tubuh Lani yang gemetar di dalam kamar saat
Alzam duduk di pelaminan, matanya menerawang ke arah keramaian tamu yang mulai meninggalkan aula resepsi. Senyuman yang dipaksakan menghiasi wajahnya, sementara Agna, dengan raut yang sedikit kesal, menggandeng lengannya erat."Mas, ayo berdiri. Sekarang tinggal sesi foto kita. Harus terlihat sempurna."Fotografer pun menata mereka. "Senyum ya, Mas. Aku lihat dari tadi anda terlihat tidak rileks."Alzam mendongak, pandangannya kembali fokus. "Maaf," tolak Alzam saat fotografer itu menata mereka."Mas,..""Aku sudah lelah, Agna," jawabnya singkat, melepaskan tangan Agna yang masih menggenggam lengannya.Agna menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak agar tidak menarik perhatian tamu yang masih berada di sekitar mereka. "Kamu kenapa, sih? Jangan buat aku malu di depan semua orang, Mas," bisiknya tajam.Namun, Alzam hanya diam, pikirannya masih melayang pada Lani yang tadi pingsan. Salma dan Thoriq yang membopongnya keluar aula sudah pergi membawa Lani. Tapi bayangan Lani yang p
Alzam tak bisa menahan diri. Begitu mendengar kabar dari umminya, ia langsung memeluk Lani erat-erat, seperti ingin memastikan keberadaan wanita itu dan bayi yang ada di dalam kandungannya. Tangannya yang besar dan kokoh menggenggam wajah Lani, menatapnya penuh rasa haru. Menangkup wajah cantik di depannya dengan menciuminya."Lani... aku tak tahu harus berkata apa," ucap Alzam dengan suara bergetar. Terakhir, Ia mencium kening Lani dengan lembut, mengabaikan tatapan abi dan umminya yang masih berada di ruangan itu. "Terimakasih!"Lani tersenyum samar, matanya sedikit basah. "Mas, ..." Dia memang tidak mengira Alzam akan sebahagia itu. "Aku akan menjaga kalian, Lani. Kamu dan bayi kita ini." Alzam menunduk, perlahan mencium perut Lani yang masih rata."Alzam," tegur Thoriq dengan bersitatap dengan Salma yang juga menyunggingkan senyumnya, mengingatkan putranya bahwa mereka tidak sedang sendirian."Oh, maaf, Bi," ujar Alzam buru-buru, mundur sedikit dengan wajah yang sedikit memerah.
"Kamu mau ke mana, Dhuk? " tanya Wagimin yang telah mendapati Mira datang dan terlihat rapi."Saya mau pulang Paklik. Tapi, entahlah. Rasanya... ada yang mengganjal."Wagimin mengernyit, melipat tangan di depan dada. "Apa yang mengganjal? Ceritakan. Jangan dipendam saja."Mira menunduk. "Bukan apa-apa, Paklik. Hanya perasaan aneh."Towirah, istrinya Wagimin, yang duduk di sudut ruang, ikut menimpali. "Perasaan aneh? Ah, biasanya itu tanda ada sesuatu yang besar. Apa jangan-jangan soal hati?"Mira tertegun. Ia melirik ke arah Towirah dan Wagimin yang kini menatapnya dengan penuh selidik. "Paklik, Buklik... sebenarnya aku ingin bercerita. Tapi takutnya malah jadi rumit.""Coba ceritakan dulu, Dhuk," bujuk Wagimin. "Kami di sini buat mendengarkan."Setelah ragu sejenak, Mira akhirnya menghela napas panjang. "Aku jatuh cinta, Paklik, Bulek. Tapi... aku takut."Towirah menyandarkan tubuh ke kursi, alisnya terangkat. "Takut kenapa? Jatuh cinta itu kan wajar.""Bukan cinta biasa, Bulek. Lela
Lani berdiri mematung di tengah gudang. Senyumnya mengembang, namun matanya berkaca-kaca. Di hadapannya, Alzam berdiri tegak, dikelilingi oleh pekerja gudang dan petani jeruk yang sebagian besar adalah pelanggan setia yang menyetorkan hasil panennya ke gudang milik Alzam. Suasana ruangan terasa penuh, tapi dalam pandangan Lani, hanya ada Alzam. Demikian juga dengan yang dirasakan Alzam.Lani dan Alzam saling menatap, seolah waktu berhenti. Alzam, dengan langkah tegas, mendekati Lani. Tanpa ragu, ia meraih bahunya dan memeluknya erat. Sebuah ciuman lembut ia daratkan di kening Lani.Desas-desus segera memenuhi ruangan. Bisikan kecil di antara kerumunan terdengar seperti suara lebah yang berdengung."Benar, kan? Selama ini mereka ada hubungan," ujar seorang ibu paruh baya di sudut. "Aku sudah melihatnya sejak mereka bersama di sini.Mereka sudah salin mencintai.""Mbak Agna yang menuntut Mas Alzam menikahinya karena dia memang tunangannya. Apa salah?" Sahut ibu-ibu yang lain. Mereka bahka
Ruangan besar di pabrik terasa sibuk dengan hiruk-pikuk aktivitas. Tumpukan karung berisi kulit jeruk tertata rapi, siap untuk dikirim. Lani berdiri di depan, mengenakan blouse sederhana yang lebih longgar untuk menutupi kehamilannya agar tak menjadi fitnah di kalangan masyarakat sana yang kini kadang terdengar ada dasas desus tentang dirinya dan Alzam. Sekuat apapun mereka menutupi, ternyata orang malah curiga ada sesuatu diantara mereka, terlebih saat orang tau Lani tinggal di sebelah rumah Alzam. Ada yang sinis, ada yang berbisik kenapa? Apalagi saat melihat orangtua Lani yang terasa akrab dengan orangtua Alzam. Bahkan seorang anak kecil yang kemarin mereka telah tau kalau itu anak Lani."Ternyata Mbak Lani tak sebaik yang kita kira, ya? Anak itu siapa bapaknya juga masih ghak jelas," guman salah seorang diantara mereka kapan hari. Untunglah Lani tak mendengar semua itu walau dia juga kadang risih dengan tatapan orang yang kebetulan bersimpangan dengannya."Untung dia pemilik pabri
Agna duduk di kursi kayu di sudut ruang makan, menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pagi itu terasa hampa. Langit mulai cerah, tapi suasana hatinya penuh awan gelap. Jam dinding berdentang, pukul sembilan lewat lima belas. Ia baru saja hendak menyendokkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya ketika ponselnya bergetar."Ini pasti dia," gumamnya, setengah berharap, setengah cemas. Pagi ini saat dia bangun, Alzam sudah pergi. Menurut yang dia dengar dari ibunya, Alzam pamit karena ada yang harus dikerjakan."Halo, Mas," ucap Agna tanpa melihat siapa yang menelpon."Pagi, Bu Agna. Saya Tono. Maaf mengganggu, tapi saya punya informasi penting soal Pak Alzam, sesuai permintaan Anda."Agna terdiam sejenak. "Ya, lanjutkan.""Beliau diskors selama seminggu, Bu. Ada masalah... urusan pribadi, poligami, ketahuan komandannya."Agna meremas gagang ponsel lebih erat. "Diskors karena poligami?" ulangnya lirih. Hatinya seperti ditusuk jarum tajam."Benar, Bu. Sepertinya masalah ini juga men
Lani duduk di ruang tengah, matanya menatap kosong ke arah jendela. Tangannya memegang cangkir teh yang sudah dingin, namun ia bahkan tak menyadarinya. Di sebelahnya, Towirah mencoba memulai percakapan."Lani, jangan begini terus. Kamu harus kuat, Nak," ucap Towirah dengan suara lembut.Wagimin mendekat, membawa sebuah baki berisi pisang goreng hangat. "Ayo makan dulu. Pikiran berat nggak akan hilang kalau perut kosong," katanya sambil tersenyum tipis.Namun, Lani tetap diam. Hanya sekelumit air mata yang tergantung di sudut matanya. Mbok Sarem, yang duduk di sebelahnya, memandang Lani dengan prihatin."Apa Mas Alzam nggak pamit baik-baik sama kamu, Lani?" tanya Mbok Sarem pelan, mencoba menguatkan Lani.Lani menoleh, suaranya serak ketika menjawab. "Dia pamit, Mbok. Tapi rasanya seperti dia pergi untuk selamanya.""Dia pamit, Lani. Dan aku rasa dia juga berat saat pergi sampai dia kembali lagi kan? Jadi jangan berfikir negatif duluh. Dia orang yang bertanggungjawab. Tidak akan mungki
Alzam muncul dari belakang Lani. Ia melirik ke arah ibunya, lalu mengangguk. "Ayo, Mi.""Kamu ghak ngomong sama Lani duluh?""Ngomong apa, Mi?""Mereka sebenarnya menjemput Agna bersamamu. Kakak Agna datang dan ingin berkumpul dengan kalian.""Maksudnya ke rumah orangtua Agna?""Iya, begitulah.""Bagaimana ya, Mi, ini kan masih waktunya Alzam bersama dengan Lani. Kalau ke sana,..""Mas, ghak apa-apa. Pergilah," ucap Lani dengan menahan sesak di hatinya.Salma memandangi putranya dan Lani bergantian dengan perasaan campur aduk. Dalam hatinya, ia mengulang-ulang doa yang sama: "Tuhan, lindungi mereka dari segala kesulitan."Saat Alzam melangkah keluar rumah, Salma menoleh sekali lagi ke arah Lani dan Senja yang berdiri di ambang pintu. Bayangan mereka tersenyum, membuat Salma tak mampu menahan air mata yang menggenang. Ia berjalan menjauh tanpa berkata apa-apa, namun hatinya terus berdoa. Do'a yang tidak sama dengan yang diucapkan Lani yang segera beranjak ke kamarnya dengan menyuruh Se
"Nyonya! Kejutan kok mampir ke sini," ucap pembantu Agna saat melihat dua orang di depan pintu. Kedua orang itu pun tersenyum sambil melangkah masuk.Salma dan Thoriq yang sedang minum teh sambil nonton TV di ruang tengah,segera bangkit dan menyalami mereka berdua. Lalu mempersilahkan duduk.Baskara, ayah Agna, menyisipkan percakapan dengan nada lebih ringan. "Bagaimana kabar semua di sini? Lama tidak mampir.""Baik, Pak Baskara," jawab Thoriq datar, meski ada sedikit ketegangan di nadanya. "Tapi saya heran, tumben sore begini datang? Ada keperluan khusus?"Sandra terkekeh kecil. "Bukan keperluan, Pak. Cuma mau ajak Agna sebentar. Kakaknya sudah lama ingin ketemu. Dia baru datang kemarin bersama istrinya, makanya kami ke sini sekalian mampir jemput Agna. Mereka ingin berkumpul lagi seperti duluh saat masih di rumah bersama.""Hanya itu?" Salma akhirnya membuka suara, memandang Sandra dengan sorot mata yang penuh tanya.Sandra mengangguk sambil tersenyum. "Hanya itu. Oh, dan sekalian i
Langkah Agna perlahan memasuki rumah besar itu. Wajahnya sedikit muram. Di ruang tamu, Salma sedang duduk bersama suaminya, Thoriq. Suasana terlihat tegang, dengan percakapan yang setengah terhenti saat Agna muncul."Agna," sapa Salma, tersenyum kecil meski matanya menyimpan kelelahan. "Kamu naik apa tadi?""Taxi," jawab Agna singkat sambil melepas sepatunya. Ia merasa suasana rumah ini tidak seperti biasanya. Walau dia juga merasa kegerahan dengan keluarga Alzam yang tinggal di sana. Entah sampai kapan mereka betah di sini, bathinnya. Llau menatap Salma. "Di mana Mas Alzam, Ummi? Apa dia sudah pulang?"Salma sekejab merasa bersalah dengan kelakuan anaknya. "Iya, tadi pulang dengan tergesa, sampai lupa kalau kamu masih di kantor."Thoriq yang sejak tadi hanya duduk dengan raut serius akhirnya menyahut. "Biar untuk pembelajaran bagi Agna, Mi. Bukannya setelah ini dia harus belajar sendiri?"Agna mengerutkan kening, bingung. "Maksud Abi apa?"Sebelum Thoriq menjawab, Elmi, adik ipar Ag
Langkah Wagimin terasa mantap memasuki rumah besar itu, diiringi Towirah dan Senja yang berada di belakangnya. Mereka nampak bercanda, tertawa kecil mencandai Senja. Rumah tampak lengang, hanya suara tangis lirih dari ruang keluarga yang menarik perhatian mereka. Wagimin mempercepat langkahnya, masuk tanpa permisi.Lani tampak duduk di sofa dengan wajah merah dan mata sembap. Ia memeluk Alzam erat, seakan mencoba menenangkan kegundahan lelaki itu. Alzam sendiri hanya diam, wajahnya tertunduk, tampak berat menahan beban."Ada apa ini?" suara Wagimin memecah keheningan. Lani menoleh, napasnya terisak."Mas diberi waktu seminggu..." suara Lani gemetar, "...untuk merenungkan pernikahan kami. Dan meluruskan pernikahan resminya dengan Agna."Towirah memandang Lani dengan tatapan tajam, sementara Senja yang masih bocah hanya berdiri kikuk di belakang Towirah, lalu pergi ke belakang rumah. Wagimin mendekat, wajahnya memerah menahan amarah."Alzam, apa maksudnya ini?" tanyanya lantang. "Dulu,