Bab 76“Axel??”Aku menghapus air mataku dan menatap pria yang merupakan mantan suamiku dengan tatapan memohon.“Henry, aku mohon tolong antarkan aku menemui Axel,” pintaku penuh harap.Henry terdiam sejenak, lalu beberapa saat kemudian dia mendesah dan menjawab, “Baiklah. Aku akan mengantarkanmu menemuinya.”“Terima kasih.” Aku mengulas senyum tulus sebagai ungkapan terima kasih.Keadaanku yang masih belum sepenuhnya pulih, membuatku harus menggunakan kursi roda. Setelah sampai di ruangan tempat Axel dirawat aku pun mulai gugup dan cemas. “Aku akan menunggu di sini. Kau masuklah, Angelina dan temui suamimu di dalam,” tutur Henry, aku hanya mengangguk sebagai jawaban.Aku masuk ke dalam ruangan di mana Axel tampak terbaring dengan tubuh bagian atasnya yang terbalut perban. Kedua matanya memejam dengan selang infus yang menempel di urat nadinya. Melihat keadaannya sekarang mengingatkanku pada kejadian malam itu yang baru saja kami alami. Bagaimana dengan sigap ia berusaha keras menyel
“Mom!!” Andrew berlari menghampiriku yang masih terbaring di ranjang perawatan rumah sakit. Aku tersenyum lebar kala melihat putraku Andrew berhambur ke pelukanku. Sungguh ini bagai kejutan untukku karena bisa melihat Andrew kembali setelah beberapa hari aku terbaring tak berdaya di sini.“Andrew sayang, kau datang dengan siapa ke sini?” tanyaku semringah menyambut pelukannya.“Mom pasti tak percaya jika aku datang dengan siapa ke sini.” Andrew mengulas senyuman cerahnya berpaling ke belakang.Di waktu yang bersamaan, seseorang masuk ke dalam ruangan, sosok yang tak lain adalah Henry Bastian Campbell itu melangkah menghampiriku dan Andrew. Henry menarik bibirnya membentuk seutas senyuman tipis menghiasi wajah tampannya yang tak berbeda dengan saudara tirinya, Axel Campbell.“Kau yang membawa Andrew ke sini, Henry?” tanyaku memastikan.“Maaf, aku tak meminta izin darimu sebelumnya. Aku pikir Andrew pasti merindukanmu jadi aku sengaja membawanya ke sini untuk menemuimu secara langsung.
“Katakan apa alasannya kau memerintah seseorang untuk membunuh Sean Louis?!” Henry bertanya menyudutkan.“Kau tak memiliki wewenang apa pun untuk bertanya padaku!” Axel menyahut sinis masih dengan sikap tenangnya.Henry mendengus, “Hal itu berarti memang benar, jika kau berhubungan dengan kematian Sean Louis, Axel!” tukas Henry tajam.“Berhubungan atau tidak aku sama sekali tak berminat untuk menjelaskan apa pun padamu! Daripada sibuk mengurus kesalahan orang lain, kau lebih baik fokus dengan mantan istrimu itu! Apa kau yakin wanita itu tidak akan berbuat ulah lagi setelah kau membuangnya seperti sampah?” Kali ini Axel tersenyum penuh arti menatap Henry yang air mukanya langsung berubah dengan cepat setelah menyinggung tentang mantan istrinya yang bernama Carla Queen Baker.“Kau apa kau bilang, brengsek?!” Detik itu juga Henry menarik pakaian Axel dan menatapnya nyalang, “Apa maksudmu mengatakan hal itu padaku?!” sambung Henry merasa Axel mengetahui dan menyembunyikan sesuatu darinya.
Axel terpaku, ia menatapku dalam dengan penuh tanya. Bisa aku lihat dari tatapan matanya banyak pertanyaan yang mungkin ada dalam pikirannya atas jawabanku saat ini. “Apa kau yakin dengan keputusanmu, Angelina?” tanyanya ragu. “Ini memang sudah menjadi keputusanku. Tetapi aku juga ingin meminta satu hal darimu, Axel,” ucapku serius. “Katakan Sayang,” Axel menyahut cepat, ingin tahu. “Aku minta kau tinggalkan duniamu. Mulailah hidup baru dengan kehidupan yang lebih bersih tanpa adanya dendam ataupun kekerasan. Satu hal yang terpenting, apabila kau ingin memulai hidup baru bersama keluargamu dengan penuh kedamaian, maka lepaskanlah hal buruk yang membelenggu hidupmu, Axel,” jelasku menatapnya lembut, berharap ia mau mengerti dengan ucapanku. Axel terdiam, ia membisu tanpa melepaskan pandangannya padaku. Aku bisa mengerti jika saat ini mungkin aku terlalu cepat mengatakan apa yang menjadi keinginanku. Namun, aku pikir inilah yang terbaik untuk kami. Setelah harus kehilangan anak kam
New YorkHari itu setelah sekian lama, Henry mengunjungi mansion ayahnya, Arthur Campbell. Bukan tanpa alasan Henry datang, sang ayah meminta untuk menemuinya, dan Henry bisa menebak jika ayahnya pasti menyuruhnya datang perihal karena statusnya yang sekarang.“Jangan katakan kau memerintahku ke sini hanya untuk menanyakan perceraianku dengan Carla” tebak Henry setelah bertatap muka dengan sang ayah, Arthur Campbell.“Meskipun kau adalah putraku sendiri, tetapi selama ini aku tak pernah mencampuri urusan pribadimu. Namun, setidaknya hargai aku jika kau memang masih menganggap aku ada, Henry,” tukas Arthur memasang ekspresi wajah serius.Henry mendengus kesal, “Apa yang ingin kau tanyakan, Dad? Sudah jelas bukan, tanpa aku menjelaskannya padamu, kau sudah tahu apa yang terjadi?” ujar Henry.“Aku ingin mendengar penjelasannya darimu sendiri, bukan dari banyaknya media yang selama beberapa waktu ini hanya penuh membahas kehidupan pribadimu dengan mantan istrimu yang hebat itu,” sindir A
Bab 82Suara musik terdengar keras menggema mengiringi malam yang semakin larut di sebuah klub mewah di pusat kota New York. Ramainya pengunjung di klub tersebut sangat berbanding terbalik dengan suasana hati seorang pria tampan yang duduk di sudut ruangan. Pria itu tampak sendirian menikmati minuman yang sudah berbotol-botol ia habiskan sebagai pelepas rasa frustasi yang melanda.Tak berapa lama dua orang pria datang mendekatinya, menatap sang pria tampan yang memilih menikmati berbotol minuman ketimbang menikmati suasana di klub mewah tersebut. “Sudah berapa gelas minuman yang kau minum malam ini, Henry? Melihatmu seperti ini kau sungguh terlihat seperti pria yang sedang patah hati,” celutuk seorang pria berambut pirang yang bernama Mike Thomson.Pria tampan yang ternyata dimaksud Mike adalah Henry itu hanya terdiam tak menanggapi. Melihat reaksi yang tak biasa membuat Mike dan seorang temannya yang bernama Jose hanya saling bertukar pandang. Selama mereka mengenal Henry Bastian Ca
Sebenarnya ada apa? Kenapa tiba-tiba Henry bersikeras ingin bertemu denganku hari ini? Seperti bukan Henry yang aku kenal. Apa mungkin telah terjadi sesuatu dengannya? Merasa tak bisa menolak permintaan Henry, aku pun akhirnya menemui Henry sore itu di Naviglio Grande seorang diri. Setelah bertemu dengannya tentu aku akan mengatakannya pada Axel. Aku yakin Axel pasti bisa mengerti.Setelah sampai di tempat yang sudah dijanjikan aku pun turun dari mobil dan mencari sosok itu. Saat itu angin berhembus cukup kencang membuat udara dingin semakin terasa. Aku rapatkan syal dari wol yang aku pakai untuk menghangatkan, kemudian berjalan menghampiri sosok yang tengah berdiri tak jauh di depanku. Sosok pria yang tak lain adalah Henry itu perlahan menarik bibirnya membentuk seulas senyuman yang hangat menatap sendu ke arahku. Apa yang terjadi dengannya? Kenapa aku merasa jika kali ini Henry terlihat begitu berbeda dari yang terakhir aku lihat? Kedua tangannya masuk ke kantong celana di kedua si
Hari sudah petang saat aku kembali ke mansion, sepanjang waktu itu pun pikiranku kosong. Kenapa? Apa ini karena ucapan Henry dan ucapan perpisahannya tadi padaku? Entahlah, apa pun itu sekarang di antara kami sudah benar-benar selesai. Yang pasti Henry yang sekarang sudah berubah lebih baik, dan tentunya kami berpisah dengan baik-baik. Semoga ini adalah awal yang baik untuk kami berdua. Aku berharap Henry menemukan wanita yang memang pantas untuknya suatu saat nanti. Ya, itulah doa dan harapan untuknya, ayah kandung dari putraku Andrew Aidan Campbell.Setelah berendam aku merasa rasa penatku hilang, tubuhku kembali segar. Kini aku hanya tinggal menunggu Axel kembali, namun saat aku baru saja membuka pintu sosok itu sudah berdiri di depan pintu hingga mengejutkanku.“Axel?! Kapan kau kembali?” tanyaku pada pria yang kini berdiri di hadapanku dengan hanya mengenakan celana panjang. Tubuh bagian atasnya yang bidang terekspos sempurna.“Baru saja, aku hendak menyusulmu masuk ke dalam,” sa
Siang itu aku dalam perjalanan menuju ke sekolah Andrew, setelah wali kelasnya, Mrs. Nancy Brown menghubungiku beberapa jam yang lalu dan memberitahuku jika Andrew terlibat masalah dengan sesama teman di sekolahnya. Apa yang terjadi di sekolah, aku belum terlalu jelas mengetahuinya, Hanya saja sebagai ibu, hal itu tetap saja membuatku sedikit merasa panik. Andrew adalah anak yang tak pernah membuat masalah, dia cenderung penurut dan bukanlah anak yang hiperaktif, lalu masalah apa yang ditimbulkan Andrew hingga ia bisa terlibat masalah dengan teman di sekolahnya. Tak ada penjelasan secara rinci, Mrs. Nancy Brown hanya memintaku untuk datang ke sekolah untuk bertemu dengan wali murid dari teman yang bermasalah dengan Andrew. Setelah sampai di sekolah Andrew, aku langsung berjalan menuju ke ruangan guru di sekolah dasar favorit tempat Andrew menempuh pendidikan di sini. Namun, belum sampai di tempat yang dituju di koridor sekolah aku berpapasan dengan seseorang, tepatnya seorang guru lak
Empat hari telah berlalu sejak aku mendapatkan kiriman buket bunga tanpa nama. Selama itu pun aku selalu mendapatkan buket bunga yang sama dengan tanpa nama. Entah siapa yang sengaja mengirimkannya padaku aku belum menemukan petunjuk apa pun. Hingga hari ketiga aku pernah memerintahkan Bob untuk menolak tak menerima dan mengembalikannya pada sang pengirim, akan tetapi sang kurir menolak keras dengan alasan buket bunga itu memang dipesan seseorang lewat on line. Tentu saja mengembalikannya hanyalah usaha yang sia-sia. Oleh sebab itulah mau tak mau aku harus menerima buket bunga tersebut, meskipun sebenarnya aku sudah mulai merasa semakin penasaran dengan siapa sebenarnya sang pengirim tanpa nama itu. Selama itu pun Axel tak terlihat lagi datang berkunjung. Dia seolah menghilang tanpa jejak. Aku sudah merasa tak heran karena sejak dulu itulah keahlian dari seorang Axel Campbell, yang selalu datang dan pergi dengan tiba-tiba. Saat itu aku sempat berpikir apa mungkin sang pengirim misteri
Mansion utama Campbell“Nyonya ada kiriman buket bunga dari seseorang.” Pelayan setia bernama Bob memberitahu ketika aku tengah mengawasi Damian dan Andrew berenang bersama di mansion. Aku mengerutkan alis menatap lekat buket bunga mawar merah cantik yang ada di tangan Bob. “Buket bunga? Dari siapa?” tanyaku penasaran. “Tidak ada nama pengirim, Nyonya tetapi ada pesan di buket bunga ini. Mungkin Anda bisa mengetahui jika sudah membacanya.” Bob menyerahkan buket berukuran cukup besar itu padaku, "Jika tidak ada yang diperlukan lagi, saya permisi, Nyonya.” Bob menunduk kemudian berlalu pergi sedangkan aku masih menatap penuh tanya buket bunga cantik yang kini berada di tanganku. Harus aku akui buket bunga ini begitu cantik. Entah kebetulan atau tidak sepertinya sang pengirim mengetahui jika memang aku sangat menyukai bunga mawar merah seperti ini. Tapi siapa yang mengirimnya? Apakah Axel, mungkinkah dia? Tetapi selama kami menikah dia jarang sekali bersikap romantis apalagi sampai men
“Mom!!!” Suara dari panggilan yang sangat aku kenal itu membuatku membuka mata. Benar saja, aku yang masih terbungkus selimut tebal dan baru saja terbangun sontak dibuat terkejut ketika dua putraku berhamburan masuk ke kamar lalu memelukku erat seolah sudah lama tak berjumpa. “Andrew! Damian!” Aku menyahut membalas pelukan mereka padaku masih dalam satu ranjang. “Kenapa Mom pulang lama sekali semalam? Aku semalam tidur bersama dengan Kak Andrew karena Mom tak ada. Mom tidak takut ‘kan tidur sendirian?” Damian kecil bertanya polos padaku. Deg! Saat itu juga aku baru mengingat jika semalam untuk pertama kalinya setelah ‘kematian’ Axel, kami berdua tidur bersama dalam satu ranjang dan menghabiskan malam bersama. Tubuhku terasa memanas jika mengingatnya. Bagaimana Axel menyentuhku semalam masih aku ingat dengan jelas, setiap sentuhannya padaku seakan adalah pengobat rindu setelah perpisahan kami yang cukup lama. Jujur aku masih belum siap sepenuhnya semalam tetapi aku tak bisa menol
“Bermimpilah terus Jeremy! Yang pasti ucapanmu tak akan mengubah apa pun di antara kita berdua!” tegasku cukup lantang. Pria berpomade itu tetap tersenyum penuh percaya diri. “Oya? Kita lihat saja nanti, sweety heart.” Kedua tangan Jeremy saling bertumpu pada meja, mengukir senyuman samar lalu melanjutkan kembali ucapannya. “Kau boleh menolakku sekarang, Angelina. Tapi aku pastikan kau akan kembali padaku. Karena sejak dulu di antara kita memang tak pernah ada kata perpisahan, itu yang pasti.” Kali ini aku terdiam, tak bereaksi menatap sosok pria di hadapanku yang begitu berbeda dari yang pernah aku kenal dulu, Jeremy Ollands. Aku memang sudah mengenal sosok Jeremy yang tak pantang menyerah, namun sekarang entah bagaimana setelah bertemu dengannya seperti ini sosok Jeremy kini berubah menjadi semakin berbeda. Seolah dia adalah pria yang begitu terobsesi denganku. Selama delapan tahun ini bukannya melupakanku seperti aku yang telah melupakannya, tetapi dia justru mengejarku hingga s
Malam berikutnya sesuai dengan apa yang Jeremy Ollands minta, aku pun akhirnya memutuskan untuk menemuinya di salah satu restoran besar yang ada di New York City, dengan hanya membawa serta supir pribadiku. Sedangkan Andrew dan Damian aman bersama dengan pelayan pribadi yang ada di mansion utama Campbell. Pria itu, Jeremy Ollands aku tak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan, untuk itu aku harus tahu dengan terpaksa menemuinya seperti ini. Aku mengedarkan pandanganku ke deretan kursi restoran yang cukup banyak pengunjung, hingga akhirnya aku melihat sosok pria berjas navy duduk seorang diri menatapku dengan senyuman lebarnya. Pria itu tak banyak berubah setelah delapan tahun lamanya. Hanya saja kini aku lihat tubuhnya lebih berisi, tidak jangkung seperti dulu. Memasang ekspresi datar aku melangkah mendekatinya dengan menggunakan setelan celana berwarna putih berpotongan elegan. “Hallo, Angelina Louis. Oh, maaf maksudku Mrs. Campbell. Yeah, sepertinya aku belum terbiasa memanggil kek
Mansion utama CampbellAku tak bisa tidur malam ini, pikiranku melayang membayangkan pertemuanku dengan Axel siang tadi. Setelah menidurkan Andrew dan Damian beberapa jam yang lalu, kini aku masih duduk di balkon kamarku sendiri tanpa beranjak sedikit pun. Pikiranku gelisah, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan? Harusnya aku senang Axel kembali ke padaku dalam keadaan baik-baik saja. Tetapi kenapa aku justru merasakan gelisah? Apakah ini hanya karena perasaan kecewa saja atau karena ada hal lain yang membuatku ragu aku bisa menerimanya sebagai suami seperti dulu? Bagaimana perjuangan dan pengorbanan Axel selama dalam kematiannya karena hanya ingin bertujuan melindungiku dan anak-anak, serta untuk mengungkap siapa pembunuh sebenarnya Sean Louis juga ibunya selama ini, yaitu yang tak lain adalah istri pertama dari Arthur Campbell. Namun, semuanya itu masih membuatku belum bisa menerima sepenuh hati Axel kembali seperti dulu.Ya, siang tadi Axel telah memberitahuku segalanya apa yang
“Axel?! Bagaimana bisa kau ada di sini?!” Aku terkejut bukan main saat mendapati pria yang masih menjadi suamiku itu kini sudah ada bersama satu mobil bersamaku. “Tidak penting bagaimana aku bisa ada di sini, karena sekarang yang terpenting kita harus bicara Angelina.” Axel menyahut datar dengan pandangan tetap ke depan kemudian mulai menyalakan mesin mobil. Sedangkan aku hanya bisa terpaku diam di tempat, cukup terkejut dengan situasi yang terjadi saat ini. Seperti orang bodoh aku hanya terdiam di kursi belakang mobil selama dalam perjalanan, dengan pandangan menerawang tanpa fokus yang jelas. Entah berapa lama kami berdua, yaitu aku dan Axel berada dalam satu mobil bersama dalam suasana yang diliputi keheningan. Sungguh situasi yang terlihat kaku. Hingga akhirnya Axel menghentikan mobil di suatu tempat yang jauh dari keramaian kota. Lebih tepatnya Axel menghentikan mobilnya di sebuah jalanan setapak yang seperti menuju ke arah jalanan perbukitan. “Kau membawaku ke mana, Axel? Ini
Netraku berkaca-kaca menatap Henry. Sorot mata biru tajamnya kini terlihat teduh menatapku. Lidahku terasa kelu, aku merasa ucapan Henry seakan seperti kalimat perpisahan yang membuat hatiku bergetar.“Kenapa kau bicara seperti itu, Henry? Aku benar-benar tak tahu apa maksudmu?” tanyaku dengan suara yang mungkin terdengar sedikit gemetar karena perasaan emosional.“Seperti yang kau tahu Axel sudah kembali, dia telah kembali untukmu, Angelina. Sekarang tugasku sudah selesai. Saat ini aku hanya mempersiapkan hatiku untuk itu, hal itulah yang sedang aku lakukan sekarang,” ujar Henry.Aku menatap dalam Henry, berharap menemukan jawaban di dalam sorot matanya tetapi yang aku lihat justru kehampaan. Hingga membuatku berpikir, sedalam itukah perasaan Henry padaku? Tetapi aku harus bagaimana, aku benar-benar merasakan delima. Bagaimanapun Axel masih menjadi suamiku, namun meskipun begitu aku tak bisa mengabaikan perasaan Henry begitu saja. Selama Axel tak ada, Henry lah yang selama ini menjaga