Aletha sedang duduk di depan klinik ortopedi yang menangani perawatan sistem kerangka dan bagian-bagian yang saling berhubungan seperti tulang, sendi, otot, tendon dan ligamen manusia. Bahunya sedang dipasangkan penyanga lengan yang tebal dan nyaman.
"Ini akan mengurangi rasa sakitnya, Mbak. Sementara pakai ini dulu sambil menunggu hasil sinar-X nya keluar," ucap Helena lembut memasang gips.
"Kau kenal dekat dengan pemuda tadi?" tanya Aletha dingin.
Wanita berkerudung itu tersenyum. Ia mengangguk.
"Dia Tuan saya," jawabnya mengunci gips itu sehingga sempurna terpasang di lengan Aletha.
Melebar mata Aletha kaget. Apa maksudnya?
"Keluarga saya bekerja di rumahnya. Dia adalah Tuan Muda, Farid Abdullah."
"Dia harus bertanggungjawab karena penderitaanku ini disebabkan olehnya! Laki-laki sombong!"
"Mbak mau nyebrang ya makanya terserempet?" tanya Helena masih dengan senyumnya. Terpaksa Aletha menga
Farid memasuki lorong-lorong istana bawah tanah itu dengan perasaan membuncah. Ia yakin, sesuatu sudah terjadi dan dia akan menguaknya sesegera mungkin. Kedatangannya disambut beberapa pelayan wanita yang masih muda. Meskipun tatapan mereka terlihat jelas mengharapkan permohonan untuk dilihat, pemuda itu bahkan lebih dingin dari bongkahan es. "Apakah Tuan ingin mandi lebih dulu? Ada air hangat langsung dari bawah tanah istana ini yang sangat menenangkan. Kami akan mempersiapkannya." "Untuk kedua kali dan terakhir, aku meminta kalian tak usah melayaniku. Jika aku butuh, aku akan menyampaikannya pada ratu kalian. Sekarang pergilah." Keempat pelayan muda itu memaksa kaki mereka merentangkan jarak. Namun di antara salah satunya, ada satu hati yang benar-benar merasa hancur. Setidaknya, hari ini adalah hari yang selama ini dia tunggu dan lantunkan dalam doa. 'Tuhan, jangan cabut nyawaku sebelum dia menatapku' bisik hatinya menjauh. Farid terlihat santai duduk menikmati teh yang ia ta
"Silahkan, Queen," ucap salah satu pelayan muda yang membawa baki meletakkan cangkir berisi es buah dan beberapa kudapan.Meski ia tahu tidak sopan, pelayan muda itu mengangkat wajahnya melihat Farid yang sedang menoleh pada Sofia. Berkaca-kaca mata pelayan itu seperti menggantung harapan.Sedetik ....Dua detik ....Pelayan itu kembali menunduk, mengangkat baki itu lalu melangkah pergi membawa kekosongan jiwa. Ia masuk ke dalam ruangan yang sangat luas seperti aula. Di tengah-tengahmya dilengkapi beberapa lemari dan perabotan lengkap seperti dispenser juga cermin. Ruangan itu adalah ruangan umum bagi pelayan istana bawah tanah itu. Semenjak kekuasaan Razzore tumbang, para pelayan wanita diperkerjakan dan digaji selayaknya pekerja wanita. Mereka memiliki fasilitas modern yang memungkinkan gaji mereka ditransfer ke keluarga.Namun naasnya, kebebasan mereka hanya jika mereka sudah tua dan lumpuh. Banyak dari mereka korban dari perda
Beberapa hari yang lalu .... Terlihat Luna berada di taman belakang, sedang menatap kosong pada arang yang sedang dibakar. Api mengkilat-kilat seperti menyambar. Angin dingin berhembus pertanda hujan akan tiba. Namun itu sama sekali tak membuat wanita itu takut berada di suasana sore yang terasa mencekam. Sedangkan air mata Luna menetes menatap bingkai foto di tangannya. "Pergilah, Aleksei. Sudah dua puluh tahun aku menunggumu untuk menunaikan janjiku tapi kau tak kunjung kembali. Entah kau masih hidup atau sudah terkubur dalam tanah, semoga dimana pun kamu berada, kebahagiaan selalu menyertaimu. Terimakasih sudah menolongku dalam setiap peperanganku. Tanpamu, mungkin aku takkan bisa bertahan." Napas Luna sesegukan tanpa jeda. Suara gemuruh guntur terus bersahutan. Dingin amat dingin yang menusuk sampai ke tulang namun wanita berhijab itu duduk menunduk mengelus wajah tampan yang masih muda, dengan tatapan tajam bagai elang. "Pergilah Aleksei. Mungkin di akhirat kita bisa berte
Aleksei menelan salivanya yang terasa mengental karena gugup. Namun nasi sudah menjadi bubur. Ia tak memiliki pilihan selain menceritakan sejarah yang ingin keponakannya itu tahu. Meski tidak semua. Aleksei menjamin dirinya. "Perlu kau ketahui bahwa kakek nenekmu telah mempercayai hampir semua aset mereka pada Aderald Ibrahim untuk mengelolanya karena identitas mereka sudah masuk daftar hitam negara. Sehingga nama mereka tidak bisa memiliki properti." "Jadi, ibuku anak tunggal?!" Aleksei mengangguk. "Aku tidak menerima ibumu menikah dengan laki-laki lain. Meski memang tidak ada status hubungan melebihi sahabat, aku terus saja menempel dengannya. Kunikahi adik ayahmu agar aku terus melihat ibumu," lirih Aleksei. "Jadi, karena kau tak bisa menipu perasaanmu pada ibuku, kau sampai kehilangan Yupiter dan Tante Ratna?" Aleksei kembali mengangguk. "Lalu bagaimana dengan keluarga ayahku yang lain? Aku tak bisa mengingat, kapan terakhir aku bertemu mereka. Aku hanya mengetahui tante
Sofia masuk ke dalam ruangan suaminya dan menemukan Aleksei sedang berbicara dengan seseorang secara daring. Ia duduk dengan menatap tajam pada suaminya. Napasnya tak teratur. Tatapannya penuh dengan rasa curiga. Meski menunggu hingga satu jam, Sofia tak bergeming."Kamu tak jadi istirahat? Setelah ini, aku masih memiliki pekerjaan," ucap Aleksei masih berkutat dengan keyboardnya."Untuk apa Tuan Aros kamu bawa ke sini, Mas?" tanya Sofia dengan mata melotot."Tuan Aros?"Aleksei bertanya sedangkan matanya masih fokus pada layar. Ia berusaha untuk sedatar dan sewajar yang dia mampu."Ya. Salah satu pelayan memberikan kabar padaku bahwa dia bersamamu, di lorong menuju ke sini.""Oh, kau tahu, anak angkatmu itu memiliki rasa ingin tahu dan keras kepala. Ia ingin aku melatihnya bela diri. Dia bersikukuh, memaksaku sampai ke sini," ucap Ale
Malini tak henti-hentinya menatap pemuda tampan yang sedang menutup mata sembari bersandar di etalase buku. "Ap-apa Tuan yakin akan tetap berada di sini?" Malini takut berani untuk bersuara. Tadi, dia sangat terkejut melihat sesuatu yang terjadi pada lelaki yang dipujanya itu. Refleks ia menangkap tubuh pemuda itu yang ambruk menabrak lemari buku. Perlahan ia membiarkan Farid untuk mengatur napasnya. "Tolong menjauh dariku," ucap Farid ketika merasakan kehadiran Malini sangat dekat. Pelayan itu bergeming. Ia seolah tak punya nyali lagi. Ia memilih beranjak meski tak ingin untuk benar-benar pergi. "Ya Allah, ini di luar kendaliku," ucap Farid memejamkan matanya kasar. Tiba-tiba terdengar suara hentakan kaki yang sangat berat. Farid tak peduli. Ia masih sangat terkejut. Ia tahu, suara kaki itu sedang berhenti di depannya. "Apa yang sudah terjadi?" Suara itu, Farid mengenalinya. "Aku baru saja kembali dari masa lalu, Paman," lirih Farid masih dengan mata yang masih tertutup.
Sofia terhenyak. Jantungnya berdebar-debar. Persangkanya muncul dengan cepat. Ia takut dengan yang sedang ia pikirkan. "A-apa maksudmu Tuan Aros?" tanya Sofia mengangkat tubuh Farid. Pemuda itu mengusap air matanya. "Kenapa kamu mengucapkan terimakasih? Apa yang sudah kau ketahui?!" selidik Sofia tidak sabaran. Farid menatapnya dalam. Mulutnya hampir terbuka. "Aku menceritakannya bahwa kau sudah pernah menolongnya yang hampir tenggelam di kolam apartemen! Anakmu itu terlalu melankolis!" seru Aleksei yang muncul. Terlihat Malini berdiri di belakangnya sedang membawa baki berisi beberapa mangkuk makanan. "Oh, ya?!" Sofia terheran. Benar. Ia pernah bercerita pada Aleksei kalau Farid belajar berenang tapi tidak sampai tenggelam. Apakah Aleksei salah tangkap cerita? Atau ... ada sesuatu yang lain?! Sofia menatap tajam pada Farid meminta penjelasan. "Katakan, apa maksud ucapanmu itu Tuan Aros?" "Ibuku mengatakan bahwa kau adalah penyelamat hidupku. Oleh sebab itu, aku harus ber
Malini hanya terus meringkut, memeluk dirinya sendiri. Ia sama sekali tak menangis. Baginya, tak akan ia keluarkan air mata yang menandakan kelemahan cintanya. Apa salahnya mencintai pangeran? Setiap manusia memiliki hati yang sama. Strata sosial hanya status yang diciptakan manusia saja berdasarkan nafsunya. "Jawab aku, Malini! Darimana kau dapatkan keberanian itu?!" "Sa-saya tidak bisa mengatur hati saya, Queen," jawab Malini di pojok dinding. "Kamu memang tak tahu diri!" Sofia benar-benar merasa dikhianati karena seorang pelayannya berani mencintai putra angkatnya. Ia merasa, martabatnya direndahkan dan tak dihargai. Dengan wajah merah padam, Sofia keluar mengambil cambuk ekor pari yang menempel di dinding batu. Benda yang panjang berduri tajam itu melingkar gagah sebagai hiasan. Namun di tangan Sofia sekarang, ekor pari itu begitu amat mengerikan. Tanpa ampun, wanita itu mencambuk Malini dengan amat kejam. Tanpa peduli gadis itu meraung kesakitan menahan setiap deraannya. "
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege