Menggemeletuk gigi geraham Luna dengan sorot mata yang sangat menakutkan.
"Aku akan membantumu. Rebut kembali milikmu dan balaslah dendammu!"
Luna melihat ke arah pintu. Ayu Ruminang muncul. Seringai wanita itu memberikan keyakinan. Perlahan ia mendekati Luna.
"Aku takkan mati sampai kau mengalahkan musuh-musuhmu!"
Luna mengapus air matanya. Ia merasakan kekuatannya kembali.
"Dendam dalam dadaku ini berkobar seperti api yang tak akan bisa padam kecuali disiram dengan darah mereka."
Ayu Ruminang tersenyum.
Gavin tiba-tiba muncul. Ia nampak terkejut melihat wujud Luna yang tampak mengerikan dengan pakaian rumah sakit berbentuk kimono biru polos.
"Gavin! Out!" pekik Ruminang.
"Im sorry. Aku kira dia sudah memakai hijabnya seperti biasa! L"
Luna menoleh Gavin. L
Kakiku masih terasa membatu. Demi apapun, aku sangat yakin, wanita dengan cadar hitam itu istriku!"Dia sudah pergi bersama pasangannya. Kau harus bersyukur mereka tak melaporkanmu karena tindakan gilamu itu," ketus Karmila memukul keras bahuku."Dia Luna, Kom! Dia istriku!""Sinting!""Matanya itu! Mata itu milik Luna. Kau tak tahu, aku jatuh cinta padanya pertama kali sebab keindahan matanya!"Kedua netraku masih berputar mencari keberadaan Luna. Kusapu setiap sisi tempat itu dengan pandanganku Meski aku tahu, itu sia-sia."Kau kira di dunia ini wanita bercadar itu hanya istrimu. Lalu yang bermata indah itu hanya dia. Ciih," ketus Karmila sinis.Aku menyentak. Kutinggalkan saja dia dengan barang belanjaannya. Dia tak pernah mempercayaiku."Sayudha! Tunggu! Isssh!"Karmila mengejarku dengan belan
Masih di dalam mobil, Luna terisak. Ayu Ruminang mencoba memeluknya."Dia kenapa Gavin?""Seorang laki-laki tampak lebih dewasa dariku mengejarnya. Entahlah mengapa sampai dia sangat ketakutan begitu," jawab Gavin sembari menyetir mobil.Ruminang mengangkat dagu Luna, menatap dengan penuh intimidasi."Siapa? Kau bertemu Demian?"Luna menggeleng."Lalu siapa?"Bukannya menjawab, Luna malah semakin menangis."Katakan!""Mmmmaaas Yuuu ...."Luna terbata-bata. Tekanan di batinnya benar-benar mengguncangnya."Yudha ...," lirih Ruminang menatap kosong pada sisi jalan yang terus mereka lalui.Ia sangat paham apa yang Luna rasakan. Akan begitu sulit menegakkan badan dan rasa percaya diri dengan kondisi tubuh wanita itu saat ini.
Badanku letih sekali hari ini. Aku sedang menunggu Karmila datang. Sore ini dia akan menyuguhkan kue bolu buatannya. Banyak hal menarik tentang dirinya yang ditunjukkannya padaku. Masakannya lezat, hasil setrikanya rapi, dia juga tak sungkan membersihkan rumah ini. Meski ia menawarkan untuk menyewakanku ART namun aku selalu menolak. Semenjak kepergian Luna, segala sesuatu bersamanya sulit untuk aku ganti. ____________ "Aku ingin menjadi istri yang terbaik untukmu, melayanimu dengan sepenuhnya. Aku tak suka ada orang lain di rumah ini termasuk ART. _____________ Ucapan Luna itu selalu terngiang di telingaku. Hatiku selalu berkata, Luna masih hidup. Bahkan rasanya dia akan pulang. Semakin hari aku semakin mencium aromanya mendekat. Meskipun aku mengunjungi makamnya, hatiku benar-benar tak bersama gundukan tanah itu. Entah sampai kapan aku segila ini. Aku sudah sangat lelah. Pandanganku terus terfokus pada Babon yang sedari tadi naik turun, bolak balik dalam kandangnya. Sesekali ia m
"Wa-wa-waaaalaikummssalaam," jawabnya terbata. Suaranya serak dan berat. Sangat jauh dengan Luna yang memiliki suara merdu, nyaring."Namamu siapa?" tanyaku."Diana. Hanya Diana," jawab Ayu Ruminang.Aku mengangguk dan mempersilakan mereka masuk rumah."Aku tak bisa berlama-lama. Kutitip Diana padamu, Sayudha. Jaga dia dan lindungilah dia. Aku mohon, demi aku, perlakukan dia dengan baik. Aku akan sering datang menjenguknya. "Tak ada kalimat yang bisa aku ucapkan. Perasaanku campur aduk. Mengapa serasa ada yang aneh sejak kemunculan wanita bercadar itu. Seperti aku merasa ....Ah sudahlah ....Aku tak ingin kejadian di toko baju itu terulang. Aku merasa sudah hampir gila.Aku melihat kedua wanita itu berpelukan. Kupandangi mereka. Demi apapun, aku seperti melihat Miss Harram dan Angel Gracelia. Oh Tuhan, itu hal yang tidak mungkin! Aku mengalihk
Kuberdiri di depan kamar Diana. Rasanya sangat ragu tanganku mengetuk. Aku ingin menyampaikan padanya, kalau keluargaku akan datang. Setidaknya dia bisa membantuku menyiapkan suguhan. Kuketuk beberapa kali, namun nihil. Tak ada suara. Kucoba buka pintu kamar itu, terbuka. Aku mendehem, khawatir dia sedang tidur tapi ternyata dia tak ada di kamar itu. Dimana? Keningku mengkerut keheranan. Aku mencoba membuka jendela, tampak punggungnya yang terbalut hijab coklat tua. Dia seperti sedang berjongkok, di depannya, sekelebat kepala Babon sedang meliuk-liuk. Oh Tuhan! Apa dia sedang bersama Babon? Jangan sampai wanita itu dipatuk oleh hewan itu. Babon tak suka orang baru. Dengan cepat, aku melangkah keluar. Wanita bercadar gila! Bagaimana dia berani mengeluarkan seekor King Kobra itu dari kandangnya! "Cciiiiicciciicciicccici ...."Kedua tangan Diana diletakkan di depan, sedang tubuhnya condong ke depan. Persis seperti pose anjing yang sedang menatap musuhnya. Babon berdiri meliuk-liuk, me
"Mengerikanlah pokoknya! Sudah, ah! Aku tak mau melihatnya lagi. Seram!" tanggap ibuku."Horor, Mas! Lagian ngapain sih kamu suruh kami lihat badan babu yang sudah kek monster itu!" tambah tante Carla."Supaya pantas dikasihani," jawab Om Demian dengan wajah serius."Kamu tadi lihat jugakan Yudha? Kamu gak jijik?" tanya Ibuku."Alhamdulillah. Mama gak sampai separah dia ya," timpalku. Rasa iba menjalar begitu cepat.Ibuku mencucut saja mulutnya. Sama sekali tak sedap dipandang mata. Tiba-tiba paman Demian mengeluarkan beberapa kertas."Tanda tangani ini, Yudha," ucapnya datar."Apa ini, Om?""Baca saja," jawabnya.Aku membuka lembar demi lebar kertas itu. Mataku melotot, seperti tak percaya, keluarga besarku akan mengambil keputusan ini.
Di sudut lain, Luna meremas tiang yang menyembunyikan tubuhnya. Ingin rasanya ia mengamuk, menghantam keluarga suaminya yang rakus itu. "Andai janin ini tak ada, aku pasti akan merobek mulut kalian satu-satu sekarang!" geramnya sendirian dengan sorot mata menyala. "Dasar manusia-manusia serakah! Kalian akan menerima balasan setimpal atas hak orang lain yang kalian nikmati. Tunggu saja." Luna memegang perutnya. "Bertahanlah, Nak! Kau harus lahir dan hidup bahagia meskipun tanpa Mama. Rindu Papamu, Nak? Mama juga rindu sekali. Sekarang kita hibur Papa ya," desis Luna pelan. Perlahan ia melangkahkan kakinya mendekati suaminya. "Tuan ...." Yudha tak merespon. "Minumlah teh hangat ini," sapa Luna duduk di lantai, tepat tak jauh dari kaki suaminya. Ingin rasanya ia menyentuh kaki itu, memijitnya seperti yang biasa dia lakukan. "Apa kau punya jawaban, mengapa manusia sangat serakah?" tanya Yudha dengan tatapan kosong melihat pintu. "Karena hati mereka sudah menghitam. Andai m
Di sisi lain, Carla dan Ratih asik bernyanyi karaoke. Ruangan itu semula adalah kamar ayah mereka. Namun oleh ketiga anaknya,diubah menjadi tempat melepas penat dan bersenang-senang. Mereka berjoget-joget riang sambil meneguk alkohol. Beberapa snack bercecer begitu saja."Nindi mana Mba?!" tanya Carla menggeleng-gelengkan lehernya dengan mik di tangannya."Jemput Ratna!" jawab Ratih berteriak. Ia bahkan tak peduli harus batuk berkali-kali sebab terlalu banyak minum. Hatinya sangat bahagia sekali. Ia sama sekali tak merasa lelah meskipun bergoyang-goyang dan bernyanyi banyak lagu.Sedang Demian, duduk di sofa sambil menatap kosong kedua saudara perempuannya. Tiba-tiba dia merasakan adanya firasat buruk. Tapi apa?!Terpintas ingatannya pada memori sesaat setelah ia memutuskan kakaknya dan Nindi keluar dari rumah sakit. Ia menelpon Yudha dan ternyata keponakannya datang bersama A
Kini villa itu sudah sepi, bahkan tempat sesepi itu tidak memiliki penjaga. Aleksei mondar-mandir tak karuan. Sedari tadi dia berusaha sibuk, merapikan hal yang remeh temeh padahal penjaga catring sudah merapikan semuanya. Sumpah demi apa pun, jantungnya dari tadi berdegup kencang seperti ditabuh keras-keras. Ia mencari apa lagi yang dia bisa kerjakan asal tidak masuk ke dalam kamar itu. Bahkan melihat ke arah pintu kamar saja dia tidak sanggup karena dia tahu, di dalam sana ada seseorang yang menjadi pujaannya seumur hidup. "Sial, aku harus apa lagi?!" Aleksei melihat jam dinding, dan terlihat sudah jam dua dini hari. Semua sudah rapi, sudah pada di tempatnya. Pria itu kembali mondar mandir. Menyesal dia menyimpan laptop dan ponselnya di kamar tempat Luna berada. "Ya, aku tahu," ucap Aleksei sendirian membuka laci dan membungkuk mencari gunting tanaman dan sabit. "Aku bersihkan taman saja," desisnya mantap. Crinnnng!!! Kedua benda itu jatuh karena pria itu terkejut luar biasa seba
"Maaf, aku mengganggu waktumu," ucap Yudha di depan Aleksei yang memperbaiki posisi kacamata hitamnya. Mereka bertemu di sebuah cafe di pinggir pantai. Ombak di sore hari terlihat lebih besar. "Tidak masalah. Maaf juga aku harus membuatmu menunggu. Aku benar-benar harus meeting tadi."Yudha tersenyum lalu menegak kopinya. Ia mengeluarkan rokok dan menyodorkannya pada Aleksei. "Rokok favoritmu," ucap Yudha menawarkan namun yang cukup membuat Aleksei terkejut, Yudha pun menyalakan putung rokok itu untuk dirinya sendiri. "Sejak kapan kau merokok?""Sejak tidak ada paru-paru lain yang kujaga," jawab Yudha santai menyesap asap. Aleksei hanya menoleh lalu membuang wajah, memilih menatap ombak yang berdebur. "Kau pasti tidak merokok lagi sekarang, karena ada paru-paru lain yang kau jaga, bukan?" lanjut Yudha. Aleksei kebingungan dan salah tingkah. Ia meraih rokok itu lalu akan membakarnya. Yudha menahan tangan pria itu. "Tidak perlu. Its oke. Aku tahu, kau tidak merokok lagi sejak operas
Aleksei merasa seperti sedang diguyur berton-ton tumpukan bunga. Harum, lembut tapi terlalu banyak. Ia tidak bisa bernapas. Pria itu melihat ke bawah, ke samping, bahkan ia harus mendongak ke atas untuk mencari udara. Tak .... Tak .... Langkah Luna mendekat, dan itu membuat Aleksei refleks mundur. Wanita itu justru tersenyum melihat ekspresi Aleksei sekaget itu. "Jangan main-main kamu, Angel. Kita sudah berumur, jangan bicara yang tidak-tidak," ucap Aleksei mengusap wajahnya. "Kenapa memangnya? Kalau kita bersama terus, tanpa ada hal yang urgent, jatuhnya fitnah, lo!""Untuk bertemu denganmu meski hanya satu menit, itu sudah ranah urgent."Luna berhenti dan justru menutup mulutnya tertawa. "Ya sudah, mari kita menikah supaya tiap menit bisa bertemu," goda Luna. "Memang pandai sekali kamu mempermainkan hati," ucap Aleksei menghembuskan kasar napasnya. "Jadi kau menolakku? Tak ingin menikahiku?""Eiih?!"Aleksei hanya melongo. Dia seperti tidak menapak lagi di bumi mendengar ucap
Dua minggu kemudian .... "Katakan padaku, kenapa Angel tidak pernah datang mengunjungiku?" tanya Aleksei ketika Daniel sedang memeriksa tensi darahnya. "Syukurlah, semuanya berjalan lancar dan kondisi Anda juga semakin baik, Tuan.""Jangan alihkan pembicaraan, katakan kemana Angel? Apa dia baik-baik saja?" "Ya, Nyonya Angel baik-baik saja. Jika transplantasi Anda berhasil, Anda akan bisa melihatnya lagi meski mungkin tidak seterang penglihatan Anda sebelumnya.""Aku lega dia baik-baik saja. Tapi kenapa dia tidak mendatangiku sejak aku operasi? Wanita itu," gerutu Aleksei mengelus perban di matanya. "Perban Anda sudah bisa dibuka. Apa Anda siap?""Tolong panggilkan aku Angel, saat mataku terbuka, aku ingin melihat dia pertama kali."Dokter Daniel terenyuh mendengar semua ucapan Aleksei. Jelas sekali dari getaran suara pria itu, Aleksei benar-benar sangat mencintai sosok Angel Gracelia. "Maaf, Tuan. Nyonya Angel belum bisa menemui Anda kemari. Tapi tidak masalah, Anda yang bisa mene
"Bagaimana keadaannya?" tanya Luna dengan wajah tegang. "Selama Anda pergi, kami sudah tiga kali menyuntikkan obat penahan rasa sakit dan antibiotik.""Suntikan cairan ini pada bahu Aleksei."Luna menyerahkan tabung itu pada dokter Daniel. Pria itu melihat benda yang di tangannya itu lamat-lamat. "Cairan apa ini? Dingin sekali sampai menembus tulang.""Penawar racun itu. Cepat suntikan sekarang, Daniel."Dokter Daniel mengangguk dan matanya menangkap keberadaan Farid yang sedang dibersihkan lukanya. Nampak luka itu jauh lebih segar, tidak bengkak lagi dan tidak hitam. Sudah seperti daging biasa. "Bagaimana itu terjadi?""Racun dan penawar itu diciptakan oleh sosok yang paling hebat. Sudah, suntikan segera dan agar kau tenang kembali bekerja."Tak menunggu lagi, dokter yang berpostur tinggi itu langsung bergegas menuju ruang perawatan Aleksei. "Siapa?! Angel, kau kah itu?" tanya Aleksei terkejut saat terdengar suara pintu terbuka. "Bukan, Tuan. Saya, Daniel. Bagaimana perasaan Anda
Helena menggeleng sembari menutup mulutnya yang sudah tertutup cadar. "Helena! Berikan sandi itu! Kasihan putraku kesakitan seperti itu. Apa pun yang kau inginkan dariku, aku akan memberikannya!"Helena terus menggeleng dan membuat Luna semakin putus asa. Gadis itu justru mundur, mundur dan berbalik arah, seperti melarikan diri. Kakinya berlari sangat kencang masuk ke dalam rumahnya. "Helena! Helena!!!" teriak Luna sekencang-kencangnya. Wanita itu sampai memukul tanah tempatnya mengesot hingga kotor pakaiannya. Berdentam tanah itu karena amukan Luna. Suara tangisan Luna menyeruak penuh ketakutan dan kemarahan. "Wanita sialan! Awas kau! Akan kumakan kau hidup-hidup!" seru Eldor sudah berdiri akan mengejar Helena tapi langkahnya tertahan melihat Farid muntah darah. Silsilia sedari tadi menahan pemuda itu agar tidak terlalu mengamuk sebab banyak juga pot bunga, dan batu di sekitar tempat itu. "Oooh demi leluhur Razoore! Aaah sial!" Eldor memukul kosong di udara. Urat-urat tangannya ti
Di dalam mobil, Karmila masih diam. Sama sekali tak bicara setelah beberapa menit berada di samping Yudha yang saat ini fokus menyetir."Luna tidak mau rujuk," ucap Yudha tiba-tiba."Oh ya? Hmm ... mungkin dia butuh lebih banyak waktu lagi," sambut Karmila salah tingkah. Sedari tadi pikirannya dipenuhi dengan banyak pertimbangan. "Entahlah. Dia bukan jenis wanita yang mudah goyah setelah mengambil keputusan," timpal Yudha mengembuskan napasnya kasar. "Jadi kau menyesal telah menceraikannya?""Ya. Aku terlalu mengikuti emosiku. Aku tidak memandang jernih setiap sisi masalah. Menyesal, aku sangat menyesal."Karmila tidak berkata apa-apa lagi. Ia pernah menyerah, lalu kembali mencoba dan sekarang hempas lagi. Suasana menjadi hening kembali. Yudha menoleh sekilas pada Karmila yang terlihat kosong. "Tadi, Farid makan buah-buahan yang kamu bawa. Dia memang suka sekali dengan anggur, sama seperti ibunya," lanjut Yudha kembali bicara mencairkan suasana. "Syukurlah. Dia memang pemuda yang b
"Nona! Nooooon!" teriak Rumayah menggedor pintu Helena. "Kenapa, Mbok?!"Helena keluar tetap menggunakan hijabnya namun kali ini, ia menggunakan cadarnya. Bekas cakaran Sofia belum bisa dihilangkan meskipun ia rutin merawatnya. "Ada ... ada banyak orang yang sedang nyari Nona! Salah satunya, pria besar yang dulu pernah ke sini!"Helena terhenyak sebentar lalu memperat simpul tali cadarnya. "Tenanglah Mbok. Yang akan terjadi, biarlah terjadi."Helena melangkah tanpa ragu. Wajahnya yang rusak adalah hal yang membuatnya tidak memiliki rasa takut lagi. Bahkan, beberapa kali ia berpikir untuk mengakhiri saja hidupnya tapi dia tahu, itu hal yang paling dibenci Allah. Setidaknya, ia tidak ingin mati bunuh diri, lebih baik dibunuh saja. Gadis itu sudah pada puncak putus asa. "Katakan pada Amang, jangan keluar, jangan ikut campur. Ini urusanku. Apa pun yang terjadi padaku, kalian jangan terlibat," ujar Helena datar. "Tapi, Non ....""Tinggallah di sini, biar aku sendiri yang menghadapi mer
Farid mendorong kursi roda yang diduduki Luna dengan sangat tergesa-gesa. "Kami sudah memindahkannya ke dalam ruangan steril, tidak bisa dimasuki kecuali tenaga medis yang berpakaian lengkap," ucap dokter Daniel sembari terus melangkah cepat. "Kau harus melakukan yang terbaik, Daniel. Aku akan membayar berapa pun jumlah yang kau butuhkan.""Jangan dipikirkan, Nyonya. Anda bisa menemuinya. Kami memberikan waktu lima menit. Sekarang, pakailah alat pelindung ini," ucap Daniel sampai di sebuah ruangan kecil. Luna memakai baju pelindung dan masker juga penutup kepala lengkap. Daniel mempersilakannya masuk dan menunjukkannya jam tangan sebagai tanda dia tidak memiliki waktu yang banyak. "Apakah mereka akan baik-baik saja?" tanya Farid mengintip dari kaca. Terlihat Luna mendekati Aleksei dengan memutar kursi rodanya dengan cepat. "Aku harap semua baik-baik saja," ujar Daniel berdebar. Untuk pertama kali dia menangani kasus sedahsyat itu. Ada bakteri jahat yang aneh dan cepat sekali berege