ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (49)Aku terbangun oleh tangisan Naura yang tertidur di kasur lain di dalam kamar. Aku bangkit, meraba popoknya. Oh, tentu saja, dia memakai popok sekali pakai. Tapi darimana Mas Nabil punya uang untuk membelinya? Baru saja aku hendak mengangkatnya dari kasur, ketika kulihat Mas Nabil masuk ke dalam kamar."Mei, biar Mas saja yang gendong!" Serunya."Aku sudah kuat Mas." Ujarku lirih."Iya Mas tahu. Tapi bayi kita berat, Mas takut kamu terjatuh."Apakah aku sebegitu lemahnya? Aku terdiam, menatap Mas Nabil yang kini mengangkat Naura lalu menimangnya. Naura berhenti menangis, menatap Ayahnya dengan seksama. Tak lama, dia menangis lagi."Naura haus, emm… bisakah kau memanaskan ASI yang ada di kulkas? Oh, atau biar aku saja. Tolong tunggui Naura sebentar ya."Mas Nabil berkata begitu, seolah aku bukan Ibunya. Dia lalu keluar kamar, tak lama terdengar suaranya menyalakan kompor. Dia tentu hendak membuat susu formula untuk Naura. Aku menatap Naura yang masih menan
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (50)"Loh, Rey? Kenapa dibawa pulang lagi?"Aku terkejut melihat Reyhano, asisten Adrian menurunkan semua barang yang tadi diantarnya ke rumah Mas Nabil. Barang-barang yang dikemas dus itu diletakkannya di atas lantai teras. 1 dus popok sekali pakai, bedak, sabun dan peralatan make up bayi, juga sembako berupa beras dan makanan kering lainnya."Ini Non, Pak Nabil dan Ibu Meisya minta saya untuk mengembalikan ini semua. Mereka hanya mengambil ASIP nya saja."Aku termangu. Apakah mereka tersinggung dengan usahaku membantu? Sebelum Meisya sadar dari komanya, hal ini sudah beberapa kali kulakukan. Biasanya aku akan menelpon perawat Naura, menanyakan apa yang menipis lalu meminta Rey mengirimnya ke rumah. Kalau ASIP, beberapa kali Mas Nabil mengambilnya sendiri karena aku memang mengirimkannya dalam jumlah kecil supaya tidak terbuang. "Oh ya Non. Ini ada titipan surat dari ibu Meisya." Ujar Rey sambil memberikan sebuah amplop putih padaku. Aku menatap amplop itu,
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (51)"Hey, Sayang! Kamu marah?" Adrian menangkap pinggangku begitu pintu kamar tertutup di belakangnya. Aku memang sengaja menunda pertanyaan karena tak mau Tiara mendengar hal-hal yang belum sepantasnya dia dengar, meski hatiku bergejolak, dadaku panas membara dan rasanya aku sanggup menelan seekor gajah saking marahnya. Aku berbalik, menatap matanya langsung dengan nyalang."Tentu saja aku marah, aku berniat memberimu surprise, sekaligus mengabarkan kalau aku sudah 'bersih' ternyata aku yang dapat kejutan."Bukan Vivian namanya jika hanya menyimpan dan memendam semua perasaan di hati sambil menangis. Adrian tertawa, langsung menarikku dalam pelukannya. Kuendus baju yang dia kenakan, mencoba mencari jejak aroma lain di kemejanya. Tak ada. Parfumnya masih sama, aroma maskulin yang kubeli untuknya dan tak pernah lupa dia pakai setiap hari."Kau tahu tidak? Kau semakin cantik jika sedang marah."Aku menarik diri dari pelukannya. "Jangan mengalihkan pembicara
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (52)Aku menghela nafas sejenak sebelum mengetuk pintu ruangan Adrian. Meski bisa saja aku langsung masuk untuk memergoki kelakuan perempuan itu. Dari ponsel yang terus menyala, dapat kulihat perempuan itu berdiri memutari meja, mencoba menghampiri suamiku yang duduk tegak di kursinya.Setelah mengetuk pintu tiga kali, tanpa menunggu jawaban dari dalam, aku membuka pintu, mengabaikan tatapan heran para office boy yang lalu lalang. Raisa yang menjaga meja front office kularang untuk memberitahukan kedatanganku pada Adrian."Selamat siang." Ujarku begitu pintu terbuka.Adrian sedikit terkejut melihat kedatanganku. Dia meletakkan ballpoint di tangannya dan langsung bangkit menghampiriku."Sayang, kau kemari tanpa mengabariku." Aku tersenyum, meletakkan kotak berisi kue di atas meja kecil beserta seperangkat sofa minimalis yang melingkarinya."Aku hanya ingin bertemu seseorang. Kabarnya ada pimpinan baru dari Unggul Pratama yang akan datang kemari." Aku menatap
