ISTRI KEDUA AYAHKU 36Makan pagi yang kesiangan. Sejak tadi, sepertinya tak ada yang bernafsu sarapan. Semua menunggu Huda datang. Dan kini, adikku itu duduk terpekur menghadapi piringnya, makan dengan perlahan. Dia tak mengambil hidangan yang ada di meja sendirian, hanya menunggu Bunda atau Eyang atau aku menyendokkannya ke piring, seakan dia tak punya hak. Dan yang membuatku sedih, dia bersikap seolah olah dirinya adalah orang lain di rumah ini."Makan yang banyak Nak, kau kurus sekali." Bunda yang duduk di hadapan Huda menegurnya, sambil menyodorkan lagi sepiring kepiting saus padang kesukaannya.Huda hanya mengangguk. Kami makan dalam diam, namun sama sepertiku, diam diam kami memperhatikan Huda. Disamping Huda, Amira makan dalam diam, tertib pada table manner meski aku tahu pikirannya melayang. Kata kata Huda tadi pastilah berarti sesuatu baginya."Jadi, siapa yang memaksamu mengakui bahwa kau membunuh Mama?" Tanyaku pelan. Kami hanya berdua, duduk di perpustakaan keluarga, usai
ISTRI KEDUA AYAHKU 37PoV ELISA"Kalian gila! Kenapa harus Elisa! Dia tak tahu apa apa!""Dia keluarganya. Dan jangan lupa, dia adalah penghubung keluarga Wijaya.""Elisa selalu menawarkan yang terbaik. Sementara yang memaksa kalian adalah Nyonya Laksmi. Dan dia sudah mati. Huda di penjara. Apa lagi yang kalian inginkan? Lepaskan Elisa!"Diam sejenak."Apakah kau belum tahu kalau Huda sudah dibebaskan kemarin?""Apa?!""Memangnya kau pikir orang kaya seperti mereka akan membiarkan saja anaknya dipenjara."Hening sejenak. Masing masing dari mereka sepertinya tengah menimbang-nimbang. Aku mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan di dalam sini. Tanganku terikat ke kursi kayu yang ku duduki dengan posisi ke belakang. Pegal sekali rasanya. Sementara dua kakiku juga terikat. Tapi bukan itu yang kupikirkan. Salah satu dari suara tadi kukenal. "Kenapa katanya Huda bebas?""Mana kutahu? Kakaknya tak mau memberi tahu."Dua suara yang kukenal! Bukan hanya satu. Dadaku berdebar ken
ISTRI KEDUA AYAHKU 38Aku menahan nafas, berusaha tak menghirup aroma maskulin yang segar dan menenangkan, yang menguar dari rambut ikal yang ada di depanku. Sementara jika aku membuka mata, sebuah punggung berbalut kaus hitam yang tegap dan gagah langsung memenuhi ruang pandanganku. Jarakku dengan punggung itu hanya sejengkal, membuatku dapat melihat bulu bulu halus yang tumbuh di bagian belakang lehernya.Aku memejamkan mata lagi, menahan debaran jantungku yang sempurna melonjak lonjak. Susah payah kutahan dadaku agar sedikit lebih tenang. Aku takut, di pemilik punggung di depanku akan mendengar betapa jantungku tak mau diam."Maaf." Ujar Sakha ketika tangannya akhirnya berhasil masuk ke dalam saku celanaku. Oh Tuhan, rasanya aku benar-benar mau pingsan. Merasakan tangan itu bergerak di dalam sana, mencari sesuatu yang berguna bagi kami agar bisa segera bebas dari sini. Untung saja, aku selalu menggunakan celana panjang yang longgar sehingga jari jari Sakha lebih leluasa."Ah, dapa
ISTRI KEDUA AYAHKU 39"Halo Angela! Kita bertemu lagi."Aku tidak membiarkan dia terkejut lebih lama. Cukup. Menghadapi wanita licik sepertinya, aku harus lebih cerdik dan cekatan. Maka, aku melompat keluar dari lemari tempatku bersembunyi dan langsung mendorong tubuhnya dengan keras hingga punggungnya membentur tembok. Sementara Sakha tak tinggal diam. Dia menunduk dan menyeruduk perut Roy dengan kepalanya. Sesungguhnya aku heran kenapa dia melakukan hal itu, Bukankah lebih mudah menendang atau memukul? Tapi, ah terserahlah. Yang penting, kedua orang itu kini berada di bawah kekuasaan kami.Aku merenggut rambut Angela yang panjang terurai dan menyentakkan ke belakang hingga kepalanya mendongak ke atas. Sejujurnya aku kasihan padanya. Tapi rasa sakit hatinya telah membuatnya bertindak di luar batas."Kau mau apa? Mau membunuhku? Bunuh saja. Kalian keluarga Wijaya sesungguhnya memang pembunuh!" Teriaknya penuh amarah."Apapun kesalahan yang kami lakukan, kau tak punya hak bertindak se
ISTRI KEDUA AYAHKU 40Aku duduk menunggu di depan ruang OK. Bahuku yang terkena tusukan pisau sudah diobati dan diperban. Lukanya tidak dalam sehingga aku bisa duduk disini, menatap pintu kamar OK sambil melangitkan doa.Sakha tengah menjalani operasi karena luka tusuk yang cukup dalam di punggungnya itu nyaris saja mengenai organ vitalnya. Dia belum sadarkan diri sama sekali. Sepanjang jalan dalam ambulans tadi, dibaringkan dalam posisi telungkup dengan pengawasan ketat petugas kesehatan, hatiku terus berdebar kencang. Tak bisa kubayangkan jika dia tak selamat. Jika dia harus mati karena aku. Apa yang akan dipikirkan Ibu dan Hazmi, adik lelakinya, jika dua anggota keluarga mereka meninggal karena keluarga kami?Bunda dengan diantar sopir keluarga tengah menjemput Ibu dan Hazmi. Bunda berjanji akan menjelaskan kronologi kejadiannya selembut mungkin. Tentu saja, aku selalu dapat mengandalkannya.Aku sendirian, memandangi matahari yang bak bola orange raksasa naik perlahan ke atas langi
Sakha berbaring miring di ranjangnya, menghadap ke pintu hingga ketika aku masuk ke ruang ICU, pandangan matanya langsung menangkap sosokku dan seketika waktu seakan melambat. Aku berhenti, memastikan matanya memang menatapku, meyakinkan diri bahwa dia memang menanti kedatanganku."Sakha, apa kau baik baik saja?"Aku bertanya dengan ragu, menatap dia yang hanya diam tanpa melepaskan matanya dariku. Dia baru saja bangun dari koma, tapi bagaimana bisa matanya berbinar seperti itu? Tatapannya menghujam, menembus hatiku hingga bagian terdalam, menciptakan debaran yang sempurna. Tapi kali ini, debaran itu terasa indah."Sakha, katakan sesuatu…""Sstt…" Sakha menggelengkan kepalanya sedikit. Dengan tangan kanannya yang tidak di infus, dia meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, menyuruhku diam. Aku langsung membeku, menyangka bahwa ada yang salah. Apakah dia merasa sakit? Atau, apakah dia tak mengenaliku?"Diam disitu, dan jangan bergerak." Ujarnya lembut.Lima menit, sepuluh menit. Wak
ISTRI KEDUA AYAHKU 42"El… El… bangun…"Seseorang menepuk-nepuk pipiku dengan lembut. Aku mengerjap, sesaat merasa kehilangan orientasi. Denyutan yang terasa dari lukaku, melemparkanku ke dunia nyata. Aku masih duduk di dalam mobil, di samping Ricky yang memegang kemudi. Dialah yang tadi menepuk nepuk pipiku. Di luar, langit mulai gelap. Yang pertama tama kuingat adalah bahwa aku belum shalat maghrib. Lalu bersyukur karena aku sedang berhalangan."Kau tidur nyenyak sekali. Kita sudah sampai." Ujar Ricky. Dia meneliti wajahku."Are you okay?"Aku mengangguk. Rasa kantukku sudah lumayan berkurang. Perutku tak lagi mual setelah memakan beberapa potong kue di cafe tadi. Kini, aku menatap bangunan rumah di depanku. Rumah kecil dengan dinding geribik dan atap seng. Sebuah lampu bohlam kecil kemerahan menyala di teratak rumah. Aku menegakkan tubuh, merasa de javu. Jadi, apakah aku baru saja bermimpi?Mimpi yang terasa sangat nyata. Bedanya, rumah ini tidak berada di pinggir hutan. Tapi di se
ISTRI KEDUA AYAHKU 43Di luar, malam telah semakin pekat oleh mendung yang menggelayut. Sesekali, suara gemuruh petir terdengar dan cahaya kilat membelah langit. Seakan tak cukup gerimis dalam hati ini, langit telah pula siap menumpahkan tangis."Tante…" Aku memegang lengannya, menatap matanya yang penuh luka itu. Membayangkan diriku berada di posisinya saja sudah sangat menyedihkan, apalagi dia yang selama empat puluh delapan tahun mengalami, menyaksikan putri satu satunya hidup dalam derita.Tante Dayana balas menatapku."Aku tahu kau anak yang baik, El. Sayang, kau harus lahir dari keluarga ini." Desis nya."Aku mohon jangan pergi. Semua harus terang benderang. Ini rumah Tante. Biarkan Eyang tahu.""Tidak." Tante Dayana masih bersikukuh. Dia bahkan telah mulai membuka pintu rumah."Aku telah bersumpah untuk tidak akan kembali. Rasa sakit dalam dadaku ini tak akan pernah ada obatnya. Yang kuinginkan hanya satu, kembalikan Tita.""Aku akan mengusahakannya Tante. Tapi tolong, tinggal