Aqiqah hampir usai. Usai makan, tamu-tamu mulai berpamitan, beranjak pulang untuk Maghrib. Di teras, anak-anak masih berlarian, tertawa. Di pojok ruangan, Mira masih menggendong Excel. Bayi itu tertidur pulas, tubuh mungilnya hangat di dada Mira, terbungkus selendang yang dililit dengan rapi. Towirah tadi yang mengajarinya cara menggendong dengan benar. Towirah memang masih suka cara lama, menggendong bayi dengan selendang. Makanya dia selalu pakai gendong Excel, selendang yang dihadiai Marni itu.Rey menyandarkan punggungnya ke tiang, memperhatikan Mira yang terlihat begitu alami sebagai seorang ibu. Ia menyilangkan tangan di dada.“Kamu udah cocok, Mir,” ujarnya pelan.Mira menoleh dengan alis terangkat. “Cocok apanya?”Rey mendekat, melirik bayi dalam gendongan Mira. “Gendong bayi. Jadi ibu.”Mira mencibir. “Jadi ibu tuh nggak sekadar bisa gendong bayi, Rey.”Rey mengangguk, masih tersenyum. “Tapi kamu cocok. Aku serius.”Mira menghela napas, berusaha tak menggubris. Tapi Rey tak
Rumah Bu Gita pagi itu ramai dengan suara tawa kecil dan percakapan pelan. Dupa membakar di sudut ruangan, bercampur aroma bunga kenanga yang menggantung di pintu masuk. Ukiran kayu jati di dinding dan rak berisi kain-kain batik lawas memberi nuansa klasik yang khas.Mira melangkah ragu ke dalam, sementara Rey berjalan di belakangnya dengan santai. Matanya menelusuri berbagai kebaya yang tergantung rapi di balik lemari kaca besar."Sudah siap fitting?" suara Bu Gita terdengar ramah, wajahnya berseri. Wanita setengah baya yang masih cantik di usianya itu tersenyum ramah.Mira mengangguk, sementara Rey hanya tersenyum tipis."Wah, bener kata kamu, Marni. Ngak tanggung-tanggung besarnya menantumu ini.""Iya, Bu. Ngak tau dikasih makan apa sama bapaknya sampai bisa sebesar itu."Semua terkekeh. Kecuali MIra yang menunduk malu.Bu Gita menepuk-nepuk tangannya, memberi isyarat agar Rey lebih mendekat. "Nak Rey, coba pasangkan beskapnya. Biar kelihatan cocok atau nggak di badanmu. Kapan hari
Siang itu, hawa panas terasa menusuk kulit. Angin hanya berhembus pelan, tak cukup untuk mengusir rasa gerah yang menempel. Agna duduk di ruang tamu, tangannya menggenggam ponsel, menekan layar berulang kali.Nada sambung berbunyi.Sekali.Dua kali.Tiga kali.Tetap tidak ada jawaban.Agna menghela napas, menempelkan ponsel ke dada. Ada rasa kesal bercampur gelisah. Sejak tadi, Arhand tidak mengangkat teleponnya."Aduh, ke mana sih dia?" gumamnya.Ia melirik meja di hadapannya. Ada semangkuk sup yang masih mengepul, tapi tak menarik perhatiannya sama sekali. Lidahnya ingin yang lain. Bukan makanan yang sudah disiapkan di rumah.Perut terasa aneh, seperti menuntut sesuatu.Mbok Minah, asisten rumah tangga yang sudah seperti keluarganya sendiri, datang membawa segelas es jeruk. "Nona, kok dari tadi sibuk teleponan terus?""Nyari Arhand, Mbok," jawab Agna, masih merajuk. "Aku pengen makan rujak, tapi harus dia yang nyuapin."Mbok Minah tertawa pelan. "Lho, kenapa harus Tuan Arhand? Kan b
Arhand berdiri dengan rahang mengeras. Napas berat, tangan mengepal, dada bergejolak. Kata-kata Arya menusuk, membuat amarah membuncah."Kamu pikir aku bisa membiarkan Agna melahirkan tanpa suami?" suara Arya tegas. "Orang-orang akan menertawakan keluarga kita. Mereka akan bertanya siapa bapaknya. Kamu siap melihat dia menanggung beban itu?"Arhand mengalihkan pandangan, menatap Agna yang duduk di sofa empuk itu dengan wajah menunduk. Mata perempuan itu berkaca-kaca, ragu, takut."Dia tidak sendiri," suara Arhand rendah, tapi penuh ketegasan. "Aku akan ada untuknya. Sampai kapan pun.""Omong kosong!" Arya membentak. "Kalau kamu benar-benar peduli, kamu akan menikahinya! Bukan membiarkan dia melahirkan sebagai perempuan tanpa status!"Arhand mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku ingin memperbaiki semua. Kita tidak bisa menutup kesalahan dengan kesalahan baru.""Kesalahan?" Sandra menatap tajam. "Kamu pikir menikahi Agna adalah kesalahan?""Kalau caranya seperti ini, ya!"Arya menekan pe
Agna menyesap air putih, lalu menatap hidangan sahur yang tersaji. Nasi hangat, lauk menggugah selera dengan berbagai jenis masakan, dan teh manis. Ini hari pertama ia berniat berpuasa setelah sekian lama meninggalkan kebiasaan itu.Sandra mengunyah pelan sambil menatapnya. "Kamu yakin mau puasa?"Agna tersenyum kecil. "InsyaAllah.""Jangan sampai terjadi apa-apa lagi dengan kandungan kamu. Kamu sekarang sudah baikan dan sudah mau berangkat kerja kan?""Aku akan coba., jika masih tak nyaman, aku akan berhenti. Ini juga tinggal beberpaa hari, Mi.""Bagaimana, kamu apa sudah menghubungi Arhand kembali?"Sejenak kata-kata Arya membuat Agna menatapnya.Beri aku waktu, Pi." Arya mendengus."Aku semalaman sedang berfikir, Papi yang salah atau Arhand kah yang salah?""Papi tak pernah salah, Agna. Semua itu demi kebaikanmu. Demi kariermu.""Tapi Arhand juga benar, Pi. Dan Agna yang beberapa hari ini ingin belajar banyak tentang agama, tau bahwa Arhand benar."Sandra diam sesaat. Matanya taj
Dari tadi Sandra mondar-mandir di depan jendela, melirik ke luar, berharap melihat Agna pulang. Namun, langit mulai menggelap, tanda waktu berbuka puasa semakin dekat, dan Agna masih belum juga tiba.“Ke mana sih anak itu?” gumam Sandra.Di sofa, Arya duduk dengan ekspresi yang tak kalah cemas. Ia mencoba tetap tenang, namun gerak-gerik resah Sandra membuatnya ikut waspada.“Jangan-jangan dia mencari Arhand?”Sandra menoleh cepat. Tatapan tajamnya menyiratkan ketidaksukaan. “Kalau benar, ini salah siapa? Kamu yang buat ide gila itu, kan?”Arya menghela napas. “Aku hanya ingin menyelamatkan reputasi keluarga.”Sandra menatapnya sinis. “Menyelamatkan? Atau memperburuk? Agna jelas masih berharap pada Arhand, tapi kamu malah mengancam menikahkannya dengan orang lain!”Arya menajamkan rahangnya. “Lalu, apa kau tahu apa yang kudengar dari seorang teman yang mnelponku?”Sandra mengerutkan dahi.Arya menarik napas panjang sebelum berkata, “Siang tadi, seorang teman memberitahu kalau dia melih
Arhand menggeser ponselnya ke ujung meja, menatap layar yang baru saja ia buka kembali setelah beberapa hari dia blokir. Nama Agna terpampang jelas di sana.Pesan itu masuk seketika."Arhand, ku di mana? Aku telah mencarimu dan menghubungimu berkali kali tapi kamu tak dapat dihubungi."Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu, cepat atau lambat, perbincangan ini harus terjadi. Ia tak bisa terus menghindar.Tangannya bergerak lambat, mengetik balasan. ",Kenapa?"Tak sampai lima detik, panggilan masuk. Arhand menatap layar sebentar sebelum akhirnya mengangkat.Suara Agna terdengar lemah, namun penuh desakan. “Kenapa kamu blokir aku? Kamu tahu betapa susahnya aku mencarimu?”Arhand mengusap wajah, mencoba meredam emosi. “Aku butuh waktu.”“Tapi aku nggak punya waktu, Arhand.”Hening.Agna menarik napas dalam. “Kita harus menikah.”Arhand menutup mata. Ia sudah menduga ini. “Karena tekanan keluarga atau karena kamu benar-benar ingin?”“Kalau aku bilang dua-duanya?” suara Agna merendah.Ar
Sandra melipat tangan, bersandar di meja makan. Mata beningnya menatap Arya yang tengah bersiap mengenakan jam tangan."Papi tahu itu Sendang Agung?" tanyanya.Arya menghentikan gerakannya sejenak, melirik ke arah istrinya. "Duluh sih pernah ke sana. Cuma sekarang sudah lupa-lupa ingat."Sandra menggeleng kecil. "Kalau nggak tahu, tanya Agna. Dia pasti tahu daerah itu. Itu daerah terbesar yang mendukung Agna saat pemilu.""Baiklah. Aku lebih baik tanya dia daripada tanya Geoglemap."Dari arah ruang tengah, Agna yang baru saja keluar dari kamarnya mendengar percakapan itu. Alisnya mengernyit."Siapa yang ada di Sendang Agung?"Arya menoleh. "Tamsir tonggal di sana. Dia mengajar di perguruan terbesar di desa itu."Agna terdiam. Nama itu tak familiar di telinganya. "Mengajar? Dia guru?"Arya melanjutkan, nada suaranya datar. "Iya. Aku mau bicara dengannya soal pernikahanmu."Jeda singkat.Agna melipat tangan di dada. "Papi yakin dengan anak itu?""Yang penting bisa menutup aib. Setelah an
Munding Wangi masih diliputi kabut sisa embun malam. Pabrik milik Lani yang beberapa hari lalu ditutup karena libur lebaran, kini sudah kembali beroperasi penuh. Suara mesin-mesin penggilingan dan para buruh yang lalu-lalang memenuhi lorong pabrik menjadi tanda bahwa tempat ini hidup kembali. Namun suasana hati Lani masih diliputi kekhawatiran. Bukan soal produksi, bukan soal modal, melainkan soal Mira.Lani berdiri di tengah lapangan kecil yang menghubungkan bangunan utama pabrik dan kantor. Ia memanggil delapan orang satpam yang selama ini bertugas menjaga keamanan pabrik dan rumahnya. Beberapa wajah tampak masih ngantuk, tapi semua segera berdiri tegak saat Lani mulai bicara."Saya tahu ini bukan tugas biasa. Tapi beberapa malam terakhir, ada seseorang yang mondar-mandir di sekitar rumah saya. Mira khawatir, dan saya juga. Saya curiga orang itu Damar. Kalian tahu siapa dia karena duluh dia juga custumer pabrik ini untuk urusan lmbah kult jeruk. Jadi saya butuh kalian untuk siaga. K
Damar duduk sendiri di teras rumahnya. Angin malam Surabaya membelai pelan wajahnya, namun keringat dingin justru mengalir di pelipisnya. Pikirannya kacau. Perasaannya tak tenang. Sejak kabar tentang Rey yang hilang dalam tugas diterimanya di warung kopi komplek seminggu lalu, dadanya seperti diikat erat oleh kegelisahan. Budi, rekan lama yang kini sering datang ke perumahan, jadi sumber informasi utamanya."Kulit jeruk dari Lani masih dikirim ke toko ya?" tanya Damar pada Budi waktu itu.Budi mengangguk. "Bukan cuma itu, Dam. Mira juga balik kerja ke tempat Lani. Mbok Sarem bilang dia sering diam, tapi kerjaannya rapi."Hati Damar berdesir. Mira. Nama itu tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Sejak Rey hilang, bayangan Mira muncul lebih sering, lebih nyata, seperti hantu masa lalu yang tak pernah selesai.Tapi malam ini bukan tentang Mira. Malam ini, suara Vero yang meninggi dari dalam rumah menusuk telinganya."Kamu pikir aku nggak tahu kamu sering keluar malam belakangan ini
Hampir sebulan Mira akhirnya larut dalam kerjaannya di Munding Wangi. Kesibukan jadi pelarian yang ampuh dari gelombang rindu yang menyerangnya nyaris setiap malam. Tapi malam ini, saat seisi rumah mulai sunyi, dan hanya suara jangkrik serta detak jam dinding yang terdengar, Mira kembali duduk di sajadahnya.Pakaian tidurnya masih basah di bagian pundak oleh air wudu. Ia menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai tipis. Di atas sajadah itulah, Mira menumpahkan segalanya. Dalam tiap doa tahajud, namanya selalu disebut. Bukan hanya sekali. Tapi berkali-kali."Ya Allah... kembalikan Rey padaku... Jika dia memang untukku... Tolong jangan biarkan aku hidup dalam ketidakpastian seperti ini."Air matanya jatuh. Pelan. Tenang. Tapi menyayat. Seperti air yang mengikis batu, doanya terus mengalir setiap malam. Dan selalu saja ingatan tentang Rey tak bisa diusir.Ia menyentuh ponselnya. Layar menyala, dan di sana terpampang foto pernikahan mereka. Rey yang mengenakan beskap warna merah m
POV Damar.Pagi belum sepenuhnya hidup ketika aku duduk di pojok warung kopi komplek perumahan para anggota veteran. Tempat itu bukan tempat favorit, tapi punya satu kelebihan: berita gosip dari segala lapisan bisa melintas di sana seperti aroma kopi robusta yang menyengat. Aku duduk dengan jaket hitam tipis, topi diturunkan sedikit, menyamarkan wajahnya dari siapa pun yang mungkin kenal."Rey belum pulang juga ya? Kabar terakhir sih katanya sempat ilang waktu patroli. Kayaknya kejauhan masuk zona rawan."Aku tak perlu menengok. Suara itu milik Pak Aryo, pensiunan tentara yang sekarang jualan pancingan. Dia sedang bicara pada teman duduknya sambil menyeruput kopi dengan pelan."Katanya yang ikut patroli itu bilang dia disuruh cek sendiri jalur komunikasi. Tapi nggak balik-balik. Udah semingguan, kan?""Hampir ebulan malah. Tapi keluarganya nggak mau buka suara. Padahal istrinya itu, yang cantik itu loh... siapa namanya—""Mira."Jantungku bergetar halus saat nama itu disebut. Mira. Ak
Udara pagi menampar lembut wajah Mira yang masih pucat. Jendela kamar terbuka sejak subuh, tapi hawa sejuk pegunungan Sendang Agung tak mampu membekukan panas yang mengendap di dadanya. Ia duduk diam di pinggir ranjang, pandangan tertuju pada layar ponsel yang terus gelap. Tak ada notifikasi. Tak ada pesan masuk. Dan tak ada nama Rey yang muncul.Dari balik pintu yang setengah terbuka, Laras melongok pelan, lalu mengetuk."Mira, aku bawain teh anget, mau?" tawarnya sambil masuk tanpa menunggu jawaban.Mira hanya menoleh sebentar. Sorot matanya kosong, senyum pun tak muncul. Laras meletakkan gelas di meja kecil dekat tempat tidur."Kalau kamu pengen cerita... atau cuma pengen duduk bareng tanpa ngomong apa-apa, aku siap kok," lanjut Laras, duduk di kursi rotan.Mira tetap diam. Ia kembali menatap layar ponselnya. Lalu meletakkannya di pangkuan, seolah pasrah.Laras menghela napas pelan. "Nggak apa-apa. Aku ngerti kok. Tapi kamu jangan terus begini.""Iya, Tan, ayo jalan-jalan sama Lindi
Tangis belum benar-benar reda saat Marni mengusap kepala Mira yang terkulai di pangkuannya. Aroma lepet dan ketupat yang tadi sempat membuat suasana rumah di Sendang Agung jadi hangat, kini tak lebih dari sekadar sisa-sisa tradisi yang menggantung kaku di meja ruang tamu. Rere dan Maya duduk bersisian, tak lagi berkata apa-apa, hanya menatap Mira yang tak henti menatap pintu seperti mengharap sesuatu tiba-tiba muncul dari sana."Ndok, ikut pulang ke Sendang Agung, ya... biar tenang dulu hatimu." Marni membujuk sambil membenarkan letak kerudung Mira yang sedikit miring. Suaranya lirih, tapi sarat keteguhan seorang ibu yang ingin menyelamatkan anaknya dari gelombang yang terlalu besar untuk dihadapi sendirian."Nanti kalau Rey sudah pulang, kamu bisa kembali ke sini. Di rumah, kamu bisa tenang dulu," ujar Marni, suaranya serak seperti baru saja menangis di dalam mobil.Mira menggeleng pelan. "Kalau aku pulang sekarang, terus nanti Rey pulang... dia nggak langsung ketemu aku, Bu. Aku pen
Daun-daun pisang dibuka satu-satu, aroma santan dan kelapa parut langsung menyeruak dari anyaman ketupat dan lepet yang tersaji di tengah-tengah pelataran rumah Marni. Tua-mudayang laki-laki, berkumpul memadati halaman masjid yang biasa digunakan untuk pengajian ibu-ibu itu. Pagi yang ramai, ramai oleh tawa dan nyanyian tradisi Kupatan yang telah diwariskan turun-temurun di Sendang Agung.Marni duduk berselonjor di sudut bale bambu, matanya menelusuri keramaian yang terasa hangat seperti peluk cucunya. Di tangannya, lepet sudah tinggal separuh. Dia mengunyah pelan, matanya menerawang jauh—tak benar-benar melihat keramaian itu. Pikirannya tak lepas dari Mira."Nduk itu, sekarang makan lepet-nya masih pelan nggak, ya? Atau udah bisa ngabisin dua sekaligus kayak ibu-ibu kota?" Marni terkekeh pelan pada dirinya sendiri.Sejak Mira pindah ke rumah suaminya, Marni merasa seperti kehilangan bagian tubuhnya. Rumah jadi lebih sepi. Meski cucunya, selalu menemaninya, tapi ada ruang kosong yang
Pagi itu cerah. Udara di teras rumah Rey dan Mira terasa segar, angin berhembus pelan membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam. Mira yang tengah menyiram tanaman yang terletak di dalam teras, tersenyum kecil melihat mawar-mawar Rey mulai merekah."Sayang, kamu lihat ini? Mawarnya mekar," ujar Mira sambil menoleh ke arah Rere yang sedang duduk santai sambil menyeruput teh.Rere mengangguk. "Mawar Rey memang cemburuan. Makanya baru mekar pas abangku pergi."Mira tertawa kecil. "Rey pasti senang kalau lihat ini nanti."Namun di balik senyuman Mira, ada keresahan yang tak bisa ia sembunyikan. Hampir Subuh tadi dia seolah mendengar ada orang yang melempar sesuatu ke arah pintu. Saat dia menangok dia melihat sebuah kertas yang membuat tidurnya tidak lagi nyenyak. Surat tanpa nama lagi, hanya tulisan dengan spidol merah yang membuat jantungnya berdetak."Kamu milikku, Mira. Dan hanya aku yang akan membawamu pergi!"Mira tak tahu harus menceritakan pada siapa. Ia tidak ingin membuat Rey
Rumah itu mendadak sepi. Tak ada langkah kaki berat Rey, tak ada aroma kopi pagi yang biasa diseduhnya dengan gaya sok barista. Hanya suara jam dinding yang pelan berdetak, seperti mengingatkan Mira bahwa waktu terus berjalan—meskipun baginya, rasanya lambat sekali sejak Rey pergi.Di sofa panjang yang terletak di ruang keluarga, Mira duduk sambil memeluk bantal. TV menyala, tapi tak ada yang benar-benar ditonton. Tangannya men-scroll ponsel, berharap ada pesan baru dari Rey. Tapi sinyal dari lapangan seringkali putus-nyambung. Tak bisa protes, dia hanya bisa berharap dan berdoa.Tiba-tiba suara pintu pagar dibuka pelan. Lalu terdengar langkah kaki menuju teras.Maya, dengan daster motif bunga dan sandal jepit, menyembul sambil membawa plastik berisi gorengan. “Mira, udah sarapan belum?”Mira tersenyum lebar. “Sudah, Ma. Masuk aja. Cuma saya tadii bikin telor ceplok doang.”Maya duduk di sofa, membuka plastiknya. “Tadi ada tukang gorengan lewat, Mama langsung inget kamu. Siapa tau belu