Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu.Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya.Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda.Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih baik—
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu.Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya.Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda.Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih baik—
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Rachel berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kebenaran yang baru ia terima begitu menghantam, meninggalkan rasa sakit yang dalam, namun juga memberikan pemahaman yang baru. Adrian, saudara kandungnya, ternyata telah dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, yang selama ini disembunyikan ibunya.Pikiran Rachel terus berputar, mengingat setiap momen yang pernah ia alami bersama ibunya. Momen-momen yang tampak begitu sempurna, tapi kini terasa seperti ilusi. Mengapa ibunya tidak pernah menceritakan tentang ayah mereka? Apa yang membuatnya begitu takut? Dan mengapa ayahnya tiba-tiba muncul setelah sekian lama?Rachel menghela napas panjang dan melangkah menuju meja, di mana ponselnya tergeletak. Ada pesan dari Clara yang baru saja masuk.“Rachel, aku sudah menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.”Tangan Rachel gemetar ketika membuka pesan tersebut. Clara selalu menjadi orang yang paling bisa diandalkan, namun pesan ini memberi isyara