Benar saja, akhirnya tak ada lagi rengekkan. Hanya saja, kedua orang tua Lisa tampak kaget mendengar kata istri yang Jordhy ucapkan.“Gak usah kaget kayak gitu, nanti Lisa jelasin!” tutur Lisa sambil memberengut seraya mengantar Jordhy keluar. Hanya saja, ayah Lisa tampak tetap ingin klarifikasi. Dia menahan Lisa dan membiarkan Jordhy keluar lebih dulu. Jordhy pun duduk di teras sambil mengenakan sepatu. “Loh ada tamu rupanya? Dari mana, Mas?” Seorang perempuan dengan daster rumahan keluar. Dia berdiri di ambang pintu sambil mengipas-ngipas tubuhnya dengan kipas tangan. Udara memang terasa cukup panas. Bahkan diluar pun sama gerahnya.“Iya, Bu. Dari Bekasi, Bu.” Jordhy menjawab singkat.“Oalah jauh-jauh ada perlu apa, ya?” Raut wajah kepo terlihat muncul.“Ini jenguk ayahnya Lisa, sakitnya makin parah.” Jordhy menjawab dengan sekilas menoleh saja pada perempuan itu.Wanita itu pun menghampiri Jordhy, dia berhenti pada tepi tembok pemisah antara rumahnya dan rumah Lisa. Tinggi tembok
Jordhy merangkul mesra pinggang Arumi ketika akhirnya mereka berangkat ke rumah Atmaja. Kevandra hanya tersenyum untuk menutupi retak di hati yang bertambah parah. “Kirain elo gak bakal ke sini dulu, Mas! Udah siap-siap mau mampir ke kantor elo. Semaleman gue chat sama call, gak elo angkat.” Kevandra bicara santai seraya meletakkan cangkir kopi yang baru saja ditandaskannya. Hari ini, penampilannya terlihat simple tetapi menawan, dengan sneaker kulit, celana jeans warna gelap dan kemeja motif kotak warna cokelat yang lengannya digulung tuga perempat. Rambutnya diikat rapi ke belakang.“Sorry, gue lagi banyak kerjaan tadi malem. Btw ini kado gue buat calon ponakan. Khawatir nanti pas ponakan gue lahir, gue gak bisa balik. Paling dua tahun lagi, gue baru balik ke sini!” Kevandra mengangsurkan sebuah kotak ke arah Arumi. Namun, sigap Jordhy mengambilnya dan tampak mencebik menilai.“Elo gak beliin baju ‘kan? Belum tahu ‘kan anak gue laki apa perempuan?” tutur Jordhy sambil memegang kado
“Untuk keberangkatan nanti. Aku ingin kamu terbang duluan ke Paris dengan tim aksesoris. Aku akan menyusul dua hari setelahnya. Pastikan semuanya sudah siap saat aku tiba.”Vera mengangguk cepat. “Jangan khawatir, Bu. Aku akan urus semuanya. Untuk pengaturan akomodasi juga sedang dipersiapkan dari sekarang.”Arumi mengangguk lalu melirik jam tangan. Hari ini dia sudah memiliki janji dengan seorang pengacara. Tekad Arumi sudah bulat, dia akan segera mempersiapkan gugatan cerai. Bukankah lambat laun akan berpisah juga, bukan? Lima bulan berjalan, Arumi sudah menguatkan mental. Arumi pun sudah berpikir matang, dia berulang kali mempertimbangkan yang ia pikirkan, Arumi sudah memutuskan untuk memulai kehidupan barunya dengan sebuah harapan. Semoga cinta tulus itu, segera ditemukan.***** Jordhy menatap Salinan surat mutasi yang sudah ditandatangani Atmaja, dia sudah memberikannya ke bagian HRD pagi ini. Jadi, Jordhy sudah mempersiapkan jawaban untuk beragam pertanyaan Lisa. Benar saja yan
Jordhy baru saja keluar dari ruang dokter. Senyum cerah tersungging pada bibirnya. Dia baru saja mendengarkan advise dokter kulit dan dokter bedah estetik. Ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menghilangkan tanda lahir yaitu dengan cara terapi laser, criyosurgery atau bedah beku, ekcision atau bedah presisi, Dermabrasion dan chemical peeling. Intinya, tanda hitam itu bisa dihilangkan. Biaya juga terjangkau, hanya berkisar tiga puluh jutaan rupiah saja. Angka yang tak seujung kuku kekayaan yang dimilikinya. Meskipun memang, tanda hitam itu tak serta merta hilang seketika dan membutuhkan beberapa kali tindakan. Namun, setidaknya, Jordhy memiliki harapan. Tanda hitam di pipi Arumi akan hilang. Sepulang dari rumah sakit, Jordhy mampir ke florist. Tadi ketika keluar dari rumah sakit, dia melihat seorang pemuda berjalan tergesa sambil menggenggam mawar di tangannya. Jordhy jadi terinspirasi. “Silakan, Kak. Mau pesan apa?” Seorang pegawai yang berjaga, menyambutnya ramah. Waktu suda
“Ya, betul. Ada apa, ya?” Arumi menatap bingung pada lelaki yang membawa begitu banyak bunga. Rata-rata bunganya dikirim bersama potnya. “Ini ada kiriman bunga buat Ibu! Boleh kami turunkan! Bilang saja mau ditata di mana, Bu? Nanti kami bantu.” “Tunggu, tunggu, Mas. Jangan diturunkan dulu! Ini bunga siapa? Saya gak merasa pesan.” Arumi mengangkat tangan ketika kedua lelaki itu sudah membuka penutup box pick up bagian belakang. “Aku yang pesan! Turunkan saja, Mas! Aturin di sana, Mas! Dekat meja, ya!” Suara Jordhy membuat Arumi memutar tubuhnya. Beberapa detik pandangan mereka bersirobok. Wajah Jordhy terlihat cerah sekali hari ini, senyum yang berusaha dia sembunyikan tetap kentara setiap kali dia berbicara. Jordhy terlihat menahan diri agar tetap terlihat cool di depan Arumi, meskipun jelas sekali, usahanya gagal. Arumi bisa melihat keanehan Jordhy hari ini.Lalu kesibukkan pun dimulai kembali. Arumi mematung melihat kedua pegawai florist yang wara-wiri sibuk menata bunga di sek
“Kasih tahu alamat tempat kerjamu, di mana? Besok jam makan siang, aku jemput! Ada yang mau aku tunjukkan sama kamu!” Arumi bergeming. Bukankah selama ini, Jordhy tak peduli dengan dirinya? Lalu, hari ini begitu banyak yang berubah? Ada apa? Besok memang mau menunjukkan apa? “Tunjukkin apa ya, Mas? Urgent, apa gak bisa nunggu sampai jam pulang kerja?” Jordhy berpikir sejenak, lalu tampak mengirim pesan pada seseorang. Arumi sendiri, melanjutkan menyuap makan, sambil tak habis pikir pada sikap Jordhy yang berubah seratus delapan puluh derajat.“Apa kamu gak bisa izin? Kayaknya kalau pas balik kerja, khawatir terburu-buru nanti.” Arumi memejamkan mata beberapa detik, sekilas ingatannya mengecek ulang sudah sejauh mana proses finishing untuk event besarnya di Paris nanti.“Ya sudah deh, Mas. Aku nanti ke kantor kamu saja. Jam makan siang, ya?” Arumi akhirnya memutuskan.Jordhy mengangguk. Senyum pada bibirnya melengkung begitu saja. Hati yang menghangat membuatnya senyum itu begitu
Senyum pada bibir Jordhy, kini tak bisa lagi disembunyikan. Sebuah bongkahan berat yang selama ini menghimpit dada Jordhy tentang harapan pada Arumi, perlahan terasa ringan setelah lagu itu selesai dia nyanyikan. Besar harapan Jordhy, Arumi akan paham. Dia tak ingin hubungan mereka berakhir. Jordhy menginginkan menua bersama dengan wanita yang membuatnya nyaman. Bukankah kini baru akan menginjak bulan keenam? Semoga satu bulan ini, Jordhy bisa menebus sikapnya pada Arumi untuk lima bulan ke belakang?“Hmmm, sudah malam. Ayo istirahat. Besok aku ingin bicara hal penting sekalian. Jangan lupa, jam makan siang ditunggu di kantorku, ya!” Jordhy bicara sambil berdiri dan memeluk gitarnya. “Oke.” Arumi tak memberi tanggapan apa-apa. Jujur, hati Jordhy mencelos kecewa. Padahal dia berharap, Arumi menatapnya dengan pandangan berbinar, lalu menghampirinya dan memberinya pelukan karena merasa tersanjung dengan lagu romantis yang mewakilkan isi hatinya. Atau seenggaknya Arumi memuji permainan g
Lisa duduk di sudut kafe yang sepi, menatap ke arah pintu masuk. Dia sudah lebih dulu berangkat ke tempat di mana akan diadakan pertemuan dengan Jordhy. Pendar lampu mulai menyala, meski cahayanya tak sehangat matahari, tetapi cukup menjadi penerang. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara, tetapi Lisa membiarkan perutnya kosong. Ia merasa tidak ada yang lebih penting saat ini selain bertemu Jordhy. Ketika Jordhy muncul, Lisa tersenyum penuh makna. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum menyapa. “Kirain gak jadi dateng, Mas.”“Datanglah, ada hal penting yang harus kita sepakati sekarang!” jawab Jordhy dengan nada datar. Ia duduk di hadapan Lisa. Perempuan itu menyodorkan secangkir cappucino yang sudah mulai dingin. Minuman itu dipesannya sebelum Jordhy datang. Jordhy meneguknya perlahan untuk menutupi rasa gugup di dadanya.Jordhy meletakkan cangkir dengan setengah isi, lalu menyunggingkan senyuman meskipun hatinya berdebar. Hening beberapa saat, lalu, setelah mengumpulkan keyakin
Arumi bicara sambil menyeka air mata. Terasa berat mengatakan itu semua pada seonggok manusia yang tak bisa melakukan apa-apa. Dadanya terasa sesak melihat sosok yang biasanya begitu menyebalkan kini berada di ambang kematian. Selama ini, dia selalu menolak untuk mengakui bahwa semua perhatian Jordhy perlahan menghangatkan hatinya. Rasa sakit akibat pengkhianatan begitu dalam, hingga ia membangun tembok tinggi di sekeliling hatinya. Tapi kini, di saat yang paling genting, semua pertahanan itu runtuh.Baru kali ini Arumi merasa benar-benar tak siap kehilangan Jordhy.Tangannya yang masih menggenggam tangan Jordhy semakin erat. “Bangunlah, Mas,” bisiknya, suaranya bergetar. “Bangunlah … jika kamu memang masih menginginkan kesempatan kedua.”Arumi menundukkan kepalanya, memejamkan mata, berharap keajaiban terjadi. Dia tahu, Jordhy memang dulu terlihat sangat menyebalkan. Namun dalam hati kecilnya, Arumi sadar bahwa Jordhy juga mencoba untuk berubah. Dia ingat setiap usaha kecil yang dila
Arumi berdiri di tepi ranjang rawat Jordhy sambil sesekali menyeka air mata yang merembes, napasnya seakan tertahan di tenggorokan oleh segumpal kesedihan. Dipandangnya dengan netra yang berkaca-kaca sesosok tubuh tinggi tegap tak berdaya yang kini terbaring dengan tubuh diselimuti selang-selang medis. Rasa bersalah kian menguar. Andai saja dia tak melarikan diri dari Jordhy, dia tak akan bertemu Pedrio tentunya, andai saja sedikit saja menahan diri dan memberikan ruang untuk berbicara baik-baik dengan Jordhy, tentu endingnya akan berbeda. Aandai saja, andai saja dan semua pengandaian itu berputar-putar semakin membuat semakin banyak tumpukkan sesal. Maafkan aku, Mas! Gara-gara aku, kamu jadi kayak gini.Suaranya keluar pelan, meskipun terdengar seperti gumaman, di antara suara monoton dari alat monitor detak jantung terdengar berdetak. Arumi mematung menatap alat ventilator yang terhubung di hidung dan mulut Jordhy, berdesis pelan setiap kali mesin itu memompa udara ke paru-parunya
Arumi hanya mengangguk dan tak banyak membantah. Dia pun dibantu Rosa untuk pindah ke ruangan rawat. Dokter menyarankan untuk istirahat total selama dua hari dan Arumi memilih untuk rawat inap di rumah sakit saja. Setiap detik berlalu terasa seperti berhari-hari. Arumi menatap selang infus yang dipasang di tangannya. Arumi meminta Rosa untuk melihat keadaan Jordhy. Tanpa banyak berdebat, Rosa pun menurut saja. Dia bergegas meninggalkan Arumi dan menuju ke tempat di mana Jordhy sedang mendapati tindakkan oleh pihak rumah sakit. Rosa yang sedang duduk menunggu di ruang tindakan, tak sengaja melihat seseorang yang berjalan tergesa. Wajahnya tampak diliputi kepanikkan. Rosa berdiri dan menghampiri lelaki berambut sebahu yang dia kenal.“Mas Kevand! Mau jenguk Mbak Arumi, ya?” tanyanya sok tahu. Kevandra menautkan alis dan menatap Rosa. “Saya ditelepon Bastian, Acha dilarikan ke rumah sakit. Sekarang dia di ruang ICU katanya!” Seketika bahu Rosa melorot. “Ya Tuhaaan … Acha.” “Mbak Ar
Arumi berdiri dengan gemetar, matanya tak berkedip dari sosok Jordhy yang ambruk. Perutnya yang sejak tadi sakit dan terasa diremas-remas semakin menjadi. Suara sirene mendekat semakin keras, mengisi udara malam yang semula tenang. Dia merasa dunia seakan berputar, dan segalanya menjadi kabur. Dalam kepanikan, Arumi berteriak dengan sisa-sisa tenaganya. "Monsieur, s'il vous plaît! (Mas, tolong!)” teriaknya pada beberapa orang yang berjalan memburunya. Beberapa orang mulai mendekat seiring dengan mobil tim keamanan yang berhenti. Seorang wanita paruh baya berlari menghampiri Arumi. "Jeune fille, ça va? Que s'est-il passé? ( Anak muda, kau baik-baik saja? Apa yang terjadi?)” Arumi meringis sambil memegangi perutnya.” J'ai mal au ventre, ça fait comme si on me pressait, Madame (Perut saya sakit, terasa diremas-remas, Bu.)“Appelons une ambulance! (Mari kita panggil ambulans!)” seru salah satu dari lelaki berjaket petugas keamanan sambil mengeluarkan ponselnya.Tak butuh waktu lama, s
Lampu-lampu jalan di Le Marais berkilauan di jendela, memantulkan bayangan kusut wajah Pedrio. Paris yang biasa terasa mempesona kini berubah menjadi asing dan menakutkan bagi Arumi. Malam musim panas yang seharusnya indah berubah menjadi mimpi buruk baginya. Sementara tubuhnya terus bergetar di bawah tekanan pria yang dulu pernah mengisi masa lalunya dengan tangan lelaki itu yang sudah tak bisa dikendalikan. Arumi sekuat tenaga memberontak. Ini bukan hanya soal bertahan. Ini tentang harga diri dan kehormatan.***** Jordhy berlari kencang menyusul Arumi yang ternyata meninggalkannya. Beruntung, dia masih bisa melihat ke mana arah Arumi melarikan diri dan lekas mengejarnya. Kakinya nyaris tak menyentuh tanah saat ia menerobos lorong-lorong sempit Le Marais, matanya menatap lurus ke depan, berusaha mengikuti bayangan Arumi. Tadi, dirinya cukup jauh tertinggal. Kini sang bidadari yang dicarinya selama ini, menghilang begitu cepat. Malam musim panas di Paris seharusnya penuh romansa. Ud
Namun, kondisi badan yang memang tengah hamil muda selalu membuatnya cepat lelah. Napasnya kian berat saat ia melewati deretan bangunan di Le Marais yang semakin sunyi ketika akhirnya Arumi memutuskan untuk berhenti.Arumi berhenti di tepi jalan sambil sesekali menoleh ke belakang. Namun, sialnya tampak dari kejauhan, Jordhy mengejar. Arumi yang panik, lekas mencari tempat untuk bersembunyi. Matanya menemukan sebuah mobil yang baru saja terparkir di sudut jalan, diapit oleh dua bangunan. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke sana dan menunduk, bersembunyi di balik kap mobil, berharap Jordhy tidak akan menemukannya. Arumi akhirnya merasa lega dan bisa mengatur napasnya. Dia sejenak memejamkan mata, mencoba menenangkan hatinya. Beberapa detik, cukup untuknya menenangkan perasaan. Namun, tiba-tiba, sebuah tangan kuat menyergapnya dari samping, menariknya dengan paksa. Sebelum ia bisa berteriak, tangan itu menutup mulutnya, dan tubuhnya diseret ke dalam mobil.Pintu mobil terbanting, dan
Dada Arumi mulai berdegub kencang. Tenggorokkannya mulai terasa kering sekarang. Jordhy kembali memainkan petikan gitar, lalu berhenti dan melempar wig yang dipakainya. Setelah itu dia menatap ke arah Arumi, berdiri dan meletakkan gitar, lalu setelahnya berjongkok di depan semua orang, tetapi fokus terarah pada Arumi. Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya dan disodorkan ke arah Arumi. “Di hadapan Kota Paris yang indah ini! Aku ingin merujukmu kembali, Arumi Sabia Zahra Binti Khaidir Sabarudin Salim! Kembalilah jadi istriku! Tolong, berikan aku kesempatan kedua!” Jordhy mengeluarkan sebuah cincin berlian dan di arahkan kepada Arumi. Sorak sorai dan tepuk tangan terdengar. Para pengunjung café mengira, mereka sepasang kekasih yang saling mencintai dan tengah melakukan lamaran yang romantis. Riuh rendah obrolan dan cuitan yang mengatakan kalau mereka begitu romantis dan fenomenal.Arumi meremas gelas kertas yang sudah hampir kosong. Sepasang netranya mengembun menatap sosok yan
Arumi menarik napas panjang. Pelanggan yang benar-benar aneh, pikirnya. Namun, demi menghargai sang pelanggan, Arumi tersenyum dan kembali berbicara. “Adukan pada Tuhan! Bukankah segala sesuatu itu bermuara pada-Nya.” Jordhy bergeming, sepasang netranya memancarkan harapan. Ya, dia masih punya Tuhan. Bukankah perlahan-lahan hatinya terasa mulai membaik setelah dia belajar mendekati Tuhan. “Terima kasih, Mbak. Terima kasih masukkannya. Boleh saya minta pendapat satu hal lagi?” Tanya Jordhy kembali.“Ya, silakan!” “Apakah Mbak percaya, jika selalu ada kesempatan kedua?” tanya Jordhy sambil menatap lekat sepasang mata indah yang tiba-tiba seperti menatap kosong. Arumi sesekali memijit kepala. Jordhy mengira, Arumi pusing atas pertanyaan-pertanyaannya.“Kesempatan itu berjalan seiring dengan perubahan. Hanya benda mati yang tak bisa berubah atau tak mau berubah.” Arumi menjawab diplomatis dan itu membuat Jordhy tak puas dengan jawabannya. Dia pun bertanya lagi sambil menaikkan satu ali
Arumi bergeming sejenak, lalu menatap jam tangan yang melingkar pada tangannya. “Bisakah? Sebentar saja, sekalian ada hal khusus yang ingin saya bicarakan empat mata?” tanya Jordhy penuh harap sambil menatap lekat perempuan bergamis biru laut di depannya yang tampak sedang berpikir. “Hmmm … baiklah.” “Terima kasih.” Rasanya jantungnya hampir melompat keluar dari tempatnya ketika mendengar persetujuan Arumi. Senyum bahagia tersungging tanpa bisa ia cegah. Ada yang mengalir hangat di dalam dadanya. Dia tak ubahnya seperti seorang remaja yang tengah puber dan mendapatkan respon positif dari gadis incarannya. Jordhy lupa, usia sudah kepala tiga. Jordhy lekas menunggu diluar, sedangkan Arumi tampak tengah berbincang dengan para pegawainya yang berjumlah kurang lebih tiga orang. Jordhy mengamati siluet tubuh Arumi yang berdiri elegan sambil berbicara pada para pegawai. Gerakan tangannya, gesture tubuhnya dan segala tentang Arumi, Jordhy suka. Dia benar-benar sudah dibuat tenggelam ke d