Rachel duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar. Surat misterius yang baru saja ia baca masih tergenggam erat. Kalimatnya begitu jelas—peringatan bahwa seseorang sedang mengincarnya. Namun, tidak ada nama, tidak ada petunjuk siapa yang mengirimkan surat itu. Matanya beralih ke Martin yang masih tertidur lemah di ranjang rumah sakit. Wajah pucat pria itu semakin membuat Rachel cemas. Ini bukan hanya tentang dirinya lagi, tetapi juga tentang pria yang telah menyelamatkannya dari kehidupan miskin dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Bayangan keserakahannya selama ini menghantuinya. Ia telah meninggalkan keluarganya sendiri demi kehidupan mewah, dan sekarang semua kenyamanan itu terasa seperti pasir yang perlahan-lahan menghilang di genggamannya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu mengagetkannya. Tok. Tok. Tok. Rachel menegang. Ketukan itu terdengar pelan, tetapi ada sesuatu yang terasa aneh. Dengan hati-hati, ia berjalan menuju pintu dan bertanya, “Siapa?” Tidak a
Rachel duduk di ruang kerja Martin dengan jantung berdebar. Surat peringatan itu masih tergeletak di atas meja, seolah menertawakan kebodohannya yang selama ini merasa aman. Sejak ancaman itu datang, tidurnya tak pernah nyenyak. Ketakutan terus menghantui, membuatnya waspada terhadap setiap langkah yang ia ambil.Martin masuk ke dalam ruangan dengan ekspresi serius. “Rachel, kau harus menjelaskan semuanya sekarang. Siapa yang mengancammu?”Rachel menghela napas panjang. Ia ingin berkata jujur, tapi bayangan ancaman itu membuatnya ragu. Jika ia mengaku, apakah Martin akan tetap berpihak padanya?“Aku tidak tahu siapa mereka,” akhirnya Rachel berucap dengan suara lirih. “Tapi mereka tahu terlalu banyak tentangku.”Martin menatapnya tajam. “Kalau begitu, kita harus mencari tahu siapa mereka.”Tiba-tiba, pintu diketuk. Seorang asisten masuk dengan ekspresi gugup. “Tuan, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Nyonya Rachel. Dia bilang ini tentang sesuatu yang penting.”Rachel dan Martin s
Rachel berdiri di dekat jendela kamar, menyingkap tirai dengan hati-hati. Matanya terpaku pada mobil hitam yang terparkir di seberang jalan. Sudah hampir dua jam kendaraan itu tetap di sana tanpa ada tanda-tanda kehidupan dari dalamnya. Ada sesuatu yang tidak beres. Rachel merapatkan bibirnya. Perasaan aneh menyusup ke dalam dadanya sebuah firasat buruk yang tidak bisa ia abaikan. Sejak beberapa hari terakhir, ia merasa diawasi. Pesan misterius yang ia terima di ponselnya malam lalu semakin memperkuat kecurigaannya. “Jangan percayai siapa pun. Termasuk suamimu.” Kata-kata itu masih terngiang di kepalanya. Siapa yang mengirimnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Ia menutup tirai perlahan dan menarik napas dalam. Tidak boleh panik. Ia harus tetap berpikir jernih. Rachel menoleh ke arah ranjang, tempat Martin terbaring dengan wajah pucat. Sejak sakitnya semakin parah, Martin jarang keluar rumah. Ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk beristirahat, dan Rachel melakukan segala ha
Rachel mengira semuanya akan kembali normal setelah berbagai kejadian yang mengguncang hidupnya. Martin mulai pulih, bisnis keluarganya berjalan stabil, dan ia perlahan mulai menata hubungannya dengan sang suami. Namun, satu hal yang tak pernah ia duga adalah kemunculan seseorang dari masa lalu Martin—Kezia.Pertemuan pertama mereka terjadi di rumah sakit saat Rachel menemani Martin untuk pemeriksaan lanjutan. Ia tak terlalu memikirkan siapa dokter yang menangani suaminya, hingga seorang wanita dengan rambut panjang tergerai dan wajah penuh percaya diri melangkah masuk ke ruangan dengan senyum yang terlalu akrab bagi Martin.“Kezia?” Martin terdengar terkejut tapi sorot matanya tak menunjukkan ketidak senangan,justru ada kehangatan di sana.Rachel langsung merasa tak nyaman. Ia memperhatikan wanita itu dari ujung kepala hingga kaki. Dokter yang cantik, anggun, dan tampak sukses. Dan entah mengapa, Martin terlihat lebih hidup saat berbicara dengannya.“Aku tidak menyangka akan bertemu
Rachel duduk di ruang kerja Martin, memandangi lembaran-lembaran dokumen yang berserakan di atas meja. Hatinya berdebar saat ia membaca ulang isi dokumen yang baru saja ditemukan—surat kepemilikan saham Martin di berbagai perusahaan besar, surat perjanjian bisnis, dan beberapa kontrak investasi yang ia sendiri tidak mengerti sepenuhnya. Jika Martin benar-benar dalam kondisi kritis seperti yang dikatakan dokter, maka ini adalah kesempatan bagi orang-orang di sekitar mereka untuk mulai bergerak merebut segalanya. Rachel sangat bingung dan Ia tidak pernah benar-benar terlibat dalam urusan bisnis suaminya. Selama ini, ia hanya menikmati hidup mewah yang diberikan Martin tanpa banyak bertanya. Namun, sekarang situasinya berubah. “Apakah aku harus mengambil alih semuanya?” gumamnya pelan, suara hatinya penuh keraguan. Di tengah kebingungannya, pintu ruangan terbuka. William, tangan kanan Martin yang selama ini mengelola sebagian besar urusan bisnisnya, masuk dengan wajah serius. Rachel s
