Rachel menatap wajah pucat Martin yang masih terbaring di ranjang rumah sakit. Napasnya terdengar lemah, tubuhnya semakin kurus, dan matanya tetap terpejam. Sejak Martin jatuh sakit, hidup Rachel terasa seperti mimpi buruk.Dulu, ketika menikah dengan Martin, ia merasa dunia ada di tangannya. Kemewahan, status, dan segala hal yang tak pernah bisa ia bayangkan saat masih hidup miskin kini menjadi miliknya. Namun, seiring waktu, keserakahan menelannya bulat-bulat. Ia lupa siapa dirinya dulu, lupa pada keluarganya sendiri.Tapi sekarang, segalanya berubah.Sebuah ketukan di pintu membuat Rachel tersentak. Ia mengangkat kepalanya dan melihat seorang pria melangkah masuk dengan santai—Damar.Rachel langsung menegang. Damar adalah rekan bisnis Martin yang selama ini bersikap manis di depan mereka. Tapi Rachel tahu ada sesuatu yang tidak beres.“Bagaimana kabar suamimu?” tanya Damar dengan nada santai.Rachel berdiri, menatapnya dengan penuh kewaspadaan. “Apa yang kau lakukan di sini?”Damar
Rachel berdiri di tepi ranjang Martin, menggenggam tangan suaminya yang masih dingin. Napasnya berat, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan. Ia baru saja mengetahui bahwa Damar telah menipu Martin dan mengambil alih sebagian besar asetnya. Untungnya, Reza muncul dengan bukti yang bisa membalikkan keadaan.Namun, Rachel tahu satu hal: ini belum berakhir.Reza berdiri di sisi lain ruangan, memperhatikannya dengan tenang. “Rachel, kita harus bergerak cepat. Damar tidak akan tinggal diam setelah pertemuan tadi.”Rachel menarik napas dalam. “Aku tahu… Tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana.”Reza tersenyum kecil. “Aku akan membantumu. Tapi yang pertama, kau harus mengambil alih peranmu sebagai istri Martin dan pemilik sah semua yang telah ia bangun.”Rachel menatap Reza ragu-ragu. “Tapi… aku tidak punya pengalaman dalam bisnis. Aku hanya menikmati hasil kerja Martin selama ini tanpa benar-benar memahami apa yang terjadi di dalamnya.”Reza menatapnya tajam. “Justru itu yang harus diub
Rachel masih terpaku menatap layar ponselnya. Pesan ancaman itu nyata.“Jangan ikut campur. Jika kau tetap melawan, Martin akan membayar harganya.”Jantungnya berdetak kencang. Ini bukan sekadar peringatan, ini ancaman langsung terhadap suaminya.Reza, yang berdiri di sampingnya, membaca pesan itu dengan ekspresi serius. “Mereka mulai merasa terancam,” katanya. “Kita harus lebih berhati-hati.”Rachel mengepalkan tangan. Ia tidak akan mundur. Ia telah kehilangan banyak hal karena kesalahannya sendiri, tapi kali ini ia tidak akan tinggal diam.“Apa yang harus kita lakukan?” tanyanya.Reza berpikir sejenak. “Kita tetap pergi ke kantor Martin besok. Aku juga akan mencari tahu siapa yang mengirim pesan ini.”Rachel mengangguk. Namun, ada sesuatu dalam hatinya yang membuatnya merasa tidak nyaman—seolah ada yang mengawasinya.Keesokan PaginyaRachel mengenakan pakaian yang lebih formal. Hari ini adalah awal perlawanan.Saat ia keluar dari rumah sakit, angin pagi terasa lebih dingin dari bias
Rachel menarik napas panjang. Pintu belakang berhasil mereka masuki, tetapi perang baru saja dimulai.Ia dan Reza bersembunyi di balik rak arsip. Brankas utama yang menyimpan semua dokumen penting ada di lantai 15. Itu berarti mereka harus bergerak dengan hati-hati, menghindari keamanan yang dipasang oleh Damar.“Bagaimana kita bisa ke atas tanpa ketahuan?” bisik Rachel.Reza mengintip ke luar ruangan. “Ada dua petugas keamanan di lobi, dan beberapa kamera di setiap sudut.”Rachel menggigit bibirnya. Damar benar-benar sudah menguasai perusahaan ini.Namun, ia tidak akan menyerah. Ini bukan hanya tentang Martin. Ini tentang mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik mereka.Di Lantai 15 – Ruang DirekturDamar sedang duduk dengan santai, memandangi layar monitor yang menampilkan CCTV seluruh gedung.Ia tersenyum sinis. Rachel pasti akan mencoba sesuatu.Seorang pria bertubuh besar berdiri di sampingnya. “Apa yang harus kita lakukan jika mereka mencoba masuk?”Damar mengangkat b
Rachel menatap kosong ke luar jendela apartemen mewahnya. Kota bersinar dengan gemerlap lampu, tapi hatinya terasa hampa. Dulu ia bermimpi bisa hidup seperti ini,yaitu tidak lagi kekurangan, tidak lagi merasa rendah diri. Tapi sekarang, mengapa rasanya ada sesuatu yang hilang?Di belakangnya, suara batuk terdengar dari kamar tidur. Martin.Suaminya yang dulu begitu gagah kini terbaring lemah karena penyakit yang semakin menggerogoti tubuhnya. Rachel menggigit bibirnya. Kenapa hidup selalu mempermainkannya?Dulu, saat masih miskin, ia harus berjuang mati-matian untuk bertahan. Sekarang, ketika ia sudah punya segalanya, hidupnya malah terasa seperti penjara.Martin memanggil namanya dengan suara lemah, “Rachel…”Rachel menoleh. Wajah Martin pucat, matanya tampak lelah. Ada permohonan dalam tatapannya, tapi Rachel berpura-pura tidak melihatnya. Ia terlalu lelah. Terlalu muak dengan kehidupannya sendiri.“Minumlah obatmu,” kata Rachel singkat.Martin tersenyum samar. “Aku lebih butuh kamu
Rachel duduk di kursi kerjanya, menatap layar laptop dengan sorot mata kosong. Keningnya berkerut dalam kebingungan. Transaksi keuangan yang mencurigakan atas namanya masih menghantuinya. Puluhan juta telah dipindahkan ke rekening yang bahkan ia tak kenal. Ia menghela napas panjang, jemarinya menggenggam ponsel dengan erat. Ia telah mencoba menghubungi beberapa bank, namun jawabannya selalu sama—semua transaksi telah dilakukan atas persetujuan dirinya sendiri. “Tidak mungkin… aku tidak pernah melakukan ini,” gumamnya dengan suara gemetar. Rachel mencoba mengingat apakah ia pernah menandatangani dokumen tertentu yang bisa memungkinkan transaksi ini terjadi, tetapi memorinya terasa buram. Apakah mungkin seseorang telah memalsukan tanda tangannya? Ketakutan mulai merayap di benaknya. Jika Martin mengetahui semua ini, ia pasti akan menuduhnya sebagai wanita serakah. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu mengagetkannya. Marta, kepala pelayan rumah tangga, masuk dengan ragu. “Nyonya, Tuan
Rachel duduk di dalam mobil polisi dengan tangan gemetar. Sirene meraung-raung, menggema di dalam kepalanya seperti suara lonceng kematian bagi kehidupannya yang baru saja ia nikmati. Ia menoleh ke luar jendela, melihat Martin berdiri di ambang pintu rumah mereka, masih dengan ekspresi dingin yang sulit diartikan.Apakah ini hukuman karena aku telah melupakan siapa diriku dulu?Mobil berhenti di depan kantor polisi. Seorang petugas membuka pintu dan menuntunnya masuk. Tatapan penuh rasa ingin tahu dari para pegawai kantor polisi membuat jantungnya berdetak lebih cepat.“Ayo, masuk,” kata salah satu petugas dengan suara tegas.Rachel mengikuti langkah petugas itu tanpa bisa melawan. Tangannya berkeringat dingin, jantungnya berdebar begitu keras hingga ia merasa sesak napas. Ia dibawa ke sebuah ruangan kecil dengan dinding berwarna abu-abu, hanya ada satu meja dan dua kursi di dalamnya.Tak lama kemudian, seorang pria berkemeja biru masuk. Ia membawa sebuah berkas tebal dan meletakkanny
Rachel duduk di tepi ranjang dengan tangan gemetar. Surat misterius yang baru saja ia baca masih tergenggam erat. Kalimatnya begitu jelas—peringatan bahwa seseorang sedang mengincarnya. Namun, tidak ada nama, tidak ada petunjuk siapa yang mengirimkan surat itu. Matanya beralih ke Martin yang masih tertidur lemah di ranjang rumah sakit. Wajah pucat pria itu semakin membuat Rachel cemas. Ini bukan hanya tentang dirinya lagi, tetapi juga tentang pria yang telah menyelamatkannya dari kehidupan miskin dulu. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Bayangan keserakahannya selama ini menghantuinya. Ia telah meninggalkan keluarganya sendiri demi kehidupan mewah, dan sekarang semua kenyamanan itu terasa seperti pasir yang perlahan-lahan menghilang di genggamannya. Tiba-tiba, suara ketukan pintu mengagetkannya. Tok. Tok. Tok. Rachel menegang. Ketukan itu terdengar pelan, tetapi ada sesuatu yang terasa aneh. Dengan hati-hati, ia berjalan menuju pintu dan bertanya, “Siapa?” Tidak a
Seiring berjalannya waktu, kondisi Rachel semakin membaik. Ia rutin meminum obat yang diresepkan dokter, dan ingatannya perlahan mulai stabil. Rasa pusing yang sering menyerangnya kini berkurang, dan ia mulai merasa seperti dirinya yang dulu. Setiap pagi, Martin selalu mengingatkan Rachel untuk tidak melewatkan obatnya. Ia bahkan menyusun alarm di ponselnya agar tak ada satu pun dosis yang terlewat. Perhatian Martin membuat Rachel semakin yakin bahwa suaminya adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupnya. Ia memandangi wajah Martin yang tengah sibuk di ruang kerja. Walaupun lahir dari keluarga kaya raya, pria itu tidak pernah memandangnya rendah. Martin selalu menerima dirinya apa adanya, bahkan ketika ia dulu sempat lupa diri dan berubah menjadi orang yang berbeda. Rachel menggigit bibirnya, merasa sedikit bersalah. Dulu, ia terlalu sibuk menikmati kemewahan dan mengabaikan banyak hal penting, termasuk suaminya sendiri. Tapi sekarang, ia ingin menjadi pribadi yang lebih b
Pagi itu, Martin membangunkan Rachel lebih awal dari biasanya.“Rachel, bangun. Kita harus ke rumah sakit hari ini,” katanya lembut sambil menggoyangkan bahu istrinya.Rachel mengerjap pelan, matanya masih terasa berat. Kepalanya berdenyut, dan sebagian ingatannya masih terasa kabur. Ia sempat lupa bahwa hari ini adalah jadwal kontrolnya.Martin membantu Rachel duduk di tempat tidur. “Kita harus pastikan kondisimu benar-benar stabil. Setelah itu, kamu bisa kembali minum obat dengan teratur.”Rachel mengangguk lemah. Ia tahu Martin sangat mengkhawatirkannya. Sejak kecelakaan itu, suaminya semakin protektif, bahkan ia merasa Martin lebih sering memperhatikannya dibanding dirinya sendiri.Setelah tiba di rumah sakit, dokter melakukan pemeriksaan menyeluruh. Rachel menjalani beberapa tes untuk memastikan kondisinya, terutama mengenai ingatannya yang masih belum sepenuhnya pulih.“Sejauh ini, kondisinya cukup stabil,” kata dokter sambil menuliskan sesuatu di buku catatan medis. “Tapi efek
Sejak kepulangannya dari rumah sakit sebulan lalu, Rachel menjalani hari-harinya dengan lebih tenang. Martin kembali fokus pada perusahaannya yang sempat terguncang, sementara ia sendiri lebih banyak beristirahat di rumah, mengikuti saran dokter agar tubuhnya bisa pulih sepenuhnya.Setiap hari, ia rutin mengonsumsi obat yang diresepkan dokter. Namun, pagi ini, sesuatu terasa berbeda. Saat ia membuka laci tempat menyimpan obatnya, botol itu kosong. Rachel terdiam, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia kontrol ke rumah sakit.“Oh… seharusnya aku kontrol hari ini,” gumamnya pelan.Namun, tubuhnya terasa terlalu lemas untuk bergerak. Kepala mulai berdenyut perlahan, lalu semakin tajam seiring berjalannya waktu.Sementara itu, Martin baru saja menyelesaikan rapat di kantornya. Setelah sempat absen selama berminggu-minggu karena kecelakaan, ia harus bekerja ekstra keras untuk mengatasi masalah-masalah yang muncul di perusahaan. Beberapa orang bahkan mencoba mengambil kesempatan saat diri
Hari kedua di rumah sakit, Rachel mulai menyadari sesuatu yang mengganggu dirinya. Ada bagian dari ingatannya yang terasa kabur—tidak sepenuhnya hilang, tetapi sulit dijangkau. Saat ia berusaha mengingat masa lalu, kepalanya terasa berat, seolah ada kabut yang menghalangi pikirannya.Ia masih mengenali Martin, masih ingat siapa dirinya, dan masih memahami sebagian besar kehidupannya. Tapi ada detail-detail kecil yang terasa hilang—seperti kejadian-kejadian tertentu yang seharusnya ia ingat, tetapi kini hanya menyisakan bayangan samar.Rachel mengerutkan kening, mencoba mengingat sesuatu yang spesifik. “Martin… aku merasa ada yang aneh dengan ingatanku. Aku bisa mengingat banyak hal, tapi rasanya tidak setajam biasanya.”Martin, yang sejak tadi duduk di sampingnya, menatap istrinya dengan tenang meski dalam hatinya ia merasa khawatir. Ia tahu sesuatu yang tidak Rachel sadari—dokter telah memberitahunya bahwa benturan yang dialami Rachel cukup serius dan mungkin menyebabkan gangguan mem
Malam di rumah sakit terasa begitu sunyi. Hanya suara detak mesin medis dan langkah kaki suster yang sesekali terdengar di lorong. Rachel masih terbaring di ranjang, sementara Martin duduk di sofa kecil di sampingnya. Matanya memandangi istrinya yang tertidur, namun pikirannya tak tenang.Siapa pun yang berusaha mencelakai mereka pasti memiliki alasan kuat untuk menyembunyikan kebenaran tentang Adrian. Tapi siapa?Ponsel Martin bergetar di atas meja kecil di samping ranjang. Ia mengambilnya dan melihat nama di layar: Nomor Tidak Dikenal.Martin ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab.“Halo?” suaranya tenang, tapi waspada.Tak ada jawaban di seberang. Hanya suara napas pelan.“Halo?” ulangnya, kali ini lebih tegas.Lalu, terdengar suara berat yang nyaris berbisik.“Berhenti mencari… atau kau akan kehilangan lebih dari yang kau bayangkan.”Seketika, panggilan itu terputus.Martin merasakan tengkuknya meremang. Ini bukan peringatan biasa—ini ancaman.Ia segera berdiri dan berjalan ke lua
Rasa sakit menusuk seluruh tubuh Rachel saat kesadarannya perlahan kembali. Matanya terasa begitu berat, namun ia bisa mendengar suara samar-samar di sekitarnya dan bunyi monitor medis yang berdetak pelan dan suara langkah kaki seseorang.Perlahan, ia membuka matanya. Langit-langit putih dan bau antiseptik memenuhi indranya. Rumah sakit. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tetapi rasa nyeri langsung menjalar ke seluruh tubuhnya, membuatnya meringis.“Rachel…”Suara itu. Lembut, penuh kekhawatiran.Rachel menoleh perlahan dan melihat Martin duduk di samping tempat tidurnya. Wajahnya penuh luka dan lebam, namun sorot matanya tetap lembut menatapnya.“Kamu sadar,” katanya, suaranya dipenuhi rasa lega.Rachel mencoba berbicara, namun tenggorokannya begitu kering. Martin langsung menuangkan air ke dalam gelas dan mencoba membantunya untuk minum.“Apa… yang terjadi?” Rachel akhirnya bisa bersuara, meski lemah.Martin menghela napas panjang. “Kita telah mengalami kecelakaan. Mobil itu menabra
Pagi itu, yaitu setelah percakapan penuh emosi dengan ibunya, Rachel merasa semakin yakin bahwa dia harus menemukan pria yang dimaksud, yaitu Malik. Orang yang bisa jadi mengetahui lebih banyak tentang Adrian dan masa lalu yang selama ini disembunyikan. Martin, meski ragu, akhirnya setuju untuk ikut serta. Ia tahu betul betapa pentingnya pencarian ini bagi Rachel, dan meski ada rasa khawatir yang menggelayuti dirinya, ia tak bisa membiarkan Rachel melakukannya sendirian.Mereka berdua memutuskan untuk menuju ke daerah yang disebutkan oleh pria misterius di gudang—tempat terakhir Malik terlihat beberapa tahun lalu. Tidak ada petunjuk pasti mengenai keberadaan Malik, namun Rachel merasa bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.Di dalam mobil, suasana sunyi menyelimuti mereka. Rachel melirik Martin, mencoba membaca ekspresinya. Suaminya itu terlihat tegang, memfokuskan perhatian pada jalan yang semakin sepi.“Martin, kamu yakin kita harus melanjutk
Rachel terdiam setelah mendengar kata-kata Pak Surya. Matanya terasa kosong, kosong oleh semua informasi baru yang datang begitu cepat. Apa maksud Pak Surya dengan mengatakan kebenaran ini akan menghancurkannya? Apa yang lebih gelap dari apa yang sudah ia temui? Semua hal yang ia percayai kini terancam hancur.Pak Surya menatapnya dengan raut wajah yang penuh kecemasan. “Rachel, aku tidak ingin kau terjebak dalam dunia ini. Dunia yang sudah mengubah hidup banyak orang. Dunia yang menganggap nyawa tak lebih dari sebuah harga yang bisa ditawar.”Rachel dengan tegas. “Saya tidak akan mundur begitu saja, Pak. Saya harus tahu apa yang terjadi pada Adrian. Apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?”Pak Surya menghela napas panjang. “Malam itu… bukan hanya Adrian yang menghilang. Ada banyak hal yang terjadi di balik itu. Banyak hal yang tidak pernah seharusnya kamu tahu.”Rachel menatapnya intens. “Kenapa sekarang, Pak? Kenapa Anda baru bicara sekarang?”Pak Surya menundukkan kepala, tampa
Rachel berdiri di depan cermin, menatap wajahnya yang terpantul. Sesuatu dalam dirinya telah berubah. Kebenaran yang baru ia terima begitu menghantam, meninggalkan rasa sakit yang dalam, namun juga memberikan pemahaman yang baru. Adrian, saudara kandungnya, ternyata telah dibawa pergi oleh ayah kandungnya sendiri, yang selama ini disembunyikan ibunya.Pikiran Rachel terus berputar, mengingat setiap momen yang pernah ia alami bersama ibunya. Momen-momen yang tampak begitu sempurna, tapi kini terasa seperti ilusi. Mengapa ibunya tidak pernah menceritakan tentang ayah mereka? Apa yang membuatnya begitu takut? Dan mengapa ayahnya tiba-tiba muncul setelah sekian lama?Rachel menghela napas panjang dan melangkah menuju meja, di mana ponselnya tergeletak. Ada pesan dari Clara yang baru saja masuk.“Rachel, aku sudah menemukan sesuatu. Kita perlu bicara.”Tangan Rachel gemetar ketika membuka pesan tersebut. Clara selalu menjadi orang yang paling bisa diandalkan, namun pesan ini memberi isyara