"Apa yang kamu inginkan?"Lea gunakan pertanyaan Vin dengan nada kalemnya ini sebagai kesempatan untuk ungkapkan keinginannya."Saya tidak bersedia mendampingi anda di pesta nanti malam, karena kapasitas saya sebagai istri anda, dan bukannya asisten secara profeional.""Lalu?""Saya juga ingin kita batasi waktu berdua, termasuk itu keharusan menginap di rumah anda. Semua itu akan saya sanggupi hanya sebagai kebutuhan secara profesional saja.""Hmm. Aku mengerti.""Tolonglah, Pak Presdir Vin. Semua ini tidak mudah bagi saya," curahan hati Lea. "Hal berharga yang saya jaga selama ini hilang, karena kecerobohan kita berdua. Saya sudah berusaha berdamai dengan kenyataan, tapi saya butuh waktu juga untuk memaklumi akibatnya. Kontrak pernikahan, orang-orang di sekitar anda, dan anda sendiri. Tolonglah, beri saya waktu juga untuk beradaptasi dengan semuanya.""Dengan cara?""Seperti kesepakatan awal, dimana besok setelah di kantor kembali, sandiwara kita ini harus benar-benar di jaga. Saya a
Setelah malam tersiksa dengan pikiran sendiri, Lea akhirnya terpejam, sampai ke esokan pagi terbangun, karena alarm dari ponsel yang sengaja dia taruh di samping bantal.Dalam kondisi mata setengah terpejam, Lea raih ponselnya."Kayaknya baru aja tidur, kok sudah pagi aja," gerutunya.Lea singkap selimut, kemudian beringsut dari kasur. Di kedipkan kedua matanya berulang kali, saat menyadari ada seseorang tidur di salah satu kursi single sofa.Salah satu kekurangan kamar utama nan mewah itu, bagi Lea adalah tidak adanya sofa berukuran panjang yang bisa di buat alternatif tempat tidur, hanya 2 kursi berlengan berukuran besar model klasik jaman Victorian saja."Presdir Vin?" tebaknya setelah mengucek-ucek mata. "Sejak kapan dia ada di sini?"Lea tatap atasannya sejenak. Penampilan kusut dengan dengkuran halus, benar-benar bukan seperti seorang Vincenzo dengan segala kesempurnaan di kala sebagai seorang presdir di kantor.Lea melangkah berjingkat, agar tak sampai membuat Vin terbangun, k
Senin yang dingin.Bukan awal minggu yang menyenangkan, bila hujan lebat di sertai kilat berpetir jadi hiasan di pagi hari tanpa terlihat mentari ini."Lea pesen ojek online mobil aja, Ma. Bakal basah kuyub kalau nekat nerjang hujan," putus Lea dengan ponsel sudah di tangan."Iya. Tumben-tumbenan sih, senin gini hujan, deres, lagi " sambut Sarah. "Mana mama pengen ketemu Pak Vin dulu, kan gimana jadinya, kalau pagi ini juga mama harus ke rumah sakit.""Nggak usah ketemu Pak Vin deh, Ma. Lea sampein aja terima kasihnya. Yang penting Mama langsung ke rumah sakit aja, buat kontrol sama pastiin kapan operasinya," saran Lea. Untuk saat ini, Lea masih belum siap bila ibunya ini ingin menemui Vin."Iya. Berarti, kamu pesen 2, sekalian buat mama.""Ok," sahut Lea lega. TINNN!!Lea dan Sarah saling melongok ke arah luar, untuk memastikan kalau suara klakson mobil itu memang tertuju ke rumah mereka."Eh, Lea. Bukannya itu mobil yang kemarin nganterin kamu?" Sarah terlebih dulu mengintip dari p
"TAPI GUE NGGAK PERNAH TIDUR SAMA PRESDIR VIN!"Winda hampir berjingkat karena saking kagetnya, dimana Lea tiba-tiba saja memberi jawaban tapi dengan sedikit teriak."Ya, lo bilang and marah-marah ke group aja, jangan ke gue," sahut Winda memelas. Baru saja akan meneruskan gosip-gosip ikutan apalagi tentang Lea, suara deheman tak kalah kencangnya.Winda melompat menjauh dari kursi calon tempat duduk untuk posisi baru Lea sebagai asisten sang presdir."Se selamat pagi, Pak Presdir," sapa Winda, dan di ikuti keterkejutan Lea yang juga langsung berbalik dan memberi salam yang sama."Bisa di mulai kerjanya?" tanya Vin hanya tertuju pada Lea, dan tidak pada Winda. "Siapkan meeting jam 8. Hujan bukan buat alasan para manager itu telat, jadi beri catatan padaku, siapa saja yang ngaret!" perintah pertama hari Senin untuk Lea."Baik, Pak," tunduk Lea takut-takut mematuhi, serasa sedang di hadapan seorang raja penguasa dunia kegelapan.Lea mengibas-ngibaskan tangan ke arah Winda agar segera ke
"Kenapa? Kamu cemburu?" tembak Vin dengan senyuman tipis."Nggak! Tentu saja tidak, Pak. Saya tidak cemburu, kok." Lea geleng-gelengkan kepala sampai beberapa kali agar lebih meyakinkan."Masa? Terus apa namanya, kalau nanya-nanya soal wanita lain, kalau bukan semburu, hayo?" desak Vin, semakin membungkuk mendekati wajah Lea dan tersenyum penuh kepuasan.Lea mundurkan wajah dengan desakan kemenangan Vin ini."Iya...saya cuma nanya...ingin tahu.""Kenapa? Jawab tanpa terbata-bata. Kalau masih seperti itu, berarti ku anggap kamu memang bohong, dan tutupi rasa cemburu!"Punggung Lea hampir melengkung ke belakang, tapi coba dia tahan dengan kedua tangan hampir menyentuh dada Vin, buat berjaga-jaga bila seandainya terjatuh."Karena anda suami kontrak saya," jawab Lea asal.Kepala Vin menengleng dengan lirikan tajam."Terus, kalau aku suami kontrakmu, kamu harus tahu siapa-siapa yang ada di sekitarku, terutama itu wanita, begitu?""Pak Vin. Saya cuma basa-basi. Tidak ada pikiran apapun.""
"Apa, sih! Nggak jelas banget! Dasar atasan nggak waras!" Lea menggerutu lirih tak karuan menanggapi keputusan Vin.Tapi apa daya? Lea hanya mampu berucap menyanggupi, meski dalam hati geregetan ingin mengumpat di depan Vin secara langsung.Setelah meeting pagi, Lea langsung mengikuti Vin ke ruangannya. Atasannya itu menuntut semua pekerjaan Lea selesai sebelum makan siang.Lea sempatkan melirik dari ujung ekor, apa yang sedang Vin lakukan sekarang, lewat pembatas kaca ruangan.Pria tampan berwajah setengah Indonesia, dan setengah Italia itu tampak masih sibuk dengan semua dokumen di hadapannya.Entah kenapa, hanya sekedar melirik rasanya belum terpuaskan, Leapun perlahan menengleng dan curi-curi pandang ke arah Vin yang sedang serius."Seandainya malam itu gue nggak mabuk juga, gue tendang beneran tuh selangkangan. Biar nggak main perempuan aja kerjaannya!" kesal Lea, tiba-tiba menyesal telah terjadi one night stand dengan atasannya. Lea kembali berusaha memupuk rasa benci pada Vin
"Aku mau ke pantry." Lea berusaha menghindari berbicara dengan Dani."Apa kamu terpaksa melakukannya sebagai pelampiasan kekecewaanmu padaku?" tanya Dani tiba-tiba."Aku nggak tahu maksudmu!" jawab Lea ketus, melengos, menarik paksa pegangan Dani pada lengannya."Lea. Aku tahu kamu masih mencintaiku. Iya, kan?"Lea balikkan badan, tak terima akan pertanyaan Dani barusan."Aku sakit hati!" jawab Lea singkat, lalu cepat-cepat menjauhi Dani."Lalu kenapa kamu masih simpan foto kita berdua? Mang Ujang tadi pindahin meja lamamu, terus temuin foto itu di laci. Lea...aku bisa jelaskan, dan lupakan semua, untuk hubungan baru kita."Telinga Lea memanas. Tentu tak bisa terima dengan ucapan enteng Dani ini.Kembali bersama? Bagi Lea tak akan segampang itu."Dani. Foto itu memang aku tinggalkan disana, rencana mau kubuang setelah pulang dari Italia. Mana ku tahu kalau akhirnya sama Pak Vin dipindah ke ruangan yang sekarang, jadi jangan berprasangka yang tidak-tidak. Kita sudah tak ada hubungan.
Saat jam makan siang, Lea menatap kursi kosong atasan yang berpamitan keluar untuk pertemuan pribadi dengan seseorang."Enak aja nyuruh-nyuruh orang nginep. Lha gue harus bilang apa ke mama?" gerutunya.Lea garuk-garuk kepala cari alasan. Males banget kalau di paksa bohong, tentu akan menambah beban pikiran wanita satu-satunya yang ingin dia jaga.Baru saja Lea berniat ke pantry, menaruh kembali gelas dan piring kecil bekas untuk Vin, tapi pintu ruangan dibuka Winda dengan ekspresi tegang."Lea. Lo tahu nggak gosip terbaru?!" ujar Winda dengan napas terengah-engah."Emang gue bakal berani buka-buka chat group? Kan lo tahu, sejak naik jabatan itu, kayaknya gue bener-bener di jadiin obyek gosipan empuk terus," sahut Lea mengasihani dirinya sendiri.Winda berdiri menempel pinggir meja menghadap Lea, sebuah cerita baru siap dia sulut menjadi kobaran api."Tapi lo tetep harus beranikan diri, seperti sekarang ini!""Maksud, lo?" "Gosipan sudah mulai melandai, karena Dani tiba-tiba jadi pa
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k