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (53)Pagi-pagi, usai mengantar Tiara ke gerbang menaiki mobil jemputan, aku kembali ke dalam rumah dengan hati bimbang. Tiara harus naik mobil jemputan hari ini karena Rey sedang dalam perjalanan dari rumah sakit menjemputku. Sejak Alfian kembali ke Singapura, tugas mengantar dan menjemput anak-anak - Tiara dan Attariz - menjadi tugas Rey sebagai asisten pribadi Adrian. Selebihnya, aku lebih suka kemana-mana sendiri tanpa sopir. Begitu juga dengan Adrian dan adik-adiknya. Agnes dan Anyelir kuliah memakai salah satu mobil yang terparkir di garasi. Kami memang tidak memakai jasa bodyguard atau semacamnya. Itu terasa berlebihan mengingat kami bukanlah orang penting.Tapi mendengar penjelasan Adrian semalam, aku mulai menyadari ada orang yang berniat jahat pada keluargaku. Setelah Meisya menarik diri, aku merasa tak lagi punya musuh. Aku mulai merasa tenang menjalani hidup yang normal kembali, sampai kedatangan perempuan itu.Suara ketukan sepatu high heels-nya m
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (54)Aku merinding seketika mendengar kata-kata Meisya. Teringat akan tatapan dan senyum sinis yang misterius milik Andrea. Baru kusadari sejak aku memasuki ruangan Adrian kemarin itu, dia sama sekali tak menoleh lagi pada Adrian. Tatapannya terkunci padaku. "Apa maksudmu dia…" aku tak sampai hati mengucapkannya.Meisya mengangguk. "Ya. Dia persis seperti apa yang kau duga. Sebaiknya kau jangan pernah bertemu dengannya."Aku bukan hanya pernah bertemu, tapi kami telah berseteru.Aku duduk kembali di kursi ruang tunggu, berhadapan dengan Meisya. Sementara kulihat wajah Mas Nabil berubah menjadi tegang."Apa maksudmu Mei? Andrea siapa?" Tanya Mas Nabil."Andrea penggantiku. Yang merebut posisiku di kantor dan juga di rumah Papa." Ujar Meisya pelan."Meisya, adik iparku di rumah sakit karena kecelakaan yang disengaja. Itu rumor yang tengah diselidiki polisi. Apakah menurutmu itu pekerjaan Andrea?"Meisya menggeleng."Andrea tidak akan melakukan pekerjaan kasar
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (55)#PoV MEISYAAku menahan nafas, lalu tersadar dan bergerak hendak menutup pintu, ketika sebuah tangan lain menahan pintu itu. Aku tertegun. Menatap dua orang yang berdiri menatapku dengan mata berkaca-kaca."Meisya, izinkan Mama masuk." Aku menggigit bibir. "Mama pulanglah. Tidak seharusnya Mama ada di sini. Jangan sampai Papa tahu.""Papamu tidak tahu. Mama minta Gilang mengantar Mama diam-diam."Aku melirik Gilang yang berdiri di sebelah Mama sambil matanya tak henti menatapku. Dia anak Bik Tiah, ART Mama yang telah mengabdi selama puluhan tahun. Dia bahkan lahir di rumah kami, hanya beberapa bulan sebelum aku lahir. Kami tumbuh bersama, sampai kemudian Papa mengirimku ke Texas setelah lulus sekolah dasar. Aku dan dia melewati masa kecil yang indah, aku menganggapnya sebagai Abang yang tak pernah kupunya."Biarkan kami masuk Mei. Jangan sampai ada orang lain yang melihat." Ujar Gilang.Aku mundur, membiarkan Mama dan Gilang melangkah masuk lalu duduk
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (56)"Vivian, itu namanya kan?"Jantungku langsung berdebar kencang mendengarnya menyebut nama itu. Jadi benar dugaanku, dia mengincar Vivian."Bawa dia padaku, maka aku akan menjamin keselamatan Tante Grace dan Om Sofyan. Oh, aku tahu kau tak peduli pada Papamu yang kejam itu. Tapi Tante Grace…""Berhenti Dre. Jangan coba-coba mengancamku. Aku tak punya hubungan apa-apa dengan Vivian. Dan aku tak menerima perintah dari siapapun."Andrea menatapku dengan pandangan mengejek."Kau masih belum sadar ya? Tante Grace begitu dekat denganku. Mudah sekali bagiku membuatnya, plek, mati."Wajah Mama terbayang dimataku, hangat pelukan yang kurindu dan akhirnya dapat kurasakan kemarin rasanya belum cukup."Jangan pernah berpikir kau bisa menyakiti Mama! Papa tak akan tinggal diam!" Seruku marah."Ah, bahkan Papamu begitu mudah dimanipulasi. Sudahlah, kita sudah terlalu banyak basa basi. Terima saja tawaranku, maka aku akan menjamin keselamatan Tante Grace dan juga sahaba
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,