Kevandra yang baru saja masuk, merasakan ada nyeri yang menusuk. Tampak tangan Jordhy dan Arumi saling bertaut. Juga senyum cerah di wajah Jordhy. Kevandra tahu betul, Jordhy bukan orang yang pandai menyembunyikan ekspresi. Dia lebih cenderung seperti Shelma. Meskipun tingkat blak-blakkannya satu level di bawah gadis itu. “Baru pulang, Kev?” Pertanyaan Jordhy membuat Arumi ikut menoleh ke arah lelaki berambut sebahu yang baru saja tiba. Kevandra menghempaskan tubuhnya di sofa dan melepas kaos kaki yang dipakainya.“Iya, Mas. Elo mau pergi?” Tanya Kevandra berbasa-basi. Jujur, hatinya yang sejak kemarin terguncang ketika akhirnya tahu, jika wanita yang ia cari, benar-benar sudah menjadi kakak iparnya. Juga menipisnya harapan karena akhir-akhir ini, dia melihat Jordhy tampak lebih perhatian. Sepertinya, mereka sudah saling menerima, itu yang ada dalam pikiran Kevandra. “Iya, biasa makan malam basa-basi,” tutur Jordhy lugas. Kevandra hanya tersenyum. Reflek netranya melirik ke arah je
“Dia kesambet apa, sih? Sejak pagi, aneh banget,” batin Arumi. Namun, tak banyak tanya. Dia pun duduk saja. Jordhy memutar dan masuk ke pintu di sebelahnya. Lalu menyalakan mobil. Sesekali dia bersenandung,seperti seorang remaja yang tengah jatuh cinta. “Jangan-jangan dia lagi puber kedua,” batin Arumi sambil memutar bola mata. Dia pun lekas membuka gawai dan memeriksa beberapa chat. Ada chat dari Milea, sahabat dekatnya waktu kuliah dulu. Dia sudah menikah dengan orang Prancis dan sekarang tinggal di Paris. Hanya beberapa orang yang Arumi beri tahu terkait pernikahannya. Sisanya, tak ada. Dia pun tak mengundang teman-temannya yang ada di Surabaya. Hanya kerabat dan teman dekat saja. Mobil yang ditumpangi Arumi dan Jordhy tiba di sebuah hotel berbintang. Jordhy mengajak Arumi turun. Tak lupa, dia mengambil paper bag berisi kado yang sudah dicarikan Lisa siang tadi, juga buket bunga. Tentunya dia menugaskan Lisa dengan alasan relasi bisnis dengan Pak Bondan memang harus terjaga. “Ay
“Waduh, Pak Jordhy sama Bu Arumi ini, mengingatkan kita pas muda dulu, ya, Ma! Pengennya mesra terus,” celoteh Pak Bondan. Karena kebetulan adegan jatuhnya Arumi hanya berjarak beberapa meter lagi dari Pak Bondan dan Istri yang sibuk menerima ucapan selamat. “Iya, Pa! MasyaAllah, pasti Pak Jordhy betah banget di rumah! Punya istri cantik dan ekslusif kayak gini! Semua tertutup, hanya suaminya yang bisa menikmati! Saya jadi nyesel kenapa baru kerudungan sekarang!” ujar istri Bondan yang memang juga sudah berkerudung. Dia menatap kagum pada Arumi yang masih berada dalam pelukan Jordhy.“Mas, bisa dilepas gak?” bisik Arumi sambil perlahan melepas lingkaran lengan Jordhy pada pinggangnya. “Sudah, diem! Gue Cuma takut elo jatoh lagi. Tar gue juga yang malu!” bisik Jordhy. "Gue, elo lagi," batin Arumi. Arumi membuang napas kasar. Awalnya dia kesal. Risih juga berada dalam jarak sedekat itu dengan Jordhy. Hanya saja, melihat wajah Lisa yang terlihat merah padam, Arumi akhirnya membiarkan
[Bisakah kita bertemu. Saya harus bicara empat mata.] Arumi mengedik tak peduli. Pesan itu tanpa nama, tanpa sopan santun juga. Begitu ringannya jemari Arumi bergerak menggulir layar mencari tombol blokir. Lalu diketuknya tombol itu sekali. “Ah, selesai. Hidup sudah banyak urusan, jangan ditambah lagi,” batin Arumi sambil kembali menyimpan gawai. Tiba di rumah, denting gitar terdengar. Arumi yang baru saja turun sejenak termenung, lalu celingukkan mencari sumber suara. Lagi-lagi, alunan musik itu. Tampak Kevandra sedang duduk di gazebo depan rumah di tepi parit kecil buatan. Dia sedang menatap riak air oleh kecipak ikan. Sementara itu, jemarinya lincah memainkan senar-senar. Arumi terpegun menatapnya. Sejenak ia memejamkan mata dan menajamkan ingatan. Sekilas bayangan melintas di kepala Arumi. Jembatan-jembatan kokoh klasik yang melengkung , langit senja berwarna jingga yang pantulannya tenggelam di dalam sebuah kanal. Kanal berair jernih itu terlihat tenang, riaknya berkilauan,
“Ck, malah tidur! Apa saking merdunya permainan gitarku, ya?” batinnya sambil berjalan dan menyimpan gitar ke tepi lemari. Dia pun lekas berjalan menuju king size bed dan merebahkan diri. ***Keesokan harinya, mereka kembali menjalani kesibukkan masing-masing. Tak ada kesan mendalam di hati Arumi, karena dia sudah tahu lebih awal seperti apa Jordhy. Namun, tidak demikian dengan Jordhy. Semakin hari, dia semakin merasa ketergantungan dengan Arumi, sikap sigapnya, tutur lembutnya, kemandiriannya dan segala hal tentangnya kecuali wajah. Jordhy berangkat ke kantor seperti biasa, begitupun Arumi pagi itu langsung berangkat ke butiknya. “Dia hanya minus tompel di pipinya saja … dia mau tidak, ya, kalau aku ajak ke dokter buat operasi?” batin Jordhy sambil menimbang-nimbang selintas ide yang tiba-tiba datang. “Ah, sebaiknya aku bicarakan nanti.” Jordhy pun lekas mengecek Pak Kamin, penjaga rumahnya dan memintanya mengirimkan foto-foto rumah di sana. Cukup puas dengan laporan dari Pak Kami
Sebuah rumah mewah bergaya eropa klasik berdiri gagah. Cat warna putih terpoles apik, putih, bersih membuat rumah tersebut terlihat elegan. Pohon palem berjajar di tepi pagar yang artistik menyambut kedatangan sang Tuan bersama pendar lampu taman. Kamin dan Muti, pasangan suami istri yang selama ini Jordhy percayakan untuk mengurus rumah, tergopoh menyambutnya. Mereka langsung membawakan barang-barang dari mobil Jordhy ke dalam rumah. Arumi turun dan mengedarkan pandangan. Rumah itu terlihat asri dan nyaman. Udara malam yang menyapu wajah membuat kesan damai. Terdengar suara gemericik dari air mancur buatan di tengah-tengah taman. Hanya sekilas saja dia menyapu pekarangan yang hanya diterangi dengan pendar lampu taman. Nuansa romantic terkesan. Ada tempat duduk dari bebatuan sintetis juga ayunan. Mungkin, bisa dicoba jika sedang bersantai. Arumi pun segera melangkah mengikuti Jordhy memasuki rumah. “Kamar kita di lantai dua.” Jordhy bicara sambil menaiki anak tangga. Arumi tak menja
Hanya saja, sayangnya hasil masakannya tak seperti yang diharapkan semula. Sudah ada beberapa potong daging dengan tampilan yang menghitam di tempat sampah. Sepertinya beberapa kali mencoba, gagal terus. Arumi menggeleng pelan. “Kalau memanggang, jangan pakai api besar!” tutur Arumi sambil mendekat, lalu dia mengatur api agar tak terlalu besar. Jordhy menggeser tubuh dan membiarkan Arumi melakukan koreksinya.“Untuk menghindari gosong, harusnya kamu pastiin dulu dagingnya jangan dingin seperti ini, Mas. Dikeluarkan dulu dari lemar es beberapa jam sebelumnya. Terus, biar gak kering, bisa dicelup ke telor dulu sebelum dipanggang!” Arumi sibuk mengoreksi cara masak Jordhy. Lelaki itu tersenyum ketika melihat Arumi sigap mengambil beberapa potong daging yang tersisa, lalu mengambil air hangat dan merendam potongan daging beku tersebut. “Karena sudah siang, kita coba rendam air hangat dulu. Ini biar aku yang gantikan! Kamu bersiap saja nanti kesiangan! Maaf, aku bangun telat!” tutur Aru
“Hmmm, Pa. Terkait pengurusan akta perubahan, hmmm … kalau setelah diurus tetapi tidak perlu di sounding dulu bisa?” Beruntung otaknya masih bisa berpikir waras. Mendengar pertanyaan itu, kening Atmaja saling bertaut. “Kenapa? Bukankah itu yang kamu inginkan selama ini?”Jordhy reflek menggaruk pelipis. “Aku lagi ingin menyiapkan kejutan untuk istriku, Pa? Kalau sudah diumumkan ke publik, khawatirnya dia tahu.” Atmaja memicingkan mata. Ada yang aneh dengan alasan Jordhy.“Came on, Jordhy! Pengumuman perubahan pemegang saham itu di internal perusahaan, tak ada kaitannya dengan istrimu!” “Ck, pokoknya aku minta jangan disebar dulu walau untuk kebutuhan internal. Kecuali departemen-departement yang kadang membutuhkan itu, akunting misalnya.” “Oke, terserah kamu.” Atmaja tahu, Jordhy keras kepala. Namun, dia pun tak mau ambil pusing. Toh yang penting semua urusan surat-menyurat untuk balik nama itu pun sudah selesai. Siang itu, tanpa didampingi Lisa, Jordhy keluar dengan Atmaja. M
Arumi bicara sambil menyeka air mata. Terasa berat mengatakan itu semua pada seonggok manusia yang tak bisa melakukan apa-apa. Dadanya terasa sesak melihat sosok yang biasanya begitu menyebalkan kini berada di ambang kematian. Selama ini, dia selalu menolak untuk mengakui bahwa semua perhatian Jordhy perlahan menghangatkan hatinya. Rasa sakit akibat pengkhianatan begitu dalam, hingga ia membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya. Tapi kini, di saat yang paling genting, semua pertahanan itu runtuh.Baru kali ini Arumi merasa benar-benar tak siap kehilangan Jordhy.Tangannya yang masih menggenggam tangan Jordhy semakin erat. “Bangunlah, Mas,” bisiknya, suaranya bergetar. “Bangunlah … jika kamu memang masih menginginkan kesempatan kedua.”Arumi menundukkan kepalanya, memejamkan mata, berharap keajaiban terjadi. Dia tahu, Jordhy memang dulu terlihat sangat menyebalkan. Namun dalam hati kecilnya, Arumi sadar bahwa Jordhy juga mencoba untuk berubah. Dia ingat setiap usaha kecil yang dila
Arumi berdiri di tepi ranjang rawat Jordhy sambil sesekali menyeka air mata yang merembes, napasnya seakan tertahan di tenggorokan oleh segumpal kesedihan. Dipandangnya dengan netra yang berkaca-kaca sesosok tubuh tinggi tegap tak berdaya yang kini terbaring dengan tubuh diselimuti selang-selang medis. Rasa bersalah kian menguar. Andai saja dia tak melarikan diri dari Jordhy, dia tak akan bertemu Pedrio tentunya, andai saja sedikit saja menahan diri dan memberikan ruang untuk berbicara baik-baik dengan Jordhy, tentu endingnya akan berbeda. Aandai saja, andai saja dan semua pengandaian itu berputar-putar semakin membuat semakin banyak tumpukkan sesal. Maafkan aku, Mas! Gara-gara aku, kamu jadi kayak gini.Suaranya keluar pelan, meskipun terdengar seperti gumaman, di antara suara monoton dari alat monitor detak jantung terdengar berdetak. Arumi mematung menatap alat ventilator yang terhubung di hidung dan mulut Jordhy, berdesis pelan setiap kali mesin itu memompa udara ke paru-parunya
Arumi hanya mengangguk dan tak banyak membantah. Dia pun dibantu Rosa untuk pindah ke ruangan rawat. Dokter menyarankan untuk istirahat total selama dua hari dan Arumi memilih untuk rawat inap di rumah sakit saja. Setiap detik berlalu terasa seperti berhari-hari. Arumi menatap selang infus yang dipasang di tangannya. Arumi meminta Rosa untuk melihat keadaan Jordhy. Tanpa banyak berdebat, Rosa pun menurut saja. Dia bergegas meninggalkan Arumi dan menuju ke tempat di mana Jordhy sedang mendapati tindakkan oleh pihak rumah sakit. Rosa yang sedang duduk menunggu di ruang tindakan, tak sengaja melihat seseorang yang berjalan tergesa. Wajahnya tampak diliputi kepanikkan. Rosa berdiri dan menghampiri lelaki berambut sebahu yang dia kenal.“Mas Kevand! Mau jenguk Mbak Arumi, ya?” tanyanya sok tahu. Kevandra menautkan alis dan menatap Rosa. “Saya ditelepon Bastian, Acha dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia di ruang ICU katanya!” Seketika bahu Rosa melorot. “Ya Tuhaaan … Acha.” “Mbak Ar
Arumi berdiri dengan gemetar, matanya tak berkedip dari sosok Jordhy yang ambruk. Perutnya yang sejak tadi sakit dan terasa diremas-remas semakin menjadi. Suara sirene mendekat semakin keras, mengisi udara malam yang semula tenang. Dia merasa dunia seakan berputar, dan segalanya menjadi kabur. Dalam kepanikan, Arumi berteriak dengan sisa-sisa tenaganya. "Monsieur, s'il vous plaît! (Mas, tolong!)” teriaknya pada beberapa orang yang berjalan memburunya. Beberapa orang mulai mendekat seiring dengan mobil tim keamanan yang berhenti. Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri Arumi. "Jeune fille, ça va? Que s'est-il passé? ( Anak muda, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?)” Arumi meringis sambil memegangi perutnya.” J'ai mal au ventre, ça fait comme si on me pressait, Madame (Perut saya sakit, terasa diremas-remas, Bu.)“Appelons une ambulance! (Mari kita panggil ambulans!)” seru salah satu dari lelaki berjaket petugas keamanan sambil mengeluarkan ponselnya.Tak butuh waktu lama, s
Lampu-lampu jalan di Le Marais berkilauan di jendela, memantulkan bayangan kusut wajah Pedrio. Paris yang biasa terasa mempesona kini berubah menjadi asing dan menakutkan bagi Arumi. Malam musim panas yang seharusnya indah berubah menjadi mimpi buruk baginya. Sementara tubuhnya terus bergetar di bawah tekanan pria yang dulu pernah mengisi masa lalunya dengan tangan lelaki itu yang sudah tak bisa dikendalikan. Arumi sekuat tenaga memberontak. Ini bukan hanya soal bertahan. Ini tentang harga diri dan kehormatan.***** Jordhy berlari kencang menyusul Arumi yang ternyata meninggalkannya. Beruntung, dia masih bisa melihat ke mana arah Arumi melarikan diri dan lekas mengejarnya. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia menerobos lorong-lorong sempit Le Marais, matanya menatap lurus ke depan, berusaha mengikuti bayangan Arumi. Tadi, dirinya cukup jauh tertinggal. Kini sang bidadari yang dicarinya selama ini, menghilang begitu cepat. Malam musim panas di Paris seharusnya penuh romansa. Ud
Namun, kondisi badan yang memang tengah hamil muda selalu membuatnya cepat lelah. Napasnya kian berat saat ia melewati deretan bangunan di Le Marais yang semakin sunyi ketika akhirnya Arumi memutuskan untuk berhenti.Arumi berhenti di tepi jalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Namun, sialnya tampak dari kejauhan, Jordhy mengejar. Arumi yang panik, lekas mencari tempat untuk bersembunyi. Matanya menemukan sebuah mobil yang baru saja terparkir di sudut jalan, diapit oleh dua bangunan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke sana dan menunduk, bersembunyi di balik kap mobil, berharap Jordhy tidak akan menemukannya. Arumi akhirnya merasa lega dan bisa mengatur napasnya. Dia sejenak memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Beberapa detik, cukup untuknya menenangkan perasaan. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan kuat menyergapnya dari samping, menariknya dengan paksa. Sebelum ia bisa berteriak, tangan itu menutup mulutnya, dan tubuhnya diseret ke dalam mobil.Pintu mobil terbanting, dan
Dada Arumi mulai berdegub kencang. Tenggorokkannya mulai terasa kering sekarang. Jordhy kembali memainkan petikan gitar, lalu berhenti dan melempar wig yang dipakainya. Setelah itu dia menatap ke arah Arumi, berdiri dan meletakkan gitar, lalu setelahnya berjongkok di depan semua orang, tetapi fokus terarah pada Arumi. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya dan disodorkan ke arah Arumi. “Di hadapan Kota Paris yang indah ini! Aku ingin merujukmu kembali, Arumi Sabia Zahra Binti Khaidir Sabarudin Salim! Kembalilah jadi istriku! Tolong, berikan aku kesempatan kedua!” Jordhy mengeluarkan sebuah cincin berlian dan di arahkan kepada Arumi. Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar. Para pengunjung café mengira, mereka sepasang kekasih yang saling mencintai dan tengah melakukan lamaran yang romantis. Riuh rendah obrolan dan cuitan yang mengatakan kalau mereka begitu romantis dan fenomenal.Arumi meremas gelas kertas yang sudah hampir kosong. Sepasang netranya mengembun menatap sosok yan
Arumi menarik napas panjang. Pelanggan yang benar-benar aneh, pikirnya. Namun, demi menghargai sang pelanggan, Arumi tersenyum dan kembali berbicara. “Adukan pada Tuhan! Bukankah segala sesuatu itu bermuara pada-Nya.” Jordhy bergeming, sepasang netranya memancarkan harapan. Ya, dia masih punya Tuhan. Bukankah perlahan-lahan hatinya terasa mulai membaik setelah dia belajar mendekati Tuhan. “Terima kasih, Mbak. Terima kasih masukkannya. Boleh saya minta pendapat satu hal lagi?” Tanya Jordhy kembali.“Ya, silakan!” “Apakah Mbak percaya, jika selalu ada kesempatan kedua?” tanya Jordhy sambil menatap lekat sepasang mata indah yang tiba-tiba seperti menatap kosong. Arumi sesekali memijit kepala. Jordhy mengira, Arumi pusing atas pertanyaan-pertanyaannya.“Kesempatan itu berjalan seiring dengan perubahan. Hanya benda mati yang tak bisa berubah atau tak mau berubah.” Arumi menjawab diplomatis dan itu membuat Jordhy tak puas dengan jawabannya. Dia pun bertanya lagi sambil menaikkan satu ali
Arumi bergeming sejenak, lalu menatap jam tangan yang melingkar pada tangannya. “Bisakah? Sebentar saja, sekalian ada hal khusus yang ingin saya bicarakan empat mata?” tanya Jordhy penuh harap sambil menatap lekat perempuan bergamis biru laut di depannya yang tampak sedang berpikir. “Hmmm … baiklah.” “Terima kasih.” Rasanya jantungnya hampir melompat keluar dari tempatnya ketika mendengar persetujuan Arumi. Senyum bahagia tersungging tanpa bisa ia cegah. Ada yang mengalir hangat di dalam dadanya. Dia tak ubahnya seperti seorang remaja yang tengah puber dan mendapatkan respon positif dari gadis incarannya. Jordhy lupa, usia sudah kepala tiga. Jordhy lekas menunggu diluar, sedangkan Arumi tampak tengah berbincang dengan para pegawainya yang berjumlah kurang lebih tiga orang. Jordhy mengamati siluet tubuh Arumi yang berdiri elegan sambil berbicara pada para pegawai. Gerakan tangannya, gesture tubuhnya dan segala tentang Arumi, Jordhy suka. Dia benar-benar sudah dibuat tenggelam ke d