"Kalau ketahuan Pak Vin, nanti aku yang tanggung jawab kok, mas. Percaya deh sama aku, mas."Lea masih memaksakan diri agar Robbi bisa menjadi orang kepercayaannya, meskipun tidak sepenuhnya diandalkan."Baiklah, kalau sekedar info, bagaimanapun juga, kapasitas saya hanya bawahan dari Presdir Vin."Lea biaa tersenyum lega, paling tidak akan memiliki sedikit akses untuk mengetahui beberapa hal dari yang Vin lakukan, tapi tak ia ketahui. Tidak selalu orang polos, juga harus tampak bodoh, tapi bisa manfaatkan kepolosan ini untuk jadi kamuflase menilai dan dapatkan banyak informasi.Lea baru melanjutkan percakapan, setelah masuk ke dalam mobil yang beberapa kali sebelumnya selalu jadi alat transportasinya, bila tidak bersama dengan Vin dalam satu mobil. "Mas Robbi tahu, dimana Pak Vin sekarang?" Lea masih saja menanyakan hal yang sama."Dari laporan tim sih, ke daerah Kemang, sebelum beliau minta balik ke rumahnya.""Oh, terus Mas Robbi sudah kerja jadi anak buahnya Pak Morgan dari kapa
"Saya...nggak janji ya, mbak. Maaf."Lea kembali cembetut, terpaksa setuju dengan Robbi kali ini. Tugas dan tanggung jawab pekerjaanlah yang jadikannya memberi jawaban diplomatis seperti ini.Lea segera memasuki lobbi, tapi karena ingin segera ke unit apartemennya, Lea tak menunggu sampai diantar oleh Robbi ke atas.Lea hamburkan tubuhnya ke atas kasur, rasanya benda satu inilah yang sekarang jadi paling dia rindukan."Capek," perih Lea. Sekarang sudah menelentangkan kedua tangan, menatap nanar ke arah plafon. "Gue jadi pengen tahu banyak tentang nyonya Letizia. Apa yang terjadi saat kematiannya ya? Pak Vin mau nggak ya cerita ke gue langsung?" Lea hela napas panjang, memberi jawaban untuk pertanyaannya sendiri. "Kayaknya nggak bakal mau," sedihnya."Aida!" pekiknya sendiri. "Hari inikan ada janji ketemu sama dia." Secercah harapan untuk mendapatan informasi mengenai Letizia jadi pelecut Lea untuk segera membersihkan diri, dan kemudian berganti penampilan, untuk keluar dari unit apart
"Nggak ada yang perlu di jelaskan." Vin berdiri, setelah berikan jawaban. "Sebaiknya kita tunggu perkembangan selanjutnya."Lea ikut berdiri, getir itu masih terbawa dari pertanyaan untuk Vin selanjutnya."Ada yang kamu sembunyiin, kan? Aku memang masih menduga-duga, tapi ku kira ini ada hubungannya sama kejadian di masa lalu yang nggak aku ketahui, dan berimbas sampai sekarang. Akibat itu--""Hentikan!" sela Vin tajam. "Kamu jangan berpikiran terlampau jauh. Fokus saja sama kesehatan ibumu, hindari pikiran semacam itu. Serahkan semuanya padaku, ini bukan urusanmu!"Lea tertunduk, sudah sedih karena kondisi ibunya, ditambah kena semprotan Vin begini, semakin membuatnya semakin sendu."Aku pulang dulu, ganti baju, baru kesini lagi. Ada Robbi yang ganti temani. Kalau ada apa-apa, bilang saja ke dia. Hati-hati." Vin sentuh punggung Lea, maju selangkah, sedianya akan mengecup kening Lea, tapi karena pemiliknyaq masih sibuk dengan tangisan, Vin putuskan melepaskan, lalu berpamitan."Sampa
Berbeda dengan Lea, yang hanya sendiri menunggu di ruang tunggu ICU. Salah satu keluarga ibunya dari kampung baru saja berangkat ke Jakarta, berniat temani Sarah.Lea sendiri, akan ajukan cuti beberapa hari pada Vin, demi menjaga ibunya sampai bertemu lagi dengan dokter yang menangani.Guratan kekhawatiran menghiasi wajah cantik Lea, ditambah pikiran tentang semua masalah yang berhubungan dengan Vin, sengkarut menjadi satu, sehingga sudah tak sanggup rasanya bila harus terus menangis, air mata ini sudah terasa kering karena terus tercucur.Terutama setelahnya, teman dekatnya di kantor, Winda, menelpon, Lea segera kesampingkan dulu segala kagalauan."Lea. Ini weekend, kata lo mau ke rumah sakit, nganterin emak lo mau operasi? Gue lihat kesono ye, sama mau bahas itu yang lagi rame di group chat kantor, lo sudah baca belum?"Lea sampai gelagapan akan menanggapi sapaan to the poin Winda yang panjang dan cepat."I iya, ini gue lagi di rumah sakit," Lea sampai tergagap. "Boleh deh lo ke si
"HAH?"Winda spontan cengkeram tangan Lea, seperti tengah mencari penopang akan datangnya serangan gempa."Lo serius? Ih, jangan mengkhayal deh. Gue tahu, lo lagi stres, tapi jangan kebablasan Lea. Pikiran lo harus tetep waras, meski lagi di coba begini!" amarah Winda keluar, baru kali ini didapati, sahabatnya ini seperti sedang berbicara ngelantur.Baru saja Lea akan memberi jawaban, seorang pria berbadan tegap datang, untuk berikan sesuatu pada Lea."Maaf, nona. Saya nggak boleh lama-lama. Pak Vin perintahkan, berikan ini pada anda." Pria bernama Robbi itu berlanjut memberikan sebuah kotak bergambar tumpukan donat dari mereka terkenal, beserta paket minuman dan burger berukuran mini dalam satu kantong. "Oh ya, pesan beliau. Anda harus makan, dari siang anda masih menolak isi apapun. Selamat sore," pamitnya ramah."Makasih ya, mas."Winda menatap melotot antara Lea dan Robbi secara bergantian dengan ekspresi siap meledak lagi, dan baru dikeluarkan, setelah Robbi pergi."Jadi beneran
Winda semakin trenyuh, ketika raut sendu Lea menjadi semakin kelam dan lesu. Bujukannya untuk segera memakan kiriman donat, mini burger, dan minuman jus jeruk dingin dari Vin, tetap tak ditanggapi Lea."Ayolah, Lea. Perut lo harus di isi," rayunya sebagai usaha kesekian kali. "Nanti Pak Vin semakin ngamuk, kalau kamunya yang ikutan kenapa-kenapa. Iya lo enak, marahnya Pak Vin ke lo pake bumbu cinta dan kasih sayang, lha kalau beliaunya nyalahin gue nggak bujuk kamu makan, bisa-bisa nametag gue di suruh serahin ke manager personalia, gue mau kerja dimana, Leaaaa..."Ocehan berisi kegetiran Winda, akhirnya membuat Lea luluh, dengan gerakan malas, diambilnya satu buah donat bertopping irisan kacang almond, salah satu favoritnya, dan setengah bagian segera dimasukkan ke dalam mulut."Nih, gue sudah makan," sambut Lea dengan mulut semakin penuh, dari setengah potongan terakhir donatnya. Lea terpaksa melakukan ini, hanya untuk menyenangkan Winda."Nah gitu dong. Satu gigitan lo itu, sudah n
Lea sontak membeku, baru kali ini, dia mendapatkan saran berjenis erotis seperti ini. Kerlingan mata Aida mulai buat Lea deg-degkan. Apakah benar apa yang dikatakan Aida? Tapi kenapa Pak Vin masih bersikap biasa saja, sikap dingin dan ketusnya itu tak terlihat sama sekali sejak kedatangannya? Apa yang ada di dalam otak orang itu sekarang?Beberapa pertanyaan ini, memenuhi pikiran Lea. Bener atau tidaknya, jadi PR Lea mencari tahu setelah Aida berpamitan kembali ke hotelnya, dan akan kembali ke Italia esok hari. "Sampai besok, Lea. Kamu harus ikut mengantarku ke bandara, Ok." Kerlingan mata diberikan Aida, dan Lea menyadari itu adalah bagian dari perbincangan mereka tadi. Aida seolah memberi isyarat agar Lea mengikuti sarannya, yaitu mengajak berbicara dari hati ke hati Vin, dan diakhiri dengan habiskan malam bersama."Ok." Lambaian tangan Lea berikan, disertai senyuman, yang kemudian berangsur hilang saat Vin berbalik dari menutup pintu.Suasana menjadi hening untuk beberapa saat,
Amarah bermuatan kekecewaan dari Vin ini, jadi tangisan Lea yang ketakutan. "Waktu itu...aku hanya ingin tahu keadaanmu," terang Lea dalam sesenggukan. "Lalu Dani? Apa kepentingannya disini?!" Vin masih tunjukkan nada lantang."Itu hanya...bertepatan saja sama Dani...ehm...""Dani apa?!" Kedua alis Vin makin berkerut, dimana prasangka itu kemungkinan bisa jadi kebenaran."Dani juga pengen tahu soal kondisi perusahaan.""Buat apa?"Lea angkat kedua bahunya."Aku tidak tahu.""Apa untuk menyerangku?"Lea berganti gelengkan kepala."Aku tidak tahu.""Bagaimana kalau laporan itu digunakan Dani untuk mencari celah memfitnahku?""Aku nggak sampe kepikiran kesana...maaf.""Cengeng!" lirih Vin dengan membuang muka, lalu melangkah ke arah kaca besar, pembatas diri dengan bentangan langit yang gelap diluar sana. Kilatan petir bersambut gemuruh gulungan awan pencetus hujan itu, jadi pembenaran dugaan Vin sebelumnya, kalau malam ini akan turun hujan."Aku dan Dani, benar-benar tidak ada niatan
Pada hari jumat malam seminggu kemudian. Lea berada sendirian di dalam kondominium Vin tanpa pemiliknya. Vin harus terbang ke Italia tanpanya selasa lalu bersama dua teman prianya, karena ada keinginan dari salah satu calon investor untuk segera menandatangani perjanjian kerjasama, selain masa pengalihan dan pengucuran dana warisan dari Anthony juga sedang dalam proses, larena Vin telah selesaikan masalah dengan Helena sesuai amanat ayahnya tersebut, selain telah menikah dan akan memiliki anak. Lea meninggalkan kantor, dan menemui ibunya sebentar, sebelum akhirnya kini di depan deretan koper yang telah siap menemaninya menempuh perjalanan jauh. Morgan belum menjemput totak waktu yang di butuhkan lima belas menit untuk mengulur-ulur waktu sedikit, Lea membuka ponsel di bagian note dan memeriksa lagi. 1. Tiket pesawat ( Aku sudah melakukannya sekaligus mengkonfirmasinya. Dua kali ) 2. Memesan executive lounge bandara ( Juga sudah mengkonfirmasi dua kali ) 3. Berkemas ( Baru se
Pagi tidak lebih baik. Lea berguling turun dari ranjang pagi-pagi. Seminggu sudah telah berlalu dari kejadian yang penuh dramatis. Matahari bersinar melewati jarak antara dua gorden jendela kaca berukuran lumayan besar di kondominium milik Vin. Lea beralih ke dapur membuat susu coklat hangat. Vin masih tidur, dan kemungkinan tidak akan bangun untuk sejam dua jam ke depan. Lea melirik meja ruang tamu, botol kosong minuman kaleng beraneka macam masih di sana, sebagian adalah beralkohol. Dua teman pria kebangsaan Italia Vin semalam jadi penghisap hampir semuanya. Entah mereka berjalan kaki dari Italia ke Indonesia atau apa. yang pasti di atas meja ruang tamu sana benar-benar kacau dengan berbagai bekas makanan dan minuman berserakan. Mereka bertiga nampaknya sudah tak kuat bahkan untuk membuangnya ke dalam sampah karena sibuk bercanda berlanjut rasa kantuk di sertai setengah mabuk. Lea kemudian meringis membayangkan percakapan yang akan mereka lakukan. Secangkir susu coklat hanga
"Natalie?" Lea terkejut. Gadis muda berusia tak jauh dari dirinya itu tampak berpenampilan kusut tidak seperti biasanya, bahkan tidak ada pulasan kosmetik apapun sebagai make up semakin mempercantik diri. "Ngapain dia ke sini? Dia nggak lagi bangun tidur, kan?" pertanyaan canda Lea menatap bergantian antara Vin dan Natalie. Beberapa detik lalu Lea berada agak menjauh dari Vin untuk menghindari berinteraksi dengan Helena, tapi karena kehadiran tak terduga dari Natalie ini, membuatnya mendekati Vin dan berbicara berbisik untuk mencari tahu. Tatapan sembab dari bawah mata yang bengkak, membuat Vin spontan jadi bersikap awas. Di dorong Lea agar lebih mundur dan di posisikan tepat di belakang punggungnya, karena Vin menyadari tatapan Natalie menyorot di sekitar dia berdiri. "Tante Helena!" Mendengar nama ini di sebut dan di ketahui keberadaan posisinya, beberapa baris kerumunan tamu bergerak menyisir memberi jalan buat Natalie agar bisa melihat apa yang akan dia lakukan juga. "Na
"Kamu nggak apa-apa, kan Sayang?" Kedua mata Lea terbelalak. Di hadapannya adalah pria tampan mengenakan seragam bodyguard serba hitam berikut kacamata berwarna senada juga. Memang seperti orang lain, tapi sebagai istri yang selalu bersama dari pagi sampai malam, Lea yakin pria penyelamat di hadapannya ini adalah Vin. "Ka kamu ngapain dandan begini?" Lea masih sempatnya bertanya di saat suasana jadi riuh, bahkan terdengar teriakan-teriakan agar ruangan hall segera di amankan. Pria tersebut perlahan membawa Lea bangkit dengan di dudukkan, perut Lea di elus-elus. Kekhawatiran merambat pada bagian tubuh Lea dimana sempat di rasakannya ada gerakan. "Demi anak kita ini. Maaf kalau buatmu kaget, tapi berhasilkan. Dugaanmu benar, keamanan buatmu tidak cukup mengandalkan Morgan saja." "Pak Presdir .... Pak Presdir Vin .... anda tidak apa-apa?!" pekikan berganti terdengar dari pria lain. Dia adalah Sekretaris Li, yang berdiri tak jauh dari keduanya berada. Vin berganti ulurkaj t
Kasak-kusuk terjadi lebih ramai dari sebelumnya. Ucapan santai Lea jadi pemicu rasa ingin tahu dari tamu undangan yang merupakan para pemegang saham dari perusahaan-perusahaan dari pengelolaan keluarga Dharmawan. Helena kembali berdiri. Berbeda dari aksi sebelumnya, kali ini Helena tampak lebih kusut, wajahnya merah karena amarahnya lebih memuncak. "Ini acara pengambilan voting, bukannya cari panggung buat hal yang nggak ada bukti dan dasarnya apa kayak begini. Kamu jangan sok ya. Kamu itu orang baru. Nggak ngerti apa-apa!" Lea tak menggubris. Seperti apa yang di instruksikan oleh Vin, agar dirinya tetap tenang dalam menanggapi tiap kelakuan Helena, tidak mudah terprovokasi dengan setiap nada tinggi Helena yang berkesan memojokkan. "Slide-slide selanjutnya memang berkesan tidak ada hubungannya dengan acara ini, tapi di sini kami inginkan siapa saja jadi terbuka matanya, tentang siapa yang sebenarnya bersalah dan siapa yang sering di jadikan kambing hitam. Sekali lagi ini semua
Di sebuah hall terletak di dalam hotel bintang lima, tamu undangan sudah mulai memadati tempat acara. Perhelatan yang sebenarnya akan di laksanakan bulan depan itu, nyatanya di majukan secara mendadak dengan alasan karena keperluan mendesak. Acara awal protokoler tengah di laksanakan. Seirang wanita jadi pusat perhatian di saat sesi sambutan sedang di jadikan awal dari pembicaraan mengenai Vin, sang presdir utama. "Kubu pertama yaitu mosi tidak percaya dan minta agar jabatan presdir di copot untuk di berikan pada saya, sudah dapat banyak dukungan meskipun perolehan suara belum di laksanakan, jadi saya harapkan rekan sekalian bisa menentukan pilihan sesuai dengan logika. Perusahaan ini butuh orang-orang berpengaruh kuat. Bukannya hanya mengandalkan cara kepemimpinan yang katanya revolusioner tapi ternyata bangak pihak yang tidak senang." Helena ungkapkan sesuatu dengan kesan menyindir lawan pemilihannya, yaitu Vin. Tepuk tangan bergema setelahnya, bahkan ada yang dengan berdiri,
Sampai semalaman Lea berusaha mengorek apa rencana yang sedang Vin simpan, tetap saja Lea tak mendapatkan jawaban. Walaupun sudah melayani bercinta dengan gegap gempita, berharap Vin akan lengah lalu bercerita, namun tetap saja tak temukan hasil. Vin masih saja bungkam. Di waktu weekend, Lea membantu Vin untuk keberangkatan ke Italia. Sampai itupun, Vin belumjuga berikan jawaban akan rencananya. Vin selalu menggadang-gadang kalau yang mengetahu isi rencananya itu hanya otaknya saja. Leapun akhirnya menyerah, sudah tak bertanya lagi bila sudah tahu akan jawabannya apa. "Lama banget ke Italianya?" protesan Lea setelah selesai membantu Vin menyiapkan packing segala keperluan di dalam satu koper besar dengan sistem penutup memakai kode tertentu. "Kan ada Mama. Kamu ada temennya. Bukannya kemarin-kemarin ribut minta di temeni Mamamu?" pengingat Vin dan di jawab anggukan oleh Lea. "Tapikan tetep aja beda kalau nggak ada kamu," sedihnya Lea. Di letakkan sebuah buku bertuliskan logo d
"Aku bertemu sama pengacaraku." Morgan sudah mengatakannya, tapi bila alasannya itu keluar dari mulut Vin sendiri, maka jadi perbedaan tersendiri bagi seorang wanita termasuk Lea. "Beneran ketemu pengacara? Kamu nggak sedang main samdiwara sama Morgan, kan? Takutnya sudah kasih perintah biar bilang sama akunya temui pengacara, tapi ternyata temui wanita lain," omel Lea seperti telah mendapat peringatan secara naluri. "Hmm ... menemui pengacaraku dan juga seorang wanita." Lea menoleh dan menatap Vin sambil melotot. Rasanya akan sulit bagi Vin, bila naluri kuat Lea seperti yang di miliki para wanita pada umumnya untuk di jadikan awal dari sebuah kebohongan. "Tuh kan sama cewek, sudah ku duga!" bentak Lea. "Siapa dia? Awas kalau memang sama cewek bilangnya ke aku cuma temen atau kolega bisnis, tapi diem-diem main api di belakang. Sudah biasa itu kayak di medsos-medsos!" tak terimanya Lea. Vin semakin tertawa kencang. Tak menyangka kalau lea cemburu lebih galak daripada singa
"Hai Sayang." Sapaan dari Vin yang segera di tanggapi Lea dengan pelukan. "Kamu kemana saja? Nggak tahu apa, aku khawatir banget!" omelan Lea setelah melepaskan rengkuhan hangat namun singkatnya. "Banyak orang mencarimu, habis kamu nggak aktifin ponselmu," imbuh Lea mencari tahu. "Aku sedang jalan-jalan," jawab Vin santai. Bersama kawalan dari Morgan dan beberapa pengawal anak buah Morgan, Vin membawa Lea ke ruangan pertemuan utama gedung dengan merubah ekspresinya jadi dingin dan kaku, berbeda jauh saat bertemu Lea tadi. Tatapan Vin lurus ke depan, selain belum ada yang berani menyapa atau mengajaknya bicara, Vin juga nggak berminat di ajak bicara sampai ada yang memulai. Ini adalah bentuk aksi kekecewaan Vin ketika loyalitas bawahannya telah membuatnya jadi turunkan rasa kepercayaannya. Setelah Vin duduk di kursi utama ruanga pertemuan, dalam beberapa menit suasana hening, dengan sikap tenang, Vin menunggu dengan sabar tiap orang di ruangan tersebut mencari tempat duduk, k