Wolf berlari masuk dan melihat Tiana tengah duduk di kursi tunggu yang ada di lobby gedungnya, dan tersenyum saat melihatnya. Tiana sedang ada dalam mode biasa. Wolf biasanya melihat rambut bergelombang miliknya terlihat rapi terkuncir, dan memakai gaun glamour saat ada di Rainbow Wings. Ia kini hanya memakai celana jeans, sweater dan rambutnya tampak mengembang di sekitar wajahnya. “Aku tahu kau akan datang.” kata Tiana. “Kita ke atas,” kata Wolf. Ia menunjuk ke arah lift dan mereka langsung naik. Gedungnya tidak sangat sepi tentu. Masih banyak orang yang bekerja saat malam. Entah lembur atau memang biasanya banyak penyanyi maupun pencipta lagu yang lebih menyukai bekerja saat malam, karena lebih tenang. Tapi tidak ada lagi Becca tentu. Wolf meleewati mejanya yang kosong saat membuka pintu kantornya, dan membawa Tiana duduk pada kursi sofa yang tersedia untuk tamu. “Aku tidak akan menawarkan minum karena aku tidak tahu di mana letaknya. Aku harap kau bisa bicara dengan cepat s
Ia hanya tahu kalau tidak ingin melepaskan Zoe sendiri. “Pokoknya salah. Tidak terasa benar. Aku ingin mengawasi perkembangannya dari dekat tadi. Dia harus tinggal bersamaku lagi.” Tiana tertawa pelan. “Kau absurd sekali. Kau terlihat seperti anak kecil yang permennya diambil.” “Aku tidak merajuk! Aku hanya tidak mau memakai cara yang itu!” geram Wolf. “Ya, dan itu aneh! Tidakkah kau merasakannya?” Tiana menggelengkan kepala. “Aku belum pernah melihatmu terobsesi pada satu wanita seperti ini. Aku paling tidak sudah membawakan…” Tiana menghitung dalam kepalanya.“Lima belas mungkin—gadis yang berbeda padamu. Tapi kau tidak pernah mencari mereka untuk kedua kali. Tapi Zoe…” “Mereka tidak ada yang memiliki suara seperti Zoe.” Giliran Wolf memotong. Itu benar, meski yang membuat Wolf pertama tergoda adalah tubuhnya. Tiana kali ini hanya tersenyum. Dia masih memandang Wolf tapi tidak lagi bertanya. “Oke, aku terima alasan itu. Kau boleh menemuinya,” kata Tiana. Wolf langsung berdi
Wolf melepaskan jaketnya, membungkus Zoe lalu mengangkatnya. Dengan cepat, ia menerobos keributan itu, dan berlari menuju ke lantai dua. Ada beberapa tarikan yang menyambar kerah kaus yang dipakainya, tapi Wolf bisa menghalau dengan memutar tubuhnya.Untungnya ia cukup menghafal area Rainbow Wings—karena sudah sering datang. Wolf tidak kesulitan menemukan tangga yang akan membawanya ke lantai dua. Ia tahu di lantai dua tidak akan terlalu ramai, karena tamu-tamu VVIP biasanya tidak akan peduli dengan apapun yang terjadi di luar kamarnya masing-masing. Seperti itulah dirinya saat sudah ada di dalam.Benar saja, lantai dua terlihat tidak terusik. Padahal di bawah sana, suara keributan masih terjadi. Bahkan sekarang ditambah oleh sirine polisi, teriakan bahkan tembakan peringatan untuk menghentikan keributan itu.“Aku harus ke mana?” Wolf bingung, karena gagal mencoba untuk membuka pintu yang terdekat. Pintu itu terkunci, kemungkinan ada orang di dalam.Zoe menunjuk dengan kepalanya ke ar
Dengan matanya yang bengkak, Zoe memandang Wolf berlutut di depannya.Posisi itu saja sudah cukup untuk membuat Zoe mempertanyakan apakah kenyataan itu nyata atau tidak. Kata-kata Wolf itu malah semakin menjauhkannya dari dunia nyata.Wolf menawarkan sesuatu tanpa menyebut apa balasan untuknya hanya terjadi di dunia mimpi seharusnya. Terlalu indah untuk menjadi kenyataan.“Ada imbalan yang aku minta tentu.”Zoe nyaris saja mendengus karena dunia mulai tampak nyata, begitu Wolf menyebut imbalan.“I’ve fallen in love… with your voice. I want your voice. It's really… really beautiful.”(Aku jatuh cinta… pada suaramu. Aku menginginkannya, karena sangat indah)Zoe ingin mengutuk. Jantungnya tadi sesaat nyaris berhenti saat mendengar Wolf mengucapkan ‘love’. Jeda yang nyaris saja membuat artinya menjadi jauh berbeda. Pembahasan tentang suara yang mengikuti di belakangnya membuat nyawa Zoe kembali ke raga, dan menghangatkan tubuhnya.Ia hanya membahas tentang suara. Zoe langsung mengingatkan
Zoe menunduk. Zoe juga merasa takut, karena paham kalau harapan Wolf pada dirinya amat sangat besar. Padahal dirinya sendiri tidak berani berharap banyak, mengingat ia tidak mampu lagi bicara setelah kemarin itu.Zoe tentu saja kembali mencoba untuk bicara selama berada di Rainbow Wings, beberapa puluh kali, tapi belum mampu menghasilkan satu kata pun.Tapi penawaran Wolf yang ini jauh lebih ‘sehat’ daripada yang dulu. Ia tidak menyembunyikan dendamnya, dan ia punya sesuatu untuk ditawarkan, bukan hanya tubuh. Perbedaan yang jelas akan membawa arah lain dalam perjanjian ini.“Aku terima.” Zoe menyerahkan kucing berwarna pink, dan Wolf bersorak.“YES!”Wolf bangkit dan menghambur memeluk Zoe yang terkejut. Wolf benar-benar memeluknya.Bukan pelukan basa-basi, tapi pelukan sangat erat sampai Zoe terangkat dari ranjang dan berdiri dengan paksa, saat Wolf mengayunkan tubuhnya karena sedang amat gembira.Dan itu adalah pelukan pertama yang diterima Zoe selama beberapa tahun terakhir.Tiana
“ZOE!” Sara memekik saat melihat Zoe muncul dari balik punggung Wolf. “Aku pikir kau tidak akan pernah kembali!” Sara dengan ribut memeluknya, sampai memeriksa apakah keadaannya baik-baik saja. “Kau meragukan usahaku?” Terdengar Wolf menggeram jengkel karena Sara sama sekali tidak berpikir dirinya akan berhasil. “Tentu saja aku meragukan usahamu. Kau tidak pernah membujuk wanita, Aku ragu kau akan bertahan sejauh ini dan bisa membujuk Zoe untuk kembali.” Sara tidak memperdulikan sakit hati Wolf. “Aku mengejar karena tidak ingin bakatnya terbuang percuma, jadi sekarang…dia milikmu.” Wolf langsung mengalihkan pandangan ke arah ponsel di tangannya. “Aku pergi dulu. Terserah kau mau kemana setelah ini. Aku akan ada di kantor sampai malam,” kata Wolf, pada Zoe—yang mengangguk. Ia tidak akan menanti Wolf juga. Pekerjaannya menumpuk karena beberapa hari terakhir ia tidak bisa berkonsentrasi. Ia harus mulai membayarnya hari ini Tapi Wolf kembali berbalik saat sampai di depan pintu.
Sara tersenyum lalu menurunkan kakinya yang saling menopang tadi. Pertahanan Zoe cukup tebal.“Aku akan menjelaskan sesuatu padamu. Ini tentang betapa uniknya jalan pikiran manusia. Mungkin akan membosankan, tapi aku harap kau mengerti kenapa aku perlu untuk membuatmu menceritakan bagian paling tidak menyenangkan dalam hidupmu,” kata Sara.Zoe sedikit memiringkan tubuhnya untuk menghadap Sara. Ingin mendengar dengan lebih baik.“Apa kau tahu bagaimana cara manusia untuk bertahan saat merasa sakit atau terluka?”Zoe diam sejenak lalu menggeleng. Ia tidak mengerti harus menjawab bagaimana.“Mereka biasanya akan menghindar. Saat tidak sengaja menyentuh api, kau akan menarik tanganmu bukan? Yang seperti itu juga terjadi untuk luka hati, luka emosional—tapi tentu bentuknya berbeda. Manusia akan lari dengan menyibukkan diri dengan pekerjaan, alkohol atau mungkin makan. Pernah mendengar stress eating? Itu contoh paling ringan dari apa yang aku maksudkan ini.”Zoe mengangguk contoh itu membua
“Sstt! Jangan keras-keras.”Terdengar desis peringatan. Sara tampak berdiri perlahan dari kursinya, lalu mengibaskan tangan meminta Wolf keluar.Wolf mengernyit. Tidak mengerti kenapa, lalu Sara menunjuk ke arah kursi panjang. Zoe terlihat tertidur di sana.Wolf mundur keluar, Sara mengikuti. Mereka bicara di lorong gedung itu.“Dia tidur lama sekali. Hampir 12 jam sekarang,” kata Sara.“Tidakkah itu terlalu lama? Apa dia sakit?” Wolf tentu heran.“Memang tadi sedikit demam, tapi yang membuatnya tidur lama bukan itu. Ia hanya lelah secara mental. Ia mulai mau bicara padaku!”Sara tersenyum dengan amat lebar merayakan keberhasilannya.“Benarkah? Kau tahu apa yang terjadi padanya?” Wolf juga lega tentu. Itu kemajuan.“Aku tidak akan menceritakannya padamu!” Sara langsung membuat garis batas agar dirinya tidak lengah dan tanpa sengaja bicara.“Aku juga tidak memintamu untuk menceritakannya.” Wolf mendesis karena memang ia sudah cukup tahu apa yang terjadi.“Pokoknya Zoe sudah terlalu ban
“LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi
“Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga
Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber
“Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias
“Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter
Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da
“Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara
Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada
“Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba