Wanita bernama Nikmah itu masih berdiri di depan pintu, menatap ke arah kami dengan pandangan aneh. Rambutnya panjang bergelombang dibiarkan tergerai, dengan japit kecil di sebelah atas telinga kirinya. Wajahnya cantik dan kalem, pantas aku dengar kekasih Mas Hanan dulu terkenal sebagai kembang desa.
Sayang, riasan wajahnya agak berlebihan, dan pakaian yang dia kenakan sedikit memaksakan diri. Dia memakai gaun pendek seatas lutut, dan memperlihatkan kakinya yang jenjang. Tapi dilihat dari bahasa tubuhnya, dia terlihat kurang nyaman. Kenapa dia memakai pakaian yang dia sendiri tak nyaman dengannya?"Maaf, apa Bu Fatmah ada?"Pertanyaan Nikmah seketika membuatku tersentak karena tak sadar aku sudah memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Jangan-jangan dia tidak nyaman karena aku terlalu jelas memperhatikannya. Aku seketika melirik ke arah Mas Hanan yang sepertinya mengalihkan pandangannya dari Nikmah. Entah karena salah tingkah, atau tak enak karena aku ada di sana."Ibu sedang keluar," jawabku kemudian sambil berjalan ke arahnya. "Ada keperluan apa, ya?""Ah, anu ... saya membawakan oleh-oleh untuk Bu Fatmah. Kebetulan saya baru pulang kampung." Nikmah mengulurkan kantong plastik yang lumayan besar padaku."Oh ... terima kasih. Nanti saya sampaikan pada Ibu," jawabku kemudian sambil menerima kantong itu.Aku pikir dia akan langsung pergi begitu aku menerima pemberiannya, tapi ternyata dia masih berdiri di sana, dengan bahasa tubuh yang aneh."Ada keperluan yang lain lagi?" tanyaku kemudian, mulai kesal karena berulang kali dia mencuri pandang ke arah Mas Hanan."Eh ... maaf ... kalau boleh tahu, Mbaknya ini siapa, ya?" tanyanya kemudian."Aku istrinya Mas Hanan," jawabku cepat, yang membuat wajah perempuan itu seperti terkejut sesaat."Oh ... Mas Hanan sudah menikah rupanya?" gumamnya lirih, hampir tak terdengar."Iya, Mas Hanan sudah menikah. Aku istrinya. Bukankah Mbaknya juga sudah menikah?" Nada suaraku mulai terdengar tak enak. Aku tak peduli, karena aku mulai terbakar cemburu."Mbaknya tahu siapa saya?" Nikmah membulatkan sedikit matanya, sembari menatapku."Tentu saja. Satu kampung pasti tahu."Nikmah terdiam, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi tak jadi dia katakan. Lagi-lagi dia mencuri pandang ke arah Mas Hanan, lalu akhirnya tersenyum padaku sambil berpamitan."Kalau begitu saya permisi, Mbak," ucapnya."Oke, tapi sebelumnya maaf ya, Mbak. Lain kali kalau bertamu ke rumah mantan tidak perlu dandan, apalagi Mbaknya sudah bersuami. Takut suaminya nanti cemburu loh. Kan bahaya. Terus lain kali, tidak perlu juga ngasih oleh-oleh. Sayang sama uang suaminya," ucapku dengan sedikit jutek.Nikmah seketika terlihat salah tingkah dengan ucapanku, lalu akhirnya berpamitan lagi. Aku hanya mengangguk dingin, masih menatap wanita itu meninggalkan rumah kami. Astaga, cara berjalannya juga terlihat sangat memaksa. Ada apa dengan wanita itu?Aku langsung menoleh ke arah Mas Hanan yang terlihat masih berdiri canggung di tempatnya, lalu segera mendekatinya."Mas!" Aku menepuk pundaknya dengan agak kesal. "Dia sudah pergi. Kenapa Mas jadi salah tingkah begitu?"Mas Hanan terlihat kaget mendengar ucapanku, lalu menoleh padaku."S-siapa yang salah tingkah sih, Dek?" Dia balik bertanya."Jangan-jangan Mas Hanan masih cinta sama dia." Aku benar-benar kesal dan cemburu."Adek ini bicara apa?""Buktinya, Mas Hanan tidak bersikap biasa. Bahkan gak mau menatap ke arahnya.""Bukan begitu, Dek. Dengarkan Mas dulu.""Kalau Mas Hanan tidak bisa menatap ke arahnya, berarti Mas Masih cinta.""Masalahnya ... dulu Nikmah itu berhijab."Aku seketika tersentak kaget mendengar ucapan Mas Hanan. Nikmah sebelumnya berhijab? Tapi kenapa tadi dia berpakaian begitu seksi? Apa itu sebabnya dia terlihat begitu tidak nyaman dengan pakaiannya? Tidak mungkin dia sengaja berpakaian seperti itu untuk menemui Mas Hanan, yang jelas-jelas tidak suka wanita seksi.Mas Hanan menarik napas panjang, lalu memegang kedua pundakku."Maaf ya, Dek, Mas tidak bisa menatap ke arah wanita yang pakaiannya terbuka seperti itu," ucapnya kemudian.Aku masih belum bisa menghilangkan kekagetanku. Apa segitu mudahnya seseorang yang telah lama berhijab, melepasnya begitu saja dan menggantinya dengan pakaian seksi? Aku juga masih belum lama berhijab, dan itu juga sejak mengenal Mas Hanan. Tapi, sedih juga mendengar ada wanita yang justru melepas hijab setelah menikah."Dek ... Adek marah? Adek masih cemburu?" Mas Hanan memegang daguku dengan telunjuk dan ibu jarinya.Seketika wajahku memanas. Aku jadi salah tingkah."S-siapa yang cemburu, Mas? Biasa saja!" sahutku sambil membuang muka."Tuh, wajah Adek memerah. Pasti Adek cemburu." Mas Hanan justru menggodaku."Ah, Mas Hanan!" Aku mencubit pinggangnya dengan kencang, sampai dia mengaduh kesakitan."Aduh, ampun, Dek!""Makanya, jangan julid!" omelku. "Oh iya, tadi Ibuk dan Bang Ferry jadi menjual sawah, kan? Kenapa Mas Hanan diam saja? Tidak ikut?"Mas Hanan terlihat menarik napas, lalu menatapku."Mas sudah bicara pada Ibuk. Ibuk minta Mas mengikhlaskan sawah itu. Sebagai gantinya, rumah ini akan Ibuk berikan untuk Mas. Ibuk juga janji akan memberikan hak Mas nantinya," jawabnya kemudian. Ada getaran dalam nada bicaranya."Ibuk benar-benar bicara begitu?""Iya, Dek.""Tapi, Mas, apakah nanti akan adil? Kan belum ada hitam di atas putih juga," ucapku lagi."Mas tidak bisa mendebatkan masalah warisan, sedangkan Ibuk masih sehat, Dek."Aku menarik napas panjang. Aku tahu Mas Hanan tidak akan pernah membantah ibunya, bahkan ketika sedang membelaku. Tapi aku kadang kesal dengan sikapnya yang terlalu menurut, bahkan untuk hal yang tak adil untuknya. Bahkan dia yang jelas-jelas dimanfaatkan oleh Abangnya, tidak pernah sekalipun protes. Astaghfirullah, Mas.Saat aku masih kesal dengan Mas Hanan, tiba-tiba ponselku berdering. Pesan masuk dari Mama, dan langsung membuat mataku melotot saat membacanya.[ Sawah milik mertua kamu sudah Mama beli, Sayang. Kamu bisa tenang sekarang. Tunggu sampai kamu lulus skripsi, kita beri kejutan untuk mantu Mama ]Aku ingin melompat saat itu juga saat membacanya. Meskipun tadi sudah mengira-ngira, tak kusangka ternyata pembelinya benar-benar Mama!"Dek." Mas Hanan menepuk pundakku. Wajahnya terlihat heran, mungkin karena melihat ekspresi wajahku yang tiba-tiba berubah, setelah sebelumnya kesal."Ah, anu ... Mas! Adek punya kabar bagus untuk Mas Hanan," ucapku kemudian, mencoba mengalihkan pembicaraan."Apa itu, Dek?" tanyanya dengan mata melebar."Akan ada ujian kejar paket untuk orang-orang yang putus sekolah seperti Mas. Jika Mas mau ikut, Mas bisa mendapatkan ijazah SMP, bahkan SMA," jawabku."Apakah bisa, Dek?""Insya Allah bisa, Mas. Aku akan membantu Mas mendaftar jika Mas mau.""Mau, Dek. Mas Mau," jawab Mas Hanan antusias."Terus, ada lagi satu berita bagus, Mas," ucapku lagi."Apa lagi, Dek?""Ada tempat pembuatan furniture baru yang dibuka di dekat kampusku, dan membutuhkan pekerja. Bagaimana kalau Mas mendaftarkan diri?""Benarkah?" Mata Mas Hanan terlihat berbinar, tapi sesaat kemudian kembali meredup."Tapi Mas belum punya pengalaman, Dek," ucapnya kemudian."Mas Hanan belum punya pengalaman, tapi Mas Hanan punya bakat. Sekarang tinggal niat, Mas. Itu sudah modal awal yang cukup," ucapku meyakinkan.Mas Hanan terlihat terdiam sejenak, lalu menatapku."Baiklah, Mas akan berusaha, demi Adek juga. Jika tempatnya dekat dengan kampus Adek, berarti kita bisa sekalian berangkat dan pulang sama-sama. Jadi Mas tidak akan khawatir lagi jika di jalan Adek kenapa-kenapa." Wajah Mas Hanan terlihat berseri-seri.Aku seketika tersenyum penuh keharuan. Lagi-lagi, Mas Hanan hanya memikirkanku, memikirkan kebahagiaanku. Mungkin Allah mempertemukan kami, agar aku menjadi jalan untuk meraih impiannya yang tertunda, juga agar aku menemukan kebahagiaan dan makna hidup yang sesungguhnya.Baiklah, setelah ini aku juga harus berusaha. Sidang skripsi ... aku datang!"Dek, sudah siap berangkat?" Mas Hanan terlihat tersenyum seraya menatap ke arahku.Hari ini wajah Mas Hanan yang rupawan itu terlihat cerah dan bersemangat. Dia juga terlihat gagah dengan kemeja warna abu-abu yang dipakainya. Mas Hanan jarang sekali berpakaian rapi seperti itu, karena dia hanya punya dua buah kemeja saja, dan itupun kami beli saat hari raya tahun lalu."Iya, Mas. Adek sudah siap," jawabku sambil menautkan tas jinjingku ke pundak."Jilbab Adek miring." Mas Hanan membenarkan ujung jilbab di kepalaku, lalu menatapku lekat. "Maaf ya, Dek, belum bisa membelikanmu baju dan jilbab yang bagus. Mas janji, jika nanti diterima bekerja, uangnya semua untuk Adek belanja."Aku membalas tatapan Mas Hanan, seraya tersenyum getir. Tidak, Mas, seharusnya aku yang minta maaf karena sudah menjadi beban selama setahun ini, ucapku dalam hati."Bismillah ya, Dek. Semoga lancar ujiannya, dan lulus dengan nilai bagus," ucap Mas Hanan lagi."Iya, Mas. Bismillah.""Ayo berangkat, Dek," ucap Ma
"Selamat, Hasna. Kamu lulus dengan nilai memuaskan."Kedua mataku membola mendengar ucapan dosen pembimbing di depanku. Hampir dua jam aku melakukan tanya jawab, dan berakhir dengan senyum manis Pak Dosen yang biasanya galak itu."I-ini benar, Pak?" tanyaku lagi dengan perasaan hampir tak percaya."Benar, Hasna. Saya dengar setelah menikah kamu tinggal di kampung. Tak kusangka hasil penelitianmu luar biasa," ucap pria bertubuh tambun dan berkaca mata itu. "Sekali lagi selamat.""Terima kasih, Pak," jawabku penuh keharuan, seraya menjabat tangan Pak Dosen.Aku keluar dari ruang sidang itu dengan hati berbunga, tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira ini pada Mas Hanan. Tapi lebih dulu, aku ingin mengabarkan Mama dan Papa tentang hal ini. Segera aku mengambil ponsel dari dalam tas, lalu menelpon Mama."Halo, assalamualaikum, Hasna." Terdengar suara Mama mengangkat telepon."Waalaikumussalam, Mama!" Aku seakan ingin berteriak sekencang-kencangnya saat mendengar suara Mama."Kedengaran
"Tinggal dengan Bang Ferry?""Iya! Senang kan, kamu?" Ibu menatap Mas Hanan tajam. "Sekarang sudah tidak ada lagi yang mengganggu kebahagiaanmu dan istrimu!""Buk, kenapa bicara seperti itu, Buk?" Wajah Mas Hanan terlihat begitu sedih mendengar ucapan ibunya."Sudahlah, Hanan! Ibuk mau tinggal bersama kami, ya terserah dia, dong. Kamu urus saja istri manjamu itu!" sahut Bang Ferry."Betul itu, Hanan! Lagipula ini keinginan Ibuk sendiri, kami gak maksa! Ibuk sudah gak betah tinggal bersama kalian," sambung Mbak Ratri.Ibu terlihat sudah selesai memasukkan semua pakaiannya ke dalam tas besar, lalu Bang Ferry mengangkatnya menuju mobil. Mbak Ratri juga membawa beberapa barang dan memasukkannya ke mobil mereka."Ayo berangkat, Buk," ucap Bang Ferry kemudian.Ibuk mengangguk, lalu berjalan menuju mobil, sebelum Mas Hanan menghentikan ibu lagi."Tunggu dulu, Buk. Hanan mau menyampaikan kabar gembira pada Ibuk," ucapnya. "Hasna lulus skripsi, Buk. Sebentar lagi wisuda. Mantu Ibuk sudah jadi
Acara wisuda berjalan dengan lancar. Aku yang sudah mengenakan toga dengan percaya diri naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan atas kerja kerasku selama belajar di universitas. Mama dan Papa tampak menatapku bangga, dan berulang kali menepuk pundak Mas Hanan dengan tidak kalah bangga."Ayo, kami antar kalian pulang," ucap Papa kemudian, ketika kami sudah keluar dari gedung aula kampus setelah acara selesai."Papa ini, masa langsung pulang, sih?" sahut Mama. "Apa Papa gak kangen sama Hasna? Kita kan harus merayakan kelulusan putri kita dulu.""Ah iya, ya, hampir Papa lupa kalau kita sudah membooking restoran untuk perayaan," ucap Papa sambil tertawa."Papa ini!" Mama mencubit pipi Papa, membuatku dan Mas Hanan tersipu karena kemesraan mereka.Mama dan Papa memang selalu tampak mesra dan memiliki pribadi yang hampir sama. Meskipun keduanya sama-sama pengusaha yang sibuk, tapi mereka selalu menyisihkan waktu untuk bisa berdua, walaupun hanya sekedar minum kopi di cafe.Selama s
"Mas, apa yang terjadi, Mas?" tanyaku, ketika melihat wajah Mas Hanan yang terlihat begitu shock.Mas Hanan tak langsung menjawab pertanyaanku. Badannya masih terlihat gemetar. Aku mengambil kertas dari tangan Mas Hanan, lalu membacanya. Seketika itu juga mataku langsung membola sempurna."Apa yang terjadi, Hasna?" tanya Mama seraya mendekat ke arahku."Ibuk, Ma. Ibuk ... menjual rumah ini," jawabku dengan suara gemetar."Astaghfirullah. Tanpa sepengetahuan Hanan?" Mama menatap ke arah Papa, yang juga terlihat begitu kaget."Iya, Ma. Tega sekali Ibuk melakukannya, padahal dia sudah berjanji akan memberikan rumah ini untuk Mas Hanan," ucapku lagi. "Ibuk bahkan juga sudah menjual sawah milik Bapak, apakah tidak cukup?""Ini tidak bisa dibiarkan, Hasna. Ini bisa diajukan dan diproses secara hukum, karena Hanan juga berhak atas sebagian dari harta orang tuanya," ucap Papa kemudian.Aku tak menjawab ucapan Papa, dan langsung mendekat ke arah Mas Hanan yang masih berdiri mematung di tempatn
Entah bagaimana, ucapan yang begitu kejam itu akhirnya keluar dari mulut wanita yang selama ini begitu disayangi dan dihormati Mas Hanan. Bagaimana cara Mas Hanan memperlakukan ibunya, pasti jauh melebih apa yang sudah Mas Hanan lakukan untukku.Dua puluh tahun ... bukan waktu yang sebentar bagi Mas Hanan untuk berbakti. Begitu banyak pengorbanan yang ia lakukan untuk sang ibu, sepenuh hati telah dia lakukan.Kini ... hati yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan itu pasti telah hancur berkeping-keping, ketika akhirnya mengetahui hal yang sebenarnya."Ibuk ... tidak serius dengan ucapan Ibuk, kan?" Mas Hanan masih berusaha menyangkal, meskipun aku tahu kini jiwanya sudah remuk sebagian."Iya, itu semua benar!" sahut Ibu. "Kamu adalah anak yang ditemukan oleh Bapakmu. Jadi sebaiknya kamu tahu diri, dan jangan berharap lagi! Kamu bukan keluarga kami!""Tapi Bapak selama ini tidak pernah mengatakan apapun, Buk.""Karena Bapakmu yang begitu bodoh, ingin menyamakan antara anak pungut
"Mas berangkat kerja dulu ya, Dek," ucap Mas Hanan pagi itu.Wajah Mas Hanan sepertinya sudah benar-benar kembali ceria dan bersemangat setelah semalaman kami membicarakan banyak sekali rencana."Hati-hati di jalan ya, Mas," ucapku sambil meraih tangannya, lalu menciumnya."Iya, Adek juga baik-baik di rumah," jawab Mas Hanan sambil mengelus kepalaku."Oh iya, bawa ini, Mas," ucapku lagi sambil mengulurkan rantang kecil pada Mas Hanan.Mata Mas Hanan seketika membola, lalu menatapku."Adek masak hari ini?" tanyanya dengan wajah tak percaya.Aku meringis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sengaja hari ini aku bangun lebih dulu dari Mas Hanan, lalu membuatkan telur orak-arik untuknya. Hanya itu masakan yang aku bisa, meskipun harus berjuang menyalakan api dalam tungku."Cuma telur kok, Mas," jawabku malu."Masyaa Allah, terima kasih, Dek. Mas pasti akan habiskan," ucap Mas Hanan sembari mencium keningku.Aku semakin tersipu melihat wajah Mas Hanan yang berbinar, meskipun hanya d
Pak Firman melongo melihat uang tunai dalam koper yang Mama tunjukkan, begitu juga dengan ibu dan Bang Ferry."Bagaimana, Pak? Jika setuju, silakan tanda tangan di sini, dan sisanya biar notaris saya yang akan urus besok," ucap Mama lagi."T-tentu saja saya setuju, Nyonya," ucap Pak Firman cepat seraya mengambil surat perjanjian jual beli.Pak Firman cepat-cepat menanda tangani surat itu, lalu menyerahkannya pada Mama. Tiba-tiba saja Bu Fatmah menggebrak meja, membuat kami kaget."Tunggu dulu! Bukankah ini penipuan namanya?" ucapnya dengan wajah merah padam."Loh, penipuan bagaimana, Bu?" Pak Firman menatap ke arah Ibu. "Kita kan sudah melakukan jual beli sesuai akad.""Kalian berdua pasti sudah bekerja sama, dan sengaja mempermalukan saya!" ucap Ibu lagi. "Karena itulah Bapak sengaja menunda pelunasan, agar bisa menjebak saya seperti sekarang ini!""Itu benar sekali," sahut Bang Ferry. "Tidak mungkin secara kebetulan kita berada di sini secara bersamaan, kalau kalian tidak bersekongk
"Ibuk sakit?" Aku seketika membulatkan mata.Memang aku ingin sekali mengetahui keadaan Ibuk setelah pingsan waktu itu. Tapi Mas Hanan selalu menghindar setiap aku berbicara tentang Ibuk. Orang pendiam seperti Mas Hanan, sekali hatinya tergores dalam, mungkin akan sulit sekali menyembuhkan luka itu."Iya, Hasna. Tolong, minta Hanan untuk menengoknya di saat-saat terakhirnya," ucap Bang Ferry lagi.Aku terdiam sejenak, bingung apa yang harus aku lakukan."Tapi Mas Hanan baru berangkat kerja, Bang," jawabku kemudian. "Biar saya yang pergi untuk menjenguk Ibuk dulu, ya?""Iya, Hasna, iya. Ibuk pasti senang sekali kamu mau menjenguknya, Hasna," jawab Bang Ferry lagi."Sebentar, saya pamit dulu ke Mama," ucapku lagi sambil masuk ke dalam rumah.Terlihat Mama dan Bu Miranti menata makanan di atas meja makan sambil berbincang. Mereka berdua tampak sangat akrab, membuat siapapun yang melihatnya terasa adem di hati. Syukurlah, rupanya Bu Miranti benar-benar sudah sembuh."Ayo Hasna, kita sarap
"Bu ... Ibu sudah sembuh?" Air mataku kembali mengalir dengan derasnya."Ya Allah, Mas Hanan pasti bahagia sekali Ibu sudah sembuh." Aku berhambur ke pelukan Ibu mertuaku itu. Menangis sekencang-kencangnya. Aku seperti ingin mencurahkan semua perasaanku di depannya."Hasna ...." Bu Miranti menatapku lagi, begitu aku melepaskan pelukanku. Terlihat tangannya terangkat, lalu mengusap pipiku."Kenapa menangis?" tanyanya, dengan nada suara yang masih terdengar sangat datar. "Hanan menyakitimu?"Aku seketika menggelengkan kepala kencang."Tidak, Bu. Mas Hanan tidak pernah menyakiti Hasna," jawabku kemudian sembari mengukir senyum.Bu Miranti menggerakkan kepalanya, menatap ke sekeliling. "Hanan ... di mana?" tanyanya kemudian."Ada di rumah, Bu. Ayo kita Hasna bawa Ibu ke Mas Hanan," ucapku kemudian, seraya menarik tangannya, membantunya berdiri.Aku menggandeng tangan Bu Miranti dan berjalan kembali ke rumah. Dari jauh, terlihat Mas Hanan masih berbincang dengan Nikmah, dan Nikmah terliha
"Syukurlah, hari ini kita bisa membawa Nyonya Miranti pulang." Mama tersenyum seraya menyiapkan beberapa buah pakaian dan memasukkannya dalam koper."Mama sudah menyiapkan perawat khusus untuknya, dan kabarnya, kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik," lanjut Mama lagi."Maaf ya, Ma, selama ini kami sudah merepotkan Mama terus," ucapku kemudian."Bicara apa kamu, Hasna? Kamu ini kan anak Mama, Hanan juga. Jangan pernah bilang sudah merepotkan!" sahut Mama sambil menyentil hidungku.Aku tersenyum, dan untuk ke sekian kalinya bersyukur karena memiliki orang tua yang bisa diandalkan. Rumah kami sudah selesai dibangun, bersamaan dengan kabar baik yang disampaikan oleh dokter, bahwa kondisi Nyonya Miranti sudah jauh lebih baik. Ini semua berkat Mas Hanan yang begitu sabar dan telaten berbicara pada Sang Ibu setiap harinya.Aku melirik ke arah ponsel yang sejak tadi menyala, dan menyiarkan berita-berita terkini. Terpampang jelas tulisan-tulisan yang menjadi caption dalam berita-berita ter
"Syarat?" Aku menatap ke arah Nikmah, yang juga menatapku dengan pandangan serius. Untuk sesaat pikiranku seketika dipenuhi prasangka buruk. Apapun syarat yang Nikmah inginkan, pasti ada hubungannya dengan Mas Hanan."Jangan dengarkan dia, Hasna." Mama tiba-tiba memegang pundakku. "Kita pasti bisa mencari semua bukti itu sendiri, tanpa harus mengorbankan apapun.""Tapi bukti yang saya punya sudah pasti akan bisa menjebloskan Pak Baskoro ke penjara, Tante," sahut Nikmah lagi."Meskipun begitu, saya yakin syarat yang kamu ajukan pasti di luar nalar," jawab Mama seraya menatap tajam pada Nikmah. "Lagipula, jika bukti yang kamu miliki memang begitu kuat, kenapa kamu tidak melaporkan sendiri pada polisi?""Saya tidak punya keberanian dan kuasa, juga tidak punya kebebasan," jawab Nikmah lagi."Lalu sekarang kamu memanfaatkan kami untuk bisa bebas, dan kembali menggoda menantu saya?" Ucapan Mama semakin tajam."Saya tidak sepicik itu, Tante. Ijinkan saya bicara berdua saja dengan Mbak Hasna.
"Ma, tidak bisakah kita membawa Bu Miranti pergi dari sini? Kita bawa pulang, kita rawat dia di rumah," ucapku pada Mama, karena tak kuasa melihat Mas Hanan yang menangis memeluk ibunya.Mama terlihat menarik napas panjang, lalu menatapku."Tidak bisa semudah itu, Sayang," jawabnya kemudian. "Karena itulah pertama kita harus membuktikan dulu jika Hanan adalah pewaris sah keluarga Bramantio, jadi Hanan punya hak untuk membawa ibunya."Aku terdiam, seraya menatap ke arah Mas Hanan lagi. Mas Hanan perlahan melepas pelukannya pada sang ibu, dan Bu Miranti terlihat memegang pipi Mas Hanan dengan kedua tangannya."Mas Satriyo kenapa menangis?" tanyanya sambil menatap wajah Mas Hanan dengan pandangan bingung. "Apa Mas Satriyo terluka? Apakah sakit?"Mas Hanan menggelengkan kepalanya pelan. Bu Miranti cepat-cepat mengusap air mata di pipi Mas Hanan."Jangan menangis, Mas. Jangan menangis. Kita balas orang-orang jahat itu. Kita balas orang-orang yang sudah melukai kita." Bu Miranti memeluk Mas
"Penjahat! Pembunuh!" Bu Miranti terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah Pak Baskoro."Ibuk! Ibuk!" Mas Hanan berusaha memegangi tubuh Bu Miranti yang terus meronta dan berteriak histeris."Pembunuh!" Bu Miranti mencoba untuk menyerang Pak Baskoro, tapi Mas Hanan terus memegangi tubuh ibunya."Tenang, Bu, tenang," ucap Pak Baskoro sambil mengangkat kedua tangannya.Akhirnya beberapa orang petugas masuk, mungkin karena mendengar keributan. Mereka memegangi tubuh Bu Miranti, lalu memaksanya untuk duduk di atas tempat tidur. Seorang petugas menyuntikkan sesuatu pada lengannya. Bu Miranti yang tadinya meronta-ronta perlahan mulai melemas, lalu akhirnya tertidur.Aku memegangi dada, miris melihat nasib yang menimpa Bu Miranti. Begitupun dengan Mas Hanan, yang terlihat menatap ibunya dengan raut wajah antara takut, kasihan, dan juga sedih."Mohon maaf, sebenarnya pasien jarang sekali mengamuk. Tapi memang terkadang dia akan seperti ini saat teringat masa lalunya," ucap salah satu pet
"Mas Hanan?"Mas Hanan masih menatapku dan Mama bergantian, dengan pandangan yang sulit diartikan. Dengan badan sedikit gemetar aku mendekat ke arahnya. Sungguh, aku takut dia akan marah padaku."Mas Hanan sejak kapan di sini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan."Sejak tadi, Dek," jawabnya. "Mas dengar semuanya."Aku seketika gugup bukan main."Mas Hanan ... tidak marah pada kami, kan?" tanyaku kemudian, menatap ke arahnya takut-takut.Mas Hanan terlihat terdiam sesaat, lalu menggeleng. Dia kemudian menatapku lekat."Untuk apa Mas marah, Dek?""Kami mencari tahu tentang keluarga Mas Hanan tanpa ijin dari Mas Hanan," jawabku lirih.Mas Hanan terdiam lagi. Dia sepertinya sedang mencoba menata hatinya. Setelah menarik napas panjang, dia menatapku kembali."Mungkin memang sudah saatnya Mas tahu, Dek. Mas juga tidak mungkin menghindar terus, tidak mungkin tidak ingin tahu. Sudah saatnya Mas siap menerima semua kenyataannya," jawab Mas Hanan kemudian. Masih ada getar pada ucapannya.
Mata Mbak Ratri seperti hampir copot saat mendengar ucapanku."Jangan sembarang bicara kamu, Hasna!" teriaknya kemudian, tak terima.Aku tidak mundur hanya karena gertakan Mbak Ratri. Dia memang harus tahu yang sebenarnya, agar mulut besarnya itu bungkam."Memang kenyataannya begitu kok, Mbak," ucapku. "Kami bertemu dengan Bang Ferry di kota, dan ternyata dia memang tukang parkir!""Kamu itu semakin kurang ajar, ya?" Mbak Ratri masih belum bisa percaya ucapanku. "Mentang-mentang sudah di atas, berani sekali bicara fitnah!""Kami mengatakan yang sebenarnya, Mbak!" ucapku lagi. "Kalau tidak percaya, tanya Mas Hanan!"Mbak Ratri seketika melotot ke arah Mas Hanan."Yang dikatakan Hasna benar, Mbak. Kami bertemu Bang Ferry, dan ternyata memang Bang Ferry hanya tukang parkir di depan toko besar," jawab Mas Hanan."Bohong kamu, Hanan! Sekarang kamu sudah pintar menipu sejak menikah dengan Hasna!" teriak Mbak Ratri lagi."Ada apa sih ini ribut-ribut?" Tiba-tiba Ibu keluar dari dalam rumah, m
"Loh, Pak Hanan sudah datang." Pak Wahid, anak buah Mama yang selama ini ditugaskan sementara untuk mengurus sawah dan pekerja, terlihat menyambut kami. "Sudah hampir selesai Pak.""Iya, terima kasih, Pak Wahid," jawabku.Aku dan Mas Hanan masih berdiri di tempat kami, seraya mendengarkan para pekerja itu berbincang. Tampaknya mereka belum menyadari kehadiran kami."Ini dulu bukannya sawah milik Bu Fatmah? Sekarang kenapa malah Bu Fatmah jadi pekerja?" tanya salah satu ibu itu pada Ibuk."Namanya juga bantu anak usaha, Bu. Kalau nanti semakin sukses, kan saya juga yang enak," jawab Ibu."Memangnya si Ferry usaha apa sih, Bu Fatmah? Kok sampai harus jual sawah sama rumah buat modal?""Dia punya toko besar di kota, Bu. Maklum lah, tiap usaha pasti modalnya besar. Apalagi di kota. Nanti kalau sudah makin sukses, modalnya pasti balik berkali-lipat." Ibu terlihat sangat bangga."Tapi kabarnya Hanan sekarang juga sudah sukses loh, Bu Fatmah. Rumahnya saja sekarang direnovasi, jadi bagus ban