Assalamu'alaikum selamat pagi. Maaf kemarin hanya satu bab dan mungkin juga hari ini hanya satu bab karena othor dari kemarin sedang dalam perjalanan jauh menggunakan kapal laut. š š Sehat selalu semuanya di sana.
"Angin membawa berita, Ma," ucap Eldor santai. "Ini berita tidak benar, Nak. Siapa pun itu, dia telah berusaha menghancurkan kita!" seru Sofia tegang. Eldor berdiri santai, ia siap menuruni pohon itu. Sofia menarik tangan anaknya dengan serius. "Katakan! Siapa yang telah menghasutmu!" perintah Sofia penuh rasa penasaran. "Tidak semua hal bisa Mama dapatkan jawaban. Sisakan sedikit untuk menjadi misteri," ucap Eldor menepis kecil tangan ibunya. Pemuda itu langsung menuruni pohon itu hanya dengan beberapa kali langkah. Seperti anak kecil yang menuruni perosotan, sama sekali tak sulit baginya menaklukkan pohon tua dengan kulit kayu yang sangat kasar. "Eldor!" Sofia hanya bisa berteriak memanggil anaknya namun pemuda itu justru berlari meninggalkannya. Bahkan pemuda itu tak mau menunggangi kuda hitam milik ibunya. Ia bersiul sekali hentakan dan tak lama, seekor kuda coklat mendekat dengan berlari kencang berderap gagah. Rupanya hewan itu sudah dilatih untuk mengikuti perintah t
'Nama yang cantik' lirih Eldor dalam hati."Kau terluka. Berhentilah."Aletha hanya diam saja mencoba menutupi lukanya. Tangan-tangan lentik seperti bunga yang bergalayut mencoba merobek ujung celananya. Eldor membungkuk menahan tangan wanita."Biarkan saja. Kau akan diobati oleh pelayanku."Tanpa ragu, Eldor mengangkat lengan gadis itu. Jantungnya berdesir hebat saat tangannya menyentuh kulit mulus dan kenyal yang terbuka itu."Te-terimakasih, Tuan," ucap Aletha lemah lembut.Di telinga Eldor, suara itu seperti suara peri hutan yang sedang meminta perlindungan padanya. Ia terus menahan tubuh gadis itu dan membiarkannya berjalan dengan berjinjit."Aakkkh," rintih Aletha ketika kakinya yang terluka justru terkena ranting. Eldor melihat darah semakin mengucur. Wajah gadis itu memerah menahan perih namun di mata
Suara itu membuat lututnya lemas. Wanita itu menoleh ke belakang dengan tenggorokan tercekat. Aletha masing bergeming. Siap tidak siap, ia harus bertempur jika pemuda di depannya itu mendesaknya. "A ... aku ... aku hanya ...." "Aku tahu, semua orang yang baru melihat bangunan ini pasti akan kebingungan sepertimu. Tapi ayahku adalah laki-laki terhebat. Dia pasti membayar mahal untuk membangun tempat ini," ucap Eldor meletakkan kotak P3K di atas kasur. Mendengar ucapan Eldor, Aletha merasa sedikit lega. Apakah itu artinya, Eldor tidak tahu apa yang barusan dia lakukan? "Obati lukamu. Aku akan kembali." Kedua bola mata Aletha mengikuti langkah Eldor yang menghilang. Ia segera menjauh dari dinding rahasia itu. Segera ia membuka kotak yang dibawa Eldor. Gadis itu meringis menahan perih saat ia menyiram lukanya dengan cairan antibiotik. "Aku rasa, hari ini cukup," desisnya sendirian. Tangannya begitu lincah membalut lukanya sendiri. Gadis itu kembali terkejut ketika pemuda gagah it
Aletha tiba di markas ayahnya di sebuah kapal besar di dekat pulau. Laki-laki itu sudah menyatu dengan laut sehingga ia tak memiliki keinginan untuk memiliki hunian tetap di darat. Aletha mendekati kapal ayahnya dengan speedboat yang anak buahnya siapkan. Dengan elegan, gadis itu mengendarai perahu mesin itu. Angin laut membawa rambutnya berkibar sembarang meski sudah diikat satu. Terlihat berantakan, kecantikan gadis itu justru bertambah di mata siapa pun yang melihatnya. Termasuk pada kedua mata Frenk, yang saat itu berada di atas kapal. Pemuda itu sedang memiliki pekerjaan untuk Baron. "Jadi, bawakan kepalanya untukku, maka 500 juta akan kuberikan," ucap Baron sembari menghisap cerutunya. "Apa kau sanggup?" lanjut Baron namun tidak ditanggapi oleh Frenk. Pemuda itu menatap ke arah matahari terbenam, di bawah kapal. Baron yang melihat arah pandangan Frenk melebarkan senyumnya bangga. Dewi laut yang sedang menghipnotis pemuda itu adalah darah dagingnya. "Siapa dia?" tanya Frenk.
Aletha memperhatikan foto di tangannya. Wajah yang terlihat ramah dengan senyum yang merekah sembari memegang buku bersama empat temannya. "Yang ini pasti akan lebih mudah. Aku hanya perlu sedikit usaha meski mungkin akan membuat tubuhku remuk redam," ucap Aletha meletakkan begitu saja foto itu di kursi mobil. Ia sedang berada di dalam mobil mewahnya dengan didampingi sopir yang setia. Gadis itu mengeluarkan kaca dari dalam tasnya dan memperhatikan penampilannya. Cantik, sudah pasti. Dengan blouse korea yang memiliki lengan panjang dengan karet di ujung pergelangannya juga berhiaskan motif bunga. Rambut lurusnya dibiarkan terurai rapi dengan belahan dada sedikit terbuka. Perpaduan warna cream dan motif merah muda membuat kulit gadis itu terlihat bersinar. "Pergilah. Aku akan menghubungimu setelah selesai. Ini tidak akan lama," ucap Aletha penuh rasa percaya diri sembari melihat jam di tangannya. "Baik, Nona," ucap sosok di depannya itu mengangguk dengan wajah berbinar penuh sem
Aletha sedang duduk di depan klinik ortopedi yang menangani perawatan sistem kerangka dan bagian-bagian yang saling berhubungan seperti tulang, sendi, otot, tendon dan ligamen manusia. Bahunya sedang dipasangkan penyanga lengan yang tebal dan nyaman."Ini akan mengurangi rasa sakitnya, Mbak. Sementara pakai ini dulu sambil menunggu hasil sinar-X nya keluar," ucap Helena lembut memasang gips."Kau kenal dekat dengan pemuda tadi?" tanya Aletha dingin.Wanita berkerudung itu tersenyum. Ia mengangguk."Dia Tuan saya," jawabnya mengunci gips itu sehingga sempurna terpasang di lengan Aletha.Melebar mata Aletha kaget. Apa maksudnya?"Keluarga saya bekerja di rumahnya. Dia adalah Tuan Muda, Farid Abdullah.""Dia harus bertanggungjawab karena penderitaanku ini disebabkan olehnya! Laki-laki sombong!""Mbak mau nyebrang ya makanya terserempet?" tanya Helena masih dengan senyumnya. Terpaksa Aletha menga
Farid memasuki lorong-lorong istana bawah tanah itu dengan perasaan membuncah. Ia yakin, sesuatu sudah terjadi dan dia akan menguaknya sesegera mungkin. Kedatangannya disambut beberapa pelayan wanita yang masih muda. Meskipun tatapan mereka terlihat jelas mengharapkan permohonan untuk dilihat, pemuda itu bahkan lebih dingin dari bongkahan es. "Apakah Tuan ingin mandi lebih dulu? Ada air hangat langsung dari bawah tanah istana ini yang sangat menenangkan. Kami akan mempersiapkannya." "Untuk kedua kali dan terakhir, aku meminta kalian tak usah melayaniku. Jika aku butuh, aku akan menyampaikannya pada ratu kalian. Sekarang pergilah." Keempat pelayan muda itu memaksa kaki mereka merentangkan jarak. Namun di antara salah satunya, ada satu hati yang benar-benar merasa hancur. Setidaknya, hari ini adalah hari yang selama ini dia tunggu dan lantunkan dalam doa. 'Tuhan, jangan cabut nyawaku sebelum dia menatapku' bisik hatinya menjauh. Farid terlihat santai duduk menikmati teh yang ia ta
"Silahkan, Queen," ucap salah satu pelayan muda yang membawa baki meletakkan cangkir berisi es buah dan beberapa kudapan.Meski ia tahu tidak sopan, pelayan muda itu mengangkat wajahnya melihat Farid yang sedang menoleh pada Sofia. Berkaca-kaca mata pelayan itu seperti menggantung harapan.Sedetik ....Dua detik ....Pelayan itu kembali menunduk, mengangkat baki itu lalu melangkah pergi membawa kekosongan jiwa. Ia masuk ke dalam ruangan yang sangat luas seperti aula. Di tengah-tengahmya dilengkapi beberapa lemari dan perabotan lengkap seperti dispenser juga cermin. Ruangan itu adalah ruangan umum bagi pelayan istana bawah tanah itu. Semenjak kekuasaan Razzore tumbang, para pelayan wanita diperkerjakan dan digaji selayaknya pekerja wanita. Mereka memiliki fasilitas modern yang memungkinkan gaji mereka ditransfer ke keluarga.Namun naasnya, kebebasan mereka hanya jika mereka sudah tua dan lumpuh. Banyak dari mereka korban dari perda
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege