Acara wisuda berjalan dengan lancar. Aku yang sudah mengenakan toga dengan percaya diri naik ke atas panggung untuk menerima penghargaan atas kerja kerasku selama belajar di universitas. Mama dan Papa tampak menatapku bangga, dan berulang kali menepuk pundak Mas Hanan dengan tidak kalah bangga."Ayo, kami antar kalian pulang," ucap Papa kemudian, ketika kami sudah keluar dari gedung aula kampus setelah acara selesai."Papa ini, masa langsung pulang, sih?" sahut Mama. "Apa Papa gak kangen sama Hasna? Kita kan harus merayakan kelulusan putri kita dulu.""Ah iya, ya, hampir Papa lupa kalau kita sudah membooking restoran untuk perayaan," ucap Papa sambil tertawa."Papa ini!" Mama mencubit pipi Papa, membuatku dan Mas Hanan tersipu karena kemesraan mereka.Mama dan Papa memang selalu tampak mesra dan memiliki pribadi yang hampir sama. Meskipun keduanya sama-sama pengusaha yang sibuk, tapi mereka selalu menyisihkan waktu untuk bisa berdua, walaupun hanya sekedar minum kopi di cafe.Selama s
"Mas, apa yang terjadi, Mas?" tanyaku, ketika melihat wajah Mas Hanan yang terlihat begitu shock.Mas Hanan tak langsung menjawab pertanyaanku. Badannya masih terlihat gemetar. Aku mengambil kertas dari tangan Mas Hanan, lalu membacanya. Seketika itu juga mataku langsung membola sempurna."Apa yang terjadi, Hasna?" tanya Mama seraya mendekat ke arahku."Ibuk, Ma. Ibuk ... menjual rumah ini," jawabku dengan suara gemetar."Astaghfirullah. Tanpa sepengetahuan Hanan?" Mama menatap ke arah Papa, yang juga terlihat begitu kaget."Iya, Ma. Tega sekali Ibuk melakukannya, padahal dia sudah berjanji akan memberikan rumah ini untuk Mas Hanan," ucapku lagi. "Ibuk bahkan juga sudah menjual sawah milik Bapak, apakah tidak cukup?""Ini tidak bisa dibiarkan, Hasna. Ini bisa diajukan dan diproses secara hukum, karena Hanan juga berhak atas sebagian dari harta orang tuanya," ucap Papa kemudian.Aku tak menjawab ucapan Papa, dan langsung mendekat ke arah Mas Hanan yang masih berdiri mematung di tempatn
Entah bagaimana, ucapan yang begitu kejam itu akhirnya keluar dari mulut wanita yang selama ini begitu disayangi dan dihormati Mas Hanan. Bagaimana cara Mas Hanan memperlakukan ibunya, pasti jauh melebih apa yang sudah Mas Hanan lakukan untukku.Dua puluh tahun ... bukan waktu yang sebentar bagi Mas Hanan untuk berbakti. Begitu banyak pengorbanan yang ia lakukan untuk sang ibu, sepenuh hati telah dia lakukan.Kini ... hati yang penuh dengan kasih sayang dan kelembutan itu pasti telah hancur berkeping-keping, ketika akhirnya mengetahui hal yang sebenarnya."Ibuk ... tidak serius dengan ucapan Ibuk, kan?" Mas Hanan masih berusaha menyangkal, meskipun aku tahu kini jiwanya sudah remuk sebagian."Iya, itu semua benar!" sahut Ibu. "Kamu adalah anak yang ditemukan oleh Bapakmu. Jadi sebaiknya kamu tahu diri, dan jangan berharap lagi! Kamu bukan keluarga kami!""Tapi Bapak selama ini tidak pernah mengatakan apapun, Buk.""Karena Bapakmu yang begitu bodoh, ingin menyamakan antara anak pungut
"Mas berangkat kerja dulu ya, Dek," ucap Mas Hanan pagi itu.Wajah Mas Hanan sepertinya sudah benar-benar kembali ceria dan bersemangat setelah semalaman kami membicarakan banyak sekali rencana."Hati-hati di jalan ya, Mas," ucapku sambil meraih tangannya, lalu menciumnya."Iya, Adek juga baik-baik di rumah," jawab Mas Hanan sambil mengelus kepalaku."Oh iya, bawa ini, Mas," ucapku lagi sambil mengulurkan rantang kecil pada Mas Hanan.Mata Mas Hanan seketika membola, lalu menatapku."Adek masak hari ini?" tanyanya dengan wajah tak percaya.Aku meringis sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Sengaja hari ini aku bangun lebih dulu dari Mas Hanan, lalu membuatkan telur orak-arik untuknya. Hanya itu masakan yang aku bisa, meskipun harus berjuang menyalakan api dalam tungku."Cuma telur kok, Mas," jawabku malu."Masyaa Allah, terima kasih, Dek. Mas pasti akan habiskan," ucap Mas Hanan sembari mencium keningku.Aku semakin tersipu melihat wajah Mas Hanan yang berbinar, meskipun hanya d
Pak Firman melongo melihat uang tunai dalam koper yang Mama tunjukkan, begitu juga dengan ibu dan Bang Ferry."Bagaimana, Pak? Jika setuju, silakan tanda tangan di sini, dan sisanya biar notaris saya yang akan urus besok," ucap Mama lagi."T-tentu saja saya setuju, Nyonya," ucap Pak Firman cepat seraya mengambil surat perjanjian jual beli.Pak Firman cepat-cepat menanda tangani surat itu, lalu menyerahkannya pada Mama. Tiba-tiba saja Bu Fatmah menggebrak meja, membuat kami kaget."Tunggu dulu! Bukankah ini penipuan namanya?" ucapnya dengan wajah merah padam."Loh, penipuan bagaimana, Bu?" Pak Firman menatap ke arah Ibu. "Kita kan sudah melakukan jual beli sesuai akad.""Kalian berdua pasti sudah bekerja sama, dan sengaja mempermalukan saya!" ucap Ibu lagi. "Karena itulah Bapak sengaja menunda pelunasan, agar bisa menjebak saya seperti sekarang ini!""Itu benar sekali," sahut Bang Ferry. "Tidak mungkin secara kebetulan kita berada di sini secara bersamaan, kalau kalian tidak bersekongk
Pagi-pagi sekali aku sudah menyiapkan sarapan dan bekal untuk Mas Hanan. Jika sebelumnya aku cuma bisa memasak telur orak-arik, kali ini aku sudah bisa memasak telur dan ayam balado, meskipun hanya dengan bumbu instan."Wah, masakan Adek makin hari makin sedap," puji Mas Hanan sebelum berangkat kerja, membuat hati ini berbunga-bunga."Benarkah, Mas?" Mataku membola dan langsung menyendok bumbu telur lalu mencicipinya."Ya Allah, asin!" ucapku sambil melepehnya dari mulut, lalu kemudian menatapnya seraya cemberut. "Mas Hanan bohong. Ini asin sekali.""Itu karena Adek makannya gak pakai nasi," jawab Mas Hanan seraya tersenyum. "Mas berangkat kerja dulu, ya?""Bekalnya gak usah dibawa, Mas. Asin," ucapku lagi."Ini enak, Dek. Mas pasti akan habiskan." Mas Hanan masih kekeh membawa bekalnya, lalu mencium keningku sambil berpamitan.Aku menarik napas panjang. Aku tahu masih belum pandai masak, tapi Mas Hanan begitu menghargai masakanku, dan selalu bilang enak. Sepertinya aku harus berusaha
Mata Mas Hanan membola sesaat, lalu menghela napas."Tidak mungkin lah, Dek. Bapak saja tidak pernah mengatakan apapun," ucapnya kemudian."Mungkin karena Bapak terlalu menyayangi Mas Hanan, makanya Bapak tidak mau kehilangan Mas Hanan," ucapku lagi.Mas Hanan seketika terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Tapi sesaat kemudian dia menatap ke arahku sembari tersenyum."Sudahlah, lupakan saja, Dek. Yuk, kita masuk. Mas akan menggambar ulang semua desain ini," ucapnya kemudian sambil membereskan kembali lemari yang tadi dia bongkar."Mas! Apa Mas Hanan tidak ingin tahu siapa orang tua Mas Hanan yang sesungguhnya?" tanyaku dengan hati yang agak kesal karena Mas Hanan mengalihkan pembicaraan.Mas Hanan menghentikan pekerjaannya, lalu terdiam lagi untuk beberapa lama, namun bibirnya tampak bergetar."Untuk apa mencari tahu tentang orang yang sudah membuang anaknya ke tempat sampah, Dek?"Aku tersentak mendengar ucapan Mas Hanan. Astaghfirullah, apakah ucapanku tadi tanpa sengaja membuka kemb
"Mas Hanan tidak apa-apa?" tanyaku seraya memegang pipi Mas Hanan yang membiru.Mas Hanan seketika meringis, lalu menatapku."Adek kenapa nekad tadi? Kalau kena pukul gimana?" tanyanya."Terus Mas Hanan mau aku diam saja dan membiarkan Mas Hanan babak belur?" Aku balik bertanya dengan muka merengut."Bukan begitu, Dek." Mas Hanan memegang pipiku, mungkin menyadari mataku berair karena mencemaskannya. "Mas ini laki-laki, jadi tahan kalau kena pukul. Kalau Adek yang terluka, Mas tidak akan memaafkan diri Mas seumur hidup."Aku seketika menggigit bibir. Lagi-lagi Mas Hanan hanya mencemaskanku, padahal dia sudah babak belur seperti itu."Ayo berdiri, Mas. Biar aku panggil dokter untuk memeriksa Mas Hanan," ucapku kemudian sambil membantu Mas Hanan berdiri."Tidak perlu, Dek. Kompres air dingin sama minum paracetamol juga sudah sembuh, kok," jawab Mas Hanan."Aduh, Mas Hanan ini terlalu meremehkan luka. Udah bonyok gini masih menganggap enteng," ucapku lagi."Belikan Mas Paracetamol saja,
"Ibuk sakit?" Aku seketika membulatkan mata.Memang aku ingin sekali mengetahui keadaan Ibuk setelah pingsan waktu itu. Tapi Mas Hanan selalu menghindar setiap aku berbicara tentang Ibuk. Orang pendiam seperti Mas Hanan, sekali hatinya tergores dalam, mungkin akan sulit sekali menyembuhkan luka itu."Iya, Hasna. Tolong, minta Hanan untuk menengoknya di saat-saat terakhirnya," ucap Bang Ferry lagi.Aku terdiam sejenak, bingung apa yang harus aku lakukan."Tapi Mas Hanan baru berangkat kerja, Bang," jawabku kemudian. "Biar saya yang pergi untuk menjenguk Ibuk dulu, ya?""Iya, Hasna, iya. Ibuk pasti senang sekali kamu mau menjenguknya, Hasna," jawab Bang Ferry lagi."Sebentar, saya pamit dulu ke Mama," ucapku lagi sambil masuk ke dalam rumah.Terlihat Mama dan Bu Miranti menata makanan di atas meja makan sambil berbincang. Mereka berdua tampak sangat akrab, membuat siapapun yang melihatnya terasa adem di hati. Syukurlah, rupanya Bu Miranti benar-benar sudah sembuh."Ayo Hasna, kita sarap
"Bu ... Ibu sudah sembuh?" Air mataku kembali mengalir dengan derasnya."Ya Allah, Mas Hanan pasti bahagia sekali Ibu sudah sembuh." Aku berhambur ke pelukan Ibu mertuaku itu. Menangis sekencang-kencangnya. Aku seperti ingin mencurahkan semua perasaanku di depannya."Hasna ...." Bu Miranti menatapku lagi, begitu aku melepaskan pelukanku. Terlihat tangannya terangkat, lalu mengusap pipiku."Kenapa menangis?" tanyanya, dengan nada suara yang masih terdengar sangat datar. "Hanan menyakitimu?"Aku seketika menggelengkan kepala kencang."Tidak, Bu. Mas Hanan tidak pernah menyakiti Hasna," jawabku kemudian sembari mengukir senyum.Bu Miranti menggerakkan kepalanya, menatap ke sekeliling. "Hanan ... di mana?" tanyanya kemudian."Ada di rumah, Bu. Ayo kita Hasna bawa Ibu ke Mas Hanan," ucapku kemudian, seraya menarik tangannya, membantunya berdiri.Aku menggandeng tangan Bu Miranti dan berjalan kembali ke rumah. Dari jauh, terlihat Mas Hanan masih berbincang dengan Nikmah, dan Nikmah terliha
"Syukurlah, hari ini kita bisa membawa Nyonya Miranti pulang." Mama tersenyum seraya menyiapkan beberapa buah pakaian dan memasukkannya dalam koper."Mama sudah menyiapkan perawat khusus untuknya, dan kabarnya, kondisinya sekarang sudah jauh lebih baik," lanjut Mama lagi."Maaf ya, Ma, selama ini kami sudah merepotkan Mama terus," ucapku kemudian."Bicara apa kamu, Hasna? Kamu ini kan anak Mama, Hanan juga. Jangan pernah bilang sudah merepotkan!" sahut Mama sambil menyentil hidungku.Aku tersenyum, dan untuk ke sekian kalinya bersyukur karena memiliki orang tua yang bisa diandalkan. Rumah kami sudah selesai dibangun, bersamaan dengan kabar baik yang disampaikan oleh dokter, bahwa kondisi Nyonya Miranti sudah jauh lebih baik. Ini semua berkat Mas Hanan yang begitu sabar dan telaten berbicara pada Sang Ibu setiap harinya.Aku melirik ke arah ponsel yang sejak tadi menyala, dan menyiarkan berita-berita terkini. Terpampang jelas tulisan-tulisan yang menjadi caption dalam berita-berita ter
"Syarat?" Aku menatap ke arah Nikmah, yang juga menatapku dengan pandangan serius. Untuk sesaat pikiranku seketika dipenuhi prasangka buruk. Apapun syarat yang Nikmah inginkan, pasti ada hubungannya dengan Mas Hanan."Jangan dengarkan dia, Hasna." Mama tiba-tiba memegang pundakku. "Kita pasti bisa mencari semua bukti itu sendiri, tanpa harus mengorbankan apapun.""Tapi bukti yang saya punya sudah pasti akan bisa menjebloskan Pak Baskoro ke penjara, Tante," sahut Nikmah lagi."Meskipun begitu, saya yakin syarat yang kamu ajukan pasti di luar nalar," jawab Mama seraya menatap tajam pada Nikmah. "Lagipula, jika bukti yang kamu miliki memang begitu kuat, kenapa kamu tidak melaporkan sendiri pada polisi?""Saya tidak punya keberanian dan kuasa, juga tidak punya kebebasan," jawab Nikmah lagi."Lalu sekarang kamu memanfaatkan kami untuk bisa bebas, dan kembali menggoda menantu saya?" Ucapan Mama semakin tajam."Saya tidak sepicik itu, Tante. Ijinkan saya bicara berdua saja dengan Mbak Hasna.
"Ma, tidak bisakah kita membawa Bu Miranti pergi dari sini? Kita bawa pulang, kita rawat dia di rumah," ucapku pada Mama, karena tak kuasa melihat Mas Hanan yang menangis memeluk ibunya.Mama terlihat menarik napas panjang, lalu menatapku."Tidak bisa semudah itu, Sayang," jawabnya kemudian. "Karena itulah pertama kita harus membuktikan dulu jika Hanan adalah pewaris sah keluarga Bramantio, jadi Hanan punya hak untuk membawa ibunya."Aku terdiam, seraya menatap ke arah Mas Hanan lagi. Mas Hanan perlahan melepas pelukannya pada sang ibu, dan Bu Miranti terlihat memegang pipi Mas Hanan dengan kedua tangannya."Mas Satriyo kenapa menangis?" tanyanya sambil menatap wajah Mas Hanan dengan pandangan bingung. "Apa Mas Satriyo terluka? Apakah sakit?"Mas Hanan menggelengkan kepalanya pelan. Bu Miranti cepat-cepat mengusap air mata di pipi Mas Hanan."Jangan menangis, Mas. Jangan menangis. Kita balas orang-orang jahat itu. Kita balas orang-orang yang sudah melukai kita." Bu Miranti memeluk Mas
"Penjahat! Pembunuh!" Bu Miranti terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah Pak Baskoro."Ibuk! Ibuk!" Mas Hanan berusaha memegangi tubuh Bu Miranti yang terus meronta dan berteriak histeris."Pembunuh!" Bu Miranti mencoba untuk menyerang Pak Baskoro, tapi Mas Hanan terus memegangi tubuh ibunya."Tenang, Bu, tenang," ucap Pak Baskoro sambil mengangkat kedua tangannya.Akhirnya beberapa orang petugas masuk, mungkin karena mendengar keributan. Mereka memegangi tubuh Bu Miranti, lalu memaksanya untuk duduk di atas tempat tidur. Seorang petugas menyuntikkan sesuatu pada lengannya. Bu Miranti yang tadinya meronta-ronta perlahan mulai melemas, lalu akhirnya tertidur.Aku memegangi dada, miris melihat nasib yang menimpa Bu Miranti. Begitupun dengan Mas Hanan, yang terlihat menatap ibunya dengan raut wajah antara takut, kasihan, dan juga sedih."Mohon maaf, sebenarnya pasien jarang sekali mengamuk. Tapi memang terkadang dia akan seperti ini saat teringat masa lalunya," ucap salah satu pet
"Mas Hanan?"Mas Hanan masih menatapku dan Mama bergantian, dengan pandangan yang sulit diartikan. Dengan badan sedikit gemetar aku mendekat ke arahnya. Sungguh, aku takut dia akan marah padaku."Mas Hanan sejak kapan di sini?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan."Sejak tadi, Dek," jawabnya. "Mas dengar semuanya."Aku seketika gugup bukan main."Mas Hanan ... tidak marah pada kami, kan?" tanyaku kemudian, menatap ke arahnya takut-takut.Mas Hanan terlihat terdiam sesaat, lalu menggeleng. Dia kemudian menatapku lekat."Untuk apa Mas marah, Dek?""Kami mencari tahu tentang keluarga Mas Hanan tanpa ijin dari Mas Hanan," jawabku lirih.Mas Hanan terdiam lagi. Dia sepertinya sedang mencoba menata hatinya. Setelah menarik napas panjang, dia menatapku kembali."Mungkin memang sudah saatnya Mas tahu, Dek. Mas juga tidak mungkin menghindar terus, tidak mungkin tidak ingin tahu. Sudah saatnya Mas siap menerima semua kenyataannya," jawab Mas Hanan kemudian. Masih ada getar pada ucapannya.
Mata Mbak Ratri seperti hampir copot saat mendengar ucapanku."Jangan sembarang bicara kamu, Hasna!" teriaknya kemudian, tak terima.Aku tidak mundur hanya karena gertakan Mbak Ratri. Dia memang harus tahu yang sebenarnya, agar mulut besarnya itu bungkam."Memang kenyataannya begitu kok, Mbak," ucapku. "Kami bertemu dengan Bang Ferry di kota, dan ternyata dia memang tukang parkir!""Kamu itu semakin kurang ajar, ya?" Mbak Ratri masih belum bisa percaya ucapanku. "Mentang-mentang sudah di atas, berani sekali bicara fitnah!""Kami mengatakan yang sebenarnya, Mbak!" ucapku lagi. "Kalau tidak percaya, tanya Mas Hanan!"Mbak Ratri seketika melotot ke arah Mas Hanan."Yang dikatakan Hasna benar, Mbak. Kami bertemu Bang Ferry, dan ternyata memang Bang Ferry hanya tukang parkir di depan toko besar," jawab Mas Hanan."Bohong kamu, Hanan! Sekarang kamu sudah pintar menipu sejak menikah dengan Hasna!" teriak Mbak Ratri lagi."Ada apa sih ini ribut-ribut?" Tiba-tiba Ibu keluar dari dalam rumah, m
"Loh, Pak Hanan sudah datang." Pak Wahid, anak buah Mama yang selama ini ditugaskan sementara untuk mengurus sawah dan pekerja, terlihat menyambut kami. "Sudah hampir selesai Pak.""Iya, terima kasih, Pak Wahid," jawabku.Aku dan Mas Hanan masih berdiri di tempat kami, seraya mendengarkan para pekerja itu berbincang. Tampaknya mereka belum menyadari kehadiran kami."Ini dulu bukannya sawah milik Bu Fatmah? Sekarang kenapa malah Bu Fatmah jadi pekerja?" tanya salah satu ibu itu pada Ibuk."Namanya juga bantu anak usaha, Bu. Kalau nanti semakin sukses, kan saya juga yang enak," jawab Ibu."Memangnya si Ferry usaha apa sih, Bu Fatmah? Kok sampai harus jual sawah sama rumah buat modal?""Dia punya toko besar di kota, Bu. Maklum lah, tiap usaha pasti modalnya besar. Apalagi di kota. Nanti kalau sudah makin sukses, modalnya pasti balik berkali-lipat." Ibu terlihat sangat bangga."Tapi kabarnya Hanan sekarang juga sudah sukses loh, Bu Fatmah. Rumahnya saja sekarang direnovasi, jadi bagus ban