poor Aletha... pengen bilang sama Aletha: Makanya jangan semena-mena ya tentang perasaan ya Aletha karena terkadang takdir itu tidak pernah bisa ditebak. vote yaaa😄
"Kau GILA, Bell! LANCANG mulutmu!!!" teriak Sofia langsung dengan kuku-kukunya yang keluar tak bisa dia kendalikan. Merah padam wajahnya saat Bella mengatakan bahwa Helena, putrinya menginginkan kepala Eldor. "Aku bisa menawarkan krim dan formula itu untuk seumur hidupmu, Sofia.""Kau bisa berkorban dengan menghancurkan persahabatan kita untuk putrimu tapi aku juga akan berkorban nyawaku untuk putraku, Bella! Dengan memintaku menyerahkan Eldor, putraku satu-satunya, mulutmu itu sudah sangat busuk!"Bella duduk santai, menyilangkan sembari memainkan kukunya. Angkuh, sombong dan tetap elegan itulah definisi wanita itu. "Jadi, kau memilih untuk kita berperang?""Ya! Aku lebih baik mati dalam pertempuran daripada mengikuti permintaanmu. Di mana otakmu?! Meminta nyawa anak pada ibunya?! Kutu busuk."Bella mendengar umpatan dan omelan Sofia sedari tadi hanya terus tersenyum. Setitik pun wanita itu tak gentar. Baginya, istana batu dan penguasanya sudah di dalam genggamannya. "Jangan lupaka
Yudha kembali menemui Farid di rumah sakit. Rupanya dokter sudah mengizinkan pemuda itu pulang. Farid begitu antusias sebab kali ini dia berharap ayah dan ibunya bisa kembali tinggal bersama. "Papa, setelah ini gak akan kemana-mana lagi kan?" tanya Farid menikmati jus buah yang barusan ayahnya buat. "Nanti kalau Mamamu pulang, Papa akan pergi, Nak.""Aku akan berbicara baik-baik dengan paman Aleksei agar menjauhi keluarga kita. Aku rasa dia akan mengerti," ujar Farid yakin. Yudha yang sedang meletakkan roti panggang di depan putranya sejenak terhenyak. Ia menoleh pada Farid dengan senyum yang tentu saja dia paksakan. "Tidak perlu, Nak. Lagi pula kerenggangan antara kami bukan karena Aleksei. Aku justru bersyukur Aleksei ada dan menjaga kalian."Yudha menahan perasaan sakit di hatinya. Seperti kebahagiaan itu semakin memudar terus dari dalam dadanya. Mengatakan Aleksei bukan alasan utama itu memang benar, bukan dusta. Meskipun pada nyatanya itu juga kerap kali memercikkan api cembu
Jamila mengbungkus dirinya di dalam selimut bulu yang hangat. Dia mengira tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk merasakan hangatnya selimut bulu milik putri raja. Ia mengelus perutnya semakin sayang. Janinnya membawa keberuntungan untuk dirinya. Sedari tadi Jamila mencoba memejamkan matanya namun dia belum berhasil terlelap. "Kau sudah tidur?!"Jamila terkejut luar biasa dan langsung bangun. "Be-belum, Tuan," jawab Jamila gugup melihat Eldor berdiri tegak di depannya. "Meskipun kita belum resmi menikah, aku ingin kau memanggilku selayaknya istri kepada suami." Jamila terperanjat. Nampak wajahnya menjadi tegang dan panik. "Besok aku akan bicarakan pada ibuku tentang acara pernikahan kita. Aku ingin anakku memiliki status yang resmi.""Tuan ...," lirih Jamila memberanikan diri melihat Eldor secara langsung. Pria itu merunduk sehingga wajah mereka sangat dekat. "Meskipun aku tidak mencintaimu tapi kau telah mengandung bayiku, Jamila. Kau ibu dari anakku.""Anda bisa mendapatkan
Helena mengintip Bella yang sedang duduk menikmati teh di bawah pohon melati yang merambat pada besi-besi yang melengkung berpayung. Di depannya ada sebuah laptop yang menyala. Bella terlihat santai tapi sorot matanya nampak tajam tak berpaling dari layar. "Mungkin ini waktunya," gumam Helena lalu keluar menemui Bella. Wanita itu menyambut putrinya dengan wajah berbinar bersamaan dengan tangannya yang langsung menurunkan layar laptop itu hingga kembali menyatu dengan keyboard. "Mama kira kamu masih tidur," sapa Bella meraih lengan putrinya. "Aku tidak tidur setelah subuh, Ma."Bella mengangguk. Ia tahu anjuran itu. "Papamu juga dulu tidak pernah tidur setelah subuh, sengantuk apa pun dia. Katanya biar rezkinya gak seret dan badan tetap sehat," ujar Bella tersenyum menyesap tehnya. Helena pun ikut tersenyum karena merasa gayungnya bersambut. Ia memang ingin menanyakan tentang ayahnya namun belum menemukan waktu yang tepat. Ibunya rupanya wanita yang sangat amat sibuk. "Papaku masi
Baru saja beberapa langkah Bella berada di lorong putih itu, dua wanita menghampirinya. Bella memberikan isyarat agar Helena menunggunya. Terlihat mereka bicara sangat serius. Nampak Bella terlihat marah dan berjalan cepat. Bella abai saat Helena ikut juga masuk ke dalam ruangan putih yang terlihat beberapa orang sedang menunggunya. "Tidak bisa! Aku sudah akan memproduksi lima puluh ribu ball obat-obatan itu! Kemarin kalian setuju. Sekarang kenapa jadi begini?! Bagaimana bisa akan dihentikan?!""Setelah dipikir-pikir, obat-obatan seperti itu juga sudah diproduksi lebih dulu. Itu hanya gejala biasa dan bisa diobati dengan merek yang sudah ada." Seorang pria paruh baya berkemeja batik terlihat begitu percaya diri dan berwibawa menghadapi Bella. "Aku menjamin, hanya obat-obatan ini yang akan menyembuhkan penyakit pancaroba tahun ini. Percaya padaku!" seru Bella berapi-api penuh keyakinan. "Maaf, Bu. Ini sudah menjadi keputusan. Ini juga meminimalisir anggaran. Racikan obat itu bisa ki
Tiba-tiba ponsel Bella berdering dan dia melihat pemanggilnya adalah Silsilia. Wanita itu memang Bella bekali ponsel khusus yang sudah diatur hanya bisa menghubungi dia saja. Tidak bisa melalukan fungsi lain. "Wanita ini. Pasti kumat lagi rewelnya," desis Bella memincingkan mata pada ponselnya. Helena hanya memperhatikan saja sebab dia masih dalam kegamangan. Tentu saja sebagai seorang anak, dia berada di pihak ibunya, tapi bukan berarti dia bisa serta merta mendukung rencana penyebaran penyakit itu. Berdenyut otaknya berpikir dalam situasi yang rumit itu. "Ya.""Aaakkhhhh! Tidak! Toloooooong!!! Bellaa!!!! Toloooooong!!!""Silsilia?! Silsilia!!! Kau kenapa?!!!"Suara benda jatuh, pecah, bergemerincing dan teriakan Silsilia terdengar nyaring. Wajah Bella menjadi sangat tegang hingga dia melepaskan begitu saja ponsel itu. Bella langsung berlari keluar dan Hellena pun tidak tinggal diam. Dia juga berlari mengejar ibunya yang seperti mengejar musuh. Semua orang-orang yang melihatnya i
Helena yang melihat ibunya dalam kondisi berantakan dan sedang memapah pria yang tadi dia lihat begitu sangat terkejut. "Tenanglah," ucap Silsilia memegang lengan Helena. "Ma?""Jangan tanyakan apa pun dulu, Raya. Kita sedang diburu waktu. Kasihan Papamu," timpal Bella menyeret tubuh yang sudah lemas itu. Helena tegang, panik, dan takut. Namun yang lebih besar adalah bingung mencerna maksud ucapan ibunya yang terdengar mengerikan di telinganya. "Tak usah takut. Anggap saja kau sedang menonton adegan creepy," ucap Silsilia. "Atau belakangi saja, tak usah lihat. Aku bisa membantumu menutup mata," lanjut Silsilia mencoba menghalangi pandangan Helena dengan telapak tangannya. Gadis itu menggeleng dan menepis pelan dan terus melihat pergerakan tubuh ibunya yang sedang membuka tabung besar di samping akuarium itu. Kraaash! Tabung besar itu terbuka lalu dengan lihai Bella membuka lagi tabung besar di dalamnya. Menyeruak cairan hitam yang mengeluarkan bau amis dan anyir. Helena terkejut
Aletha tidur terlentang di atas speedboatnya menikmati udara dan matahari yang sepenggal naik. Sedari tadi dia terus melamun menatap awan yang berarak di atas laut biru yang tenang itu. Sudah cukup lama dia tidak menikmati keindahan laut. Harusnya dia meloncat-loncat gembira tapi mengapa hatinya begitu sepi dan sedih? "Pastilah dia sekarang sedang bercumbu dengan Jamila atau semalam mereka melakukannya. Aku tahu pria itu tidak bisa melewati lebih dari tiga hari tanpa menyentuh wanita," gumam Aletha mencabik-cabik permukaan speed boat itu dengan kukunya. Air matanya sudah kering dan terasa habis tanpa sebab yang ia jelas ketahui. Dia tidak ingin menangis tapi tetap saja dia berderai. Ia terus saja membayangkan Eldor menunggu kelahiran putranya. Luar biasa takdir ini. Benar-nenar dia tak pernah mengira. 'Mungkin kau jatuh cinta padanya, Nak dan kau tidak menyadarinya karena tertutup kabut dendam. Coba selami lagi seperti apa perasaanmu itu sesungguhnya padanya' Terngiang kembali ucap
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege