Wanita itu berbelok menuju jalan samping rumah sakit yang agak sepi. Tentu saja hal itu membuat Zahra merinding. Dia takut kalau para penculik itu bukan hanya akan melukai orangtuanya saja. Dirinya juga bisa menjadi korban.Zahra tak berpikir kalau kejadiannya akan seperti ini. Kalau tahu begini, dia pasti akan meminta pihak rumah sakit untuk memberikan pengamanan. Saat itu yang terpikir hanya keselamatan orang tuanya. Namun nasi sudah menjadi bubur. Zahra tak bisa mundur lagi dan harus berhati-hati.“Berhenti!” Zahra berteriak kepada orang yang ada di hadapannya.Orang tersebut menghentikan langkahnya. Namun tak menoleh ke arah Zahra.“Kita mau ke mana?!” tanya Zahra dengan nada naik satu oktaf. Gadis itu sudah tidak sabar ingin bertemu dengan orangtuanya.“Jangan banyak tanya! Ikuti saja aku!”Zahra terkesiap mendengar suara itu. Sepertinya dia tak asing dengan suara wanita itu. Sedari tadi dia memang sudah curiga kalau mengenal wanita itu. Kecurigaannya kali ini mengarah ke seseora
“Baiklah. Aku akan ingatkan lagi! Kalau aku tak bisa mendapatkan Elang! Siapapun takkan bisa mendapatkannya, termasuk dirimu! Dan aku tak pernah bermain-main dengan ancamanku! Kau takkan bisa hidup tenang sebelum kau menyerahkan Elang kepadaku!”“Jadi kau benar-benar ingin membunuhmu?! Jahat sekali kamu!”“Iya! Aku memang jahat! Kau mau apa?!”“Kau benar-benar gila, Jessica! Aku takkan membiarkan kau terus menyakiti istriku! Sebelum kau berhasil dengan rencanamu, aku sendiri yang akan menghabisimu dengan tanganku!”Dengan gerakan cepat, Elang menyerang Jessica. Dia menampar wajah Jessica berkali-kali.“Dasar wanita tak tahu malu! Kau pikir aku masih mau bersamamu?! Aku jijik kepadamu!”Plak. Kembali tamparan mendarat di pipi Jessica. Elang yang terlanjur kalap, tak mau mendengar rintihan mantan istrinya yang meminta ampun.Tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di samping Jessica dan menarik wanita itu untuk masuk ke dalam mobil. Lalu mobil melaju dengan kecepatan tinggi.“Jessica! Kal
“Iih kamu nakal! Bibirku sekarang jadi ternoda!” Zahra pura-pura kesal sembari terus memegangi bibirnya.“Tak apa. Kan aku yang menodainya!” Elang tersenyum dan kembali membawa tubuh sang istri ke dalam pelukan. Bunga-bunga cinta bermekaran indah.Tanpa mereka sadari, ajudan Elang masih ada di sekitar mereka. Pria berbadan tegap itupun merasa malu dan pergi meninggalkan dua sejoli yang tengah dimabuk cinta. “Oh ya, Sayang. Apa sebenarnya yang penjahat itu katakan hingga kau mau mengikuti mereka ke sini?” tanya Elang kepada istrinya.“Astaghfirulloh hal’adzim. Aku sampai lupa kalau Jessica menculik ayah dan ibu! Elang, ayo kita selamatkan orangtuaku!” Zahra terlihat sangat panik.“Tunggu dulu. Tenanglah. Apa kau sudah mencoba menghubungi orangtuamu? Siapa tahu mereka hanya menipumu!”“Oh, iya. Kenapa aku gak kepikiran ke sana, ya.Sebentar!”Zahra mengambil ponsel yang berada di saku. Kemudian melakukan panggilan telepon kepada orangtuanya.“Halo. Assalamu’alaikum!” terdengar jawaban d
Saat melihat Baskoro, Zahra mundur beberapa langkah. Dia masih menyimpan bara api dalam dadanya. Masih butuh waktu bagi gadis itu untuk melupakan semuanya.Elang mengerti dengan perubahan sang istri. Dia akan berusaha menjadi penengah antara istri dan juga papahnya.“Zahra. Kau kembali, Nak? maafkan Mamah, Nak!” istri Baskoro tiba-tiba muncul dan memeluk menantunya. Dia tak kuasa menahan tangis. Widya mengerti kenapa putranya sangat bersedih saat kehilangan istrinya. Wanita bertubuh tambun itu tahu kalau menantunya memang wanita yang baik. Pantas saja suaminya memilih dia sebagai menantu.Zahra tak merespon pelukan Widya. Dia hanya terdiam dan tak mengerti apa yang harus dilakukan.Elang sangat mengerti jika orang tuanya juga merindukan istrinya. Namun Elang juga tahu kalau istrinya seperti kurang nyaman dengan situasi ini.“Maaf, Mah. Pah. Sepertinya Zahra perlu istirahat. Elang mau mengantar dia ke kamar dulu!”“Oh, Silakan!” sahut Baskoro.“Biar Mamah saja yang mengantar istrimu ke
“Oke. Papah akan berusaha menuruti ucapanmu! Jadi hubungan kalian sekarang benar-benar seperti suami istri yang sesungguhnya? Artinya sebentar lagi kalian akan memberikan cucu kepada Papah?” tanya Baskoro penuh harap.Elang tersipu malu. “Do’akan saja, Pah. Sekarang Elang mau ke kamar dulu!”“Oke! Jangan lupa, sampaikan permintaan maafku pada istrimu!” Bakoro bangkit dan memeluk putranya. Ada secercah harapan dalam dadanya.***Elang masuk ke dalam kamar. Terlihat sang istri sedang duduk bersandar pada ranjang. Saat melihat suaminya, Zahra menarik selimut untuk menutup tubuh bagian bawah.“Kau belum tidur?” tanya Elang kepada istrinya.“Aku belum ngantuk,” jawab Zahra dengan singkat. Dia merasakan jantungnya berdegup sangat kencang saat sang suami menuju ke arahnya. Dengan cepat gadis itu menundukkan kepala“Boleh aku duduk di sampingmu dan satu selimut denganmu?” tanya Elang dengan lembut dan penuh harap.Tentu saja hal itu membuat degup jantung Zahra berpacu sangat kencang. Wajahnya
BAB 115 MEROBEK SURAT PERJANJIAN“Kalau itu yang membuatmu ragu, ikutlah denganku sekarang juga!”“Ke mana?”Elang tak menjawab pertanyaan dari istrinya. Pria dengan dada bidang itu melangkah ke arah ruang kerjanya tanpa melepaskan lengan sang istri.Saat tiba di sana, Elang menyuruh istrinya untuk duduk di sofa. Lalu bergegas mengunci pintu dengan rapat seolah tak ingin ada seseorang yang akan mendengarkan pembicaraannya.“Kau mau apa?!” Zahra merasa khawatir. Suaminya terlihat memendam amarah.‘Kenapa dia yang harus marah. Seharusnya aku yang kesal!’ ujar Zahra bermonolog dalam hati.Elang menoleh ke arah istrinya sekilas. “Tunggulah sebentar!” kemudian dia melangkah menuju foto keluarga yang berukuran cukup besar.Elang menurunkan foto tersebut dengan perlahan dan diletakkan di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri.Ternyata di belakang foto tersebut ada lemari tanam berukuran kecil. Kemudian Elang mengambil kunci kecil yang tersembunyi di belakang foto. Ternyata pria ini orang ya
Elang melonggarkan pelukan dan menangkup wajah sang istri.“Aku berjanji takkan mengulangi kebodohanku. Atau kalau kau mau hukum aku supaya bisa menebus kesalahanku!”Zahra menggelengkan kepala. “Tidak! aku hanya ingin hidup tenang tanpa masalah. Kehilangan Mas Budi sangat membuatku terpuruk. Jadi tolong, jangan membuatku sedih. Itu saja yang aku inginkan!”Elang tersenyum sembari menganggukkan kepala. “Baiklah. Aku berjanji takkan pernah mengecewakanmu. Oh, ya sebentar. Aku ada hadiah untukmu!”Elang melangkah ke arah brankas untuk mengambil benda kotak berwarna merah. Wajahnya terlihat gembira saat membawanya ke hadapan sang istri.“Ini untukmu. Bukalah!” Elang memberikan kotak perhiasan kepada istrinya.“Untukku?” tanya Zahra seperti tak percaya.“Iya. Ini untukmu. Aku sudah mempersiapkannya beberapa hari lalu. Tapi belum sempat memberikan kepadamu! Sekarang, bukalah. Aku harap kau menyukainya!”Zahra mencoba tersenyum walau sedikit dipaksakan.Perlahan, gadis itu membuka kotak per
“Bagus sekali!” Zahra memegang kalung yang melingkar di lehernya.“Kau suka?” tanya Elang.“Iya. Aku suka. Tapi maaf, kalau aku belum bisa menjalankan kewajibanku sebagai istri yang seutuhnya. Aku masih butuh waktu. Kuharap kau mau mengerti,” ujar Zahra sembari menatap ke arah suaminya. Dengan penuh harap semoga sang suami memahami dirinya.“Aku mengerti dan tidak masalah bagiku. Aku akan berusaha lebih keras lagi supaya kau bisa jatuh cinta berkali-kali kepadaku. Dan aku tak akan bosan untuk menanti saatnya tiba.” Elang tersenyum sembari memberi usapan lembut pada pipi wanita yang membuatnya jatuh cinta berkali-kali.“Terimakasih.” Zahra menyentuh jemari Elang yang tengah mengusap pipinya.“Sebenarnya aku ingin kau tidak usah cape-cape bekerja. Aku ingin kau menjadi seorang istri yang ada setiap aku berangkat dan pulang kerja. Seperti Mamah. Bagaimana?” tanya Elang dengan berhati-hati karena takut akan menyinggung istrinya.Benar saja wajah sang istri berubah masam. Elang, maaf tapi
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d