Elang menghentikan kendaraannya di depan rumah Budi. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba mantan kekasih istrinya itu menghubunginya dan ingin bertemu. Saat Elang bertanya ada keperluan apa, Budi tak menjawabnya secara jelas. Dia hanya ingin bertemu dan berbicara dengannya.Elang terus mengamati rumah Budi. Ada sedikit keraguan untuk melangkah. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam otaknya. Bagaimana nanti jika Budi hanya ingin menjebak saja dan ingin mempertontonkan kemesraan dia dengan istrinya. Tentu saja tujuannya ingin membuat cemburu.Tapi benarkah demikian atau malah sebaliknya. Entahlah. Pikiran Elang terasa penuh dan tak lagi bisa berpikir jernih.“Mungkin saja mereka akan segera menikah. Dan Budi akan mengucapkan terimakasih kepadaku karena ikhlas melepas wanita yang pernah dipacarainya itu.” Ujar Elang seraya tersenyum kecut.Mengambil ponsel untuk menghubungi Budi. Tak perlu waktu lama untuk mendapat jawaban dari seberang.“Halo. Saya sudah berada di depan rumah Anda!”
“Aku tidak akan menikah dengan Zahra. Hubungan kami saat ini hanya sebatas teman, layaknya kakak dan adik. Dulu aku memang mencintainya. Tapi setelah aku menikah, cintaku sudah tercurah seluruhnya kepada Vero, istriku. Begitu juga dengan Zahra yang sangat mencintaimu. Jadi tidak mungkin kami menikah!” Budi menatap wajah Elang dengan tersenyum.“Benarkah? Kamu serius?” tanya Elang tak percaya. Selama ini dia selalu berpikir jika hubungan keduanya telah terjalin kembali.“Untuk apa aku bohong?”“Tapi kenapa Zahra begitu ngotot untuk merawatmu setiap hari. Bahkan dia mengabaikanku sebagai suaminya. Dan aku pikir itu juga keinginanmu. Kau sekarang tak punya istri, dan aku pikir kalian ingin merajut kembali cinta yang sempat berakhir karena diriku.”“Itu tidak benar! Aku tak pernah berpikir seperti itu!” jawab Budi dengan tegas. Dia benar-benar jujur dan memang sudah tak ada lagi cinta untuk Zahra. Bagi Budi semua masa lalu sudah terkubur rapat.“Budi. Jujurlah padaku. Aku ikhlas kalau kau
Hari ini akan menjadi hari tersulit sepanjang hidup yang dijalani oleh Zahra. Sidang pertama perceraian akan dilaksanakan hari ini. Kesedihan begitu terlukis pada wajahnya yang sembab. Entah sudah sebanyak apa air mata yang keluar.Semalaman gadis itu tiada henti menangis. Berjuta penyesalan yang merasuk dalam dadanya. Kenapa dengan mudah memutuskan untuk mengajukan gugatan perceraian.Gadis cantik itu duduk di depan meja rias sembari memegang sepucuk surat yang masih tersegel di dalam amplop dan berada di tangannya. Dia menimbang-nimbang akan membukanya atau tidak sama sekali karena apapun hasilnya tak diperlukan lagi. Sidang tetap saja berjalan sesuai yang sudah dijadwalkan.Surat itu berisi tentang hasil pemeriksaan dari rumah sakit tentang persoalan yang menggangu pikirannya. Surat itu sudah keluar dua hari yang lalu. Namun Zahra tak berani membacanya.Hari ini Zahra memutuskan akan membuka untuk memenuhi rasa penasarannya. Apapun hasilnya nanti dia sudah siap dengan semuanya.“Bi
“Tidak mungkin! Ibu tahu Elang begitu mencintaimu!”“Elang sendiri yang sudah bilang kepadaku, kalau dia sudah ikhlas untuk melepasku. Dan dia juga memintaku untuk melakukan pemeriksaan agar kebenaran terungkap.”“Itu artinya Elang masih mengharapkan dirimu, Nak.”“Tidak, Bu. Dia hanya ingin memulihkan nama baiknya.”Sejenak keduanya terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing.“Loh, kok malah masih santai. Ini udah siang. Nanti kita terlambat!” suara Mustafa mengagetkan keduanya.“Ayah. Ada yang perlu kita bicarakan. Sebenanrnya ....”“Ibu!” Zahra menggelengkan kepala dan mencegah ibunya untuk berbicara kepada ayahnya.“Ada apa? kamu masih gak ikhlas, Nak? sudahlah. Jangan memikirkan dia lagi. Masih banyak lelaki diluaran sana yng seratus persen lebih baik dari Elang! Cepat! Ayah tunggu di mobil!”Mustafa berlalu meninggalkan keduanya yang sedang dalam kebimbangan.“Nak. Cobalah temui suamimu dan bicaralah. Ibu tahu kau masih mencintainya. Jangan pertaruhkan masa depanmu hanya unt
Ingin rasanya menjerit dan berkata bahwa yang seharusnya berada di posisi wanita itu adalah aku. Namun bibir tak mampu berucap. Lidahpun terasa kelu. Hanya air mata yang masih setia menemani.Benar-benar tak menyangka jika semudah itu suaminya berpaling kepada wanita lain. Ternyata semua ucapan cintanya hanya palsu belaka.Tanpa disadari sang suami sudah berada di hadapannya. Zahra segera menghapus air matanya. Dia tak ingin terlihat lemah di hadapan pria yang membuatnya sakit hati.Yang lebih menyakitkan lagi, pria itu hanya berhenti beberapa detik menatapnya dan tanpa sepatahkatapun pergi begitu saja. Seolah dirinya sudah tak ada artinya lagi.Zahra menatap ke arah suaminya hingga punggung pria itu tak terlihat lagi. Gadis itu menarik napas untuk mengatur perasaannya yang tidak stabil.“Aku harus kuat!” Zahra memejamkan mata seraya memberi motivasi kepada dirinya sendiri.Kemudian gadis itu melangkah menuju ruang tunggu. Dan pada saat itu, sang bunda datang tergopoh-gopoh untuk mene
Pada saat akan menaruh tas di bangku mobil, zahra terlupa belum menutup tas dengan sempurna. Alhasil tas tersebut memuntahkan beberapa barang yang berada di dalamnya.Ada satu yang menarik perhatiannya, yaitu kertas hasil pemeriksaan dari rumah sakit. Gadis itu memungut lalu menatapnya lekat. Ada sesuatu yang mendesak dalam dadanya untuk memberi tahu hasilnya kepada Elang.Walau hal ini takkan berpengaruh bagi hubungan mereka, tapi Zahra ingin membersihkan nama baik Elang supaya tak ada beban dalam dadanya.Gadis itu segera mengambil kertas dan turun dari mobil. Sejenak dadanya dipenuhi berjuta keraguan. Namun rasanya tidak adil jika membiarkan kesalahpahaman ini terjadi.Dengan berat, gadis itu melangkah menuju pria yang masih berstatus sebagai suaminya.‘Tunggu! Aku ingin berbicara sebentar saja!” Zahra menghentikan suaminya yang sedang membuka pintu mobil.Elang menatap ke arah suara. Dia tak percaya bahwa wanita yang menggugatnya berada di hadapannya.“Apa begitu penting?” tanya E
Mobil Elang sudah tiba di kantor. Pria itu terlihat murung.“Turunlah! Bonus yang aku janjikan, akan segera ditransfer!” ucap Elang kepada wanita yang duduk disampingnya. Pria itu sama sekali tak menatap ke arah wanita yang sudah menenamninya untuk datang ke persidangan.“Baik, Pak. Terimakasih!” jawab wanita cantik tersebut. Kemudian turun dari mobil dan berjalan menuju kantor.“Siapa dia, Lang?” tanya baskoro yang duduk di samping sopir. Dia menatap wanita cantik itu sekilas, lalu mengarahkan pandangan kepada putranya yang duduk di belakang.“Dia sekertarisku, Pah!” jawab Elang lemah.“Papah sudah menebaknya. Tak mungkin kau bisa secepat itu membuka hati untuk wanita lain. Jadi apa tujuanmu sebenarnya?” tanya Baskoro.Elang menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. “Kita bicara di ruanganku saja!” jawab Elang sembari merapihkan jas yang dipakainya. Kemudian turun dari mobil bersama papahnya. Keduanyapun melangkah menuju ruang kerja sang direktur yang berada di lantai empat.“M
182 KETUK PALUKetukan palu hakim terasa bak petir menyambar di siang bolong. Pertanda semuanya sudah berakhir. Hari ini hakim mengabulkan permohonan gugatan perceraian yang diajukan oleh Zahra. Keduanyapun kini resmi berpisah.Zahra menangis terisak dalam pelukan sang bunda. Dia merasa dunia seperti hancur. Tak ada harapan lagi untuk hidup. Dia sangat menyesal dengan keputusannya yang begitu merugikan dirinya.“Ibu. Aku sekarang sudah menjadi janda!” Zahra menangis terisak pada pelukan ibunda tercinta.“Yang sabar ya, Nak.” Sang ibu mengusap-usap kepala putrinya dengan lembut. Hatinya juga hancur melihat putri satu-satunya bersedih. Tak ada yang bisa dilakukan karena semua sudah terjadi.“Jadikan ini sebagai pembelajaran. Jangan pernah memutuskan segala sesuatu dalam keadaan emosi. Karena kau bisa menyesal nantinya. Seperti yang terjadi saat ini. Kau harus menebusnya dengan penyesalan seumur hidupmu.”Wanita yang melahirkan Zahra melonggarkan pelukan. Kemudian mengusap air mata sang
“Lia?! Apa kabar?”“Alhamdulillah baik, Mbak!”Keduanya berpelukan dengan erat. Terpancar sinar kebahagiaan dari wajah wanita berhijab itu.“Silakan duduk.” Zahra menarik bangku untuk tamu specialnya.“Terimakasih, Mbak.”“Iya. Sama-sama.”Kemudian Zahra mengambil tempat duduk di seberang. Kini keduanya saling berhadapan.“Oh, ya. Kamu mau pesan apa?” Zahra memberikan buku menu kepada Lia.“Avocado juice sama manggo and banana smoothies.” Jawab Lia sembari mendorong perlahan buku menu tanpa membacanya.“Oke. Untuk makan siangnya kamu mau pesan apa?”“Itu saja sudah cukup, Mbak. Bagiku itu sudah menjadi menu untuk makan siangku.”“Apa kau tidak makan nasi?’ Zahra bertanya penuh selidik sembari menatap tubuh Lia dari ujung kepala hingga ujung kaki. Body yang sangat sempurna dan ideal. Wajahnya juga terlihat bersih dan cerah.“Aku lagi mengurangi karbo, Mbak. Sudah lama tidak makan nasi. Semenjak Mas Budi ketahuan ada benjolan di kepala dan juga riwayat diabetes dan hipertensi dari almar
Elang terperanjat. Pria itu tak mengira jika akan mendapat pertanyaan yang begitu menohok. Sesaat hanya bisa terdiam. Mengenang masa itu hanya akan membuat luka lama yang sudah terkubur, kembali terbuka.“Kenapa diam?!” pertanyaan sang istri membuyarkan lamunan.“Tidak ada apa-apa di antara kami. Yang aku tahu dia itu adiknya Budi. Betul’kan?” Elang berkilah. Dia berusaha untuk menghindar dari pertanyaan.“Itu benar. Yang aku tanyakan hubungan di antara kalian!” Zahra mempertegas pertanyannya.Elang menarik napas dalam. Dadanya terasa sesak seolah tak ada oksigen yang masuk ke dalam organ pernafasannya.“Sudahlah. Aku mau mandi dulu!” Elang menepuk pipi sang istri dengan lembut dan senyum yang sedikit dipaksakan.“Elang! Jangan menghindar! Jujurlah dan jawab pertanyaanku!” Zahra mencekal pergelangan tangan suaminya dengan sedikit meninggikan ucapan.“Aku sudah menjawabnya! Apa lagi yang harus dijawab!” Elang mengibaskan tangannya dengan kasar hingga terlepas dari genggaman tangan sang
Gadis berparas ayu nan anggun itu menghentikan langkah saat mendengar seseorang yang memanggil namanya. Kini tatapan matanya tertuju ke arah suara yang memanggilnya. Sejenak mengamati wajah Zahra yang kini semakin pucat dan tirus. “Mbak Zahra?!”“Iya. Kau masih mengenaliku, Lia?” tanya Zahra dengan wajah berbinar.“Tentu saja. Apa kabar, Mbak?”“Kabar baik. Kamu sendiri bagaimana?”“Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Mmm ... sepertinya Mbak terlihat lebih langsing. Dan membuatku hampir saja tak mengenali Mbak.” Gadis cantik itu ternyata bukan hanya cantik pada parasnya saja. Melainkan juga mempunyai sopan santun dan etika yang baik. Walau dari melihat fisiknya saja dia tahu jika wanita di hadapannya sedang tidak baik-baik saja. Namun ucapannya tidak menyinggung perasaan.“Bilang saja kurus kering, karena tubuhku ini sedang digerogoti oleh penyakit yang berbahaya,” jawab Zahra dengan tersenyum kecut. Ada rasa nyeri yang berarang di dada.Zahra tahu jika Lia tak ingin menyakiti perasaan
“Seharusnya aku yang bertanya seperti itu kepadamu, Elang! Aku yang sekarang bukan lagi istri yang bisa kau banggakan. Aku kini penyakitan dan tidak cantik lagi. Bahkan nanti setelah kemoterapy, rambutku akan mengalami kerontokan. Aku takkan cantik lagi. Dan aku yakin kau akan jijik denganku dan pasti meninggalkanku. Setidaknya jika kau menikah sekarang, aku takkan lebih sakit hati jika masa itu datang. Aku tak mau kau meninggalkanku di saat aku terpuruk.” Zahra menangis terisak. Dia tak sanggup lagi membayangkan jika lelaki yang dicinta akan pergi meninggalkannya.Elang mendekap sang istri dan mengecup puncak kepalanya.“Sayang, aku berjanji kepadamu kalau aku takkan pernah meninggalkanmu dalam keadaan apapun. Hanya maut yang dapat memisahkan kita. Aku mohon percayalah padaku, Sayang.”Zahra semakin terisak. Dalam pelukan lelakinya dia menumpahkan segala kesedihan dan rasa takut. “Aku takut kalau aku akan meninggal, Lang!”“Istighfar. Semua makhluk bernyawa pasti akan pergi meninggal
Zahra dan suami selesai menunaikan ibadah sholat tahajud. Keduanya memanjatkan do’a kepada sang pencipta.Elang berdo’a untuk kesembuhan sang istri tercinta. Hanya itu harapan terbesar satu-satunya untuk saat ini. Tak ada keinginan lain selain kesembuhan sang bidadari.Zahra pun sama khusyuknya dalam berdo’a. Do’a yang dipanjatkan tak hanya untuk dirinya sendiri. Tak lupa pula dia memohon kepada sang pencipta untuk kebahagiaan suaminya. Terutama dengan syarat yang akan diajukan olehnya untuk sang suami.Zahra sudah memikirkan matang tentang rencananya. Setelah melalui pemikiran panjang, keputusan terberat harus di ambil demi sang suami. Semoga saja ini yang terbaik untuk semuanya.“Sayang. Apa kau sudah selesai berdo’a?” pertanyaan Elang membuat Zahra terkejut.“Sudah,” jawab Zahra dengan gugup sembari mengecup punggung tangan suaminya.“Apa kau akan membicarakan syarat yang kau ajukan sekarang atau nanti?’ Elang menembak langsung dengan pertanyaan. Dia memang tak bisa berbasa-basi da
Elang berdo’a dengan begitu khusyuk. Dia sangat berharap jika Tuhan mengabulkan do’a untuk kesembuhan istrinya. Di setiap rintihan do’a tiada henti menyebut nama istri tercinta.Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sayup terdengar suara seorang pria yang cukup familiar di telinga Elang. Do’a yang dipanjatkan begitu tulus dan menggugah jiwa.Elang menajamkan telinga untuk mendengar do’a yang membuatnya larut dalam kesedihan. Do’a seorang ayah yang berharap untuk kesembuhan putrinya.“Ya. Alloh. Hamba mohon berikanlah kesembuhan untuk putri hamba. Dia adalah separuh dari nyawa yang ada dalam raga ini. Hamba tak sanggup melihat putri hamba menderita. Jika Engkau berkenan, Hamba bersedia menukar nyawa hamba demi kesembuhannya. Hamba ikhlas Ya Alloh. Hamba ikhlas.” Suara pria itu bergetar dalam isak tangis. Dia pun bersujud dan menumpahkan kesedihan di atas sajadah yang membentang.Elang terkejut mendengar do’a dari insan yang penuh harap. Dia menyadari jika suara itu milik ayah mertuanya. K
Zahra sudah menjalani serangkaian tes sebelum operasi. Dia berusaha untuk tegar dan tak terlihat sedih di mata suaminya. Namun pandangan kosong tak mampu menyembunyikan rasa sedih yang tergambar jelas pada mata sayunya.Gadis cantik itu bersandar pada dinding pembatas balkon yang berada di depan kamarnya. Udara pagi yang begitu bersih mampu menyegarkan pikiran.Biasanya di pagi hari, dia selalu berolahraga bersama suami. Namun semenjak mengetahui ada kista dalam tubuhnya, membuat semangatnya untuk beraktifitas menurun. Bahkan semangat hidupnya ikut menurun hingga sangat mempengaruhi kualitas sexualitasnya.Untuk sementara, Zahra mengambil cuti dari pekerjaan. Dia akan fokus untuk pengobatan penyakitnya.“Sayang, kamu sedang apa?” Elang memeluk pinggang mungil sang istri dari arah belakang. Pria itu tetap romantis walaupun tubuh istrinya tak seindah dulu.“Elang. Aku hanya ingin menghirup udara pagi dan berjemur di sini. Kamu tidak olah raga?” Zahra membalikkan badan. Kini keduanya sal
Zahra mendatangi dr. Arumi untuk memeriksakan diri. Tentunya ditemani oleh suami yang sangat setia.“Bagaimana, Dok? Apa saya hamil?” tanya Zahra saat baru saja selesai diperiksa oleh dr. Arumi.“Tidak. Anda tidak hamil.”“Lalu, kenapa Saya tidak menstruasi?”“Sudah berapa lama Anda tidak menstruasi?” tanya dr. Arumi.“Tiga bulan, Dok.” Jawab Zahra dengan singkat.Dr. Arumi menarik napas panjang sepertinya ada sesuatu yang menyesakkan dada.“Seharusnya Anda bisa datang ke sini lebih awal. Minimal setelah tahu bahwa Anda terlambat datang bulan di bulan pertama.”“Memangnya kenapa, Dok?” Zahra bertanya dengan cemas. Walau dia sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan dokter pribadinya.“Begini, dr. Zahra. Saya harus menyampaikan hal ini walau kurang mengenakkan.”“Bagaimana, dok? Tolong katakan dengan jelas!” Zahra terlihat mulai gelisah. Dia menatap ke arah suaminya.Elang hanya bisa tersenyum dan menggenggam erat jemari sang istri. Pria itu berusaha menguatkan istrinya. Walau sesun
“Bagaimana dengan kondisi rahim saya, Dok? Apa kecelakaan yang menimpa saya beberapa waktu lalu berpengaruh terhadap rahim saya?” dan apa Saya bisa hamil lagi dengan segera?” tanya Zahra kepada dr. Arumi setelah selesai menjalani pemeriksaan.“Sabar, Sayang. Nanya’nya satu-satu.” Elang berkata lirih kepada sang istri.“Iya. Maaf.”“Silakan duduk.’” Dr. Arumi mempersilakan Zahra dan suaminya duduk.“Begini, dr. Zahra. secara keseluruhan kondisi rahim Anda cukup baik. Namun karena Anda baru saja melahirkan secara operasi, ada baiknya Anda menunda hingga tiga atau empat tahun ke depan. Saya rasa sebagai dokter, Anda tahu resikonya.”“Iya. Sebenarnya saya tahu, Dok. Hanya saja, saya ingin sekali segera punya anak lagi.”“Saran saya, lebih baik dokter menikmati masa-masa indah dulu bersama suami. Dan jangan terlalu memikirkan hal ini, hingga bisa membuat anda tertekan. Saya tahu kehilangan seorang anak tidaklah mudah. Namun Anda harus bisa segera bangkit dan membuang semua beban yang ada d