“Katakan saja apa yang kamu inginkan?”
Aku menegaskan tatapanku menelisik wajah suamiku yang memancarkan gurat kesungguhan.
“Kalau aku menginginkan kamu memberikan aku ijin untuk bertemu dengan teman lamaku, apa Mas Bara bisa mengabulkan?” tanyaku dengan sedikit ragu karena aku masih tak yakin jika suamiku bisa mengabulkan apa yang aku inginkan ini.
Mas Bara tak langsung menjawabku malah membalas tatapanku dengan lebih lugas.
Aku mendesah gelisah karena menganggap jika suamiku pastinya tetap tidak akan memberikan ijinnya seperti yang sudah ditegaskan semalam.
Aku mulai menyerah untuk berharap yang membuatku melerai kedekatan kami saat ini.
Tapi Mas Bara malah tak melepaskan tanganku dan tetap menggenggamnya dengan erat.
Aku kembali menentang sorot mata Mas Bara yang terarah lugas padaku.
“Siapa tadi Mas yang menelpon?” tanyaku masih saja tak bisa meleram gelisahku.“Itu tadi Hamdan, dia bilang ada salah seorang investor penting perusahaan yang datang dari UEA, ingin mengadakan pertemuan denganku.”“Kapan Mas pertemuannya?” tanyaku sembari mengusap rambutku yang basah dengan handuk kering.“Satu jam lagi, dan sekarang aku harus segera bersiap,” ucap Mas Bara sembari mulai menyibak selimut yang awalnya menutup tubuh telanjangnya, “tolong kamu siapkan handuk kering ya, aku mau mandi.”“Iya Mas,” jawabku cepat.“Tunggu aku selesai mandi nanti kita sholat ashar bersama.”Aku mengangguk sembari menyerahkan handuk yang sudah aku ambil dari dalam almari di walk in closet.“Jadi kamu nggak jadi ikut aku untuk ketemuan dengan Neneng Mas?” tanyaku mencoba memastikan.“Sayang sekali aku tidak bisa, sampaikan saja salamku buat teman baik kamu itu. Kalau kalian mau belanja bareng, kamu bisa mentraktir teman kamu membeli apapun yang dia mau.”Mas Bara memang selalu sangat dermawan k
Sontak aku dan Neneng menoleh secara bersamaan demi bisa melihat siapa sosok yang sekarang bahkan sudah mulai memindaiku dengan lekat.“Mas Hilman?!”Tanpa sadar aku bahkan mulai berdiri sembari membalas tatapan lelaki itu, sosok yang sudah terlalu lama tak pernah aku temui lagi.“Rasanya bagai mimpi kalau aku bisa melihatmu lagi secara langsung Rin,” ucap teman lamaku yang pernah mewarnai hari-hariku ketika kami masih sama-sama tinggal di desa.“Ternyata kamu jauh lebih cantik dari yang aku bayangkan, versi dewasa kamu jauh terlihat lebih anggun dan sangat berkelas.” Pujian dari pria yang dulu begitu banyak membantuku itu terus terlontar.Aku tersenyum tersipu saat mendengarnya meski kemudian aku bisa menguasai diri dan menampilkan sikap elegan sebagaimana biasanya yang aku selalu sajikan.“Aku nggak pernah menyangka
“Apa kabar Rindu?”Sapaan itu langsung membuatku menoleh ke belakang pada asal suara yang tadi aku dengar.Sontak aku terperangah ketika melihat sosok berkumis tebal itu yang sekarang tampak menyeringai ke arahku itu.Rasa cemas langsung menjalar yang membuatku tanpa sadar merangsek mundur.“Ternyata benar kalau kamu memang semakin cantik, lelaki kaya itu sudah merawat kamu dengan sangat baik,” ucap lelaki yang bertubuh tegap yang tidak lain adalah kakak iparku sendiri, Karso.Selama ini aku tak pernah mendengar kabar lelaki itu yang bahkan sudah diceraikan oleh Mbak Murni saat lelaki itu tak pernah muncul lagi dan kabarnya sedang mendekam di dalam penjara.Wajah Karso masih saja sangar seperti dulu, bahkan sekarang menjadi lebih menakutkan lagi dengan kulitnya yang semakin terlihat legam itu.“Aku yakin kamu
Aku memacu mobilku dengan lebih kencang agar bisa segera sampai di rumah. Nyatanya ketika aku tiba di ambang pintu terlihat Mas Bara dan anak-anak sudah menungguku di ruang depan.Hatiku saat ini dipenuhi bermacam emosi digayuti juga begitu banyak pertanyaan yang ingin aku cecarkan kepada suamiku.Tapi aku harus menahan diri karena melihat anak-anak yang bahkan langsung menghambur ke dalam pelukanku begitu aku sudah melangkah masuk ke dalam rumah.“Mama, Mama!” seru Raka dan Raya terdengar sangat gembira dengan kedatanganku.Aku memeluk mereka bersamaan dan menciumi wajah mereka yang sangat menggambarkan garis wajah Mas Bara terutama Raka yang memang sejak kecil selalu mengidolakan papanya sendiri.“Kalian sudah makan?” tanyaku pada kedua anakku yang masih begayut manja pada tubuhku meski aku sudah mulai bangkit setelah melepaskan pelukanku.
“Apa kamu bilang?!” sergah Mas Bara sengit dengan tatapannya yang langsung berubah tajam terarah padaku.“Kamu bertemu dengan Karso? Jadi teman lama yang kamu maksud itu bukan Neneng tapi Karso? Kamu sudah membohongiku Rin, sangat mengecewakan.”Mas Bara terlihat sangat emosi dengan wajahnya yang kini berubah merah padam.Nyaliku sedikit menciut saat mendapati responnya yang emosional seperti ini. Tapi aku merasa tak bisa lagi mundur dan harus segera menyelesaikan segala persoalan yang sangat membebani jiwaku saat ini.“Aku memang bertemu dengan Neneng, tapi aku juga bertemu dengan Karso, dia bersama Lina dan Lina masih tetap mengatakan tentang rahasia yang sudah kamu sembunyikan dari aku.”Ketegangan di wajah Mas Bara semakin terunggah nyata dengan tatapan yang semakin tajam menyergapku.“Apa kamu lebih
Aku menyambut kedatangan anak-anak yang baru saja pulang dari sekolah. Yang mengejutkan ternyata Raka dan Raya mengajak Nico ikut ke rumah kami.Tentu saja aku langsung bertanya kepada mereka kenapa Nico malah pulang bersama mereka bukan pulang ke rumahnya sendiri?.“Raka, Raya, apa omanya Nico sudah tahu kalau dia ikut bersama kalian?” tanyaku kepada anak-anakku sendiri.Nico yang sekarang sudah masuk ke dalam rumah tak sampai mendengar pembicaraan kami saat ini karena aku sedang menahan anak-anakku di ambang pintu.“Omanya Nico nggak menjemput Ma, jadi dia maunya ikut pulang ke rumah kita, soalnya kita mau main bersama,” jelas Raka dengan sangat lugas.“Jadi Oma Silvia nggak menjemput di sekolah? Terus apa nannynya Nico yang menjemput dan nannynya Nico udah tahu nggak kalau Nico ikut pulang bersama kalian?” Aku mencecar Raka dan
{“Memangnya kenapa Mas?”} Aku balik bertanya dengan masih berusaha menyajikan sikap tenang di depannya.Sikap keras Mas Bara memang harus dihadapi dengan lemah lembut, selama ini aku selalu melakukan hal itu demi menghindari pertengkaran.{“Kamu itu cuma mamanya Raka dan Raya, jadi Nico nggak berhak memanggil kamu mama,”} sergah Mas Bara yang sekarang aku lihat bahkan sudah bangkit dari kursi kerjanya.{“Kalau kamu memang ingin dipanggil mama lagi oleh lebih banyak anak-anak, mulai besok aku akan ajak kamu program kehamilan karena aku merasa kita sudah waktunya untuk membuatkan Raka dan Raya adik baru.”}Aku langsung mengernyit jengah menghadapi sikap suamiku yang kembali menunjukkan dominasinya. Seenaknya saja dia mengeluarkan wacana untuk menambah anak.{“Kamu itu ngomong apa sih Mas?”} tanyaku kesal.{“
Saat mendengar pertanyaan Abe yang terkesan menohok seperti ingin menyindir sikap pencemburu suamiku aku menjadi jengah mendengarnya.“Kamu sudah bisa menebaknya sendiri, dan pastinya kamu sangat tahu bagaimana karakter suamiku, jadi mungkin sebaiknya aku tak usah menemani kamu terlalu lama karena aku tak mau kalau Mas Bara akan menjadi salah paham.”Aku lalu mulai bangkit tapi Abe segera mengikutiku dengan lirikan matanya.“Jadi kamu akan membiarkan aku menunggu sendirian di sini?”“Aku akan meminta pelayan menyiapkan makanan yang kamu suka,” ucapku kemudian.Tapi Abe masih saja terlihat ingin menahanku.“Apa kamu selalu saja menuruti apa yang dikatakan oleh Richard?”Aku menegaskan tatapanku pada lelaki bermata sipit itu, sebuah ciri fisik yang nyaris sama dengan Mas Bara, ay
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira