"Tu-tuan sudah sadar?" Mata yang basah dibanjiri lelehan bening itu membulat. Ia terkejut sekaligus sangat senang, Devian bangun. Ingin sekali ia memeluk, tapi enggan. Tidak menjawab, CEO itu menepuk dadanya dengan sedikit tersenyum. Memberi isyarat agar Yumna meletakkan kepala di sana. Tidak berpikir panjang Yumna memeluknya erat, meletakkan kepala yang terbalut khimar dengan pasrah. Tangisnya kembali pecah. Devian membiarkannya sampai wanita itu merasa puas, hal yang sama saat pertama kali ia memeluknya. Waktu terjeda beberapa saat hingga Devian memecahnya. "Teruskan sampai kamu puas, siapa tau kita bisa mengulang apa yang kita lalui kemarin lusa." Devian mengucap pelan. Mendengar itu Yumna sontak mendongak menarik kepalanya duduk ke posisi semula. "Apa?""Hemh." Devian tersenyum menggoda. "Kamu suka sekali menangis, Yumna. Akhir-akhir ini kamu terus menangis. Meski aku bisa memanfaatkan kesempatan saat kamu menangis di pelukanku, tapi aku lebih suka kamu judes dan tertawa lepa
Yumna yang memegangi ranjang tempat Devian, takjub dengan pemandangan di hadapan mereka. "Apa ini legal Tuan?""Hemh, kamu memanggilku tuan lagi." Devian tersenyum masam. Namun, Yumna tak menoleh sedikit pun ke arahnya. "Hei!" seru pria itu. Yumna tersentak karenanya. "Ayo, sampai kapan kita di sini? Bahan bakar sekarang mahal," sambung Devian lagi, meminta Yumna agar segera mendorongnya mendekat pada benda yang akan membawa mereka. Saat keduanya berhasil masuk dengan dibantu beberapa anak buah Devian, dan bersiap untuk menutup pintu kabin, seseorang datang mengejutkan mereka. "Mas Dev!" Seorang wanita berteriak memanggil, rambut panjangnya yang ikal berhamburan ke sana ke mari karena terpaan angin di atas gedung. Devian sangat syok dengan kedatangan wanita itu. "Bianca?"Begitu pun Yumna ia melihat sosok istri pertama Devian dengan tak percaya.Tatkala mata Bianca menangkap sosok Yumna yang tengah duduk begitu dekat dengan Devian, senyumnya seketika hilang.'What?! Bukannya Al
Yumna menyeka air matanya sebelum ada yang melihat, meski ia masih ingin terus menangis meluahkan semua sesak di dada. Ini terlalu perih baginya, ia baru tahu bagaimana cemburu bisa semenyakitkan sekarang. Namun, bukankah setiap pilihan memiliki resiko? Berbagi waktu dan perhatian suami adalah hal mutlak bagi pelaku poligami. Dan Yumna sudah memutuskan secara matang menempuh jalan ini.Dilangkahkan kaki menuju kamar sang ibu dirawat. Sesampai di ruangan berukuran lima kali sepuluh di mana seorang wanita tua terbaring dengan berbagai alat tersambung di tubuhnya, wanita berparas ayu itu segera meletakkan tas jinjing dan menghambur ke arah sang ibu setelah mengucap salam, tanpa basa-basi dengan wanita yang telah membukakan pintu untuknya. Wanita lain yang menjadi penjaga pasien hanya diam melihat kedatangan orang yang mempekerjakannya. Anak mana yang tidak rindu setelah meninggalkan orang tuanya lebih dari seminggu dalam keadaan sakit? "Assalamualaikum, Bu." Yumna mencium tangan yang m
Yumna tampak menyeka air mata sesaat sebelum meninggalkan ruangan. Kalau saja tak ada se siapa, ia pasti masih ingin terus menangis meluahkan semua sesak di dada.Hati ini ikut perih menatapnya, membiarkannya menghadapi cemburu. Bahkan Yumnalah yang tengah merasakan kecemburuan itu, tapi aku ikut merasai hal semenyakitkan sekarang. Ternyata begini, melihat orang yang kucintai terluka karenaku.Maafkan aku Yumna ....Namun, bukankah setiap pilihan memiliki resiko? Berbagi waktu dan perhatian suami adalah hal mutlak bagi pelaku poligami. Dan Yumna sudah memutuskan secara matang menempuh jalan ini sejak awal. Dia memilihnya, dan tak boleh menyesali.Lalu Bianca? Dia juga menekuk wajahnya di depanku berkali-kali. Betapa pun wanita itu tampak lebih tegar dan menyembunyikannya dariku. Namun, setidaknya itu membuatku puas. Belum pernah aku melihat Bianca ekspresinya seperti sekarang? Atau hanya aku saja yang terlalu percaya diri? Sebenarnya dia hanya pura-pura cemburu agar aku merasa bersa
Manajer berdiri di depan kaca kantor besar perusahaan Angkasa Group, dari tempatnya berdiri ia bisa menatap banyaknya bangunan tinggi menjulang di sekitar tempatnya sekarang. Angkasa Group bukan sembarang perusahaan. Dari sini, lelaki itu sadar, punya kestabilan jabatan untuk menjaga ekonominya. Dia juga memegang peran penting perusahaaan sebab menjadi orang kepercayaan Nyonya Adiwijaya. “Bagaimana? Apa kamu sudah menyiapkan jawaban manis untukku?” tanyanya pada orang di ujung telepon. “Maaf tadinya aku berpikir, akan memberi tau siapa orang itu. Tapi, setelah kami tau betapa jahatnya Nyonya Adiwijaya pada menantunya, aku mengurungkan niat. Ah, rasanya senang memegang kartu orang besar.” Kepala gangster menjawab enteng dari ujung telepon. Bicara dengan nada mengancam adalah salah satu bakat yang dimiliki selain dedikasi pada kliennya.“Hemh. Kamu mengancam? Seorang Adiwijaya? Hahaha. Kamu pikir dengan kekuatan mereka, kalian bisa memberikan bukti pada pihak berwajib?” Manajer bicar
Nadia berjalan dengan perasaan tak nyaman. Seolah ada yang terus mengawasi gerak-geriknya yang sudah menjauh dari rumah sakit. "Ayolah, Nadia. Kamu sudah ada di Bandung sekarang." Ia bermonolog. Seolah perlu bicara sendiri. Perempuan itu terus berusaha menenangkan diri di sela langkah. Meski kenyataannya gagal. Perasaan gelisah menghantui. Nadia tengok kanan dan kiri. Benar saja tanpa ia tahu, dua pasang mata mengintai gadis itu dari dalam mobil yang terparkir di lorong jalan tempat tinggalnya yang baru. "Sekarang kita habisi dia?" Seorang pria bertanya pada rekannya yang duduk di kursi kendali. Tak sabar rasanya menyelesaikan pekerjaan dan pulang dengan lega. "Tunggu perintah, Bos. Sejauh ini dia hanya ingin tahu di mana gadis itu berada," jawab rekannya yang duduk di sampingnya. "Hem. Baiklah," sahutnya lagi. Sembari menyesap kopi dalam cup yang dibeli saat perjalanan tadi. Sudah dua hari ini mereka bekerja mencari sosok yang menjadi ancaman Nyonya Adiwijaya. Dan baru sekaran
"Jangan hubungi aku!" Bianca berbalik dan meninggalkan Devian dengan kebingungan. 'Aku pasti sudah gila! Sekarang aku benar-benar jatuh cinta padanya!' Pria itu tak bisa mencegah Bianca pergi. Ia merasa bersalah telah melukai hati Bianca, namun hanya sebatas itu. Yah, rasa bersalah. Tak mengerti cinta menggebu-nggebu untuk Bianca dulu pergi ke mana? Selepas kepergian sang istri, Devian meraih ponsel menghubungi seseorang. "Kamu ikuti Bianca, dan cari apa pun yang oa kerjakan!" perintahnya pada orang di ujung telepon. Pria itu kembali menatap langit-langit. Apa yang ia lakukan memang sangat keterlaluan. Ia berpikir, selama ini sama sepertinya, Bianca pun tulus mencintai. Di saat wanita itu meminta waktu untuk bisa kembali, dengan egoisnya ia memilih menikah lagi, hanya untuk membuat Bianca cemburu dan kembali ke pelukannya. Namun, semua berbanding terbalik. Bianca tak juga kembali hingga ia pun jatuh hati pada istrinya yang baru. Ia teringat bagaimana kali pertama, bertemu dengan
Kuletakkan berkas yang telah ditandatangani. Seharian ini setelah kunjungan kedua istriku, aku menghabiskan waktu sendiri hingga sore tiba. Padahal berharap Yumna kembali datang setelah Bianca pergi dengan marah, tapi wanitaku itu tak kunjung datang. Beberapa kali melihat ponsel, chat yang kukirim juga belum dibuka oleh Yumna. 'Apa dia benar-benar marah karena kejadian tadi? Ah, kenapa semua berjalan di waktu yang tak tepat?' Karena merasa bersalah, bahkan untuk meneleponnya saja aku tak berani. Lalu tentang Bianca lebih baik aku memilih mencari tahu secara senyap. Sebanyak apa pun memintanya bertemu dan bicara, selama Bianca punya prinsip itu tidak akan berhasil. Yah, prinsip gilanya sudah membuatku frustasi dan lelah menghadapi wanita itu."Bagaimana, apa yang kamu dapat?" tanyaku pada seseorang yang sudah menghadapku dari tadi. "Nyonya Adiwijaya menjebloskan Ibu Alina ke penjara, Tuan. Itu kenapa Nyonya Bianca menemui Nyonya Besar untuk meminta pembebasan mantan sekretaris itu
"Mas, gimana menurut kamu sekarang?" tanya Sisil sembari meletakkan cangkir di atas meja, dekat laptop yang digunakan suaminya untuk kerja. "Hem?" Keanu yang kurang jelas mendongak. Melepaskan tatapan dari layar dan kemudian fokus pada wanita cantik yang hanya mengenakan dress tipis dengan rambut diikat tinggi. "Ya, Sayang. Kamu membahas tentang siapa?" Pria yang profesinya sebagai pengacara itu ingin memperjelas maksud pertanyaan istrinya. "Itu si Laura. Hidupnya kan ngenes, lebih ngenes dari janda yang gada suami." Sisil mengatakan secara detail. Dia sendiri meski merasa benci pada masa lalu Laura yang jahat, ada anak kecil yang tak bersalah hadir di tengah wanita jahat itu dan mantan suami Lisa -kakaknya. "Hem, apa kamu belum puas melihat penderitaannya?" tanya Keanu. Sisil menggeleng. "Lalu?""Aku kasihan pada anaknya, Mas. Apa kita ambil jadi anak angkat aja, ya? Atau kita kirim ke panti biar diasuh orang," celetuk Sisil ketika terpikir untuk menolong anak tidak bersalah i
"Jadi kita harus bagaimana, Mas?" Laura tampak bingung.Bagas mendesah panjang. Dia memikirkan cara bagaimana membalas dendam ada orang-orang yang telah membuatnya terpuruk seperti sekarang."Sudahlah, kita pikirkan nanti, Ra. Mas mau mandi dulu, gerah!" ucap Bagas bangkit. Lelaki itu sudah berjalan mencapai tangga, tapi membalik tubuh karena ada sesuatu yang perlu dia katakan."Ohya, cepat berkemas. Kita harus segera pergi dari sini!" seru Bagas, yang kemudian terus berjalan tanpa menunggu persetujuan sang istri. "Aku perlu menghubungi kolega yang masih punya hutang pribadi padaku, yah cukuplah buat nyewa sebuah rumah minimalis."Laura mendecak sebal. Ia sangat kesal pada Lisa. Wanita itu harus dilaporkan karena kasus penipuan."Tapi bagaimana caranya? Kami bahkan tak punya uang untuk menyewa pengacara." Perempuan yang tengah hamil muda itu mendesah lelah. Dengan langkah gontai bergerak mengikuti Bagas di lantai dua.Bagas yang akan masuk kamar mandi, tiba-tiba harus menghentikan la
Lisa mendesah. "Aku bisa mengurus Kamila sendiri. Toh, selama ini akulah yang mengurusnya, apalagi sejak kamu bertemu mantanmu itu, Mas. Kita cerai saja. Ini sudah keputusan terakhirku." Lisa mengucap tenang. Namun, juga mantap. Seketika wajah Bagas pias. Tak menyangka pada akhirnya Lisa yang lebih dulu menggungat cerai. Habis sudah. Tak ada lagu harapan untuk tetap hidup mewah di keluarga Handoko. Entah, bagaimana reaksi Laura nanti saat tahu, suaminya sekarang hanyalah seorang gembel yang tak memiliki apa-apa."Tap, tapi. Apa kamu sudah memikirkannya baik-baik, Lis? Lihatlah betapa menderitanya aku tanpa kamu selama ini. Mas minta maaf." Bagas menghiba. Berharap Lisa luluh atas permintaan maafnya."Maafku sudah habis, Mas. Aku terus memaafkanmu, tapi kamu tetap memilih mantanmu itu. Mas tak menoleh sedikit pun padaku dan Kamila, yang jelas-jelas telah membersamaimu sejak lama.""Mas, khilaf, Lis.""Khilaf yang terulang-ulang." Lisa bicara dengan tegas. Tak sia-sia dia terus melatih
Mbak Wati berlari dari arah dapur, ketika mendengar suara ribut-ribut di kamar Kamila."Ada apa?" tanya seorang pelayan kepada rekannya ketika Wati bergegas dari dapur tempat mereka bekerja."Biasalah. Orang kaya memang selalu begitu," cibir pelayan lain di sampingnya. Seorang perempuan yang semalam telah berhasil memberi obat tidur dalam minuman wanita bercadar di kamar Kamila.Perempuan itu tersenyum. Dia berpikir bahwa keributan pagi ini adalah imbas dari keberhasilan pekerjaannya semalam."Berhenti bergosip! Kalian makan dan digaji oleh orang yang kalian bicarakan keburukannya," tegur kepala pelayan yang tak suka mereka bicara tanpa adab."Not attitude!" dengkusnya sebelum akhirnya melangkah menyusul Wati untuk melihat apa yang terjadi.Mbak Wati yang melihat Bagas dan Sisil sibuk memanggil seseorang, segera mengambil Kamila yang tampak bingung. Untuk kemudian dibawa ke kamarnya dan diurus seperti biasa. Wanita itu tahu diri, hingga tak berani bertanya apapun mengenai keributan in
Lisa memegangi kepala yang berdenyut, saat membuka matanya dengan susah payah. Begitu mengerjap, cahaya menembus celah jendela. Wanita itu terhenyak, pagi telah tiba sebelum ia sempat menunaikan sholat subuh. "Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa kesiangan?"Wanita itu bangkit dengan tergesa. Berdiri di depan cermin untuk melepas topeng yang Sisil berikan semalam. "Aku bahkan tak sempat melepas benda ini sebelum tidur. Ini sangat aneh." Lisa meneleng sejenak mengingat-ingat kejadian ganjil semalam. Merasa sudah kehilangan banyak waktu, akhirnya ia bergerak ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap sholat."Li, Lisa ...." Mata Bagas hampir saja lepas melihat sosok wanita di hadapannya. Sementara wanita yang baru selesai mandi dan merasakan situasi yang tak baik telah menimpa, buru-buru menarik tubuhnya kembali ke kamar mandi, menghindari tatapan pria itu. "Ya Tuhan bagaimana ini?" Lisa menggumam bingung."Apa yang sedang terjadi? Kenapa kepalaku terasa berat?" Lisa berta
"Apa ini, Sil?!" teriak Bagas dengan amarah yang meletup-letup. Baru saja dia berprasangka baik tentang Sisil tapi ternyata dalam sekejap dia menikamnya dengan cara lain.Sisil memutar mata malas. "Udah deh, Mas. Gak usah berisik! Katanya mau lapor Pak RT. Panggil warga buat gerebek aku? Silakan! Sana!""Kamu nantangin aku, Sil! Oke! Kamu akan habis karena berbuat mesum padahal sudah punya suami!" Suara bariton itu menggema, sampai membangunkan pelayan yang tidur di kamar pembantu, terbangun. Namun, seperti biasa, mereka tak berani keluar dan melihat apa yang terjadi di ruang-ruang utama. Hanya kepala pelayan yang berani mengintip dari kejauhan. Takut jika ada perampok dan sejenisnya dan perlu untuk memanggil polisi.Bagas bergegas, dia ingin membuktikan bahwa ucapannya bisa menghancurkan Sisil."Tunggu! Satu langkah kamu keluar dari pintu, aku akan menceraikanmu. Dan menghancurkan hidupmu Mas Bagas! Mau jadi gembel?!" Sisil tersenyum sinis. Namun, rupanya ... sang nyonya dan tuannya
Bagas memasuki kamar yang terbuka. Pria itu melihat dengan heran. Bukannya tadi Sisil sudah naik ke atas. Tetapi, kenapa sekarang tidak ada? "Sudahlah. Aku lelah terus memikirkan wanita gila itu. Aku ingin beristirahat," gumamnya. Setidaknya di samping cilaka bertubi-tubi, ada kabar membahagiakan untuknya. Laura yang tak lagi salah paham dan juga sebentar lagi dia akan tahu bahwa Lisa masih hidup.Langkah lebarnya memasuki kamar, dengan malas mendorong pintu. Begitu melihat kasur, langkahnya semakin cepat. Tak sabar merebahkan diri di sana."Ahhh. Lega sekali! Sepertinya aku akan tidur nyenyak malam ini. Tak perlu waktu lama, Bagas terlelap dan sempat mendengkur. Bahkan dia tak sadar ketika Sisil melihatnya di pintu, lalu kembali.Tak lama suara ponsel mengagetkannya.Dengan kondisi masih mengantuk, Bagas meraba-raba ponsel di nakas. Begitu dapat, ia segera meraihnya."Ya?" sapanya pada orang di ujung telepon."Tuan, saya sudah mengirimkan foto dari pacar saya.""Benarkah? Foto wani
"Mas, gimana?" tanya Laura tak sabar."Udah kamu tenang aja, ya. Besok aku akan cari waktu untuk pulang," bujuk Bagas yang kasihan melihat Laura. Tak pernah bertemu. Padahal dia sedang hamil. Meski Laura punya andil besar atas kekacauan sekarang, tetap saja Bagas tak bisa melepaskan tanggung jawabnya. Dia juga ikut andil, perselingkuhan yang menyebabkan banyak perselisihan tak akan terjadi jika Bagas menutup celah tersebut."Iya, itu harus, Mas. Kamu kan tau aku sedang hamil.""Ya, Sayang. Iya." Kini Bagas melunak. Tak ingin semua sisi menjadi sumber kesumpekan baginya. Terlebih Laura. Hanya dia wanita yang kini mencintai dan mendukungnya."Soal Lisa?" tanya Laura lagi. "Kamu tunggu kabar besok, oke? Aku sudah menyiapkan seseorang untuk memhuka kedoknya."Bagas mencoba menenangkan istrinya. Dia sangat yakin rencananya akan berhasil kali ini._____________Di tempat lain, Bibi yang akan masuk, urung ketika melihat majikannya tengah berbincang di telepon. Dia diam-diam mendengar pembi
"Mas, tadi aku gak sengaja lihat riwayat panggilan di ponsel Bibi. Banyak sekali panggilan dari Sisil dan Lisa. Ini aneh kan Mas. Apa Bibi itu sebenarnya suruhan Sisil untuk mengerjai kita?""Apa? Kamu serius? Gak salah baca?!" Ini sangat aneh menurut Bagas. Kenapa mereka berhubungan?Sementara Lisa yang mendengar percakapan mereka menutup mulut, terkejut. Secepat inikah rencananya dan Sisil terbongkar?Dia yang terkejut berbalik arah dan pergi meninggalkan tempatnya. Namun, nahas. Gamisnya nyangkut, hingga menimbulkan suara ketika ia bergerak.Bagas sontak menoleh, mencari asal suara. Dia pun bangkit, bergerak mendekat dan meninggalkan panggilan dengan Laura. Saat berdiri persis di depan pintu, Lisa sudah berjalan menjauh. "Tunggu!" serunya, hingga membuat Lisa menghentikan langkah.Pria itu pun berjalan semakin mendekat. Penasaran. Apa yang dilakukan baby sitter itu? Perempuan berhijab yang Sisil pekerjakan dan dicurigai Bagas sebagai Lisa. Dia pasti sudah mendengar obrolannya deng