Rachel duduk di ruang kerja rumahnya, menatap laporan keuangan yang terbuka di hadapannya. Meskipun tampak fokus, pikirannya melayang ke banyak hal. Setelah insiden di rumah sakit, hubungan antara dirinya dan Martin semakin merenggang. Ia tahu Martin masih belum sepenuhnya pulih, tetapi sikap pria itu yang semakin dingin membuatnya merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Namun, yang lebih mengganggu pikirannya saat ini adalah kondisi perusahaan. Sejak Martin menyerahkan sebagian kendali kepadanya, Rachel mulai menyadari bahwa bisnis ini tidak semulus yang terlihat. Ada laporan yang tidak beres, pemasukan yang tidak sesuai dengan catatan, dan beberapa transaksi mencurigakan yang membuatnya bertanya-tanya—apakah ini hanya kesalahan biasa atau ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi? Rachel menghela napas panjang. Ia mengusap wajahnya, berusaha menyingkirkan rasa lelah yang mulai menguasainya. Jika saja Martin lebih terbuka padanya, mungkin ia tidak perlu merasa sendirian dalam meng
Rachel duduk di ruang kerjanya dengan ekspresi tegang. Matanya terpaku pada layar komputer, menelusuri angka-angka dalam laporan keuangan perusahaan yang baru ia terima. Semakin dalam ia menyelidiki, semakin banyak kejanggalan yang ia temukan. Ada aliran dana mencurigakan yang jumlahnya tidak sedikit.Martin masih dalam kondisi lemah sejak penyakitnya semakin parah. Ia belum sepenuhnya pulih, dan Rachel tidak ingin menambah bebannya. Tapi ini bukan hal yang bisa diabaikan. Jika benar ada kebocoran dana, perusahaan bisa dalam bahaya besar.Rachel meremas tangannya, mencoba menenangkan diri. “Aku harus mencari tahu lebih dalam,” gumamnya pelan.Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Dina, sekretarisnya, masuk dengan wajah tegang.“Bu Rachel, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Katanya ini penting.”Rachel menatapnya penuh tanya. “Siapa?”“Dia bilang namanya Arman. Seorang auditor independen.”Rachel menegakkan punggungnya. Auditor independen? Siapa yang mengutusnya? Apakah
Rachel masih duduk di ruangannya dengan pikiran yang penuh. Ucapan Leonard terus terngiang di benaknya.“Terkadang, mencari tahu terlalu dalam bisa berbahaya.”Apa maksudnya? Apakah itu ancaman? Atau peringatan?Di depannya, Arman tampak gelisah. Pria itu masih berada di ruangan, tampaknya menunggu instruksi.“Bu Rachel, saya rasa kita harus segera mengambil tindakan sebelum orang yang terlibat semakin sulit dilacak,” ujar Arman dengan nada serius.Rachel menatapnya, lalu mengangguk. “Aku setuju. Tapi kita tidak bisa gegabah. Kita butuh lebih banyak bukti sebelum mengambil langkah besar.”Arman menyandarkan punggungnya ke kursi. “Saya bisa menelusuri lebih dalam lagi. Tapi jika ini sudah melibatkan pihak dalam, kita harus berhati-hati.”Rachel mengepalkan tangannya. Ia tidak ingin perusahaannya hancur karena ulah orang-orang licik.Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah nomor tak dikenal muncul di layar. Ia ragu sejenak, tapi akhirnya mengangkat.“Halo?”Tidak ada suara di seberang. Ha
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu. Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya. Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda. Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih b
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Rachel berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kebenaran yang baru ia terima begitu menghantam, meninggalkan rasa sakit yang dalam, namun juga memberikan pemahaman yang baru. Adrian, saudara kandungnya, ternyata telah dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, yang selama ini disembunyikan ibunya.Pikiran Rachel terus berputar, mengingat setiap momen yang pernah ia alami bersama ibunya. Momen-momen yang tampak begitu sempurna, tapi kini terasa seperti ilusi. Mengapa ibunya tidak pernah menceritakan tentang ayah mereka? Apa yang membuatnya begitu takut? Dan mengapa ayahnya tiba-tiba muncul setelah sekian lama?Rachel menghela napas panjang dan melangkah menuju meja, di mana ponselnya tergeletak. Ada pesan dari Clara yang baru saja masuk.“Rachel, aku sudah menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.”Tangan Rachel gemetar ketika membuka pesan tersebut. Clara selalu menjadi orang yang paling bisa diandalkan, namun pesan ini memberi isyara