Assalamu'alaikum selamat pagi🌄🙋 Senang sekali menggetahui buku ini memiliki performa yang cukup bagus. Semua karena bantuan vote dan ulasan teman-teman semua. Terimakasih yaa. Yang belum kasih bintang ⭐⭐⭐⭐⭐, berikan dukungan positif yah. Vote sangat berarti bagi buku ini. Stay shine, tetap bersinar ya readers. Love all
"Jadi, itu artinya Mama tinggal menunggu datangnya hari, istrimu menghukum Mama. Semoga dia langsung membunuh Mama dengan tidak membiarkan Mama hidup dalam kondisi cacat seperti mereka," lirih ibuku pelan.Hati mana yang akan merasa baik-baik saja mendengar ibunya berkata demikian? Kutarik nafasku sekuat tenaga.Sejenak kuperhatikan wajah kriputnya yang semakin tampak. Sudah beberapa bulan ini, dia terus menderita dalam rasa was-was dan rasa takut. Penderitaan batin ibuku sudah sampai puncaknya. Bukankah itu cukup bagi Luna? Aku berharap bisa mengajaknya bicara setelah istriku itu benar-benar pulih."Saat ini Luna sedang sakit juga, Ma. Aku akan memintanya memaafkanmu setelah dia sembuh," ujarku mencoba menenangkannya yang terus mengusap air matanya dengan tangannya yang gemetar. Kuraih tubuh lemah ibuku dan memeluknya erat. Aku bisa marah dan benci padanya tapi aku tak bisa meninggalkannya. Dia ibuku. Darah dagingnya ad
Ayu Ruminang membuka mata, tampak di depannya Yudha sedang berdiri menggendong Farid."Ke-kenapa melihatku begitu? Mana Angel?!" gagapnya sekaligus salah tingkah.Wanita itu bergegas bangun dan menoleh kiri dan kanan. Ia memegang pelipisnya. Kepalanya terasa sangat pusing."Dia lagi masak," jawab Yudha."Dia masih sakit, kau suruh masak. Kau benar-benar menyebalkan," ketus Ruminang mengambil kain lampin Farid dan menutupi pahanya. Entah kenapa, dia sekarang merasa agak tak nyaman tampil seksi lagi. Apalagi di depan mantannya itu."Bukan aku yang suruh. Dia sendiri yang mau!" jawab Yudha kesal."Terus ngapain kamu di sini?""Di suruh Luna. Lagian Farid dari tadi rewel, nyariin kamu kali," timpal Yudha menimang-nimang Farid. Bayi itu tiba-tiba saja merengek lagi."Kau memang tak
"Hey kalian! Hey! Astaghfirullah! Hey! Berhenti!"Yudha menarik kasar rambutnya kebingungan. Ia tak punya pilihan. Laki-laki itu masuk dalam pertempuran dan mencoba melerai. Namun malang tak bisa dihalang, justru kedua wanita itu menendangnya hingga jatuh berguling-guling tersungkur. Yudha meringis menahan sakit bahu dan bokongnya."Kalian berdua psikopat ! Aaauuuch!!!" omelnya mengerang kesakitan.Tampak Luna kembali melayangkan tinjunya pada wajah Ayu. Beberapa kali wanita itu berhasil hingga membuat wajah cantik Ayu Ruminang lebam. Ayu Ruminang tak tinggal diam, secepat kilat ia melompat pada pohon dan menedang Luna.Bughh!!!Luna menerima tendangan Ayu Ruminang lalu meringis kesakitan."Aaakhh!!!"
"Ba-bagaimana kau ...." "Ya, Dek! Aku sudah tahu! Kau yang melakukan semua tindakan kriminal itu. Saat Om Demian masuk rumah sakit, aku menemukan jawaban utuh atas semua puzzle yang selama ini memenuhi otakku. Sengaja kutunggu kau sepenuhnya pulih. Jika memaafkan ibuku adalah sulit bagimu, aku juga sulit menerima pernikahan poligami. Kau jangan kira, aku akan senang sekali. Tidak sama sekali. Aku harus menumbuhkan kembali rasa cintaku padanya tanpa rasa sungkan padamu sebab dia berhak mendapatkan porsi cinta yang sama denganmu. Aku juga harus siap untuk ditinggalkannya setelah aku terbiasa bersamanya. Ditinggalkan pasangan untuk selamanya itu sangat sakit, Dek. Dan dengan menikahi Ayu, itu artinya aku akan merasakan kehilangan hebat untuk kedua kalinya." Luna masih bergeming. Wanita berhijab itu menatap kosong pada dinding berhiaskan macrame merah muda yang estetis. "Aku tahu perbuatan ibuku sangat kejam. Sebagai anak, aku sangat mengecamnya. Namun, aku di sini bagai simalakama. Ka
"Se-semuanya, Dha?!"Yudha mengangguk berat."Tapi kan kamu tahu, ada 1 apartemen yang terjual, kebun kopi 2 hektar sudah dijual. Bisnis juga jalannya mandek, bahkan ada yang mau gulung tikar gara-gara tak pernah diurus. Lagian, uang kita pake buat pengobatan bukan untuk foya-foya!" pekik Ratih."Tapi Ma, Luna bukan tipe yang main-main dalam bicara. Please jangan buat dia kembali marah, Ma. Kita usahakan bagaimana caranya biar aset itu kembali lagi. Aku tak mau, Mama jadi sasaran amukannya. Mama belum tahu, kalau istriku murka, jantung manusia bisa ia keluarkan hidup-hidup!"Ratih menciut. Ia sudah mendengar berita itu dari mulut Demian. Adiknya itu selalu meracau, menangis, mengerang melihat nasibnya bagai manusia gak berguna. Sampai sekarang tak bisa masuk dalam logikanya, wanita berhijab itu bisa mengalahkan Jeny dengan tangan kosong bahkan mengeluarkan jantung wanita berkuku pisau itu
Ucapan Luna membuatku tak memiliki nyali untuk berkata apapun. Kupaksa kakiku melangkah. Entah apa mau Tuhan hari ini, aku pasrah.Melihat kehadiran kami, wajah om Demian merah padam. Laki-laki itu berteriak dan menghentak-hentakkan tubuhnya. Sangat aneh sekali dilihat oleh mata, tubuh kekar itu tanpa lengan tanpa kaki. Kedua lututnya ke bawah sudah diamputasi dan dua tangannya hanya sampai siku saja."Pergi kau wanita iblis! Wanita durjana! Harusnya kau bunuh saja aku!""Aku ke sini untuk memenuhi perintahmu, Om. Membunuh mentalmu," timpal Luna dingin.Aku menggeleng. Ingin aku melarang istriku, namun seakan bibirku terkunci. Jika terbayang monster apa yang istriku harus lawan karena om-ku, hatiku rasanya marah dan benci."Yudha! Bawa perempuan ini keluar!" jerit Demian."Percayalah, Luna takkan menyakiti Om lagi. Sekarang, aku mohon, minta maaflah pada Luna
Yudha baru saja mencocokkan cincin pernikahannya. Dipandanginya cincin itu dengan mata sayu. Esok pagi, sebuah amanah baru akan ia pikul. Hatinya berdebar campur haru. Dia yang sempat membenci bahkan jijik pada mantan kekasihnya itu dengan begitu cepat hatinya mencair karena kebaikan-kebaikan yang Ayu Ruminang tunjukkan.'Aku berjanji akan membawamu pada cahaya agama Islam' bisik hati Yudha.Tiba-tiba dari arah luar, terdengar suara motor khas milik Aleksei. Cukup lama laki-laki itu tak pernah berkunjung sejak perdebatannya di rumah sakit. Refleks, Yudha bangkit dengan wajah sumringah bersiap menyambut sahabat istrinya itu.Yudha membuka pintu, dan ....Buuugh!!!Aleksei meninju wajah Yudha. Nampak urat-urat yang menyembul dan gemertak rahangnya membuat Aleksei nampak seram. Yudha yang tiba-tiba mendapatkan serangan berusaha berbicara namun Aleksei tak membiarkan itu. Ia terus me
"Sah!" Begitu ucapan para saksi. Riuh rendah beberapa kawan kerabat di rumah ini. Aku mengundang hanya teman kantorku saja dan beberapa teman dekat. Tidak ada keluarga dekatku yang hadir kecuali Ratna. Aleksei pun hadir bersama Yupiter. Ibuku yang sehat memilih untuk tidak hadir. Karmila juga hadir. Wajahnya begitu manis dengan polesan make up flawless. "Kamu cantik hari ini, beby. Terimakasih banyak sudah hadir," sapaku saat para tamu sedang menikmati hidangan. Luna menyulap halaman belakang rumah menjadi stand party. Nampak sederhana namun elegan. "Terimakasih. Tapi sayang, pujianmu sudah takkan mampu membuat hatiku berbunga-bunga lagi," timpalnya datar. "Kau marah padaku?" Karmila menggeleng. Ia menatap gelas yang berisi minuman rasa jeruk di tangannya. "Jika memang tidak ditakdirkan untukmu, sebagaimana pun kerasnya usahamu maka tetap bukan menjadi milikmu." "Ucapanmu membuatku lega. Setidaknya aku masih memiliki sahabatku," jawabku. Gadis itu tersenyum. Aku tahu peras
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege