BAB 73“Elang, ada apa sih. Tolong jelaskan kepada Mamah, Sayang!” teriak Widya kepada putranya yang tengah menaiki anak tangga satu persatu.“Tanya saja sama Papah!” jawab Elang sembari melonggarkan dasi dan melepas jas yang dipakainya. Dia tak menoleh ke arah mamahnya. Pria itu langsung berjalan menuju kamar sang istri. Dia ingin menghibur bidadarinya yang tengah terluka.Sementara, Widya menuntut penjelasan kepada suaminya.“Pah, ada apa sebenarnya?” Widya masih berusaha mencari tahu. Dia sangat penasaran dengan apa yang terjadi.“Elang sudah tahu kalau Zahra itu seorang dokter!”“Hah? Bagaimana bisa? tahu dari mana dia?” widya menutup mulutnya yang terbuka lebar. Wanita bertubuh tambun itu sangat terkejut.“Papah juga gak tahu. Dan dia sangat kesal karena kita membohonginya!”“Kok Kita? Papah dong. Mamah’kan hanya mengikuti omongan papah aja! Terus gimana? Apa Elang marah? Lalu apa yang harus kita lakukan?” Widya terlihat gelisah dan tegang.“Huuh giliran seperti ini aja cuci tan
BAB 74“Hal itulah yang ingin aku tanyakan kepadamu! Tapi aku tidak akan bertanya sekarang karena menghargai bahwa kau sedang terluka!”“Jangan mencoba peduli kepadaku! Dulu kau selalu menghinaku sebagai wanita bodoh yang tak pantas bersanding denganmu. Jadi, kau bisa menjatuhkan talak kepadaku sekarang juga. Dan seperti yang kau inginkan, aku akan pergi dari kehidupanmu, selamanya!”“Tidak! aku tidak akan pernah menjatuhkan talak kepadamu!”“Kau harus melakukannya. Wanita bodoh di hadapanmu ini tak pantas untukmu dan kau harus membebaskannya sekarang juga! Ayo Elang, talak aku dan biarkan aku pergi dari kehidupanmu!” Zahra tak mampu mengontrol emosi. Rasa sedih, kesal bercampur menjadi satu hingga membuatnya meradang. Gadis itu mencengkeram pundak Elang dan menguncangnya.“Lepaskan aku! Aku seperti tak mengenal dirimu lagi! Kau boleh bersedih, tapi tidak dengan bertindak bodoh seperti ini!” Elang melepas tangan Zahra.“Aku memang bodoh! Sekarang tinggalkan aku sendiri! Keluar kamu!
BAB 75“Aku tidak kurang ajar. Karena aku adalah suamimu. Kenapa, apa kau takut?” Elang terus melangkah mengikuti kemana arah sang istri sampai mentok di dinding.Zahra yang terpojok terpaksa menghentikan langkahnya. Dia makin ketakutan ketika suaminya sudah berdiri persis di hadapan. Tubuh gadis itu gemetar. Dia membayangkan apa yang akan suaminya lakukan saat ini.“Dasar pria kejam! Kau sama sekali tak mengerti kalau aku ini sedang bersedih. Tak adakah sedikit rasa belas kasih dalam dirimu?!”“Kau yang kejam karena membiarkan perasaanku tersiksa saat melihatmu menangisi mantan kekasihmu itu!” jawab Elang tanpa jeda. Pria itu masih larut dalam balutan emosi.“Apa maksudmu?!”“Kau tidak tahu ataukah hanya berpura-pura?!” Elang berbicara dengan keras tepat di depan wajah sang istri. Zahra memejamkan mata karena ketakutan melihat suaminya yang sedang naik darah.“Astaga!” Elang mengusap wajah dengan kasar. Dia menyadari kesalahannya. Hampir saja terbawa perasaan untuk menyentuh sang ist
BAB 76Elang hampir saja menyentuh bibir sang istri, kalau saja tak dihalangi oleh tangan mungil milik istri yang halus dan lembut.“Tidak! berani kau melakukannya, seumur hidup aku takkan pernah memaafkanmu!” Zahra terus meronta sembari menutup bibir Elang dengan tangannya.Elang tersenyum geli saat melihat istrinya ketakutan. Dia pun melepas sang istri dan menatapnya penuh kemenangan.“Keluar dari kamarku, Elang. Keluar!” usir Zahra dengan terisak. Hatinya terasa hancur. Dia merasa direndahkan oleh sang suami.“Baiklah. Kau tidak usah takut. Aku takkan mencurinya. Namun aku pastikan akan menjadi pria pertama yang menyentuhmu suatu saat nanti, saat kau menginginkannya. Ingat ucapanku!”“Kau sudah gila!” Zahra mengambil bantal dan melempar ke arah suaminya dengan kesal.Zahra kembali menangis saat suaminya pergi meninggalkannya.***Sementara, di sebuah kamar hotel bintang lima, Budi sedang merenung di dalamnya. Dekorasi kamar pengantin yang begitu indah tak membuatnya terasa nyaman.
“Bukan begitu, Mas. Aku sangat mencintaimu. Tak mungkin aku tak ingin melihatmu bahagia. Aku justru ingin membahagiakanmu dengan menikahiku!” Vero berusaha meyakinkan sang suami.“Asal kau tahu Vero, hubungan yang diawali dengan sebuah kebohongan, sangat sulit untuk bertahan. Dan Aku tidak bisa menerima kebohonganmu!” Budi menunjuk wajah Vero dengan kesal.“Malam pertama yang seharusnya indah, menjadi hancur karena kebohonganmu!” Budi berteriak dengan kesal. Kemudian mengambil ponsel dan berjalan menuju pintu. Namun langkahnya terhenti saat sang istri berusaha menghalangi dengan berdiri di depan pintu.“Mas Budi, jangan pergi. Aku mohon, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membohongimu. Aku janji akan berusaha memperbaiki semuanya. Lupakan mantan kekasihmu. Saat ini aku sudah menjadi istrimu. Dan kita mulai lagi dari awal membangun keluarga kecil kita dengan sebuah kepercayaan. Aku berjanji takkan berbohong dalam hal sekecil apapun!” Vero mencoba menyentuh dada suaminya. Namun tangannya
BAB 78Ekor mata gadis berhijab itu melirik ke arah ponsel yang berada di atas nakas. Bola matanya membulat sempurna. Dia sangat terkejut dan tak percaya melihat foto profil yang terpampang pada layar di ponselnya.Binar bahagia terlukis jelas pada wajah yang sembab.“Mas Budi!” Zahra menghapus airmata dan mengulurkan tangan untuk mengambil ponsel yang berada di atas nakas. Namun sayang, dia kalah cepat dengan tangan seseorang yang lebih dulu mengambilnya. Zahra sangat kesal dan ingin memuntahkan amarah kepada orang yang berani mengganggunya. Dia penasaran ingin melihat siapa yang berani mempermainkannya.“Elang?! Sejak kapan kamu di sini?!” Zahra sangat terkejut saat melihat siapa yang berani mengambil ponselnya. Padahal dia memastikan sendiri tadi, kalau pria itu sudah menghilang dari balik pintu.“Tak perlu kau tahu sejak kapan aku ada di sini. Yang jelas, Aku sudah berjanji takkan pernah meninggalkanmu!”“Kembalikan ponselku!” Zahra berusaha merebut ponsel yang berada di tangan su
BAB 79”Vero bilang begitu?” tanya Zahra.“Iya! Aku kecewa padanya dan sangat menyesal telah menikahinya!” jawab Budi penuh emosi.“Aku juga sangat kecewa dengan keputusanmu. Tapi mau bagaimana lagi, ternyata takdir tidak berpihak kepada kita. Sekuat apapun kita berusaha, kalau memang tidak berjodoh, kita takkan pernah bersatu.” Jawab Zahra dengan lemah. Dia pun tak ingin meyakini apa yang diucapkannya.“Kenapa takdir seperti mempermainkan kita, Zahra? tujuh tahun kita menjalin cinta, tapi kenapa kita tidak dipersatukan dalam ikatan suci?” Budi terlihat putus asa.“Istighfar, Mas. Jangan pernah berpikir seperti itu. Alloh selalu memberikan yang terbaik untuk umatnya. Bisa jadi yang kita sukai bukan yang terbaik untuk kita. Mungkin saja yang tidak kita cintai tetapi itu yang terbaik di mata Sang Pencipta!” Zahra berusaha menenangkan hati kekasihnya. Walau hatinya juga hancur. Namun dia berusaha untuk menerima takdir yang sudah digariskan oleh sang pencipta.“Maksudmu aku bukan yang ter
BAB 8OTiba-tiba Jessica datang dan begitu murka mendapati suaminya sedang berpelukan dengan istri pertama. Jelas saja dia marah besar. lalu memisahkan keduanya dengan paksa.”Beraninya kalian menghianatiku!”“Jessica, ini tidak seperti yang kamu bayangkan!” Elang berusaha menenangkan istrinya dengan memeluknya. Namun wanita itu mendorong tubuh suaminya dengan kesal.“Aku tidak sedang membayangkan. Tapi melihat dengan mata kepala sendiri! Tega kamu meninggalkanku sendirian di sana hanya untuk bermesraan dengan wanita bodoh itu!” Jessica menunjuk ke arah Zahra dengan kesal.“Jangan katakan dia bodoh! Itu hanya akan mempermalukan dirimu sendiri!” Elang mencoba memperingatkan Jessica. Dia tak ingin jessica malu jika tahu profesi Zahra yang sebenarnya.“Kau sudah berani membelanya! Apa yang sudah kamu dapatkan darinya? Oh, aku tahu. Kau pasti sudah tergiur dengan tawaran wanita murahan yang haus akan belaian itu untuk menidurinya!” Jessica berteriak dengan kesal.“Jaga mulutmu, dan jangan
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d