Sofia merasakan darahnya mendidih bergejolak sampai ke ubun-ubunya. Ia merasa seperti sedang dikuliti hidup-hidup dan dia tahu, itu dalam arti sebenarnya. Wanita itu berguling-guling mengerang kesakitan. Bahkan tubuhnya menerjang, beberapa kali membentur dinding batu itu. Kulitnya menghitam legam seperti terbakar. Sofia berteriak sekencang yang dia bisa. Wanita itu merasakan sakit di atas rasa sakit hingga membuatnya merasa nyawanya seperti di ujung tenggorokannya.
Cairan bening. Ya. Dalam keadaan sekarat, ia mengingat cairan itu. Sofia langsung berusaha bangkit. Wanita itu menyibak rambutnya yang berantakan, basah dan berbau amis. Sisa nyawanya ia gunakan untuk berdiri dengan sekuat tenaga, mencari kotak yang berada di tengah-tengah ruangan. Sofia langsung tersungkur meraih tabung suntikan itu. Tanpa sebutir keraguan pun, Sofia menyuntik lengan kirinya yang belum tersentuh.
"Aaarrghhh!!!"
Jelas Sofia merasakan cairan itu mengalir dalam nadinya denga
Selama beberapa hari Bella tidak pernah meninggalkan Sofia di ruangan itu. Beberapa pelayan selalu standby menunggu perintah dari Bella. Sofia sudah mengatakan bahwa apapun yang diucapkan oleh Bella itu adalah perintah. Eldor semakin penasaran namun ibunya memerintahkannya untuk tetap tenang. Sofia berdalih sedang melakukan sebuah ritual untuk para leluhur. Nampak Eldor saat ini sedang duduk di depan barbel panjang sembari berpikir bagaimana caranya untuk bisa masuk ke dalam ruangan itu? Dia sudah di titik puncak rasa penasarannya. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Aletha yang baru selesai melakukan olahraga treadmill. Ia bahkan tak sungkan mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang barusan Eldor pakai. "Hampir beruban rasa rambutku menunggu Ibuku keluar dari ruangan itu. Sebenarnya, menurutmu apa yang sedang mereka lakukan? Apakah mereka sedang melakukan pesugihan?!" Aletta langsung tertawa cekikan mendengar pertanyaan suaminya. Sangat tidak masuk akal jika seorang Queen So
Aletha berlari sekencang yang dia bisa, menuju ruang latihan. Beberapa penjaga menjadi kebingungan melihat sikapnya itu. Namun mereka tidak berani mendekati menantu kerajaaan bawah tanah, karena wanita itu sama sekali tidak meminta pertolongan. Para penjaga itu paham, dalam keluarga besar selalu banyak terjadi masalah pelik. "Eldor!" teriak Aletha namun ternyata pria itu tidak berada di ruangan latihan. Aletha kembali berlari menuju kamar mereka, namun nihil. Merasa putus asa, wanita jelita itu keluar berteriak kepada penjaga. "Dimana dia? Dimana Eldor?!" teriaknya. Belum sempat pengawal itu menjawab tiba-tiba Eldor sudah berada di belakangnya. Aletha menghambur, seketika memeluknya dengan tubuh gemetar. Eldor merasakan debaran jantung Aletha yang tak karuan. Selain menjadi was-was, pria itu juga pun merasa lega, Aletha mau memeluknya lebih dulu. "Apakah Ibuku menyakitimu?" tanya Eldor dengan suara berat. Aletha menggeleng keras. "Aku akan menutup mulutnya jika lidahnya menusuk per
Dua hari yang lalu .... "Papa!" teriak Eldor dari luar. Aleksei yang sudah menunggu langsung membuka pintu. Ia cukup terkejut melihat kehadiran Eldor dan istrinya. "Istana bawah tanah baik-baik saja?""Tidak. Ada monster di sana. Aku yakin, dia bukan ibuku lagi," jawab Eldor menyeret tangan Aletha masuk."Aku tidak mengerti ucapanmu.""Ibuku sudah menjadi seperti kawannya itu, Bella," ucap Eldor memilih tetap berdiri. Aleksei mempersilakan Aletha duduk. Di depan mereka sudah ada meja kaca berisi makanan dan minuman soda. "Aku seperti melihat orang lain. Menjadi sangat aneh, dia ibuku tapi seperti wanita yang akan menggodaku.""Aku tidak mengerti. Dari tadi kamu membicarakan apa?" tanya Aleksei yang masih kebingungan. "Jelaskan kepadanya! Kepalaku pusing!" ujar Eldor menoleh kepada Aletha sembari memijit pelipisnya kasar. Aletha mengangguk samar. Otaknya berpikir cepat untuk menyusun kalimat yang tepat sebab yang dia ucapkan ini akan terdengar tidak masuk akal. "Hampir tiga minggu,
"Mengapa sampai bisa seperti ini? Aku takut dan sangat takut, ini akan sangat berbahaya untukmu, Sofia.""Harusnya kamu bahagia, karena kamu menemukanku dalam keadaan terbaik. Kembali muda dan tidak cacat. Meskipun kau sudah tua, aku siap melayanimu dengan tampilanku ini. Anggap aku terlahir kembali untukmu, Aleksei."Aleksei menggeleng. Ia sekarang mengusap air matanya sendiri. "Aku teramat sangat menyayangkan tindakanmu ini, Sofia. Apakah kamu sudah memastikan pada Bella tentang konsekuensi dari perbuatan kalian ini? Tidak mungkin tidak ada efek kerasnya, Sofia. Sebab ini di luar nalar logika.""Aku siap dengan semua konsekuensinya. Daripada hidup lumpuh dan habis waktu dengan kursi roda, semakin payah dengan rapuhnya kulit dan tulang. Tidak, Aleksei. Tampilanku yang lama sudah hilang. Aku yang menjijikkan di matamu, yang tua dan lumpuh itu sudah mati. Jangan cari-cari lagi."Aleksei mengusap tengkuknya menahan rasa frustasinya. Merah padam wajah Aleksei menatap Sofia. Ia seperti me
Farid masih mengawasi rumah besar di depannya. Hatinya cukup berdebar. Ia akhirnya memutuskan untuk mengklakson. Seorang pria kurus tinggi keluar dan mengetuk kaca mobilnya. "Cari siapa, Mas?""Ayahku. Sayudha Wistara.""Oooh. Sebentar ya, saya konfirmasi dulu sama Nyonya," ujarnya. Farid mengangguk. Beberapa saat, pria ringkih itu kembali. "Silahkan, Mas."Farid mengangguk. Setelah mobilnya terparkir, ia diantar masuk dan dipersilakan duduk di sofa. "Farid?" sapa Yudha yang langsung menghambur memeluknya. "Kenapa gak kabari dulu kalau mau ke sini? Siapa yang kasih tahu alamatnya?""Dari hp Mama," jawab Farid datar. Yudha hanya mengangguk. "Bagaimana keadaan kalian?""Kami masih hidup seperti tidak bernyawa karena Papaj sedang menjauh. Kenapa Papa bisa berubah begini?""Apa Mamamu yang menyuruhmu ke sini?""Tidak. Bahkan Mama tidak tahu aku mencuri alamat rumah Tante Karmila dari ponselnya."Yudha hanya diam. "Kenapa tidak tinggal di tempat lain? Kenapa harus satu rumah dengan w
Setelah berhasil menenangkan Farid, Luna kembali turun. Matanya menyipit melihat Bella yang sedang membaca katalog. "Maaf membuatmu menunggu.""Aku merasa tidak menunggu. Kau bisa melanjutkan kegiatanmu," timpal Bella tersenyum. "Aku sudah selesai. Biasalah, anak muda masih sangat labil," ujar Luna kembali duduk. "Jadi, apakah kau sudah menentukan pilihan?" tanya Luna. "Iya. Aku ingin model kalung seperti ini sekaligus antingnya," ujar Bella memilih secara acak. "Baik," jawab Luna. "Kapan siap? Mungkin aku bisa memakainya saat pernikahan putramu. Siapa namanya? Fa ....""Farid Abdullah. Ya. Aku akan usahakan sebab waktunya cukup singkat," tanggap Luna. "Empat belas hari lagi," potong Bella. Luna mengernyitkan kedua alisnya. Darimana Bella tahu? "Aku harus pergi sekarang. Ada urusan," ucap Bella membuyarkan kebingungan Luna. Saat wanita yang nampak muda itu menghilang dari garasi dengan mobil mewahnya, Luna menurunkan cadarnya. "Darimana Bella tahu acaranya empat belas hari lag
Tanpa ragu, Bella mendekati Yudha. Langkahnya begitu ringan tanpa adanya keraguan sedikit pun. Yudha kembali terdengar mendengkur. Efek obat benar-benar membuatnya tak bisa terus sadar meski dia ingin menemani Karmila bicara. Wanita itu selalu senang menjadi pendengarnya, tidak seperti istrinya yang selalu mendominasi. Meski Luna tidak menunjukkannya, namun pembawaan wanita itu selalu membuat Yudha tunduk. "Kukira hanya perasaanku saja, kau begitu amat mirip dengan suamiku. Aura kalian seperti satu. Mata, bibir ini, postur tubuh juga kulit ini ... satu lagi, cara bicaramu ... ah kalian terasa sangat sama."Bella tersenyum lembut menatap Yudha dan membayangkan jika pria di depannya itu menyatu dengan suaminya. Tapi tidak, Bella menepisnya. Itu terlalu cepat."Selama ini, aku tak pernah bergairah pada pria lain selain suamiku. Dan saat ini, aku mulai merasa menghangat dan dingin secara bersamaan. Apakah aku sedang menyukaimu? Hemmm ... ini sangat menyenangkan."Masih dengan menutup mata
Silsilia masih gemetar ketakutan. Ia bersumpah tidak akan menghadapkan matanya pada akuarium itu. Tidak akan. Sepanjang waktu, Silsilia hanya terus meringkut di atas kasur. Bahkan saat kandung kemihnya terasa penuh, Silsilia berjalan mundur, demi untuk tidak melihat ke arah akuarium. "Oh Tuhan, jika KAU benar-benar ada dan mengatur takdirku, kenapa KAU begitu kejam padaku dengan menghukumku seperti ini?! Aku takut sekali bahkan untuk sekedar bernapas," lirih Silsilia menggenggam tangannya, mencari keberanian untuk keluar dari kamar mandi. Namun keberaniannya sudah terkuras, karena saat akan keluar dari dalam kamar mandi, ia mendengar suara gelembung air. Ia tahu, gelembung itu sering terdengar. Bahkan hari itu, saat matanya menangkap kedua mata Zaenal terbuka, itu setelah dia mendengar suara gelembung itu. Silsilia memilih diam di dalam kamar mandi meski rasanya tulang-tulangnya seperti akan menjadi batu. Dingin sekali sampai ke sum-sumnya. Ia beberapa kali mengumpat, mengapa kamar m
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege