Luna dan Aleksei tak bergerak seinci pun. Sofia diam, tak melanjutkan ucapannya.
"Kenapa?" tanya Sofia berdiri tegak.
"Kami takkan pergi, tanpa Farid. Tujuan kami ke sini hanya untuk menjemputnya."
"Lalu wanita tua yang menginginkan kematiannya akan kembali bebas mengintainya?! Tidak, Angel. Saat aku menyelamatkannya, saat itu juga, aku lah ibunya. Andai aku tak datang, sudah bisa dipastikan, anak itu sudah tak di bumi ini lagi!"
Luna menggeleng berkali-kali. Ia mendekati Sofia.
"Dia anakku, Sofia. Please kembalikan," lirihnya dengan iringan air mata yang tak mampu Luna bendung lagi.
"Sudah cukup aku membendung rinduku padanya, Sofia. Dia darah dagingku!"
"Tapi bersamamu, dia tidak aman, Angel. Lagipula aku tidak bisa serta merta mempercayaimu. Biarkan Tuan Aros bersamaku. Kalian bisa mendapatkan anak yang lain. Pe
Razzor sampai di istana bawah tanahnya. Dengan langkah lebar dan cepat, laki-laki itu menekan beberapa angka di tombol pintu ruangan pribadinya. Pintu besi itu berderit terbuka. Nampak layar-layar yang menunjukkan situasi istananya terlihat sangat jelas. Razzor mengklik salah satu layar yang abu-abu seperti sedang tertutup debu tebal. "Hmmm ... kita lihat, apa yang sudah terjadi di ruangan ini. Hmmm ... ini ruang narkoba," lirih Razzor dengan suara beratnya. Laki-laki itu menggeser panah di layar, mengulang rekaman peristiwa beberapa menit yang lalu. Ia melihat semuanya. Razzor tersenyum penuh misteri. Setelah itu, dengan cepat Razzor memperbesar layar cctv yang menunjukkan situasi di kamar Sofia. Namun gelap. "Wow, istriku. Apa kau sedang mengajakku bermain-main? Aaauuuh, baiklah." Razzor dengan serius menekan beberapa titik di layar. Tak lama, nampak gambar Sofia sedang berdiri dan berbicara dengan satu pengawal dan sosok yang dia kenal sebagai Diana. "Aku adalah Razzore.
Sreeet!Pipi Jamrut mengeluarkan darah yang membuat laki-laki itu meringis dengan desisan yang menyakitkan."Hukuman karena kamu dan kawan-kawanmu membuat anakku takut. Anggap ini kenang-kenangan dariku."Luna mendorong kasar tubuh Jamrut lalu bangkit dengan nafas terengah-engah. Ia menggulung rambutnya lalu dengan cepat meraih hijabnya kembali. Nampak Sofia seperti tak mampu menutup mulutnya melihat Luna."Apa kamu sedang kesurupan?! Ini mengerikan," lirih Sofia menatap langkah Luna yang mendekati box Farid."Itu bukan seberapa. Bahkan wanita itu pernah mengeluarkan jantung manusia hidup-hidup. Jangan heran kalau aku tak punya nyali padanya, aku masih sayang nyawaku," kelakar Aleksei membuka helmnya. Ia merasa membutuhkan udara lebih."Ccciiih ... memang dasarnya kau laki-laki buaya," cebik Sofia menatap sinis pada Aleksei yang
"Astaghfirullahalazim ...," lirih Luna dengan suaranya terdengar cukup keras meskipun dia berbisik. Lubang gelap dan pengap itu terasa sangat menakutkan. Luna mengencangkan pelukannya untuk Farid. Mengelus-elus kepala anaknya dari luar hijabnya agar bocah laki-laki itu tetap merasa aman. Pandangan Sofia menyapu seluruh sisi lubang lift itu. "Tak mungkin lift ini berhenti dengan sendirinya. Pasti Razzor yang melakukannya. Bersiap-siaplah. Sebentar lagi pasti ada kejutan," ujar Sofia dengan mata awas. Aleksei memutar tubuhnya menatap sekeliling. Batu- batu hitam di depan mereka itu memiliki lubang dan celah. Tak menutup kemungkinan, sesuatu bisa muncul dari sana. "Tadi kamu bilang banyak binatang apa, Sofia?" tanya Aleksei dengan tatapan awas. Sofia bergeming. Perlahan ia membuka kain merah yang melilit pinggangnya. AJantungnya berdebar-debar kuat. Wusssssh! "Ular hitam!" teriak Sofia mengeluarkan tangannya mengibaskan kain merah itu. Hewan yang mirip dengan yang ditemui Lu
Sofia memejamkan matanya menahan goncangan. Beberapa kalajengking jatuh di atas kain merah pelindungnya. Luna dengan cepat mengangkat kain itu lalu menghempas binatang itu ke luar."Tak masalah. Itu lebih bagus kan?!" timpal Luna terus menabrakkan pundak kirinya lalu melompat menabrakkan pundak kanannya pada besi lift itu. Begitu terus puluhan kali.Sejenak dia melihat ke atas, tampak besi pengait itu kosong. Kalajengking itu habis jatuh semua karena goncangan yang dibuat Luna."Apakah semua berakhir?" tanya Luna perlahan, tak berkedip.Sofia bangkit dengan tatapannya semakin awas. Ia menelan salivanya, merasakan getaran yang berbeda pada lift."Sepertinya pertarungan sesungguhnya sebentar lagi, Angel," lirih Sofia."Pegang erat-erat!" teriak wanita berkuncir kuda itu kembali memegangi besi lift itu.Al
Sofia yang sedari tadi mengamuk karena melihat sahabatnya diperlakukan seperti hewan masih terus meradang. Namun sayang, tubuh wanita itu diborgol lalu dipegang oleh dua laki-laki. Sedangkan Aleksei tak bisa berkutik sebab tangan dan kakinya dipasung oleh dua besi sekaligus yang dikendalikan empat orang laki-laki yang memegangi rantainya."Razzor! Kamu sudah melanggar sumpahmu!" teriak Sofia memekik. Wanita itu meludah membuang debu yang menempel di bibirnya. Baru saja ia harus berguling-guling menyapu lantai, mencoba melepaskan diri. Namun dia gagal."Sumpahku hanya berlaku saat kamu tak membangkang," jawab Razzor dingin."Persetan! Kamu berjanji untuk menjagaku dan melindungiku! Sekarang kamu sendiri yang akan membunuhku!""Omong kosong! Kamu selalu menjadikan perasaanku ini sebagai senjata. Tapi tidak kali ini, Sofia. Kamu terlalu jauh menentangku. Aku tak suka ditentang! Sekaran
"Tutup mulutmu! Jangan bawa-bawa romansa di sini! Lepaskan mereka dan kembalilah hidup seperti semula," jawab Sofia membalas suaminya.Lagi-lagi Razzor menggeleng. Laki-laki itu mengelus bulu rubah di lehernya lalu mendekat lagi ke arah wajah Sofia."Seperti ucapanmu. Hari ini, aku akan semakin membuat kematianmu tenang, Sayang. Kau akan lepas dariku untuk selamanya. Jika aku tak bisa memiliki hatimu, maka tak ada seorangpun bisa mendapatkannya," bisik Razzor tepat di telinga istrinya.Membelalak kedua bola mata Sofia terkejut. Ia paham maksud suaminya itu. Sofia menghentakkan kakinya dengan keras."Kamu bisa membunuhku tapi jangan sakiti dia!"Razzor justru tertawa terbahak-bahak. Suara gelaknya membahana namun hanya dia yang merasakan, sesungguhnya itu adalah suara
Razzor menarik tubuh Farid ke atas dengan cepat. Namun sayang, cakaran dua tangan depan hiena itu bisa meraih kaki kanan Farid. Luka cakaran di betis mungil balita itu menganga panjang sampai telapak kakinya. Mengucur darah Farid seiiring suara tangisnya yang memekik hebat. Luna yang melihat anaknya menangis semakin histeris, memucat seperti tak ada setetes darah dalam tubuhnya. Terlebih ketika cairan merah pekat dari kaki Farid menetes deras lalu jatuh ke dalam kandang itu. Hiena yang di bawahnya menjilat-jilat, begitu sangat menikmati. Hewan buas itu berputar, membuka mulutnya, mengkikik abai dengan penderitaan balita laki-laki itu. Sesekali ia menatap atas karena gagal menangkap buruannya. Mengapa Tuannya itu seperti mempermainkannya?! Xiena mengerang sembari terus menjilati darah Farid yang menetes perlahan. "Beraninya kau menyakiti anakku, binatang!!! Kubunuh kau!!! Kau harus mati di tanganku!!! Kematianmu sudah di depan matamu, Razzor!!! Aarrrgghhh!!!" Luna memukul-mukul kan
Hiena itu berputar-putar mengelilingi Sofia. Ia mengibas-ngibaskan punggung dan ekornya, mencoba melanggarkan otot-otot yang dilapisi bulu berwarna coklat kehitaman. Mulut yang dipenuhi oleh taring tajam dengan rahang yang tampak sangat kuat. Rahang mengerikan itu membuka seolah siap akan mencabik-cabik kulit mulut mangsanya. Sofia bersiap. Ia mengangkat jari telunjuk dan tengahnya sejajar dengan dagunya, tatapannya sangat tajam. "Kemari kau," desisnya dingin sembari menggoyangkan dua jari lentiknya ke arah wajahnya. Hhaaaaaap! Dalam hitungan detik hewan itu pun melompati tubuh seksi Sofia. Keduanya jatuh bersamaan. Mulut hewan itu semakin terbuka mengincar leher jenjang calon mangsanya. Sofia menarik nafasnya secepat yang ia bisa. Rasa sakit muncul begitu dahsyat menjalar dari luka yang berada di punggungnya. Wanita itu pun merasakan kuku-kuku tajam hewan itu menusuk ke dalam dagingnya. Namun itu baru permulaan. Dengan cepat, wanita berkuncir itu menangkap kaki hiena yang sedan
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege