Duhh maaf ya sayang2, ini othor kerepotan banget sama tamu budiman ini (adik kandung) . Mau ta ceburin ke sumur hitam aja. Wkawk. bab ini puas ya bestiee 1.700 kata satu bab. Love 🍎
Beberapa jam yang lalu .... Terlihat Baron sedang duduk begitu santai dengan menghisap cerutu. Di belakangnya, Nindi sedang berdiri dengan postur tegap. Jubah hitamnya kali ini tanpa motif apa pun. Karena wanita itu yakin, ia akan menghadapi berita duka. Di otaknya, hanya ada dua kemungkinan. Angel Gracelia yang mati atau dia sendiri yang akan menemukan ajalnya. Hanya itu. Baron berhasil mengetahui suasana di istana batu dan itu sangat berarti untuk keberhasilan misinya. Sesuatu yang ia lewati dan tak terpikirkan sebelumnya hingga dia beberapa kali gagal. Dan sekarang ia tahu, kapan harus menahan diri dan kapan harus menyerang. Seolah semuanya nampak begitu mudah. Melihat pertempuran Eldor dan Farid juga mendengar sitegang Luna dan Sofia yang sedang terjadi, sungguh aroma kemenangan itu semakin dekat. Baron bahkan bisa merasakan, saat ini sedang duduk di singgasana Razoore. "Bagus. Bagus sekali Eldor! Lakukan lagi! Pecahkan kepala musuhmu!" seru Baron melihat layar yang menunjukk
"Kau ...." Kening Eldor membentuk lipatan yang sangat tebal dan masih berair. Keringatnya membasahi tubuhnya yang nampak lebam di mana-mana. Kehadiran Aletha di depannya dengan cara seperti itu membuatnya tak bisa merangkai kata karena begitu terkejut. "Bukan. Aku bukan Athena yang selalu kalah dan mengalah padamu, Pangeran. Aletha-mu yang itu sudah mati berbalut baju pengantinnya. Dia sudah mati," jawab Aletha mengangkat rahang dan berjalan dengan begitu percaya diri. Seperti dia, seperti dirinya yang sesungguhnya. "Ap-apa maksudmu?!" tanya Eldor belum bisa percaya dengan yang sedang dilihatnya. Seperti tidak nyata di pikirannya. Sofia pun masih membulatkan pandangannya pada yang sedang terlihat di depan mata. Siapa Aletha? Gerombolan laki-laki kekar di belakangnya itu, bagaimana bisa leluasa masuk? Siapa mereka?!!! Wajah Sofia luar biasa paniknya. "Si-siaapa kalian?" tanya Sofia tercekat. Jangankan untuk memasukkan puluhan orang asing, satu saja, harus memiliki izin dia atau
Kerongkongan Luna tercekat dan dia sedikit mundur. Takut? Tidak. Tapi rasa terkejut yang luar biasa di dada membuat napasnya seperti sedang ditutup. Luna tak pernah menyangka, dua puluh tahun telah terlewati, dendam itu masih ada di hati Nindi. Apakah itu artinya, hari ini, dia akan kembali membunuh salah satu keluarga suaminya lagi? Itu adalah hal yang paling menyakitkan bagi wanita itu. Menjadi monster pada seorang yang seharusnya menjadi tempat kembali. "Apakah sekarang kau berubah menjadi pengecut, Kakak Ipar?" tanya Nindi dengan suara melirih, mengejek wanita berhijab yang tiba-tiba semakin pucat. "Ya. Aku takut. Sangat takut bila hari ini, aku kembali mengulang sejarah yang sudah aku kubur puluhan tahun. Aku sangat takut menjadi pencabut nyawa untuk seseorang yang disebut keluarga. Jadi, tolonglah. Tolong berhenti sampai di sini, Nin. Jangan lanjutkan pertempuran ini. Kau bisa meminta sebagian hartaku jika kau mau asal kembalilah pada kakakmu. Hampir buta matanya karena menye
"Farid," desah Aletha melangkah maju. Namun tubuhnya langsung ditarik Baron. Aletha hanya menarik napasnya sekuat yang dia mampu. Lega rasa hatinya, hilang semua bebannya karena Farid sudah kembali. Perlahan mata Eldor membuka, melirik perlahan ke arah sumur batu. Sedikit melengkung bibirnya namun Eldor kembali memejamkan matanya, mengumpulkan kekuatan. Ia belum mati dan ia akan terus berjuang untuk kekuasaannya. "Racun itu rupanya memberikan dua sisi untukmu, Boss!" seru Nipon yang di dekat Baron. "Tak mengapa. Aku yakin, Mereka bisa melumpuhkan pemuda itu," ucap Baron yakin. Kedua tangan Eldor meremas kencang karena rupanya membiarkan Aletha masuk ke dalam istananya, telah membawa bencana yang sangat dahsyat. Binatang bawah tanah adalah prajurit pertahanan istananya selama puluhan tahun. Rupanya bisa dilumpuhkan begitu mudah karena ia telah tertipu oleh seorang gadis. Rasa bencinya untuk Aletha luar biasa membuncah di dada Eldor. Namun di balik itu, ia sedikit bersyukur kar
Flash back .... Ketika tubuhnya tercebur ke dalam air yang pekat dan amis itu, Eldor masih sadar. Sumur itu tidak sampai menenggelamkannya. Eldor dengan mudahnya berdiri dan merasakan di bawah kakinya ada benda keras seperti batu. Bau amis luar biasa membuat hidungnya ingin mengatup hingga merasakan perutnya seperti diaduk keras. Tapi kerajaannya sedang terancam dan bukan saatnya dia untuk menyerah. Eldor melawan rasa mualnya dan merasakan ada tangan dan kaki serta wajah manusia yang masih utuh. Ia baru ingat, sudah memerintahkan Jamrut untuk dilemparkan ke sini. Eldor yakin, pemilik tubuh yang utuh itu adalah Jamrut dan ia tahu, Jamrut diberi akses untuk memiliki pistol karena pria itu adalah kepala pengawal istana batu. "Jamrut, apakah kau mendengarku?!" bisik Eldor di telinga jasad itu. Tak ada jawaban dan ia tidak peduli. Ia lalu mengangkat tubuh itu bersender di dinding sumur lalu memeriksa apa yang bisa dia ambil. Jantung Eldor berdebar-debar meraba dan ia tidak menemukan
Eldor hanya menatap Farid, karena ia benar-benar pasrah jika pria di depannya itu membunuhnya. Mungkin itu harga yang pantas untuk dia menebus kesalahan. Eldor merasa akan mati dengan terhormat jika yang membunuhnya adalah Farid. Napas pria itu tersenggal-senggal karena darah terus mengalir dan panas sekali rasa sekujur tubuhnya.Ia mengira Farid akan mencabut nyawanya, rupanya tidak. Eldor melihat Farid kembali berdiri setengah menunduk, mengintip dari sela-sela batu yang hampir tidak terlihat selanya. Farid melihat beberapa pasukan Baron yang tersisa masih mendekat sedangkan ia hanya memiliki satu peluru."Kau harus tetap hidup agar kau bisa merasakan kebencianku seumur hidupmu," ucap Farid mendesis dan membuat Eldor seperti akan menangis.Doooor! Door!!Serangan berasal dari belakang sumur itu dan Farid tahu, itu pasti ibunya. Beberapa anak buah Baron menggelepar jatuh. Dan yang tersisa berusaha mendekat mengambil jalur samping karena tidak ada serangan lagi dari arah depan sumur.
Alur mundur. . . Aleksei dan Yudha sampai di coffe shop milik Sofia dan menemukan lima pria sedang melihat layar. Mereka berpakaian serba hitam dan memegang senjata. "Apa, apakah mereka anak buah Baron?" tanya Yudha gelagapan. "Sepertinya begitu. Sial. Kita sudah didahului," ucap Aleksei menghisap rokoknya lamat-lamat. Ia takut, rokok itu adalah putungan terakhir untuknya sebelum mati. Sebab Aleksei tahu, sebuah pertempuran bukanlah hal yang dibisa dipastikan akhirnya. "Bagaimana caranya kita masuk? Langsung menembak? Mustahil," ucap Yudha menjawab dirinya sendiri kebingungan sekaligus terkejut. Di luar, aktivitas coffeshop berjalan normal dan rupanya di dalam, mereka sedang dikuasai. "Hey kalian!" seru dua orang pria mendekati keduanya yang sedang berdiri tak jauh dari ruangan pintu menuju istana batu. "Apa kalian tak melihat tulisan, ha?!" lanjut pria itu melotot pada Yudha dan Aleksei lalu mengarah pada kertas yang bertuliskan (STAFF ONLY) 'hanya untuk karyawan'. Yudha
Pasukan Baron benar-benar tersudut tak ada celah sedikit pun. Mendengar suara tembakan, Aletha yang berada di ujung pintu batu itu langsung keluar ruangan. Pasukan ayahnya hanya tinggal beberapa orang saja yang tersisa di ruangan itu. Namun baru saja Aletha melangkah keluar, kepalanya sudah ditodong pistol dan itu adalah Frank. Kedua mata gadis itu membeliak terkejut. "Kalian sudah terkepung. Tidak ada satu pun pasukan ayahmu di luar," ucap Frank dengan nada datar dan mendorong kepala Aletha dengan senjata. Dan tak lama, Aleksei dan Stella muncul bersamaan. Aletha terkejut luar biasa. Ternyata, ibunya sudah bekerjasama dengan Frank dan itu di luar dugaannya. "Jangan melawan, Nak. Mama kemari untuk menolongmu," ucap Stella meraih paksa pistol yang ada di tangan Aletha. "Lepaskan dia!!! Kau adalah Monica Bee, wanita yang sudah membunuh ayah tiri dan ibu kandungnya sendiri!" teriak Aleksei langsung melompat memasuki arena berdarah itu. Jantung Baron dan Nindi seperti akan lepas da
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege