Agna menghela napas panjang, menatap mobil Taft di depan matanya. Hatinya penuh rasa kesal, tapi ia menahan diri. Dengan cemberut, ia membuka pintu mobil, duduk di kursi samping pengemudi, lalu diam tanpa berkata apa-apa. Alzam, yang sudah duduk di kursi kemudi, melirik sekilas."Kamu cemberut terus," ucap Alzam datar sambil menghidupkan mesin mobil."Mas tahu aku nggak suka mobil ini, kita pakai untuk acara seperti ini," balas Agna tanpa menoleh. Ia memandang keluar jendela, mencoba menyembunyikan rasa kesalnya."Kalau nggak suka, turun saja, kamu pikir aku juga suka selalu kamu yang di dekatku, mendampingiku," ujar Alzam sambil mengarahkan mobilnya ke jalan utama. Ucapannya terdengar dingin, tapi ia tetap fokus pada jalan.Agna hanya mendengus, memilih diam. Ia tahu, berdebat dengan Alzam hanya akan membuat suasana semakin buruk. Namun, pikirannya sibuk memikirkan rencananya malam ini. Ia menyentuh tas kecil yang diletakkannya di pangkuan, memastikan sesuatu di dalamnya tetap ada.
Alzam berdiri di dekat meja hidangan, menyendokkan sate ayam ke piringnya. Di sebelahnya, Dandi dan Hanum terlihat asyik berbincang. Hanum, perempuan dengan jilbab biru langit yang terlihat elegan, menyapanya dengan senyum ramah."Selamat, Kapten Alzam. Pujian Pak Bara biasanya selalu ada alasan," ujar Hanum lembut. "Semoga segera menyusul Mayor Wibowo."Dandi, yang sudah lebih dulu memegang piring penuh makanan, menimpali sambil tertawa kecil. "Dia mah pasti bisa. Dan bener kata Hanum,' ucapnya dengan mendekat ke Hanum."Sepertinya baru jadi calon ibu Persit, kamu telah tau banyak hal, Hanum.""Dia kan aktif mengikuti perkembangan banyak hal Kep," dukung Dandi. "Tapi dia ghak salah kan?"Alzam hanya mengangguk. "Masih jalan panjang, Dan. Tapi, terima kasih."Sebelum percakapan berlanjut, Prayit datang dengan senyum cerah. Sosoknya sederhana namun penuh semangat. "Eh, Alzam! Dandi!" serunya, menyalami mereka. "Kapan aku bisa kayak kalian, jadi Kapten? Rasanya susah banget!"Dandi terta
"Belum lama mereka pergi, kok sudah pulang lagi. Sepertinya Mas Alzam sakit. Aku lihat Mbak Agna merangkulnya berjalan tadi," suara lirih Bu Sarem memecah kegelisahan Lani yang berdiri di ruang keluarga. Wanita paruh baya itu menyeka tangannya dengan celemek, matanya menatap Lani penuh tanya.Lani tersentak, pikirannya yang sejak tadi melayang kembali tertambat ke kenyataan. "Mungkinkah dia sakit, Bu?" gumamnya. "Siang tadi aku lihat dia pulang dari kerja sehat-sehat saja." "Iya ta, Mbak. Tapi wajahnya tadi pucat. Mbak Agna kelihatan buru-buru."Ucapan itu membuat dada Lani semakin sesak. Ia hanya tersenyum kecil pada Mbok Sarem. Langkahnya gontai menuju kamar. Tapi pikirannya terus bergulat. Sakit? Sakit apa yang diderita Mas Alzam? Kenapa dia seperti lemas begitu?Ia berjalan mondar-mandir, kedua tangannya saling meremas. Kecemasan semakin merayapi. Setiap kali memikirkan kondisi Alzam, hatinya berdegup tak karuan. Ia tak bisa menghilangkan bayangan wajah lelaki itu—pandangan mata
Lani mendesah pelan, tubuhnya menggigil dalam balutan udara dingin malam walau selimut tebal membungkus dirinya dengan Alzam yang tidur memeluknya. Jam dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Ia memandangi Alzam yang terbaring dengan wajah tenang, meski ada bekas kecemasan yang samar di wajahnya. “Mas…” panggil Lani.Alzam hanya bergeming. Ia seperti terjebak dalam tidur lelap. Lani meraih baju di dekat tempat tidur, lalu duduk di tepi tempat tidur, menggoyangkan pundak Alzam dengan lembut. “Mas, bangun. Kita belum salat Isya’, kan?”Alzam menggerakkan kepalanya sedikit, tapi matanya tetap terpejam.“Mas, bangun. Salat dulu,” kata Lani lagi, kali ini dengan nada sedikit mendesak.Tak ada respons. Lani mencoba lagi, kini dengan menggoyang tubuhnya lebih kuat.“Mas, kita belum salat, bangun.”Masih tak ada jawaban. Akhirnya Lani ke kamar mandi. Melaksanakan mandi besar. Lalu kembali duduk di sisi Alzam, kali ini dengan mendekatkan rambutnya ke wajah Alzam. “Masih ghak mau bangun?” Se
"Kamu gila, Arhand. kenapa kamu bawa aku ke sini?"Suara Agna melengking sambil menahan tangis. Dia memukul Arhand setelah terbangun."Aku tak punya pilihan, Agna. Kamu memaksa aku melakukan ini.""Memaksa? Kapan aku memaksamu?" Agna kembali menghentakkan tangannya ke dada Arhand, tapi pria itu tak bergeming. Air matanya mengalir deras. "Kamu sudah menghancurkan aku, apalagi yang kamu mau?"Arhand menarik Agna ke pelukannya, meskipun dia meronta sekuat tenaga. "Maafkan aku, Agna. Cemburuku melakukan ini padamu. Aku sama sekali tak menyangka, tiga bulan kamu menikah, kamu masih virgin." Suaranya rendah seperti berbisik.Agna kembali memukul dada Arhand dengan keras, berusaha menjauhkan diri. "Kamu menjijikkan, Arhand! Kamu telah merenggut sesuatu yang tak seharusnya menjadi milikmu. Sesuatu yang bisa aku jadikan alat untuk mendapatkan Alzam."Pernyataan itu membuat Arhand membeku. Dia menatap wajah Agna dengan terkejut. "Apa maksudmu?"Agna mengusap wajahnya yang basah dengan punggung t
"Sayang, tidak adakah makanan untukku?" tanya Alzam."Kalau makanan ada saja, sih, Mas. tapi, kalau nanti Agna membuat sarapan untukmu bagaimana?""Aku ingin kamu yang buatkan aku sambal trasi, Lani. Kamu kan pasti menyimpan tempe di kulkas, buatkan saja aku penyetan tempe itu." Alzam memang tau Lani mengkonsumsi tempe dengan cara di tem untuk perkembangan otak bayinya hinggah dia selalu menyimpan tempe di kulkas."Mas,.. bukannya aku ghak mau, tapi Agna nanti,..""Ayolah, aku mau makan sambal buatanmu." Sebuah kecupan di kening pun membuat Lani luluh.Dengan mendengus kesal, Lani akhirnya membuat apa yang diminta Alzam. Ikan asin kesukaannya pun telah disiapkan. Tak lama, Alzam sudah makan dengan lahapnya. Sampai tidak menoleh saat ada seseorang yang masuk.Agna membuka pintu rumah Lani tanpa mengetuk. Wajahnya memerah menahan amarah, dan langkahnya menghentak di lantai marmer. "Mas, kamu di sini rupanya!" serunya, suaranya penuh kemarahan.Alzam, yang sedang makan di dekat Lani,
"Lho, Mas, kenapa masih ke sini? Aku pikir tadi kamu sudah berangkat," ucap Lani sambil menyongsong Alzam yang terlihat masuk."Aku khawatir dengan kamu dan anak kita, Sayang. Apa bener dia baik- baik saja?""Aku sudah baik, Mas, ghak perlu khawatir. Aku bahkan bisa menaruh piring ini ke bak cucian, biar nanti Bu Saren yang masih bersih- bersih di sebelah, agak ringan kerjanya."Yakin jagoanku ghak kenapa-napa?" Alzam segera menundukkan wajahnya ke perut Lani lalu mencium perut Lani yang sudah sedikit terlihat menonjol. Setelah berdiri, ciumannya beralih ke keningnya."Ehem!" Dia baru menyadari kalau masih ada budenya tak jauh dari dapur.Alzam menatap Marni lalu menunduk malu. " Aku pikir Bude tadi di depan."Marni cuma tersenyum, untuk kesekian dengan senyumnya yang tulus setelah melihat penderitaan cinta Alzam dan Lani."Jaga dirimu baik-baik, Mas," ucap Lani dengan suara lembut. Tangannya terulur mengancingkan kerah seragam Alzam yang belum rapat."Justru aku yang harus mengucapk
Siang itu, suasana rumah terasa sunyi. Lani berjalan mondar-mandir di ruang tengah, sesekali melirik jam dinding. Alzam sudah berjanji akan pulang siang dengan WA singkatnya tadi, tapi entah kenapa hatinya gelisah. Pikirannya tak bisa lepas dari percakapan dengan Reynaldi tadi pagi.Langkah kaki Alzam terdengar di depan pintu belakang seperti yang dia sering lakukan jika ke rumah yang ditempati Lani. Lani segera membuka, menyongsong suaminya yang berdiri tegap dengan seragam dinas. Wajah Alzam terlihat lelah, tetapi senyumnya tetap terlukis hangat."Apa terjadi sesuatu sampai kamu meneleponku berkali-kali?" tanyanya, nada khawatir tercampur heran. Namun Lani masaih diam."Sayang,.. jagoanku kenapa? Atau kamu yang sakit?" lanjutnya bertubi-tubi, membuat Lani semakin tak kuasa menahan perasaan.Lani hanya menatapnya, matanya mengaca. Ia ingin bicara, tetapi kata-kata seolah tertahan di tenggorokan. Tak mampu mengutarakan kata-katanya hinggah dia hanya merangkul Alzam dan membenamkan t
"Mas Alzam sudah pulang," Mbok Sarem pamit ke kamarnya, "Mbok tidur duluan ya, Nduk. Dari tadi Excel rewel terus, Mbok belum sempat memejamkan mata."Lani tersenyum, matanya sedikit lelah. "Iya Bu, makasih ya. Istirahat yang cukup. Ibu juga sih, dari tadi dibilangin suruh bobok duluan masih bantuin Lani."Mbok Sarem terkekeh.Alzam menggeser sedikit posisi tubuhnya, meraih bahu Lani, memijatnya dan mengecupnya ringan. "Kamu cantik banget malam ini. Baju tidur bunga-bunga kecil itu... kayaknya baru, ya?"Lani tersenyum malu. Bajunya memang baru, ia sengaja membeli motif lembut dengan bahan halus karena tahu malam-malam seperti ini akan banyak dihabiskan di rumah dengan bayi mungil mereka."Ini biar gampang pas nyusuin. Excel kalau lapar suka tiba-tiba bangun terus nggak sabar," katanya sambil menunduk.Alzam meraih tangan istrinya dan menggenggam hangat. "Kamu hebat banget, Sayang. Ibu yang luar biasa. Istri yang luar biasa juga. Aku bangga banget punya kamu."Lani tertawa kecil, tapi
Excel sudah hampir semalaman rewel. Tangisannya menjadi, terbangun-tidur lagi, lalu terisak kembali. Lani duduk di tepi ranjang sambil memeluk anaknya yang terus saja gelisah. Satu tangan menopang kepala Excel, satu lagi mengelus punggung mungil itu perlahan. Bau asi dan peluh tercampur lembut dalam udara kamar."Ssst... Excel, iya, Nak, tenang ya... Ini Bunda..." bisiknya lirih sambil membenarkan selimut tipis yang setengah lepas. Mbok Sarem yang sejak awal ikut tidur di rumah Lani, bangun setengah mengantuk sambil merenggangkan bahu. Sudah beberapa kali ia ikut begadang semalaman sejak Excel rewel."Bu, tidurlah, biar saya saja yang jaga Excel," ucap Lani melihat tak tega pada perempuan yang sudah dianggapnya ibu itu."Aku ndak apa-apa. Kasihan kamu, Nduk. Bayi kalau sudah begini emang ngagetin. Gantian ya, aku yang gendong," kata Mbok Sarem sambil menyambar selendang dan meraih Excel dengan sigap.Lani mengangguk, menyerahkan bayinya dengan hati-hati. Ia duduk sebentar di kursi ro
Damar sudah berhari-hari menahan keinginannya. Rindu itu semakin menyesakkan, semakin tak tertahankan. Setiap malam ia melawan dorongan hatinya untuk kembali ke tempat Mira, memandangi wajahnya meski hanya dari kejauhan. Namun Vero, yang kini hamil besar, tak pernah lelah memata-matai gerak-geriknya. Kecurigaannya membuat Damar kian sulit mencari celah. Terakhir kali ia mencoba keluar malam-malam, Vero memergokinya dan memaksanya bersumpah tak akan macam-macam.Namun malam ini Damar tak sanggup lagi. Sore tadi ia bilang pada Vero bahwa ia hendak mencari ide baru untuk sovenir toko. Alasan itu cukup logis karena dia memang kerap memburu barang-barang unik untuk dijual di tokonya. Saat Vero mulai tertidur karena kelelahan, Damar segera bersiap. Namun putrinya yang tertidur, menggeliak."Papi, mau ke mana?" tanya Diandra."E, putri cantikku. Papi nggak mau ke mana-mana. Tidur lagi ya Sayang.""Tapi Dian pingin ditemani Papi."Damar mendesah. Untuk Diandra dia tak dapat menolak. Maka dia p
Hari itu, langit Mundingwangi cerah seperti senyum Mira yang kembali merekah. Beberapa hari terakhir begitu sunyi dari ancaman, dari teror dari Damar yang sempat membuatnya trauma. Kini, rumah Lani yang dia tumpangi bersama Mbok Sarem terasa tenang. Bahkan Lani dan Mira merasa cukup nyaman tanpa lagi ditemani para satpam yang dulu bergantian menjaga sekitar rumah. Mira juga mulai berani tidur sendiri lagi.Mira berdiri di depan cermin besar di kamar. Ia menatap wajahnya lama-lama, lalu tersenyum sendiri. Tangan kanannya memainkan ujung kerudung yang membingkai wajahnya, sementara tangan kiri mengusap pipi pelan. Wajahnya terlihat lebih segar. Ada rona harapan yang tumbuh kembali, terutama setelah Alzam berjanji akan membawa Rey pulang.“Kalau Rey datang… aku harus cantik,” bisiknya pelan, seperti berjanji pada bayangan dirinya sendiri di cermin. "Dia akan terkejut dengan hijab ini."Mbok Sarem yang baru keluar dari dapur sambil membawa segelas teh, terkekeh melihat Mira.“Udah cantik,
"Mas, telpon kamu bunyi itu," ucap Lani.Alzam segera mengambil ponsel itu, dan melihat sebuah nomor tak dikenal."Nomor nggak dikenal," gumam Alzam sebelum akhirnya menekan tombol jawab. "Halo?"Suara di seberang sana terdengar lirih tapi jelas. Suara yang membuat napas Alzam tercekat. "Alzam... ini aku, Rey."Alzam langsung berdiri tegak. "Rey? Kamu di mana?""Aku... nggak bisa lama. Aku cuma—aku hidup, Zam. Tolong jaga Mira. Tadi aku telpon dia nggak bisa."Suara Rey terdengar tergesa. Ada deru nafas berat. Seperti sedang berlari atau menyembunyikan diri."Kamu di mana sekarang? Lokasimu? Siapa yang bersamamu?" tanya Alzam cepat."Aku nggak bisa bilang. Mereka..."Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari seberang. Seperti suara pintu dibuka paksa, lalu Rey menutup telepon dengan cepat."Rey! Rey!!"Alzam menatap layar yang sudah gelap. Panggilan terputus."Mas, itu tadi Rey?" Lani berdiri di belakangnya, wajahnya tegang.Alzam mengangguk pelan. "Dia masih hidup.""Syukurlah. Kita pasti
"Jangan dipikirkan terus, Sekarang minum teh jahe sing anget, biar rileks," ujar Mbok Sarem lembut, menaruh cangkir ke meja kecil. Menatap Mira dengan penuh iba.Lani yang baru kembali dari mengatur jadwal patroli satpam ikut duduk di dekat mereka. Rambutnya dikuncir rapi terihat setelah jilbabnya terlepas. Excel sudah tertidur, dan Alzam masih di pabrik membantu mengganti baterai CCTV dengan teknisi."Mira, kamu harus jaga kesehatan. Jangan-jangan Rey juga sedang berjuang supaya kamu tetap kuat di sini," kata Lani sambil menggenggam tangan Mira.Mira mengangguk. "Aku tahu... tapi suara itu, Lani. Dia sesak napas. Seperti dikejar... lalu diam, lalu teleponnya ditutup paksa. Kamu tahu betapa galaunya aku sekarang?"Lani menarik napas. "Dan itu sebabnya Mas Alzam nggak tinggal diam."Di sisi lain, Alzam sedang berdiri di belakang ruang kendali keamanan pabrik. Bersamanya, ada seorang pria tinggi dengan tuuh proporsional. Dia Evind, sahabat lama Alzam semasa kuliah, yang kini bekerja di
Hari itu, rencana pengintaian mulai disusun dengan sangat serius. Lani berdiri di hadapan empat orang satpam yang ia percaya. Wajah-wajah mereka tampak tegang, tapi penuh semangat. Ini bukan sekadar tugas biasa. Ini tentang perlindungan. Tentang memastikan tidak ada lagi teror diam-diam yang mengusik ketenangan Mira."Pak Slamet dan Pak Darto, kamu ambil shift jam sembilan sampai jam satu malam. Pak Joko dan Pak Komar jaga jam satu sampai jam empat pagi gantian. Setelah itu ganti satpam pagi," ucap Lani tegas, namun tenang.Alzam berdiri di samping istrinya, memegang sketsa tata letak pabrik dan rumah Lani di sekitarnya. Ia menunjuk titik-titik strategis di peta."Kita pakai sistem sinyal. Senter dengan lampu merah, artinya ancaman, siap siaga. Lampu biru, hanya patroli biasa. Kalau kalian lihat sesuatu yang mencurigakan, langsung nyalakan lampu merah dan tiup peluit tiga kali. Yang lain langsung ke titik itu. Jangan ada yang bergerak sendiri, kita tim. Paham?"Semua menjawab kompak,
Munding Wangi masih diliputi kabut sisa embun malam. Pabrik milik Lani yang beberapa hari lalu ditutup karena libur lebaran, kini sudah kembali beroperasi penuh. Suara mesin-mesin penggilingan dan para buruh yang lalu-lalang memenuhi lorong pabrik menjadi tanda bahwa tempat ini hidup kembali. Namun suasana hati Lani masih diliputi kekhawatiran. Bukan soal produksi, bukan soal modal, melainkan soal Mira.Lani berdiri di tengah lapangan kecil yang menghubungkan bangunan utama pabrik dan kantor. Ia memanggil delapan orang satpam yang selama ini bertugas menjaga keamanan pabrik dan rumahnya. Beberapa wajah tampak masih ngantuk, tapi semua segera berdiri tegak saat Lani mulai bicara."Saya tahu ini bukan tugas biasa. Tapi beberapa malam terakhir, ada seseorang yang mondar-mandir di sekitar rumah saya. Mira khawatir, dan saya juga. Saya curiga orang itu Damar. Kalian tahu siapa dia karena duluh dia juga custumer pabrik ini untuk urusan lmbah kult jeruk. Jadi saya butuh kalian untuk siaga. Ki
Damar duduk sendiri di teras rumahnya. Angin malam Surabaya membelai pelan wajahnya, namun keringat dingin justru mengalir di pelipisnya. Pikirannya kacau. Perasaannya tak tenang. Sejak kabar tentang Rey yang hilang dalam tugas diterimanya di warung kopi komplek seminggu lalu, dadanya seperti diikat erat oleh kegelisahan. Budi, rekan lama yang kini sering datang ke perumahan, jadi sumber informasi utamanya."Kulit jeruk dari Lani masih dikirim ke toko ya?" tanya Damar pada Budi waktu itu.Budi mengangguk. "Bukan cuma itu, Dam. Mira juga balik kerja ke tempat Lani. Mbok Sarem bilang dia sering diam, tapi kerjaannya rapi."Hati Damar berdesir. Mira. Nama itu tak pernah benar-benar hilang dari benaknya. Sejak Rey hilang, bayangan Mira muncul lebih sering, lebih nyata, seperti hantu masa lalu yang tak pernah selesai.Tapi malam ini bukan tentang Mira. Malam ini, suara Vero yang meninggi dari dalam rumah menusuk telinganya."Kamu pikir aku nggak tahu kamu sering keluar malam belakangan ini?