Home / Romansa / ISTRI BISU SANG CEO / 4. Tuduhanmu Untukku

Share

4. Tuduhanmu Untukku

Author: aisakurachan
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Air mata Zoe yang pertama menerjemahkan duka itu.

“GHHH! AAGHH!”

Tapi ia tidak mampu mengatakan apapun. Menangis dalam sunyi adalah sesak. Zoe ingin berteriak, melepaskan duka yang menindih dadanya, tapi hanya suara dengus dan rintihan yang keluar dari bibirnya.

Bahkan untuk memaki saja Zoe tidak mampu. Zoe ingin marah pada Billy, ia ingin marah pada Max yang tidak membelanya, ingin marah pada Iris yang memulai semua nasib sialnya, tapi semua tertahan di tenggorokannya.

“Aku mohon tenang dulu. Penjelasannya masih panjang.”

Dokter itu menyela, dengan wajah menyesal. Ia tidak ingin mengganggu duka Zoe, tapi ia harus menyelesaikan penjelasan.

Dengan mata yang masih basah, Zoe memandang dan mengedip padanya. Memintanya untuk meneruskan. Pikirannya masih kacau, tapi Zoe ingin mendengar semua.

“Bagian kepalamu terbentur dengan keras, dan kau menjalani operasi untuk menyingkirkan gumpalan darah. Sekarang kau sudah sehat, tapi dengan rambut lebih pendek mungkin, karena kami harus mencukurnya.”

Refleks, Zoe berusaha mengangkat tangan untuk menyentuh kepalanya, tapi selain tangannya berat karena tidak terbiasa bergerak, Zoe merasakan sesuatu menahan tangannya itu.

KLANG!

Terdengar bunyi besi beradu saat Zoe menggoyangkan tangannya. Zoe melirik ke bawah dan melihat kenyataan lain yang mengerikan. Tangannya terborgol.

Zoe kembali memandang dokter itu dengan nyalang. Panik dan ingin penjelasan lain.

“Untuk borgol, akan ada polisi yang menjelaskannya nanti padamu. Tenang dulu, jangan banyak bergerak. Tubuhmu belum terbiasa dengan pergerakan, terutama setelah koma selama sekian bulan. Ya, kau koma sekitar tujuh bulan. Ini bulan ketujuh semenjak kau jatuh.”

Dokter itu mengatakan semua sekaligus sementara menahan tangan Zoe yang berusaha untuk melepaskan diri dari borgol. Memintanya untuk tenang.

Dan kata tujuh bulan itu kembali ampuh membuat Zoe berhenti bergerak. Ia baru saja mendengar soal anaknya yang meninggal, akan ada polisi yang terlibat sementara tangannya terborgol, lalu dirinya koma selama tujuh bulan. Ia masih bisa menduga polisi akan terlibat karena memang ada kejahatan yang dilakukan Billy—membuatnya jatuh dan keguguran, tapi Zoe tidak mengerti kenapa tangannya terborgol.

Kehidupannya terdengar seperti sirkus yang penuh lelucon buruk. 

“Kami nanti akan melakukan observasi keadaanmu lebih lanjut, terutama soal kemampuan bicara yang sulit kembali itu.”

Dokter itu menepuk tangan Zoe, menenangkan sekali lagi. Ia lalu bicara pada perawat. Tapi Zoe sudah tidak mampu lagi mendengar. 

Hanya air mata yang bicara untuknya saat ini. Campuran antara kebingungan gelisah dan sedih. Ia perlahan mengelus perutnya yang rata. 

Bayi yang bahkan belum berbentuk itu juga pergi meninggalkannya. Ia benar-benar sendiri.

***

Polisi datang tidak sampai setengah jam kemudian, saat Zoe sedang menyedot air minum dari perawat yang membantunya.

“Miss Zoe Anderson?” Dua orang polisi berpakaian bebas—detektif bertanya dengan nada resmi.

Zoe mengangguk, membuka mulut, tapi suara keluhan seperti tadi yang keluar.

“Maaf, tapi mungkin ada beberapa sarafnya yang belum kembali normal. Pasien masih kesulitan untuk bicara.” Perawat menjelaskan sekaligus berjalan keluar, karena tentu tidak ingin ikut campur urusan polisi.

“Oh ya. Kami mengerti. Kalau begitu Anda mendengarkan saja cukup.”

Polisi itu mengambil dokumen, mengangkatnya di hadapan Zoe, menunjukkan agar Zoe bisa ikut membaca.

“Ini adalah surat vonis yang dijatuhkan oleh hakim. Anda dinyatakan bersalah karena telah melakukan penguntitan kepada Maxwell Taylor. Dan…”

“HMMM!!” Zoe memprotes dalam suara keras tidak berbentuk. Ia baru saja mendengar omong kosong terbesar yang pernah didengarnya seumur hidup. Tuduhan menguntit Max adalah absurd.

“Maaf, bisakah Anda tenang dulu?” Polisi itu masih sopan, dan memegang tangan Zoe yang terborgol, agar tidak terluka.

Zoe tidak ingin diam, tapi ia tahu belum mendengar bagian terburuk. Ia berhenti meronta dengan nafas terengah menahan amarah.

“Anda tidak perlu takut. Hukuman Anda adalah enam bulan penjara sebenarnya, tapi mengingat keadaan Anda yang terluka parah, hakim memberi keringanan. Ia hanya meminta Anda mematuhi larangan untuk tidak mendekat dalam jarak seratus meter dari Maxwell Taylor. Jika Anda melanggar, baru hukuman enam bulan ini akan berlaku. Tapi jika Anda patuh dan tidak akan pernah mendekati Maxwell lagi—sebagai korban, maka Anda akan baik-baik saja. Tidak harus menjalani hukuman apapun. Apa Anda mengerti penjelasan saya?”

Detektif itu menatap mata Zoe, memintanya untuk memberi tanda bahwa ia mengerti. Detektif itu baru saja membawa ucapan vonis untuk Zoe, ia perlu pernyataan resmi kalau vonis itu sudah tersampaikan.

Zoe yang sekali lagi hanya bisa menangis tanpa bicara, mengangguk samar. Bahkan jika lidahnya bisa membentuk kata, Zoe tidak yakin akan mampu bicara. 

Memanfaatkan dirinya yang tidak mampu membela diri, mereka rupanya telah bermain kotor. Pengkhianatan Max tidak seberapa sakit dibanding apa yang di rasakan Zoe saat ini. Mereka menyayatkan luka lain pada torehan pedih yang masih berdarah.

“Terima kasih. Saya harap Anda menjalankan ketentuan hukuman ini dengan baik, demi kesehatan Anda juga.”

Detektif itu sedang memperingatkan agar Zoe tidak mendekati Max lagi. Ancaman hukuman itu serius. Polisi akan menggelandangnya ke dalam penjara begitu ada yang melapor ia mendekati Max.

“Saya akan membuka borgol ini, karena vonis Anda telah resmi.” Polisi itu membuka borgol tangan Zoe yang langsung terkulai lemas setelahnya.

“Saya harap anda cepat sehat. Selamat siang.”

Setelah menyelesaikan pekerjaannya, detektif itu tidak tinggal lama tentunya. Tidak mungkin juga akan menemani Zoe yang tengah merasa dunianya kiamat.

Tidak mungkin juga akan menghibur dan mengakatakan kalau keadaan akan baik-baik saja. Tidak ada yang baik-baik saja setelah ini, Zoe tahu kehidupannya telah berakhir.

Apa yang diharapkannya untuk menjadi masa depan semua telah hilang. Orang yang dulu berbagi mimpi masa depan yang indah dengannya, terbukti sudah tidak peduli.

Bahkan impiannya tidak lagi terlihat indah. Bagaimana mungkin ia akan bisa bernyanyi, saat untuk bicara saja Zoe tidak mampu.

Zoe menutup mata, berharap ia tidak akan terbangun lagi, karena kenyataan yang ada untuknya bukanlah kehidupan. Hanya takdir keji yang serupa mimpi buruk.

aisakurachan

A/N: Haloo... Selamat datang di novel Zoe dan Wolf. Mudah2an suka dan stay sampai akhir ya. Kalau ingin tahu novel author yang lain, boleh berkunjung di IG @aisakura.chan ya. Makasih :)) Selamat Membaca. 

| 12
Comments (12)
goodnovel comment avatar
Yustina Bangun
seru.. menyedihkan......
goodnovel comment avatar
bernadine mau
baru gabung...
goodnovel comment avatar
Yalesi Irma Bhinawati
klo pun ini ada di kehidupan nyata.....karma itu berlaku
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • ISTRI BISU SANG CEO   5. Aku Mengenal Namamu

    DUA TAHUN KEMUDIAN“Zoe, bangun! Ada tamu VVIP! Kau yang pergi!”Zoe berdiri dari sofa yang menjadi tempatnya tidur, memandang orang yang baru saja membangunkannya dengan wajah jengkel, tapi kemudian Zoe tersenyum. Ia mengenali orang itu.Tiana, wanita berusia empat puluhan yang juga pemilik strip club tempatnya bekerja saat ini.Zoe mengambil tali yang biasa dipakai untuk menggantungkan name tag, tapi bukan name tag yang tergantung di ujungnya. Ada tumpukan kartu dengan aneka tulisan yang bisa dipilih. Tapi Tiana rupanya tidak sabar.“Ya.. ya… aku tahu kau akan berterima kasih. Tapi nanti saja. Dia bukan orang yang penyabar, dan ingin bersenang-senang malam ini.”Tiana mengambil kartu ucapan itu dari tangan Zoe, melemparkannya ke atas meja. Zoe memandangnya dengan kecewa, karena ia baru menemukan cara yang lebih cepat selain menulis untuk berkomunikasi.“Maaf, tapi tidak malam ini. Aku akan melihatnya besok, oke? Aku harus mempersiapkanmu. Pakai ini.”Tiana tidak biasanya kasar, tapi

  • ISTRI BISU SANG CEO   6. Rela Jika Itu Untukmu

    Rencana nekat terbentuk dalam benak Zoe. Rencana yang benar-benar nekat. Wolf masih terus mengamati Zoe–terutama wajahnya. Zoe menegakkan lehernya, memberi akses agar Wolf melihat wajahnya lebih jelas. Zoe berada di angle yang tepat, Wolf seharusnya tidak menilainya lumayan lagi. “Aku lihat dulu bagaimana," kata Wolf, sambil meletakkan minumannya di atas meja yang ada di hadapannya. Bukan meja biasa. Meja itu adalah panggung Zoe. Bundar, memiliki lebar yang cukup agar penari bisa bergerak aman dan bebas, lalu ada tonggak besi di tengahnya. “Aku permisi. Aku harap kau menyukainya.” Tiana berpamitan. Seiring detak suara sepatu Tiana yang semakin samar karena pintu ruangan itu telah tertutup, detak jantung Zoe semakin keras. Ia biasanya tidak lagi gugup dan langsung bekerja dengan profesional, tapi kali ini berbeda. Ia harus berhasil membuat Wolf tertarik padanya. Harus bisa membuatnya meminta pelayanan full sevice agar meninggalkan kesan. “Kau pilih lagu sendiri.” Wolf mengulurkan

  • ISTRI BISU SANG CEO   7. Apa Penawaranmu?

    Zoe mengangguk menjawab pertanyaan Wolf. Tulisan itu tidak salah. Tapi tentu permintaan itu dianggap salah oleh Wolf. Pria yang ternyata memiliki iris berwarna hijau pekat itu, memandang Zoe seolah ia baru saja bertemu dengan wanita gila. “Apa kau ingin uang lebih? Kalau hanya sekedar uang lebih… Aku akan memberikannya. Tubuhmu lumayan rasanya. Tapi tidak ini.” Wolf menjentikkan kertas itu dari tangannya, sampah menurutnya. “Mmmm…” Zoe mengeluarkan gumaman sambil melambaikan tangan karena panik. Takut kalau Wolf akan pergi. Tapi gumaman itu justru membuat Wolf—yang baru akan memakai kemejanya kembali berhenti, dengan wajah bertanya-tanya. Bisa melihat kalau Zoe kesulitan bicara. “Apa kau bisu?” Wolf memakai bahasa isyarat. Tapi Zoe justru tidak mengerti bahasa isyarat itu. Ia kembali menuliskan jawaban di kertas, lalu mengulurkannya. “Aku tidak tuli, tapi aku memang tidak bisa bicara. Masalah syaraf di otak. Panjang. Aku tidak ingin menjelaskannya. Tapi aku tetap ingin menikah d

  • ISTRI BISU SANG CEO   8. Budak Untukmu

    Zoe menelan ludah. Ia ingin menggeleng—karena ini adalah keputusan paling berani yang pernah diambilnya seumur hidup. Ia terjun ke alam yang sama sekali tidak punya bayangan seperti apa.Tapi balas dendam itu menggoda. Sakit hatinya yang tidak pernah terbalaskan itu—yang menggerogoti hatinya setiap kali melihat wajah Max di papan billboard, tidak untuk diabaikan juga.Billy, Max, dan Iris. Mereka membuatnya menjadi bisu—menghancurkan bakat dan mimpinya. Membunuh anaknya.Zoe lalu mengangguk, lalu menunjukkan catatan singkat yang dibuatnya. “Ya, aku tahu.” “Well, kalau begitu mari kita uji.” Wolf tersenyum.“Berlututlah dan cium kakiku. Ini tingkat penghambaan yang aku inginkan.” Wolf mengangkat kakinya yang masih telanjang juga, menyilangkannya. Menunggu Zoe.Permintaan yang jelas mengekspresikan penyerahan diri yang absolut, sesuai dengan tulisan Zoe. Zoe kembali tidak menyangka penawaran itu akan terjadi dengan sangat cepat dengan bentuk yang cukup menantang.Mencium kaki adalah p

  • ISTRI BISU SANG CEO   9. Dia Bukan Untukmu

    “Kau yakin akan melakukan ini? Bagaimana… Sebentar.” Tiana rupanya masih sulit menerima meski ia sudah membaca catatan dari Zoe. Ia memeriksanya sekali lagi, sementara Zoe tengah membereskan barang-barangnya. Tidak banyak, hanya peralatan make up dan beberapa sepatu boot yang dibelinya sendiri. Selain itu, kostumnya kebanyakan milik Tiana. Hari ini, Zoe akan pindah ke rumah Wolf. “Dia bukan tipe orang yang bisa kau jadikan suami, Zoe. Kau tahu itu bukan?” Tiana meraih tangan Zoe, memintanya mempertimbankan. Zoe meraih kartu yang tergantung di lehernya dan menunjukkan kata ‘aku tahu’. Banyak kata umum yang tergantung di sana, termasuk ‘terima kasih’, ‘tidak’, ‘oke’. Kata-kata singkat yang tidak perlu ditulisnya lagi. “Lalu kenapa… Jangan katakan kau masih belum melupakan…” Zoe menepuk tangan Tiana, lalu mengetik kalimat pada ponsel yang juga bergantung di lehernya. “Mereka membunuh anakku, membuatku tak bisa bicara! Aku tidak akan lupa!” Zoe menunjuk tulisannya itu beberapa kal

  • ISTRI BISU SANG CEO   10. Namamu Milikku

    Zoe melangkah memasuki rumah yang tentu saja sangat mewah itu dengan amat perlahan. Takut jika langkahnya akan membuat lantai marmer yang diinjaknya retak. Lantai rumah Wolf begitu berkilau, sampai sesaat Zoe mengira lantai itu terbuat dari kaca. Padahal meski ia menari tap dance di atasnya, lantai itu akan baik-baik saja. “Kamar Mr. Wolf ada di atas. Akan saya antarkan.” Stefan–pria yang tadi menjemput dan mengantarnya sampai ke rumah itu, menarik koper bawaan Zoe, mengajaknya ke lantai dua. Zoe sebenarnya belum selesai mengagumi area lantai dasar rumah itu, yang mana sangat mewah. Penuh karya seni berupa patung dan lukisan, lalu ada ruang terbuka yang diisi taman indoor. Tatanan jenis modern minimalis. Tapi pemandangan di lantai dua juga tidak terlalu buruk. Zoe bisa melihat pemandangan kota New York di kejauhan dari dinding kaca yang terbuka lebar di seluruh lantai dua. Rumah itu tidak terletak di dalam kota New York, tapi juga tidak terlalu jauh. Daerah suburban sempurna, ya

  • ISTRI BISU SANG CEO   11. Hak yang Aku Minta Darimu

    “Clay, diam dulu.” Wolf meminta Clay, teman—sekaligus lawan bicaranya sejak tadi untuk berhenti bicara. Ia tengah membaca pesan dari Zoe dengan takjub. Isinya terlalu mengejutkan pastinya. “Sejak kapan kau menerima pesan?” Clay heran, karena tahu Wolf anti menulis pesan. Ia lebih suka menelepon, dan biasanya orang yang menghubungi ponsel Wolf, cukup tahu untuk tidak mengirim pesan. “Dia belum tahu… oh… Tidak bisa.” Wolf baru saja mengangkat ponsel ke telinga untuk menghubungi Zoe, tapi kemudian ingat kalau Zoe tidak akan bisa membalas panggilannya. Maka Wolf juga menulis pesan akhirnya. “Kau itu membalas apa? Siapa yang bisa membuatmu mengirim pesan?” Clay semakin penasaran. Mereka ada di tengah pembicaraan bisnis. Tidak biasanya wolf akan menghentikan pembicaraan hanya karena panggilan maupun pesan. Tapi kini Clay melihat wolf bersusah payah mengetik sambil mengerutkan kening. Jempolnya bergerak sangat lambat di permukaan layar ponsel. Ada alasan kenapa Wolf tidak suka mengir

  • ISTRI BISU SANG CEO   12. Lagu Merdu Darimu

    Wolf melangkah sambil mengernyit. Ini karena rumahnya gelap. Saat ini baru pukul delapan, sangat jauh dari jam tidur. Tentu ia biasa menemui rumah yang gelap, tapi seharusnya ada yang berubah. Ada makhluk hidup bernapas lain yang menghuni rumahnya. Kegelapan itu membuatnya heran pastilah. Wolf meneruskan langkah ke sumber cahaya yang berasal dari kamarnya. Hanya ruangan itu yang menghasilkan tanda kehidupan. Membocorkan lokasi dimana Zoe berada. Tanpa permisi, maupun mengetuk, Wolf membuka pintu, dan mendapati kalau ternyata ada badai lokal telah lewat di kamarnya itu. Rumahnya selalu rapi. Tidak ada barang yang salah tempat maupun kusut. Tentu pemandangan bagaimana selimut dan bed cover yang tersibak dan tergeletak di lantai adalah hal yang membuatnya takjub. Dan bukan hanya itu. Ada lembaran kertas berjatuhan di sekitar ranjang. Ada tumpukan kertas yang masih cukup tinggi di atas meja. Yang tentu kemarin tidak ada di sana. Wolf tidak pernah bekerja di kamar. Ia hampir tidak per

Latest chapter

  • ISTRI BISU SANG CEO   Extra 3 ~ Dunia Kita

    “LORIA MOREAU!”Zoe diam. Ia mendengar namanya, tapi tidak percaya kalau nama itu miliknya.“Wake up, Baby. And smile. It’s your’s.” (Bangun dan tersenyumlah. Piala itu milikmu)Bisikan Wolf itu akhirnya memunculkan emosi. Zoe memerah karena haru, baru bisa berdiri saat Wolf membantunya. Sayang Wolf tidak bisa mengantarnya ke panggung.Untungnya ada tangan Syanne yang membantunya, lalu Jacob yang ada paling dekat dengan panggung, membantunya meniti tangga agar sampai di atas.Zoe beberapa kali mengucapkan terima kasih pada orang yang mengulurka piala miliknya, sebelum akhirnya berdiri di hadapan mic untuk menyampaikan sambutan.Zoe menghela napas beberapa kali, menghapus air mata dan akhirnya bisa menatap ke arah kamera dan penonton—yang menunggunya dengan sabar.“Ini hal yang tidak pernah saya impikan, berdiri di sini dan menerima ini.” Zoe menatap piala yang ada di tangannya sekali lagi dan tersenyum.“Saya… sempat mengubur impian ini. Tidak lagi berharap untuk bisa bernyanyi—apalagi

  • ISTRI BISU SANG CEO   Extra 2 ~ Usai dan Selesai

    “Zoe, tunggu. Apa hanya seperti ini?” Max terlihat kembali akan menyentuh tangan Zoe, tapi ditepis. “Zoe, kita punya masa lalu, dan…” “Exactly! Masa lalu yang sudah tidak signifikan lagi karena aku sudah menemukan masa depan yang indah. Tidak lagi menjadi kacung yang kau anggap seperti kain kotor!” Bentakan yang membuat Max terdiam dan kembali menunduk meremas tangannya. Zoe tidak lagi peduli apakah orang lain mendengarnya atau tidak. Ia ingin Max mengerti agar tidak lagi berusaha. “Kembalilah ke liang dimana kau berada, dan silahkan mengingat kenapa kau dulu memilih untuk membiarkanku mati. Agar kau sadar kenapa aku tidak akan pernah berkelas kasihan padamu!” Zoe menyambar kacamata hitam yang ada di meja lalu memakainya dan berjalan keluar. Urusannya berakhir. Ia kemarin juga sudah menolak permintaan Iris yang berusaha menghubunginya dari penjara. Zoe tidak ingin merusak harinya dengan mendengar omong kosong. Sedangkan Billy—ia tidak mencoba sama sekali. Diantara mereka bertiga

  • ISTRI BISU SANG CEO   Extra 1 ~ Tidak Ada Maaf

    Zoe melakukan sesuatu yang tidak akan disukai oleh Wolf. Ia tidak akan berbohong, tapi akan mengatakannya nanti setelah selesai. Zoe ingin menyelesaikan ini sendiri tanpa campur tangan orang lain.Tentu saja tidak mudah. Ia melangkah dengan hati gelisah. Zoe beberapa kali menggeser kacamata hitam yang ada di atas hidung, sementara tangan yang lain menenteng bunga dan box hadiah berwarna pink yang cantik.Zoe gelisah karena tahu ia akan dikenali saat masuk nanti. Tapi sudah pasrah. Tidak mungkin juga menyembunyikan identitasnya sekarang—mengingat orang yang akan ditemuinya.Zoe menghampiri loket setelah ia menuliskan nama dan nomor tahanan di selembar formulir, dan menyerahkannya.“Silahkan tunggu di sana. Nanti akan kami panggil,” kata sipir penjara yang ada di belakang loket.Ia menatap Zoe beberapa kali saat ada sipir lain yang memeriksa bawaan Zoe—memastikan tidak ada benda terlarang diselundupkan, melirik untuk memastikan—bahkan membaca namanya yang ada di formulir, tapi tidak ber

  • ISTRI BISU SANG CEO   224. Bersamamu

    “Ini.” Wolf menyerahkan cangkir pada Zoe. Zoe ingin menerima tapi tangannya masih sibuk membalas pesan yang masuk ke ponselnya. “Cliff benar-benar belum punya kekasih bukan?” tanya Zoe. “Hm? Untuk apa kau bertanya?” Wolf mengernyit curiga tentu.“Untuk Sara. Ia ingin meyakinkan karena tidak percaya pria seperti Cliff masih single.” Zoe mendecak sambil menunjukkan pesan yang dikirim oleh Sara untuknya. Menunjukkan kalau ia tidak berbohong. Ia memang bertanya untuk Sara bukan untuk dirinya. “Belum. Kata Clay ia sempat punya—wartawan atau MC, aku lupa. Tapi putus saat Cliff akan pindah dan ke sini. Entah dia pindah lalu mereka putus, atau putus dan baru pindah.” Wolf hanya mengulang kata-kata Clay tentu. Dan kini Zoe mengulangnya dalam bentuk pesan untuk Sara, dan mengirimnya agar tenang. “Bagaimana kau bisa tahu detail ini?” Setelah mengirim pesan dan mengambil cangkir bagiannya Zoe bertanya dengan heran. Pengetahuan itu terlalu mendetail—terutama saat berasal dari Wolf yang bias

  • ISTRI BISU SANG CEO   223. Kesalahanmu yang Tersimpan

    “Tapi seharusnya dia ada di penjara…”Max mengingkari kenyataan sekali lagi. Baginya Loria masih tidak mungkin Zoe karena seharusnya ia ada di dalam penjara.“Tololmu tidak ada habisnya!” Billy menggebrak meja dan mengamuk. Mencekik leher Max dengan tangannya yang terborgol. Tentu saja segera terjadi keributan dan teriakan saat polisi yang berjaga menerjang Billy melumpuhkannya ke lantai.Tapi rupanya Billy benar-benar marah pada Max, karena ia masih memberontak dan memaki pada Max, meski ia sudah ada dalam posisi menelungkup.“DASAR OTAK UDANG! KEPALAMU ITU…”“SILENCE!”Bentakan Billy kalah dari hakim yang berseru menggelegar. Tidak hanya Billy yang terdiam, wartawan dan penonton yang ribut pun diam. “Sekali lagi ada yang mengganggu aku akan menjadwalkan ulang sidang ini! PAHAM?!”Sunyinya ruangan itu, hanya berarti mereka semua mengerti. “Bawa keluar. Mr. Dacosta, saya akan memastikan tindakan ini akan masuk dalam dakwaan Anda. Penyerangan, tindak tidak sopan dan mengganggu keter

  • ISTRI BISU SANG CEO   222. Masa Lalumu yang Berbeda

    Jaksa itu memulai dengan pertanyaan standar, tentang latar belakang Sara—pendidikan, berapa lama ia telah menjadi psikiater dan lain sebagainya. Baru setelah itu ia menyebut tentang Zoe. “Sejak kapan Ms. Zoe Anderson menjadi pasien Anda?” tanya Jaksa. “Lebih dari setahun.” Sara menjawab dengan jelas. Tidak terlihat lagi mode ceria yang biasa dipakainya saat berhadapan dengan pasien. “Bisa Anda jelaskan bagaimana keadaan Ms. Anderson saat itu?” “Zoe datang dengan keinginan untuk sembuh, karena ia menderita trauma berat yang sangat terlihat dan membuatnya tidak bisa menjalani kehidupan yang normal.” “Bisa tolong jelaskan lebih lanjut tentang trauma itu?” Sara mengangguk. Tenang karena semua sesuai dengan perkiraan yang diberikan Cliff. “Zoe datang dalam keadaan tidak bisa bicara, tapi hasil pemeriksaan dokter memperlihatkan kalau Zoe tidak menderita luka fisik lagi. Semua syarafnya normal tanpa gangguan, maka bisa dipastikan kalau keadaan tidak bisa bicara itu adalah hasil lain da

  • ISTRI BISU SANG CEO   221. Perlindungan Untukmu

    “Itu… Aneh. Kau jangan bercanda!” Iris menggeleng keras sambil menatap Zoe dari ujung kepala sampai ujung kaki. Berusaha mengenali sosoknya sebagai orang yang sama—dengan yang dilihatnya dulu saat bersama dengan Max.“Apa aku pernah bercanda saat bicara denganmu?”Wolf membalas dengan datar sambil menarik kursi untuk Zoe. Kursi yang paling jauh dari Iris. Ia masih kehilangan kata-kata dan terus memandang Zoe.“Kau benar-benar Zoe Anderson?” Iris masih melotot ke arah Zoe.“Ya, sebelum mengubah nama menjadi Loria Moreau, itu adalah namaku juga.” Zoe membalas dengan tenang. Kegugupan yang tadi menghantui tidak lagi ada.Pertemuan dengan Iris itu mungkin tidak terduga dan nyaris menyebalkan, tapi Zoe merasa mendapat kekuatan, karena sangat sadar kalau ia saat ini berada di atas.Melihat Iris yang terkejut, Zoe merasakan kepuasan. Kemenangan karena berhasil menunjukkan dirinya yang baru kepada Iria. Bukan lagi perempuan kumal yang dulu ditemuinya—dan diabaikan karena dianggap tidak setara

  • ISTRI BISU SANG CEO   220. Masalah Masa Lalumu yang Terakhir

    Zoe mengusap rock dan blazernya yang berwarna cream netral. Pilihan dari Darcy agar Zoe tidak tampak mengintimidasi maupun muram. Ia tengah merasa gugup karena dari kejauhan bisa melihat bagaimana wartawan berkerumun di depan pengadilan. Mreka tentu saja menunggu sosok Zoe Anderson yang sama sekali misterius. Tidak ada yang memuat gambar Zoe dalam berita, karena memang tidak ada dokumentasi apapun dari kasus Zoe. Dulu Zoe terluka dan ada di rumah sakit, jadi sama sekali tidak menghadiri pengadilan sebagai tersangka. Tidak ada yang merekam wajahnya maupun tertarik untuk mencari tahu di rumah sakit karena kasus itu sangat jelas membuatnya menjadi tersangka. Zoe juga mengusap rambutnya yang berwarna kembali pirang. Ia tidak memakai wig hari ini. Pertama kalinya ia akan muncul tanpa rambut hitam—dan sejujurnya membuat Zoe lebih gugup lagi. Seolah melepaskan topeng yang selama ini melindunginya. Zoe akan menjadi Zoe di hadapan orang banyak, bukan lagi Loria. “Mereka akan terpesona pada

  • ISTRI BISU SANG CEO   219. Caramu yang Licik

    “Dia ingin menyelamatkan diri! Licik sekali!” Wolf mendesis kesal.Sudah jelas dari pernyataan Iris itu terlihat kalau ia memang hanya ingin menyelamatkan dirinya sendiri dengan menyalahkan Max dan juga Billy.“Ia membuat mereka terkesan menekan dirinya untuk menyembunyikan kenyataan tentang Zoe. Iris lalu memakai alasan tekanan itu dan menjadikannya terlihat sebagai alasan semua perbuatan anehnya kemarin. Ia bersembunyi dari kesalahan dengan memakai alasan kesehatan mental.” Sara menggeleng dan tampak jengkel. Tentulah ia kesal saat ada orang yang menjadikan kesehatan mental sebagai kebohongan.“Dia berhasil keluar memakai sekoci sebelum kapalnya benar-benar karam.” Cliff memandang Iris yang terus terisak dan menangis diantara kata-katanya.“Tidak masalah. Biarkan saja,” kata Zoe sambil bersedekap dan menatap ke arah televiisi tanpa berkedip.“Apa maksudmu biarkan saja? Dia berbohong lagi!” Wolf juga menunjuk ke arah televisi dengan wajah tidak terima.“Setidaknya dia telah jujur, ba

DMCA.com Protection Status