"Sekarang buka matamu lebar-lebar," desis Luna maju mendekati besi itu setelah Stella turun. Dengan ekspresi mengejek, Stella mengacungkan jempolnya ke bawah melewati Luna.
Melihat seorang wanita yang berhijab dan berpenampilan aneh bagi mereka mendekati tiang besi, tak ada satu orang pun yang tidak tertawa kecuali Aleksei. Luna terus menatap besi itu hingga atas. Otaknya berputar, apa yang akan dia lakukanlah terhadap besi di depannya itu?
"Buka baju tebal dan penutup kepala aneh itu! Kau takkan bisa menaiki besi itu sampai kau benar-benar telanjang!" teriak salah satu awak kapal menyentak-nyentak kakinya kegirangan.
Uuuuuuuwwww! Hahahahaha!
Serentak riuh tawa dari perempuan-perempuan itu beradu dengan ejekan para lelaki di sana.
"Cantik sih, tapi bodoh!" lanjut lainnya.
Luna seolah tuli. Seolah gerakan-gerakan Stella tadi
Aleksei membeliak hebat. Ia langsung berlari dengan kencang. Tanpa pikir panjang, laki-laki kekar itu terjun. Begitu juga Baron. Laki-laki itu terkejut luar biasa. Ia bangkit dari tempat duduknya lalu melompat ke laut.Para wanita berteriak histeris. Mereka kompak berlari mendekati deck kapal. Namun hanya sinar redup mercusuar yang muncul timbul memberikan pencahayaan."Lampu! Lampu!" teriak Nipon panik menatap laut.Dua anak buah Baron berlari serentak mengambil senter yang cukup besar. Mereka mencoba memberi penerangan ke arah laut.Nampak empat manusia yang sedang terombang ambing di bawah sana cukup jauh terpisah. Ombak yang menderu-deru membuat mereka kesulitan saling meraih satu sama lain."Stella!" teriak Luna yang mencoba menangkap tubuh Stella."Tolong! Tolooooong!" teriak Stella mencoba mendongak.Wanita
Stella terperanjat luar biasa. Bagaimana Luna tahu, dia sedang mengandung anak Baron?"Kau ...."Luna memeluk wanita itu, sembari berbisik."Ssstttt ... kalau umurku panjang, aku akan menemuimu. Terimakasih Ratu Lautan."Stella menangis lalu mengeratkan pelukannya."Semoga kau berhasil dalam misimu," ujar Stella pelan.Sekarang ia tahu, wanita berhijab di depannya itu memiliki tujuan rahasia. Luna mengangguk dan merenggangkan pelukannya."Sekarang waktunya!" seru Nipon menghampiri Luna.Dengan cepat, Luna melesat keluar. Ia sudah tak sabaran. Sangat tidak sabar. Dalam bayangannya, ia akan segera bertemu dengan Farid, anaknya.Meski tak begitu terkejut, Luna menatap tajam pada keenam laki-laki bertopeng baja. Berdebar jantungnya bersamaan dengan keringat dingin d
"Mama!" teriak Farid melihat ke arah pintu. "Tuan Aros!" pekik suara wanita yang terdengar begitu sangat tak asing dari belakang Luna. "Tuan Aros! Oh My Godness!!! Kamu barusan manggil aku apa? Mama? So great honey! I love you!" seru wanita yang rambutnya diikat kuncir kuda itu. Baru saja dia menyenggol tubuh seseorang yang tertutup kain burqa yang bahkan matanya saja tak terlihat. Ia langsung menarik tubuh Farid lalu menggendongnya. "Katakan sekali lagi, Sayang. Kamu panggil aku apa tadi? Mama? Mama ya, Sayang. Ooh My honey, My baby!" Luna yang melihat pemandangan di depannya itu seperti batu. Kaku. Matanya melebar seolah tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya itu. Bagaimana sosok yang tujuh tahun yang lalu, ada di di sini terlebih sedang bersama putranya. 'Sofia ...' desis hatinya pelan. "Hey! Maaf, kamu pelayan baru kan di sini?" tanya Sofia dengan wajah sumringah. Tak ada respon dari Luna. Ia masih seperti kehilangan akal. "Halo?" sapa Sofia mulai mendekat.
Haaap!!!Sebuah tubuh kekar yang tak asing bergelinding tak jauh dari kedua wanita itu berdiri."Aleksei!" pekik Luna mendekat. Tampak pemuda bermata elang itu meringis kesakitan. Dari dahinya ada darah. Rupanya beling guci menempel di beberapa bagian tubuhnya juga.Sofia membuang wajah. Ingin rasanya ia berlari menolong Aleksei lalu mengatakan maaf pada pemuda itu. Tapi itu mustahil, tampak Luna dan Aleksei begitu saling mengisi."Its oke My Angel. Kamu tak apa-apa?" tanya Aleksei.Luna menggeleng. Aleksei menatap Sofia dengan pandangan sangat marah."Sofia!!!"__________________________________________Byuuur!!!Luna terkesiap karena merasakan tubuhnya basah oleh air dingin. Ingatannya langsung buyar berganti dengan pemandangan sosok wanita berambut kriting yang sedang menyilangk
"Maaf, membuatmu menunggu. Aku harus mencari celah untuk bisa turun kapal," ujar Stella memegang dadanya karena nafasnya tersenggal. "Aku siap menunggumu berbulan-bulan jika kau bisa membantuku menyusulnya," timpal Aleksei bangkit dari batu yang didudukinya. Ia membuang sembarang rokoknya. "Ccchh, kamu berlebihan sekali," cebik Stella mendekati Aleksei. "Terima ini!" seru Stella melemparkan sebuah bungkusan hitam yang terasa berat. Aleksei meraba-rabanya. "Itu adalah pakaian pengawalnya Razzor. Laki-laki itu kehilangan belasan anak buahnya. Pasti dia akan membutuhkan pelayan baru. Persiapkan dirimu!" "Bagaimana bisa?" tanya Aleksei pura-pura tidak tahu. "Sepertinya kehancuran mulai mendekatinya. Bisa jadi, orang yang bertanya lebih tahu dari yang ditanya," seringai Stella menatap Aleksei di bawah sinar rembulan lautan. Aleksei tersenyum kecil. Ia mengangguk pelan dan mengangkat sedikit benda di tangannya sebagai isyarat dia menerimanya. "Berhati-hatilah! Mungkin tiga hari
Luna tak sempat berteriak karena kaget. Begitu cepat sebuah tangan menutup mulutnya."Kurang ajar kamu ya! Untuk apa di dekat kamarku? Mau mencuri dengar? Siapa kamu?! "Emely mendorong tubuh Luna hingga tersungkur."Ma-maaf, aku hanya penasaran mengapa semua menjadi tegang," timpal Luna menahan amarahnya."Budak tak sopan! Kamu harus diajarkan etika! Tak boleh ada yang menguping di sini!""Aku akan mengingatnya, Nyonya," ujar Luna datar."Awas saja jika kamu berani mengulanginya lagi. Sekarang bersihkan kamarku! Ganti sprainya. Cepat!" perintah Emely.Luna menurut. Ia akan mencari tahu, bagaimana kalung itu ada di kamar wanita keriting ini?Luna begitu serius merapikan bantal, pakaian, dan wine yang berhamburan, tergeletak begitu saja. Emely duduk di kursi, mengawasi Luna yang sedang bek
Razzor menatap kedua bola mata Luna dan menyapu setiap sisi wajah wanita itu dengan pandangannya. Kedua netranya seperti enggan untuk berkedip. Ia seperti melihat masa lalu tapi juga melihat masa sekarang secara bersamaan. Perlahan, Razzor menegakkan tubuh Luna."Dari mana asalmu?!""Desa Bunut, Tuan," jawab Luna menurunkan kembali penutup wajahnya.Ia berharap monster di depannya itu mulai mendekati umpannya. Luna berpura-pura merapikan hijab di kepalanya, merasakan belati kecilnya masih bertengger kuat. Jiwanya sudah siap."Bagaimana bisa ada luka cakar di wajahmu?" selidik Razzor dengan suara berat.Luna cukup terkejut. Rupanya Razzor mampu membedakan luka cakaran dan luka belati. Padahal ia sempat melihat di cermin, luka itu menganga lebar. Kuku-kuku Stella benar-benar sangat tajam seperti diasah."Sa-saya diadu oleh Tuan Baron. Sa
Bayangan kekejaman suaminya saat membunuh pamannya dan Mulan, selalu menjadi penghias kelopak matanya. Sofia sangat marah tapi ia tak mampu berkutik. Ada jiwa yang harus ia selamatkan dan lindungi. Tuan Aros, kesayangannya."Terus saja kau memojokkanku. Kau yang lebih dulu membuat semuanya jadi runyam!" sentak Razzor.Sofia langsung diam. Memilih menghindari perdebatan."Ada apa kau memanggilku?" lanjut Sofia setelah sejenak tak ada suara di antara mereka."Untuk mengabarimu secara langsung bahwa belasan anak buah istana ini hancur terpanggang di dalam sebuah villa. Malam ini, aku akan mencari tahu. Menurutmu siapa pelakunya? Apa kamu melakukan kecurangan? Bisa jadi musuh judimu ingin balas dendam dan akan mulai merongrong tempat ini.""Ccchhh ... mengapa kamu menuduhku? Harusnya kamu tanya kepada dirimu sendiri. Kejahatan apa saja yang telah kamu lakukan?
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege