Aku dan Oma menunggu Mami Sally sembari minum teh yang sudah dihidangkan oleh salah seorang pelayan.
Aku masih saja belum mampu menghilangkan keresahanku bila mengingat ekspresi wajah Mami Sally yang tadi terlihat sangat tegas.
Sampai akhirnya sosok yang kami tunggu muncul dan seperti yang aku duga, wajahnya menampilkan gurat serius dan dingin.
Wanita cantik itu ikut duduk di sofa ruang baca seperti yang sudah aku lakukan bersama Oma Meylani.
“Kamu mau teh juga, Sal?” tawar Oma dengan tenang.
Mami Sally berkedik pelan sembari memindai pada sosok Oma Meylani yang sudah mulai meletakkan cangkir tehnya.
“Aku sedang ingin berbicara dengan gadis ini.”
“Apa salahnya aku ikut mendengar,” tegas Oma Meylani tak mau kalah.
Mami Sally mendesah jengah.
“
“Jadi Oma menerimaku karena memang ingin menahan Mas Bara agar tetap berada di dalam keluarga ini?”Oma Meylani sedikit terkejut saat mendengar pertanyaanku. Tapi kemudian dia mulai memandangku dengan penuh arti.“Aku tahu kamu tentunya akan menganggap aku sama sekali tak tulus untuk menerimamu, tapi percayalah apa yang aku katakan tadi pada Sally harus lebih bisa kamu telaah dengan lebih dalam.”“Kalau begitu ceritakan padaku bagaimana perjuangan Mas Bara selama ini untuk bisa diakui oleh keluarganya sendiri?”Oma Meylani malah diam tak langsung menjawab. Bahkan dia mulai menarik pandangannya dari wajahku untuk dilemparkan ke arah lain. Tatapannya mulai terlihat menerawang.“Aku tahu aku memang salah karena tak bisa menerima Richard sejak awal. Aku masih dikukung amarahku karena dulu Sally pernah meninggalkan rumah demi lel
“Mas Bara, ada apa ini?”Saat mendengar suaraku Mas Bara langsung menoleh. Ketika mendapati penampilanku yang tanpa sadar keluar kamar dengan hanya mengenakan lingerie tipis, Mas Bara langsung bangkit dan mendorongku masuk kembali ke dalam kamar.Dia mengabaikan adik tirinya yang sempat dia buat tak berdaya setelah menghujaninya dengan pukulan dan tendangan.“Sayang, jangan sembarangan keluar kamar dengan penampilan kamu yang seperti ini.”Aku langsung merutuki diriku sendiri. Aku sedikit lupa kalau saat ini kamu tak lagi tinggal di rumah kami sendiri tapi di rumah orang tua Mas Bara, bahkan juga dengan keberadaan adik tiri Mas Bara yang bisa setiap saat berkeliaran di dalam rumah.“Maaf Mas, aku soalnya baru terbangun ....”“Mulai besok kamu juga harus mengunci pintu kamar.”Aku tanpa sadar
Saat melihat wajah Raymond yang sarkas memandang ke arah kami, Mas Bara mendengkus geram.Sementara aku memilih memalingkan muka enggan untuk menatap ke arahnya. Pria itu selalu tampak sinis kepada Mas Bara, kebenciannya begitu ketara untuk aku baca.“Sayang sebaiknya kamu masuk ke dalam,” bisik Mas Bara.Aku mengangguk cepat tapi sebelum membalikkan badan aku salami dulu tangannya dan kukecup punggung tangannya, kebiasaan yang selama ini aku lakukan saat mengantarnya untuk berangkat bekerja.Aku bisa merasakan jika adik tiri suamiku terus memperhatikan dengan tatapan lekat.Tapi aku memilih untuk mengabaikan semuanya dan segera masuk ke dalam rumah, meski hatiku dijangkiti rasa ingin tahu tentang apa yang diperbincangkan suamiku dengan adik tirinya selepas kepergianku.Setelah melepas kepergian Mas Bara aku memutuskan untuk berdiam diri di ruang
Mami Sally terperangah saat mendengar pertanyaanku.“Kamu bertanya apa yang ingin aku ketahui tentang pria yang hanya memberikan janji palsu padaku?”Aku mengernyit tak bisa paham.Sepertinya diantara kedua orang tua Mas Bara telah terjadi sebuah kesalahpahaman yang membuat mereka akhirnya terpisah dan hidup dengan jodoh baru mereka masing-masing.“Bukan seperti itu maksudku Mami, karena setahuku Papa Dahlan adalah memang pria yang baik, dan dia selalu penuh semangat meski keadaan fisiknya sebenarnya sudah agak ringkih. Setelah kecelakaan bertahun silam Papa Dahlan tak bisa lagi berjalan dengan normal, beliau menggunakan sebuah tongkat untuk menyangga tubuhnya.”“Apa kamu bilang?” Mami Sally terlihat sangat terkejut dengan apa yang sudah aku katakan.Aku sendiri tak menyangka kalau Mami Sally ternyata tidak me
BARA POVSaat aku tahu mami sedang menghabiskan waktu di bar kecil rumah kami, aku menjadi terpancing untuk menghampirinya.Sosok yang selama ini terlalu jelas mengabaikanku itu, sedikit kaget saat mendapati kemunculanku.Wanita yang sudah melahirkan aku itu tampak sedang hanyut dalam kesendiriannya dengan tangannya memegang gelas kristal berisikan red wine yang pekat.“Kamu belum tidur?” tanya mami datar sembari menyesap sedikit anggur di tangannya.Aku yang sudah duduk di sampingnya menelisiknya sejenak.Wajah itu masih saja terlihat cantik meski gurat halus keriput mulai terunggah di kening dan sudut matanya. Tapi kesedihan juga tampak menguar jelas di wajah itu.Untuk pertama kalinya aku menelisik wajah itu dengan lebih lugas, setelah sekian tahun aku memilih menghindar karena pengabaiannya yang selama ini dia sajikan deng
“Kamu bertanya apa aku sekarang mempercayaimu sekarang ini?”Mami kembali bertanya.Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan pelan.Mami kemudian malah mencebik tipis.“Apa selama ini aku pernah meragukan kamu?”Aku terdiam sejenak.Mami malah mendesah lirih.“Satu-satunya kesalahanku adalah hanyalah mengabaikan kamu.”“Dan Mami melakukannya karena Mami ingin melampiaskan segala kekecewaan padaku.”“Bila melihatmu aku selalu teringat pada Dahlan yang sudah mengingkari janjinya.”“Nyatanya Papa tak pernah mengingkari janji tapi seseorang sudah membuatnya tak bisa datang untuk menepati janji.”Aku menegaskan kata-kataku.“Apa kamu mencurigai Rommy Huang?” tanya Mami kemu
Aku melangkah dengan yakin ke dalam ruangan paling luas di lantai teratas ini.Dengan kinerja yang ditunjukkannya selama ini, rasanya sangat berlebihan kalau Raymond mendapatkan fasilitas yang tidak main-main meski adik tiriku itu hanya memimpin di kantor cabang.“Kita harus bicara!” tegasku yakin yang membuat pria yang dua tahun lebih muda dariku itu terperangah menatapku. Jelas tak menduga dengan kedatanganku yang sangat mendadak di kantornya ini.“Angin apa yang membawamu datang Kakak ... Tiri,” tukasnya dengan tatapan dingin.Aku mencibir sikapnya yang apriori.“Jangan berlagak di hadapanku karena aku bisa membuatmu kehilangan semuanya, jika aku mau.”Raymond langsung membanting kertas yang semula dia baca lalu menyergapku dengan tatapan nyalang.“Jangan pernah mengancamku, Richard.”
Aku sangat puas setelah melihat persiapan dari pihak hotel yang sudah mulai mengosongkan area hall yang nantinya akan kami jadikan tempat resepsi.Mereka juga menjelaskan detail persiapannya pada kami, tentang dekorasi dan termasuk koordinasi dengan pihak catering yang akan menyajikan hidangan untuk pesta kami.Semua ini sangat membahagiakan untukku. Bahkan tak pernah aku terlalu melihat diri untuk hal yang terlalu detail seperti ini. Tapi dengan Rindu segalanya akan menjadi pengecualian untukku. Nyatanya aku memang sangat bahagia melakukan semua itu terlebih setiap kali aku melihat wajah Rindu yang berseri juga ucapan terima kasihnya yang selalu terlontar karena dia menganggap semua persiapan ini terlalu spektakuler untuknya.“Mas, ini rasanya terlalu berlebihan,” ucap Rindu masih merasa rikuh padaku meski aku sudah dua tahun sebagai suaminya.“Tidak ada yang berlebihan sayang, kam
“Diam, atau aku akan menembakmu seperti yang sudah aku lakukan pada Richard!” Aku terperangah saat mendengar pengakuan lelaki berwajah oriental itu. Pengakuannya jelas sangat mengagetkan aku. “Jadi kamu yang sudah menembak suamiku?!” sergahku tandas. Raymond malah tersenyum sarkas menanggapi. “Dia sendiri yang sudah memaksaku melakukan semua ini karena dia terlalu serakah,” tukas Raymond sengit. “Kamu gila!” Aku kembali memakinya dengan suara yang semakin kuat. “Tolong, tolong ....” Aku mulai berteriak ketika Raymond semakin kewalahan dan tak mampu lagi menutup mulutku. Pergerakan di pintu itu semakin intens bersamaan aku mendengar suara gebrakan yang sangat kuat beberapa kali. Raymond yang sedang menggila ini sudah menutup pintu dari dalam hingga sulit untuk dibuka. Pastinya orang-orang di luar ruangan sedang berusaha untuk mendobrak pintu itu. Sementara aku sendiri masih berjuang untuk membebaskan diri dari sergapan Raymond. Tapi beberapa detik kemudian kami malah dikejut
Aku menjadi terlalu kaget mendapati kedatangan Raymond yang sangat tak terduga.Tapi aku malah tak kuasa untuk menghalaunya yang membuat sosok itu terus mendekat dengan penuh rasa percaya diri.“Aku tak menyangka kalau dia mampu bertahan sampai sejauh ini setelah apa yang sudah dia alami,” ungkap lelaki itu sembari mengarahkan pandangannya pada Mas Bara yang sekarang hanya bisa terbaring tanpa kesadaran di atas brankar.Gelisah mulai menerjangku ketika aku mulai melihat tatapan adik dari suamiku yang kini malah memindaiku dengan sangat intens.Aku segera bangkit dan memasang sikap waspada.Setelah kemarin aku melihat sikap Raymond yang tampak berbeda begitu rapuh dan sedih tapi sekarang dia kembali menjadi sosoknya yang dulu, yang terasa licik menakutkan.“Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam ruangan ini?”Selama ini mami melarang orang lain masuk menemui Mas Bara. Tak sembarangan orang boleh menemani Mas Bara. Hanya aku, oma dan mami yang memiliki akses untuk bisa memasuki ruangan. Kar
“Sekarang katakan saja apa kamu yang sudah membuat Richard seperti ini?” Abe malah melontarkan tuduhannya dengan terlalu lugas.Aku tak pernah menyangka jika sahabat terdekat suamiku itu akan mengungkapkan tuduhannya dengan sangat lugas pada Lina yang sebelumnya sempat kami bicarakan dan kami curigai.Lina membeliakkan mata, mengunggah kekagetannya yang terlalu ketara.Sejenak aku tak bisa mengartikan tentang ekspresi kekagetannya yang seperti itu.“Apa kamu yang sudah menembak Richard?”Abe kian menegaskan tuduhannya.Lina malah menanggapi dengan tenang hingga kemudian malah mencebik sarkas.“Jadi kalian sekarang mencurigaiku?”Aku dan Abe tak menjawab meski masih saja memberikan tatapan yang sangat lugas pada wanita yang sering mengunggah ekspresi sinisnya itu.“Aku merasa tak perlu untuk memberikan penjelasan apapun pada kalian,” pungkas wanita itu sembari langsung bangkit dari duduknya.Tapi sebelum melangkah wanita itu melemparkan pandangannya pada Abe yang sedang mengikuti perg
“Apa yang sedang kalian bicarakan?” Segera aku menoleh ke ambang pintu dan menjadi sangat kaget ketika melihat sosok yang sedang kami bicarakan telah berdiri di sana dengan memberikan tatapan yang terlalu tajam.Sempat aku merasa kalau dia sempat mendengar pembicaraanku bersama Abe tadi, yang kemudian menelusupkan rasa gelisah di dalam dada.“Kalian berdua terlihat terlalu dekat, dan aku yakin jika Richard melihat kedekatan kalian, dia tidak akan bisa menerima ini,” sindir wanita berbaju merah itu sangat sarkas.Dengan tatapan yang sama tajamnya aku mulai menentang sorot matanya. Enggan menampakkan ketundukan atas sikapnya yang selalu saja mengintimidasi.Sejak dulu Lina selalu mengunggah keangkuhannya terutama di hadapanku yang pastinya dia anggap sebagai saingan terbesarnya karena nyatanya memang hanya aku yang bisa mendapatkan hati Mas Bara sepenuhnya, sesuatu yang kini membawa kesadaranku kembali atas apa yang sudah aku dapatkan selama ini. Nyatanya memang tak ada yang paling ber
“Katakan padaku apa yang kamu ketahui tentang suamiku?”Aku segera mencecarnya dengan tak sabar, karena saat ini sekecil apapun informasi yang beredar sangat aku butuhkan karena aku benar-benar ingin menguak tabir misteri tentang penembakan suamiku yang sampai saat ini belum juga terungkap.Abe tampak memindaiku lebih lekat dan aku dengan tegas menentangnya tanpa keraguan.Lelaki bermata tajam itu kemudian menarik nafasnya sejenak sembari menautkan kedua tangannya di depan wajahnya yang lumayan good looking itu.“Sebenarnya sehari sebelum hari naas itu, aku dan Richard sempat bertemu di ruangan ini. Kami membicarakan banyak hal, terutama tentang dirimu dan segala penyesalannya.”Abe sengaja menghentikan kalimatnya kian intens memindaiku seakan ingin menebak apa yang ada di dalam pikiranku saat ini.Tapi aku memutuskan untuk membisu menunggunya melan
Sudah nyaris sebulan Mas Bara terbaring koma. Selama itu aku bertahan untuk tetap mendampingi walau keadaanku masih sering diserang mual dan rasa tak nyaman di perut.Tak ada alasan bagiku untuk menyerah karena saat ini prioritas utamaku tetap Mas Bara yang selalu aku yakini tetap bisa mendengar setiap kata yang aku ucapkan di telinganya.Bahkan setiap kali aku datang aku selalu membacakan ayat-ayat Ilahi, sebelum aku mulai mengajaknya mengobrol.“Mas, hari ini aku bawakan lavender, aromanya harum sekali. Kamu bisa menciumnya kan Mas?” tanyaku sembari mendekatkan bunga yang aku bawa di hidungnya.Aku selalu yakin jika Mas Bara selalu bisa merasakan apapun yang aku lakukan walau dia tak memberikan respon apapun. Bahkan tidak dengan kedipan mata, karena mata itu selalu terkatup rapat.Saat melihatnya tetap diam dan beku, hati ini mulai dirasuki kesedihan yang kian pekat
Rasa tidak nyaman kian menyerangku membuat sekujur tubuhku seakan melemah. Tapi saat ini aku memaksa untuk tetap tegar demi aku bisa memastikan bagaimana keadaan Mas Bara. Gelisah yang menyergapku memaksaku untuk bertahan dan tetap kuat meski sejak tadi rasa mual semakin menekan di dalam perutku.Bahkan ketika aku sampai di Jakarta, beberapa kali aku sudah memuntahkan isi perutku saat berada di dalam pesawat.Oma dan mami sempat menganggap apa yang aku rasakan hanya sekedar mabuk kendaraan.Tapi sesuatu di dalam diriku semakin tak bisa menampik praduga ini. Dengan pengalaman yang sempat aku dapatkan ketika mengandung Raka dan Raya, aku mulai bisa menegaskan pada diriku sendiri jika sekarang aku memang sedang berbadan dua.K
“Sesuatu telah terjadi pada Richard!”Ketika oma memekikkan nama suamiku segera aku mendekat dengan hati yang sudah diselimuti kabut kecemasan.“Ada apa dengan Mas Bara, Oma?” tanyaku menjadi kian khawatir.Sementara mami malah menatapku dengan gamang dan mulai menghampiriku untuk bisa memelukku dengan lembut.“Kita harus kembali ke Jakarta hari ini juga Rin.”Mami berucap dengan sangat sungguh-sungguh.Hatiku menjadi kian kuat memendam praduga yang buruk. Aku merasa sangat yakin jika sesuatu telah terjadi pada suamiku saat ini.“Katakan padaku, apa yang sudah terjadi Mi?” desakku semakin gelisah.“Richard membutuhkan kamu,” balas mami masih dengan mengunggah gurat kecemasan di wajahnya.Aku mengernyit penuh kecemasan.
Setiap orang bisa menganyam harapan tapi Tuhan yang akan menentukan segalanya. Walau berbagai macam cara telah diusahakan nyatanya, kehendak Tuhan yang tetap berlaku. Takdir telah menggariskan bahwa saat ini adalah perpisahan kami.Hatiku terus memendam rasa kehilangan yang bahkan membuatku terus menangis kala melepas jenazah ibu di pemakaman. Kini jasad yang sosok yang sangat aku sayangi itu telah berbaring di sisi makam bapak. Mereka akhirnya bersama lagi yang membuatku menghadirkan kembali segala kenangan kebersamaan keluarga kami dulu di permukaan ingatan.Tangisku semakin kuat nyaris menyedot segala ketegaran meski oma dan mami mendampingi untuk menguatkan. Sampai akhirnya semua saudaraku ikut mendekat dan kami mulai saling berangkulan berusaha untuk saling menularkan ketegaran.Bahkan Laras telah kembali dari Australia mengejar penerbangan pertama demi bisa ikut mengantarkan ibu menuju peristira