Lea di masukkan ke dalam sebuah mobil MPV warna hitam dengan 2 pintu geser. Duduk di tengah dua pria tegap, membuatnya sulit untuk lakukan upaya meneyelamatkan diri, bahkan untuk percobaan berteriak meminta tolong pada siapapun yang berada di area pintu keluar yang dalam kesehariannya selalu terkunci ini. "Kalian siapa, sih?! Ngapain nangkap gue!" bentak Lea tak ada rasa takut. "Di bilang diam ya diam!" salah satu pria tegap di sisi kanan Lea tidak kalah kerasnya. Upaya Lea saat ini adalah beberapa orang yang terheran dengan kehadiran mobil ini. Lorong yang sejatinya di gunakan untuk evakuasi keadaa. darurat seperti kebakaran hebat ini, memang jarang sekali di gunakan. Lea condongkan tubuhnya ke sisi kiri, berusaha meraih bagian kuncian pembuka pintu meski dengan bersusah payah, di sertai sebuah teriakan. "PAK TOLONG!" ucapnya sekuat tenaga, berharap pada seorang pria yang sempat menoleh. Lea perkirakan adalah salah satu petugas jaga parkir yang sedang patroli. Usaha Lea
Vin sudah berada di kondominiumnya, tempat yang menurutnya paling aman untuk lakukan pembicaraan dengan pengacaranya dari Indonesia. "Tuan Vin," sapa sang pengacara bernama Ricko, yang selama ini lebih banyak di belakang meja, mengatur semua dari jauh, sekaligus kepanjangan tangan Vin bila berhubungan dengan Joe Jamal Jr. yang ada di New York. "Duduklah. Kita tidak punya banyak waktu," sambut Vin. Pikirannya terbelah antara urusan perusahaan, Helena, dan tentu saja penguras pikiran terbesarnya adalah Lea yang sudah dia tahu keberadaannya, tapi masih di percayakan pada Morgan. Ricko yang berusia mendekati 40 tahun itu refleks terbawa suasana dan ekspresi serius selain dingin yang Vin tunjukkan. "Saya sudah bawa dokumen-dokumen yang anda perlukan, sekaligus ini." Ricko berikan selembar semacam surat pernyataan. "Apa ini?" tanya Vin seraya mulai membaca, dan kemudian di dengarkan penjelasan dari Ricko. "Surat permohonan untuk pihak kepolisian seperti yang anda minta minggu l
Apa yang di takutkan oleh Morgam itu memang benar adanya. Di dalam mobil, Lea terkulai masih memejamkan kedua matanya. Baru setelah wanita yang sempat menyamar jadi perawat mendekatkan botol minyak angin, membuat kesadaran Lea membuatnya memberi respon. "Mbak. Sudah bangun?" tanya wanita tersebut setelah sempat menggoyang-goyangkan pundak Lea. "Hmm ... kita sekarang dimana?" Lea tergelagap setelah menyadari tidak dalam perjalanan lagi. "Ayo, Mbak. Cepet keluar. Nggak usah pake kaget segala!" pemaksaan untuk Lea, sehingga tubuhnya tergeser beberapa centi, dan mau tak mau menuruti untuk menuruni mobil yanh di pakai untuk menculiknya. "Aku mau di bawa kemana?" tanya Lea dalan kondisi lemah, bercampur upayanya untuk mengingat apa saja yang sempat terjadi. Lea mendongak ke atas, dimana rumah yang akan dia masuki atas kawalan beberapa orang ini seperti tidak asing baginya. Tapi karena tenaga yang dia punya hanya sebagian kecil dari normalnya, Lea masih menuruti. Baru beberapa
Setelah sampai di tepian, sudah beberapa puluh kilometer dari rumah Vin, Lea di tuntun Dani naik ke atas daratan dimana sekelilingnyq adalah hutan mangrove yang sepi. "Kita mau kemana, Dan?" Lea segera lepaskan genggaman tangan Dani, suara deru dari mesin speedboat telah mulai menjauh, sehingga Lea jadi bergidik sendiri. "Tentu saja temui ibumu. Aku sudah siapkan mobil di sana." Dani menunjuk pada suatu arah menuju ke jalan setapak tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. "Semua sudah aku rencanakan, jadi tenang saja, kamu akan pergi dengan tenang. " "Tapi kenapa kesannya terlalu mudah ya Dan?" polosnya Lea, merunu tiap jalan yang mereka lalui tadi, hingga sampai di tempat ini. "Maaf ya, tapi aku kenal banget sama Pak Vin. Dia itu apa-apa sudah di pikirin, jadi apa sebaiknya kita ke kantor polisi atau kemana kek, asal judulnya cari perlindungan. Katamu kan Pak Vin itu bahaya banget orangnya, dan setahuku memang diam-diam menghanyutkan, sih." Lea nyerocos sepanjang jalan, la
"Iya." Jawaban itu akan sulit terlontar di saat awal situasi pertemuannya dengan Vin setelah kekecewaan yang di terima Lea dari Dani. Namun saat ini, Lea sudah lebih tanpa beban mengatakannya. "Kamu kira kehadiran Pak Vin akan dengan mudahnya membuatku melupakanmu?" Lea kembali memalingkan muka ke arah luar. "Nggak, Dan. Aku bukan sebrengsek kamu," lanjut Lea memberi jawaban untuk pertanyaannya sendiri. "Sampai kapan perasaan itu bertahan? Tapi kenapa waktu aku minta kamu balik, tapi nggak mau?" "Aku sudah pernah bilang sama kamu, aku tidak suka drama. Emang kamu ngarep aku harus gimana? Nangis-nangis minta kamu balikan sama aku, terus kamunya bilang nggak bisa semudah itu, tapi bakal pikir-pikir lagi kalau aku pada akhirnya mau bercinta sama kamu?" Dani melirik bersama senyuman tipis di bibirnya. Memang benar Lea bukanlah gadis yang bisa dia samakan dengan yang lain. "Besarnya mana cintamu denganku di banding Pak Vin pas pertama dekat?" "Kenapa kamu tanyain hal-hal kay
"Pak Vin Pak Vin Pak Vin!" Jawaban sampai tiga kali penyebutan nama Vin dari Lea ini semakin membuat hati Dani bagai teriris. Sudah sedemikian rupa bersusah payah membuat seolah-olah Vin adalah makhluk jahat dan otak dati setiap kejadian, tapi Lea tetap saja berada di pihaknya. Lea masih menutup mata akan apa yang sudah terjadi di hadapannya, dan lebih percaya pada hati nuraninya. "Dani, please hentikan mobilnya aku mau bicara sama mereka!" Lea ngeyel berusaha agar permintaannya di turuti oleh Dani. Di goyang-goyangkan lengan Dani agar mau hentikan laju mobil, tapi Dani sendiri justru merenung. "AWASS!!" teriak Lea dan menyebabkan Dani seketika terlepas dari lamunan, lalu refleks membanting setir mobilnya ke arah kanan. Bukan dalam bentuk tabrakan, tapi senggolan karena ada sebuah mobil masuk dari arah jalan di sebelah kiri mereka, sedangkan mobil yang di kemudikan Morgan berada beberapa meter di belakang. Bukannya mengurangi kecepatan, Dani semakin injak lebih dalam pedal
"Dani hentikan .... ayo kita bicara baik-baik. Jangan mikirin mati dulu. Pasti kita bisa bahagia meski nggak bareng lagi ... Dan ..." Lea mencoba memecah fokus dan konsentrasi Dani dalam menyetir, berharap Dani kurangi kecepatan dan akhirnya mau minggir. Dani sendiri sempat terpengaruh, arah roda dari setirannya jadi ke kanan dan kiri secara tak stabil. Jalan yang di lalui memang hanya satu dua mobil saja yang melintas pada lawan arah, namun di samping kiri masihlah rerumputan, lalu turunan terjal dengan pembatas beton kokoh antara jalan. Pikiran Dani kalut, tidak bisa terbagi dengan yang lain, selain apa yang ingin di utarakannya kini pada Lea. "Apa kamu mau mati bersamaku, Lea?" Awalnya Lea tak bisa menjawab, hanya tangis sedu sedan saja yang bisa ia lakukan di lengan Dani. Lututnya lemas, tubuhnya seperti telah kaku, selain dari rasa tak karuan di bagian perutnya. Namun, dengan kerahkan keyakinan akhirnya Lea kuatkan diri untuk berbicara dari hati ke hati. Asa itu ada,
"DANI!" Teriakan Lea memanggil nama mantan kekasihnya. Dua tangannya spontan memutup mulutnya sendiri, dengan dua mta melotot berisi embun air tangisan. Lea kemudian menoleh pada Vin, lalu menjerit-jerit hosgeris seraya menarik-narik kemeja yang di kenakan Vin. "Dani jatuh ... tolongin dia Pak Vin ... dia jatuh!" pinta Lea sambil menunjuk-nunjuk ke arah mobil yang sudah terbalik setelah berguling menyusuri lembah ke tanah lapang terjal di tumbuhi pepohonan besar-besar beberapa kali. Mobil yang di kendarai Dani dengan kencang tadi telah menabrak pagar pembatas beton jalanan, kemudian terjatuh ke bawah, lalu bagian depannya menghantam salah satu pohon besar, sehingga terhenti secara terpaksa. Namun nyatanya, bukan hanya bagian depan saja yang penyok, pada sisi kanan dan kiri juga sudah tak terbentuk utuh body mobil, di tambah dengan pecahnya hampir keseluruhan bagian, membuat mobil tersebut terlihat rusak parah. Vin juga bergerak refleks meninggalkan Lea, berlari mendekat ke
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k