Bayi perempuan dengan kulit putih susu dan mata berwarna keabu-abuan. Selalu menarik pasang mata yang datang untuk melihat bayi di poli anak. Sebagian mereka menatap kagum, walau tak sedikit yang mencibirnya.Aku dan Bu Aysah terus memandangi anak perempuan Zafran dan Nadira yang menangis di dalam sana. Kami tak boleh masuk karena daya tahan tubuhnya perlu di jaga. Perawat selalu mengoleskan sunscreen di kulitnya agar tak memerah. Dia perlakukan berbeda dari bayi umumnya karena kondisinya."Maafkan kami, Nak. Kamu harus lahir dengan keadaan seperti ini karena ketidaktahuan abi dan umimu," batinku."Umi! Ibu!"Zelia berteriak dan berlari memanggilku."Ada apa, Zelia?"tanyaku khawatir."Mbak Nadira! Ayo cepat."Wajah Zelia begitu panik, napas yang masih ngos-ngosan membuatnya sulit bicara.Aku dan Bu Aysah saling pandang, dan segera berlari melihat keadaan Nadira.Sampai di ruangan Nadira kami terkejut, sudah ada empat perawat yang mencoba menenangkannya. Ia tertawa sendiri memeluk ban
Sampai di rumah sakit kulihat Nadira meraung dan menangis di pojok ruangan. Hanum berada dalam dekapannya. Tak tega melihat kondisinya sekarang. Ia pasti sangat tertekan. Bu Aysah masih setia membujuknya untuk mengambil Hanum dalam dekapannya.Meskipun banyak perawat yang berada di sampingnya mereka tak berani melakukan apapun karena takut kejadian tadi akan kembali terulang."Bagaimana keadaannya, Bu?"Aku menghampiri Bu Aysah yang menangis di samping Nadira.Ia menggelengkan kepalanya.Aku mencoba mendekati Nadira."Dira, Hanum harus kembali ke ruang perawatan, ya."Ucapku lirih sambil membelai kepalanya."Tidak! Kalian pasti akan mengambil anakku. Kalian telah memisahkanku dengan Bang Zafran. Jangan harap kalian dapat merebut anakku! Jika kalian mengambilnya, lebih baik aku mati bersama anakku!" serunya."Kami tidak akan mengambilnya, Sayang. Kami hanya tak ingin Hanum sakit. Boleh Umi melihatnya?""Tidak!"Nadira berlari menjauh dariku, ia berdiri tepat di depan pintu. Ia membekap
ZAFRAN POV'BERTEMU DENGANMU ADALAH NASIB, TAK BISA BERSATU DENGANMU ADALAH TAKDIR YANG TAK BERUJUNG'Apa yang lebih pahit dari perpisahan?Aku harus merelakan anak dan istri jauh dariku karena haramnya hukum perkawinan kita.Nadira istriku dia adalah adikku, adik seayah denganku. Bagaimana Allah bisa memberikan takdir yang begitu mengguncang hidupku?Nadira gadis Ayu yang kutemui saat aku tengah belajar di Mekkah. Gadis dengan kesopanan di atas rata-rata. Memang tak bisa kusamakan dengan Asiyah sang mawar Padang Pasir, tetapi cukup membuat aku begitu jatuh hati.Kami hanya bertemu beberapa kali. Ia sama sepertiku sedang menuntut ilmu. Hingga kucari informasinya, tak disangka ia memiliki perasaan yang sama denganku.Kuutarakan niat untuk menghalalkannya. Ia menerima dengan senang hati.Aku pikir setelah menikahinya kehidupanku akan menjadi lebih baik, tetapi sayangnya tidak.Cobaan terus menghantam bahtera rumah tangga kami. Setelah tiga bulan pernikahan kami Nadira mengandung anak pe
Dokter kembali melihat kondisi Farhan. Pagi itu ditemani dengan Dokter Spesialis Kardiologi. Hatiku berdebar menunggu hasil pemeriksaan Farhan.Sore hari kami baru mendapatkan informasi tentang kondisi Farhan."Pak Zafran, bisa ikut kami,"Seorang perawat memanggilku, aku mengikutinya masuk keruangan Dr.Irawan Hanum Wibowo, Sp. Jp(K)"Duduk, Pak," ucapnya ramah. Hatiku berdebar kencang menunggu ia mengatakan hasil pemeriksaan Farhan."Anak bapak kekurangan Variasi DNA sehingga sistem tubuhnya akan selalu melemah. Kita hanya bisa berdoa dan berharap semoga ia dapat bertahan. Selain itu, Farhan memiliki penyakit jantung bawaan," ucap Dokter Irawan menjelaskan.Ia kembali membuka lembaran kertas yang ada di depannya."Sistem kekebalan tubuh tergantung pada komponen penting dari DNA yang disebut Major Histocompatibility Complex (MHC). MHC terdiri dari sekelompok gen yang bertugas sebagai penangkal penyakit. Kunci agar MHC bisa bekerja dengan baik melawan penyakit adalah memiliki keanekar
Haruskah aku menerima kehamilan Nadira yang tak kami rencanakan. "Astagfirullah, apa yang aku pikirkan," batinku.Anak adalah anugrah, apapun keadaannya dia adalah sesuatu yang harus kita jaga.Nadira menangis dalam pelukan umi, hatiku terasa pilu melihat kondisinya. Baru beberapa bulan aku melihat kebahagiaan di wajahnya, wajah baby face yang selalu terlihat seperti anak kecil ketika ia merajuk, kini lagi dan lagi di banjiri air mata.Kulantunkan dzikir, berharap anakku segera terbangun. Namun, Allah berkehendak lain. Pagi itu adalah hari terakhir kami bersama Farhan. Allah kembali memanggil buah hati kami dalam pangkuannya.Tubuhku luruh ke lantai, menatap Farhan yang tak lagi bernapas. Perawat sudah mulai melepaskan semua alat yang membantu hidupnya selama ini. Aku beranjak menghampirinya. Kucium dan kupeluk Farhan untuk terakhir kalinya. Hatiku sakit harus melepas kembali sesosok malaikat yang baru hadir dalam keluarga kecilku."Sabar, Zafran." Abi berusaha menenangkanku yang ma
Setelah menebus segala obat Nadira kami akhirnya pulang pagi ini.Aku membawa barang-barang Nadira di bantu ayah. Ia baru datang karena urusan bisnisnya baru selesai dan sempat mengalami keritis hingga ia tak dapat menunggu Nadira kemarin."Jalan pelan-pelan saja, Nduk."Ibu menggandeng tangan Nadira bersama Zelia."Iya, Bu."Nadira melangkah dengan sangat hati-hati.Aku dan Nadira naik mobil bersama ibu dan ayah, Zelia menyetir mobil Bang Zain sendiri.Zelia hendak mampir ke toko buku mencari buku untuk keperluan kuliahnya. Ia mengambil kuliah kedokteran tak mau mengikuti aku dan Bang Zain yang memilih mengambil ilmu keagamaan. Dia bilang jika ia terlalu pintar agama ia takut menyinggung suaminya esok. Alasan yang tidak logis, tapi mampu membuat abi luluh. Padahal abi dulu bersikeras ingin mengirimnya ke Kairo.Meskipun begitu, abi mewanti-wanti Zelia dengan begitu keras bahkan aku dan Bang Zain harus ikut andil dalam mengawasinya atas perintah abi. Abi bilang anak perempuan jika sat
Selama kehamilan Nadira yang keempat ini aku selalu menemaninya. Aku tak pernah meninggalkannya. Terkadang aku membawanya ke pesantren Bang Zain untuk membuat konten YouTubeku bersama Bang Zain jika ia tak sibuk di restorannya. Ia hanya mengecek di restoran karena memang sudah ada yang menghandlenya.Umi dan ibu juga bergantian datang ke rumah melihat keadaan Nadira. Kami tak ingin anakku yang akan lahir ini mengalami nasib serupa seperti kakak-kakaknya.Malam ini terasa dingin, Nadira sudah terlelap dengan perut buncitnya yang sudah membesar. Kuusap perutnya dan membacakan doa, meminta kepada sang pemberi hidup agar bayi kami baik-baik saja. Tiba-tiba Nadira terbangun dan memegang perutnya sambil medesis seperti menahan sakit."Bang, perutku sakit sekali," lirihnya. "Ayo ke rumah sakit, Dik." Aku menuntunnya menuruni tangga. Tak tega melihat ia menahan sakit. Aku segera mengeluarkan mobil dan kembali menuntun Nadira masuk ke mobil.Kulajukan dengan bismillah menuju rumah sakit terde
Bang Zain mengajakku duduk lebih dulu di depan ruang rawat Nadira."Tenangkan dulu dirimu. Ada apa, Zafran? Katakan, apa sesuatu terjadi pada anakmu?"Aku menundukkan kepala, mengusap kasar wajahku. Air mata jatuh di pipi."Dokter bilang anakku mengalami Albinisme, dan kemungkinan besar karena perkawinan sedarah," ucapku lirih."Apa!Bang Zain menggelengkan kepalanya."Apa Nadira anak kandung Ayah dan Ibu?"tanya Bang Zain penuh penekanan. Ia tak sabar menunggu jawabanku. Aku menatapnya penuh tanda tanya besar. Tentu saja Nadira anak kandung ibu dan ayah."Tentu saja, Bang. Bagaimana bisa tidak. Ayah tak pernah membahas itu, tapi tunggu—."Aku mengingat kembali saat kami melakukan ijab kabul, ayah hanya menggunakan nama belakangnya 'Abdilah' ia tak ingin aku menyebut nama lengkapnya."Kenapa? Apa kamu ingat sesuatu?"tanya Bang Zain penasaran."Abang ingat saat aku mengucapkan ijab, Ayah menantangku dengan keras menyebut nama lengkapnya dan hanya menggunakan bin Abdillah.""Astaga, Ba